1992; Ostrom et al. 1994; Agrawal 2003; Dolsak dan Ostrom 2003; Imperial dan Yandle 2003; Hidayat 2005.
Salah satu contoh kelembagaan lokal yang berkembang di Indonesia untuk mengelola sumber daya perikanan pantai adalah awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur. Kelembagaan awig-awig ini bertujuan untuk mengatasi konflik yang marak terjadi di antara nelayan lokal dengan nelayan
pendatang dan antar nelayan lokal sendiri, terkait persaingan wilayah penangkapan dan persaingan penggunaan teknologi terutama alat tangkap yang menyebabkan
kondisi sumber daya perikanan pantai tindak memberikan manfaat secara biologi dan ekonomi seperti penurunan hasil tangkapan; kerusakan ekosistem terumbu karang
dan mangrove; hilangnya salah satu pulau kecil Gili di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur; dan penurunan pendapatan nelayan lokal Syaifullah 2009. Atas
dasar ini, penulis menganggap penting untuk mengevaluasi implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur.
7.2 Tinjaun Pustaka 7.2.1 Kinerja Kelembagaan
Analisis kinerja performance kelembagaan institutional arrangement berdasarkan kerangka analisis IAD terdapat 2 pendekatan. Pertama, berkaitan dengan
waktu tertentu specific points in time, dan yang kedua, berkaitan dengan waktu yang keberlanjutan sustained period of time Miarintsoa 2011. Analisis kinerja
kelembagaan yang berkaitan dengan waktu yang berkelanjutan dapat dilakukan penilaian efisiensi efficiency, berkeadilan equity, dapat dipertanggungjawabkan
accountability, dan berkelanjutan adaptability Miarintsoa 2011; Mokhahlane 2009; Imperial dan Yandle 2005; Polski dan Ostrom 1999.
Efisensi efficiency dapat berupa efiseinsi ekonomi dan efisiensi fiskal. Penilaian secara efisiensi ekonomi ini berkaitan dengan seberapa besar perubahan
aliran keuntungan bersih terkait dengan alokasi atau realokasi sumber daya, dengan kata lain efisiensi secara ekonomi ini berjalan saat tidak adanya realokasi sumber
daya, tetap memberikan kesejahteraan kepada sebagian orang atau kelompok tanpa merugikan orang atau kelompok yang lain keadaan ini sering dikenal sebagai
Pareto-Efficient
. Sedangkan, penilaian efisiensi fiskal yang dimaksudkan di sini adalah berkaitan dengan biaya administrasi yang dikeluarkan untuk melakukan
pengelolaan, sehingga efisiensi fiskal sangat tergantung kepada siapa yang terlibat dalam pengelolaan Polski dan Ostrom 1999.
Keadilan equity, terdiri dari dua konsep keadilan, yakni keadilan secara fiskal dan keadilan retribusi. Keadilan secara fiskal ini berkaitan dengan siapa yang
berhak dan kewajiban menanggung beban keuangan dalam pengelolaan, sehingga keadilan fiskal ini juga tergantung bagaimana dan siapa saja yang terlibat dalam
pengelolaan. Sedangkan keadilan retribusi berkaitan dengan kegiatan pengelolaan dikaitkan dengan kemampuan untuk membayar Imperial dan Yandle 2005.
Dipertanggungjawabkan accoutability, di mana prinsip penting dalam pengaturan kelembagaan institutonal arrangement adalah bahwa setiap tindakan
actions dapat dipertanggunjawabkan oleh semua aktor yang terlibat dalam pengaturan kelembagaan. Mekanisme pertanggungjawaban ini dapat berjalan secara
formal maupun informal, dan dapat mempengaruhi efisiensi dan keberlanjutan dari kelembagaan Polski dan Ostrom 1999.
Keberlanjutan adaptabilitysustainability, di mana, analisis ini membutuhkan waktu yang lebih lama, karena pada penilaian ini melihat bagaimana kelembagaan
yang ada dapat menerima perubahan-perubahan informasi dan lingkungan yang terjadi, dan biasanya sangat dipengaruhi bagaimana tanggung jawab dilaksanakan
Imperial dan Yandle 2005.
Suatu kelembagaan dikatakan keberlanjutan sustainability atau tidak, dapat dilihat dari bagaimana kondisi sumber daya yang dikelola, seperti hasil penelitian
Wendel 2004 dalam Mokhahlane 2009, di mana Wandel menyatakan bahwa pengelolaan akan wilayah penggembalaan peternakan menjadi tidak berkelanjutan
sustainable, karena terjadi degradasi sumber daya air dan tanah akibat investasi dari pemilik lahan tanpa melibatkan pemanfaat lahan yang lain, dan tanpa ada
batasan yang jelas akan wilayah yang dapat dimanfaatkan, serta siapa saja yang diperbolehkan untuk memanfatkan lahan.
