5. ANALISIS KELEMBAGAAN AWIG-AWIG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PANTAI DI KABUPATEN
LOMBOK TIMUR
ABSTRAK
Kelembagaan awig-awig merupakan norma, hukum adat, peraturan, larangan, dan sanksi yang tidak tertulis mengenai hubungan antar masyarakat yang
berkembang di wilayah Bali dan Lombok. Di Kabupaten Lombok Timur, kelembagaan awig-awig diadopsi untuk mengelola sumber daya perikanan pantai
melalui awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai. Pada bagian ini, penulis menfokuskan pembahasan hasil analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai melalui pendekatan kerangka analisis Institutional Analyisis Development
IAD dengan menganalisis situasi aksi, aktor, dan peraturan yang disepakati. Hasil analisis menunjukkan kelembagaan awig-awig sampai saat ini
belum berjalan secara efektif yang ditandai dengan belum semua aktor yang memanfaatkan sumber daya perikanan pantai terlibat secara aktif dalam kelembagaan
awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan, peraturan yang disepakati masih lemah dalam memberikan batas pengaturan, dan resiko keselamatan jiwa yang tinggi
pada kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig. Keadaan ini mengakibatkan masih ditemukan beberapa lokasi kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potas,
serta hilangnya salah satu pulau kecil di wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok Timur.
Kata kunci: awig-awig, analisis kelembagaan IAD
5.1 Pendahuluan
Kelembagaan awig-awig merupakan kebijakan lokal berupa norma, hukum adat, peraturan, larangan, dan sanksi yang tidak tertulis mengenai hubungan antar
masyarakat seperti perkawinan, pencurian dan lain sebagainya. Di Kabupaten Lombok Timur, awig-awig diadopsi untuk mengelola sumber daya perikanan pantai.
Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai yang berkembang di Kabupaten Lombok Timur ini diyakini merupakan perkembangan dari awig-awig
yang diinisiasi oleh kelompok nelayan Nautilus yang berasal dari Desa Tanjung Luar Indrawasih 2008; dan Syaifullah 2009.
Awig-awig yang diinisiasi oleh kelompok nelayan Nautilus ini dibuat untuk mengatasi permasalahan konflik wilayah, konflik alat tangkap, dan penurunan hasil
tangkapan terutama pada cumi-cumi yang marak terjadi di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur terutama di wilayah perairan Desa Tanjung Luar. Awig-
awig ini berupa anjuran dan pengarahan untuk tidak menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan seperti bom dan potas melalui kotbah di mesjid yang mengacu
kepada kutipan-kutipan Al-Quran. Hal ini dilakukan, karena nelayan di Desa Tanjung Luar banyak yang beragama Islam. Selain kegiatan pengarahan, kelompok
ini juga mengajak warga setempat untuk melakukan kegiatan penghijauan di sekitar
pesisir Teluk Jukung. Kegiatan-kegiatan ini dilakukan dengan harapan dapat mengubah pola pikir dan kebiasaan terutama kegiatan penangkapan ikan agar lebih
ramah lingkungan. Namun, praktiknya, awig-awig ini belum dapat berjalan seperti yang diharapkan, dengan masih banyak ditemukan penggunaan alat tangkap yang
merusak lingkungan seperti bom dan potas oleh nelayan lokal Syaifullah 2009.
Kelompok Nautilus ini kemudian memandang perlu adanya dukungan dari pemerintah setempat. Pada tahap ini, kelompok Nautilus bekerja sama dengan
pemerintah desa setempat untuk menetapkan awig-awig menjadi awig-awig desa dengan harapan awig-awig ini lebih dihormati oleh nelayan lokal. Tetapi, awig-awig
desa ini juga belum dapat berjalan secara efektif, karena masih adanya kesulitan, terutama dalam penegakkan sanksi, jika pelanggaran dilakukan oleh nelayan yang
berasal dari desa lain Syaifullah 2009.
Di sisi lain, dengan adanya program Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Coastal Community Development and
Fisheries Resource Management Project atau yang lebih dikenal dengan Co-Fish
Project dari Kementerian Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Lombok Timur,
sebagai salah satu program pemerintah yang mendukung dan mengakui kebijakan lokal yang berkembang di wilayah perairan Indonesia, awig-awig yang semula
merupakan awig-awig desa diubah menjadi awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Indrawasih 2008.
Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai membagi wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok Timur menjadi tujuh Kawasan, untuk
kemudahan pengelolaan. Setiap kawasan terdiri dari beberapa desa pantai dan satu Komite Pengelolaan Perikanan Laut Kawasan KPPL Kawasan. KPPL Kawasan
merupakan lembaga informal yang memiliki tugas dan kewenangan untuk membuat, memonitoring, menerapkan dan menegakkan awig-awig. Kegiatan monitoring dan
penegakkan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur lebih menitikberatkan pada kegiatan pengawasan perikanan terutama
pada kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potas, danatau penangkapan ikan yang dilindungi. Tetapi, sampai saat ini, kelembagaan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai juga belum dapat mengatasi permasalahan yang terjadi di wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok Timur, dengan masih banyak
ditemukan beberapa lokasi penangkapan ikan dengan bom dan potas Syaifullah 2009, serta hilangnya salah satu pulau kecil Gili.
Berdasarkan informasi di atas, peneliti memandang penting dilakukan analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten
Lombok Timur. Analisis dilakukan melalui pendekatan IAD yang fokus pada analisis peraturan yang disepakati, situasi aksi, dan aktor.
5.2 Tinjauan Pustaka
Sumber daya alam seperti sumber daya perikanan, yang memiliki karakteristik fisik sumber daya milik bersama 1.1 dan secara alami tidak memiliki batasan
wilayah yang jelas, sehingga pemanfaatan sumber daya perikanan ini cenderung open access
yakni siapa saja diperbolehkan untuk memanfaatkan sumber daya perikanan dan tanpa ada kewajiban untuk memeliharanya. Keadaan ini yang sering
menjadi kritik pada pemanfaatan sumber daya perikanan, karena menyebabkan kegiatan tidak memberikan manfaat baik secara biologi dan ekonomi Grafton 2004.
Oleh sebab itu, diperlukan pengaturan agar sumber daya perikanan ini dapat dimanfaatkan secara efisien baik biologi dan ekonomi Petersen 2006. Salah satu
pengaturan ini adalah melalui pengaturan hak kepemilikan. Pengaturan hak kepemilikan dilakukan dengan harapan jika ada kejelasan siapa pemegang hak
kepemilikan, maka akan ada kejelasan siapa yang berhak dan berwewenang untuk membuat peraturan dalam suatu wilayah perairan, siapa saja dan seberapa banyak
yang dibolehkan untuk memiliki hak mengakses dan memanfaatkan sumber daya perikan, seberapa banyak sumber daya perikanan dapat dimanfaatkan, tindakan
seperti apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, peraturan seperti apa yang digunakan, prosedur seperti apa yang harus diikuti, dan imbalan seperti apa yang
akan diberikan kepada individu berdasarkan tindakan yang dilakukan Ostrom 1990; Hanna et al. 1996.
5.2.1 Hak Kepemilikan dan Hak Akses Sumber Daya Perikanan
Secara teori, banyak yang memberikan gambaran apa sebenarnya hak kepemilikan. Schlager dan Ostrom 1992 membagi hak kepemilikan sumber daya
alam dan lingkungan terutama yang memiliki karakteristik CPR, terdiri dari hak akses, hak memanfaatkan, hak memanagemen, hak eksklusif, dan hak alienasi Tabel
2.1. Pada teori yang lain, pembagian hak kepemilikan didasarkan pada siapa yag memiliki hak kepemilikan atas sumber daya alam dan lingkungan melalui klaim
kepemilikan sumber daya alam dan lingkungan. Berdasarkan klaim kepemilikan, pengaturan hak kepemilikan terdiri dari hak kepemilikan secara bebas open access ;
hak kepemilikan pada swasta private property; hak kepemilikan pada pemerintah state property; dan hak kepemilikan bersama common property Hanna et al.
1996 Tabel 2.2 Mokhahlane 2009; Fauzi 2010.
Sehingga salah satu cara pengaturan hak kepemilikan atas sumber daya alam dapat berupa penyusunan peraturan baik yang berlaku secara formal dan informal
akan siapa memiliki hak, kewajiban dan kewenangan seperti apa Ostrom etal. 1994; Dolsak dan Ostrom 2003. Ostrom 1990 melalui
“design principle” membantu menjelaskan bagaimana keberhasilan suatu kelembagaan dalam mempertahaan
keberadaan sumber daya alam yang memiliki karakteristik CPR. Di mana, suatu pengaturan dikatakan berhasil jika telah memiliki minimal 7 dari 8 prinsip yang ada
Tabel 5.1.
