DEA dengan tahun 2002-2011 sebagai DMU

Tabel 6.23 Projection of potential improvement nelayan bagan sampan sebagai DMU No. DMU Score Projection Difference IO Data 1 Bagan Sampan1 1 Upaya hari melaut 8.004 5.244 -2.760 -34,48 Ukuran sampan GT 414 362,25 -51,75 -12,50 Ukuran mesin PK 1.104 552 -552 -50,00 Tenaga kerja ABK 276 276 0,00 Produksi ton 1,38 1,38 0,00 2 Bagan Sampan2 0,8 Upaya hari melaut 8.004 4.195,2 -3.808,8 -47,59 Ukuran sampan GT 414 289,8 -124,2 -30,00 Ukuran mesin PK 1.104 441,6 -662,4 -60,00 Tenaga kerja ABK 276 220,8 -55,2 -20,00 Produksi ton 1,104 1,104 0,00 3 Bagan Sampan3 0,6 Upaya hari melaut 5.016 3.009,6 -2.006,4 -40,00 Ukuran sampan GT 396 207,9 -188,1 -47,50 Ukuran mesin PK 528 316,8 -211,2 -40,00 Tenaga kerja ABK 264 158,4 -105,6 -40,00 Produksi ton 0,792 0,792 0,00 4 Bagan Sampan4 0,8 Upaya hari melaut 5.016 4.012,8 -1.003,2 -20,00 Ukuran sampan GT 346,5 277,2 -69,3 -20,00 Ukuran mesin PK 528 422,4 -105,6 -20,00 Tenaga kerja ABK 264 211,2 -52,8 -20,00 Produksi ton 1,056 1,056 0,00 5 Bagan Sampan5 0,8 Upaya hari melaut 8.004 4.195,2 -3.808,8 -47,59 Ukuran sampan GT 414 289,8 -124,2 -30,00 Ukuran mesin PK 1.104 441,6 -662,4 -60,00 Tenaga kerja ABK 276 220,8 -55,2 -20,00 Produksi ton 1,104 1,104 0,00 6 Bagan Sampan6 0,4 Upaya hari melaut 8.004 2.097,6 -5.906,4 -73,79 Ukuran sampan GT 362,25 144,9 -217,35 -60,00 Ukuran mesin PK 1.104 220,8 -883,2 -80,00 Tenaga kerja ABK 276 110,4 -165,6 -60,00 Produksi ton 0,552 0,552 0,00 7 Bagan Sampan7 0,4 Upaya hari melaut 5.016 2.006,4 -3.009,6 -60,00 Ukuran sampan GT 396 138,6 -257,4 -65,00 Ukuran mesin PK 528 211,2 -316,8 -60,00 Tenaga kerja ABK 264 105,6 -158,4 -60,00 Produksi ton 0,528 0,528 0,00 8 Bagan Sampan8 0,6 Upaya hari melaut 8004 3146,4 -4857,6 -60,69 Ukuran sampan GT 362,25 217,35 -144,9 -40,00 Ukuran mesin PK 1104 331,2 -772,8 -70,00 Tenaga kerja ABK 276 165,6 -110,4 -40,00 Produksi ton 0,828 0,828 0,00 9 Bagan Sampan9 1 Upaya hari melaut 8.004 5.244 -2.760 -34,48 Ukuran sampan GT 414 362,25 -51,75 -12,50 Ukuran mesin PK 1104 552 -552 -50,00 Tenaga kerja ABK 276 276 0,00 Produksi ton 1,38 1,38 0,00 10 Bagan Sampan10 1 Upaya hari melaut 5.016 5.016 0,00 Ukuran sampan GT 346,5 346,5 0,00 Ukuran mesin PK 528 528 0,00 Tenaga kerja ABK 264 264 0,00 Produksi ton 1,32 1,32 0,00 Hasil ini mendukung hasil analisis efisiensi pada alat tangkap, tahun, dan nelayan pancing rawai sebagai DMU, di mana, penggunaan input untuk kegiatan penangkapan oleh nelayan lokal di Kabupaten Lombok Timur saat ini telah melebihi kapasitas maksimum input untuk mendapatka per satuan output. Hasil evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan pantai memperlihatkan bahwa ketidakefektifan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai masih memberikan dampak negatif terhadap sumber daya perikanan pantai. Keadaan ini diduduk dari hasil analisis bioekonomi surplus produksi, analisis degradasi dan depresiasi, sert analisis efisiensi. Berdasarkan hasil analisis bioekonomi, peningkatan nilai upaya aktual tahun 2002- 2011 diikuti dengan penurunan hasil produksi; nilai upaya yang ada telah melebihi nilai upaya pada kondisi MSY dan MEY; dan nilai rente ekonomi yang terus mengalami penurunan. Hasil analisis degradasi dan depresiasi menunjukkan bahwa nilai laju degradasi dan depresiasi telah mendekati nilai ambang batas degradasi. Hasil analisis efisiensi teknologi yang digunakan dalam kegiaat penangkapan oleh nelayan lokal menunjukkan bahwa penggunaan input telah melebihi kapasiatas maksimum input untuk mendapatkan per satuan output. Hasil analisis yang ada menynjukkan bahwa sangat penting untuk melakukan kegiatan monitoring; dan kejelasan batas-batas pengaturan, terutama dalam batasan penggunaan alat tangkap, alat bantu penangkapan, sampan, mesin, dan tenaga kerja dalam kegiatan penangkapan. Pada kenyataannya, memang sangat sulit untuk membatasi kegiatan penangkapan, tetapi kegiatan penangkapan ini dapat dialihkan pada kegiatan konservasi atau kegiatan pariwisata seperti persewaan kapal oleh nelayan lokal yang dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan nelayan yang lain.