Sehingga pada indikator keberlanjutan ini sangat erat hubungannya antara kelembagaan dengan kondisi sumber daya yang dikelolanya. Di mana, suatu
kelembagaan tidak akan berkelanjutan saat kelembagaan ini tidak dapat meneriman tekanan dan perubahan terutama yang terjadi pada kondisi sumber daya perikanan
dan kondisi masyarakat pemanfaat, maupun teknologi yang digunakan dalam memanfaatkan sumber daya Ostrom et al. 1994; Dolsak dan Ostrom 2003.
7.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, dan penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2013. Pada
penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan sumber
daya perikanan pantai di wilayah periaran Kabupaten Lombok Timur mengenai kelembagaan awig-awig. Pengambilan sample pada penelitian ini, menggunakan
snow-ball sampling
yang dilakukan dengan mengadaptasi Reed et al.2009 dan Prell et al.
2009, yakni dengan menentukan terlebih dahulu beberapa aktor yang kemungkinan terlibat dalam kelembagaan awig-awig di Kabupaten Lombok Timur
dan melakukan wawancara, kemudian dari informasi ini akan ditentukan beberapa aktor berikutnya yang terlibat dalam kelembagaan awig-awig ini.
Selain melalui wawancara langsung, data primer juga dilakukan melalui pengumpulan data secara observasi. Observasi ini dilakukan dengan pengamatan
tidak mendetail hanya dengan mendeskripsikan apa yang ada di lapangan, karena data observasi ini hanya untuk mendukung hasil data wawancara.
Data sekunder berupa peraturan-peraturan yang terkait pengelolaan sumber daya perikanan di Kabupaten Lombok Timur, data perikanan, dan data-data
pendukung lainnya seperti kondisi topografi dan demografi kondisi umum lokasi penelitian diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini, antara
lain, Badan Pusat Statistik BPS, BPS Kabupaten Lombok Timur, Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok
Timur, dan hasil-hasil penelitian sebelumnya baik yang berupa thesis, desertasi, maupun jurnal-jurnal nasional dan international.
Implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupten Lombok Timur, pada penelitian ini, dilakukan dengan mengevaluasi hasil analisis
kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai dan hasil evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan pantai.
7.4 Metode Analisis Data
Implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai dilakukan dengan mengevaluasi hasil-hasil dari analisis kelembagaan awig-awig dan evaluasi
dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan pantai dan memaparkan beberapa rekomendasi perbaikan kelembagaan awig-awig dari hasil-
hasil analisis yang telah dilakukan Gambar 3.3.
7.5 Hasil dan Pembahasan
Hasil evaluasi menunjukkan keterkaitan antara kondisi pemanfaat sumber daya perikanan, kondisi sumber daya perikanan yang ada, pengaturan yang disepakati, dan
penggunaan teknologi dalam kegiatan pemanfaatan sumber dapat mempengaruhi bagaimana suatu kelembagaan berjalan dalam mengelola sumber daya perikanan
yang ada. Dan, bagaimana implikasi dari suatu kelembagaan mempengaruhi kondisi sumber daya alam yang dikelola Tabel 7.1.
Hasil analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur menunjukan ketidakefektifan kelembagaan
awig-awig yang ditandai pada ketidakefetifan pembuatan awig-awig, peraturan yang disepakati; dan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig. Ketidakefektifan
proses pembentukan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai ditandai dengan ketidakikutsertaan nelayan budidaya, nelayan penglolah hasil laut, dan
wanita nelayan dalam kepengurusan KPPL Kawasan, yang merupakan lembaga informal yang mempunyai tugas dan kewenangan membuat, memonitoring, dan
menegakkan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan. Nelayan budidaya terutama nelayan budidaya hasil laut juga memanfaatkan wilayah perairan pantai,
sehingga dengan ketidakikutsertaan nelayan budidaya ini akan memicu pada konflik wilayah pemanfaatan sumber daya perikanan pantai.