Prinsip pertama, Kejelasan dalam pengaturan Clearly defined boundaries berkaitan dengan penentuan batasan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan dan
penentuan siapa saja yang memiliki hak kepemilikan atas sumber daya. Kejelasan pengaturan merupakan hal terpenting, karena selama tidak ada batasan yang jelas
atas sumber daya danatau pemanfaat sumber daya, maka tidak ada satu pun yang mengetahui apa yang dikelola dan untuk siapa pengelolaan dibuat. Selain itu, tanpa
adanya batasan sumber daya dan pemanfaat, maka masyarakat lokal menghadapi resiko persaingan dengan pemanfaat sumber daya yang berasal dari luar wilayah
dalam mengambil manfaat dari sumber daya alam yang ada.
Prinsip kedua, kesesuaian pengaturan dengan kondisi lokal congruence between appropriation and provision rules and local conditions
menjelaskan harus adanya kesesuaian antara peraturan yang ada, kondisi pemanfaat, dan kondisi
masyarakat lokal, sehingga ada penghargaan dari pemanfaat baik yang berasal dari luar dan pemanfaat lokal kepada keberadaan kelembagaan lokal dalam mengelola
sumber daya alam dan kondisi sumber daya alam yang dimanfaatkan.
Prinsip ketiga, pengaturan di tingkat kolektif Collective choice arangement, dimaksudkan setiap individu yang berpartisipasi pada tingkat operasional dapat turut
serta dalam pembuatan peraturan, karena individu-individu ini yang selalu berinteraksi secara langsung dengan pemanfaat lain dan sumber daya alam, sehingga
mengetahui secara pasti batas-batas sumber daya alam, kondisi sumber daya alam dan kondisi masyarakat lokal.
Prinsip keempat, kegiatan monitoring Monitoring menjelaskan sangat penting dilakukan kegiatan monitoring dan pemeriksaan kondisi sumber daya alam,
sampai di mana sumber daya alam termanfaatkan. Individu yang terlibat dalam kegiatan monitoring ini dapat berasal dari pemanfaat sumber daya alam.
Tabel 5.1 Design principles
Design Principles Uraian
Kejelasan dalam pengaturan Clearly defined boundaries
Harus ada ketentuan yang jelas pada individu danatau kelompok yang dapat memanfaatkan sumber daya
alam; kejelasan batasan sumber daya alam yang dimanfaatkan
Kesesuaian pengaturan dengan kondisi lokal
congruence between appropriation and provision
rules and local conditions Pengaturan waktu, tempat, dan teknologi yang
digunakan untuk memanfaatkan sumber daya alam harus sesuai dengan kondisi sumber daya alam, dan
kondisi masyarakat sekitar sumber daya alam
Pengaturan di tingkat kolektif Collective-choice
arrangements Semua individu yang memanfaatkan sumber daya
alam memiliki hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam pembuatan peraturan
Kegiatan monitoring monitoring
Para pemonitor harus aktif dan berkelanjutan dalam memeriksa kondisi sumber daya alam. Para pemonitor
ini bertanggung jawab kepada pemanfaat untuk memberikan informasi terkini akan kondisi sumber
daya alam. Para pemonitor ini dapat berasar dari pemanfaat sumber daya alam itu sendiri
Pemberian sanksi graduated sanstions
Pemanfaat sumber daya alam yang melakukan pelanggaran pada peraturan yang telah disepakati
harus diberikanan sanksihukuman. Pemberi hukuman dapat dilakukan oleh pemanfaat yang lain, atau
lembaga lokal, atau lembaga formal, atau ketiganya sesuai peraturan yang disepakati
Mekanisme resolusi konflik conflict-resolution
mechanisms Pemanfaat, lembaga informal, danatau lembaga
formal memiliki akses untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antar pemanfaat sumber daya alam, dan
antara pemanfaat sumber daya alam dengan pihak lain lembaga informal dan lembaga formal
Minimal recognition of rights to organize
Peraturan yang dibuat oleh pemanfaat sumber daya alam tidak bertentangan dengan peraturan formal yang
dibuat oleh pemerintah
Pengaturan untuk wilayah yang lebih luas Nested
enterprises for CPR that are part of larger system
Pengaturan untuk wilayah yang lebih luas dengan pemanfaat sumber daya yang lebih kompleks.
Sumber: Ostrom 1990: 90