6.6 Simpulan

Hasil analisis evaluasi kelembagaan awig-awig di Kabupaten Lombok Timur menunjukkan ketidakefektifan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai berdampak pada bagaimana sumber daya perikanan dimanfaatkan.

7. IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PANTAI DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR

ABSTRAK Suatu kebijakan dinilai dapat beradaptasi atau berkelanjutan, saat kelembagaan ini dapat merespon perubahan yang terjadi pada kondisi sumber daya dan lingkungan, serta perubahan informasi. Dengan demikian, penting untuk mengetahui bagaimana implikasi suatu kebijakan dalam mengelolaa sumber daya. Pada bagian ini, penulis menfokuskan pada hasil dan pembahasan bagaimana implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur melalui evaluasi dari hasil analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai dan hasil evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan pantai pada bagian sebelumnya. Hasil evaluasi didapatkan bahwa bagaimana suatu kebijakan diterapkan mempengaruhi bagaimana sumber daya yang dikelola digunakan. Hasil ini diperlihatkan dengan ketidakefektifan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai, mengakibatkan kondisi sumber daya perikanan pantai sudah tidak memberikan manfaat secara biologi dan ekonomi. Perbaikan pada proses pembuatan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai; perbaikan peraturan yang disepakati; dan perbaikan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig merupakan rekomendasi yang ditawarkan dari hasil penelitian ini untuk perbaikan dalam proses pembentukan, isi peraturan yang disepakati, dan pelaksanaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan. Kata kunci: awig-awig, evaluasi kebijkan, ketidakefektifan

7.1 Pendahuluan

Pembangunan perikanan dan kelautan baik dalam skala global maupun dalam skala lokal telah mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan ini selain dipicu oleh faktor biologi, di mana, hampir 75 stok sumber daya global sudah tidak memberikan manfaat secara biologi telah mengalami biological overfishing, juga dipicu oleh perubahan sosial, ekonomi, dan kelembagaan serta politik yang memaksa beberapa negara yang memiliki laut melakukab turning the tide terhadap kebijakan perikanan dan kelautan mereka Fauzi 2005. Dengan demikian, erat kaitannya antara kondisi sumber daya perikanan dengan bagaimana kelembagaan dalam mengelola sumber daya perikanan ini. Berbagai model pengelolaan dikembangkan untuk mengatur sumber daya perikanan, agar terhindar dari kondisi degradasi dan permasalahan lainnya terkait pada kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan seperti konflik teknologi dan konflik wilayah. Pada dasarnya, pengelolaan ini dibuat untuk mengatur hak kepemilikan dalam memanfaatkan sumber daya perikanan Schlager dan Ostrom 1992; Ostrom et al. 1994; Agrawal 2003; Dolsak dan Ostrom 2003; Imperial dan Yandle 2003; Hidayat 2005. Salah satu contoh kelembagaan lokal yang berkembang di Indonesia untuk mengelola sumber daya perikanan pantai adalah awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur. Kelembagaan awig-awig ini bertujuan untuk mengatasi konflik yang marak terjadi di antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang dan antar nelayan lokal sendiri, terkait persaingan wilayah penangkapan dan persaingan penggunaan teknologi terutama alat tangkap yang menyebabkan kondisi sumber daya perikanan pantai tindak memberikan manfaat secara biologi dan ekonomi seperti penurunan hasil tangkapan; kerusakan ekosistem terumbu karang dan mangrove; hilangnya salah satu pulau kecil Gili di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur; dan penurunan pendapatan nelayan lokal Syaifullah 2009. Atas dasar ini, penulis menganggap penting untuk mengevaluasi implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur. 7.2 Tinjaun Pustaka 7.2.1 Kinerja Kelembagaan Analisis kinerja performance kelembagaan institutional arrangement berdasarkan kerangka analisis IAD terdapat 2 pendekatan. Pertama, berkaitan dengan waktu tertentu specific points in time, dan yang kedua, berkaitan dengan waktu yang keberlanjutan sustained period of time Miarintsoa 2011. Analisis kinerja kelembagaan yang berkaitan dengan waktu yang berkelanjutan dapat dilakukan penilaian efisiensi efficiency, berkeadilan equity, dapat dipertanggungjawabkan accountability, dan berkelanjutan adaptability Miarintsoa 2011; Mokhahlane 2009; Imperial dan Yandle 2005; Polski dan Ostrom 1999. Efisensi efficiency dapat berupa efiseinsi ekonomi dan efisiensi fiskal. Penilaian secara efisiensi ekonomi ini berkaitan dengan seberapa besar perubahan aliran keuntungan bersih terkait dengan alokasi atau realokasi sumber daya, dengan kata lain efisiensi secara ekonomi ini berjalan saat tidak adanya realokasi sumber daya, tetap memberikan kesejahteraan kepada sebagian orang atau kelompok tanpa merugikan orang atau kelompok yang lain keadaan ini sering dikenal sebagai Pareto-Efficient . Sedangkan, penilaian efisiensi fiskal yang dimaksudkan di sini adalah berkaitan dengan biaya administrasi yang dikeluarkan untuk melakukan pengelolaan, sehingga efisiensi fiskal sangat tergantung kepada siapa yang terlibat dalam pengelolaan Polski dan Ostrom 1999. Keadilan equity, terdiri dari dua konsep keadilan, yakni keadilan secara fiskal dan keadilan retribusi. Keadilan secara fiskal ini berkaitan dengan siapa yang berhak dan kewajiban menanggung beban keuangan dalam pengelolaan, sehingga keadilan fiskal ini juga tergantung bagaimana dan siapa saja yang terlibat dalam pengelolaan. Sedangkan keadilan retribusi berkaitan dengan kegiatan pengelolaan dikaitkan dengan kemampuan untuk membayar Imperial dan Yandle 2005. Dipertanggungjawabkan accoutability, di mana prinsip penting dalam pengaturan kelembagaan institutonal arrangement adalah bahwa setiap tindakan actions dapat dipertanggunjawabkan oleh semua aktor yang terlibat dalam pengaturan kelembagaan. Mekanisme pertanggungjawaban ini dapat berjalan secara formal maupun informal, dan dapat mempengaruhi efisiensi dan keberlanjutan dari kelembagaan Polski dan Ostrom 1999.