Sedangkan, nelayan pengolah hasil laut juga memiliki kepentingan dan bergantung kepada sumber daya perikanan pantai, jika hasil perikanan mengalami
penurunan kualitas dan kuantitas yang disebabkan karena penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, maka hasil produk pengolahan juga mengalami penurunan
kualitas dan harga jual akan menurun. Wanita nelayan juga memiliki peran dan kepentingan pada kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan. Di mana, hampir
semua wanita nelayan di wilayah pesisir Kabupaten Lombok Timur membatu suami mereka yang berprofesi sebagai nelayan dalam mempersiapkan keperluan melaut,
dan menjualkan hasil tangkap. Tabel 7.1 Evaluasi awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten
Lombok Timur
Analisis Kelembagaan Awig-Awig Pengelolaan Sumber Daya Perikan Pantai
Evaluasi Dampak Kelembagaan Awig-Awig Terhadap Sumber Daya Perikanan
Ketidakefektifan proses pembuatan awig- awig; peraturan yang disepakati; kegiatan
monitoring dan penegakkan awig-awig Peningkatan upaya penangkapan yang diikuti
dengan penurunan produksi perikanan, laju degradasi dan depresiasi yang mendekati
ambang batas degradasi, penggunaan teknologi yang tidak efisien
Sumber: Data Primer, Diolah
Ketidakefektifan peraturan yang disepakati ditandai dengan peraturan yang ada masih lemah dalam memberikan batas pengaturan seperti tidak adanya batas hari
melaut, dan batas kepemilikan serta penggunaan alat tangkap. Batas pengaturan ini berkaitan dengan penggunaan teknologi dalam memanfaatkan sumber daya
perikanan pantai yang ada.
Ketidakefektifan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai ini ditandai dengan adanya penurunan kualitas dan
kuantitas dari kegiatan monitoring dan pengakkan, terutama saat awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai telah dibukukan pada tahun 2003. Di
mana, kegiatan monitoring ini dilaksanakan patroli laut dengan menggunakan speed boat
setiap sebulan sekali, tetapi saat ini, kegiatan hanya dilakukan di darat dan dibantu oleh nelayan lokal saat mereka melaut, sedangkan speed boat saat ini, hanya
sebagai simbul bahwa KPPL Kawasan pernah berjaya dalam kegiatan patroli laut. Dan, nelayan lokal sendiri, beberapa melaporkan jika melihat adanya pelanggaran
terhadap awig-awig, seperti penggunaan bom dan potas; tetapi beberapa nelayan lebih memilih tidak melaporkan dengan alasan demi keselamatan jiwa dan
keberlanjutan kegiatan penangkapan mereka. Sehingga, ketidakefektifan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig ini selain dipicu pada tingginya biaya
operational kegiatan patroli laut, juga disebabkan karena tingginya resiko keselamatan jiwa.
Hasil evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan terlihat bahwa kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan masih mengakibatkan sumber daya perikanan pantai tidak memberikan manfaat secara biologi dan ekonomi. Pada sisi biologi, keadaan ini terlihat bahwa
dengan pengelolaan yang ada saat ini masih menunjukkan hasil produksi sumber daya perikanan pantai yang terus menurun yang diikuti peningkatan nilai upaya
penagkapan; nilai produksi aktual ini telah melebihi nilai MSY; nilai laju degradasi dan laju depresiasi yang mendekati nilai ambang batas degradasi. Pada sisi ekonomi,
ditandai dengan nilai upaya aktual penangkapan telah melebihi kondisi MEY dan MSY; nilai rente atau keuntungan dan nilai manfaat dari kegiatan penangkapan yang
terus menurun atau dengan kata lain nelayan terus mengalami kerugian; dan penggunaan teknologi yang tidak efisien, di mana, nilai input upaya, ukuran kapal,
ukuran mesin, dan tenaga kerja melebihi kemampuan input untuk mendapatkan per unit output hasil tangkapan.
Hasil evaluasi implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai menunjukkan ketidakefektifan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur ini dapat diperbaiki. Beberapa rekomendasi perbaikan pada proses pembentukan, peraturan yang disepakati, dan
kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig dari hasil analisis pada penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 7.2.
Perbaikan proses pembentukan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai
. Sesuai kesepakatan bersama, awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai masih memungkinkan adanya perbaikan-perbaikan, baik pada segi
isi peraturan yang disepakati maupun pada kepenguruan KPPL Kawasan yang merupakan lembaga informal yang bertugas dalam membuat, menerapkan, dan
menegakkan awig-awig. Berdasarkan hasil analisis pada analisis kelembagaan dan evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan perbaikan
pada proses pemberntukan awig-awig ini dengan lebih melibatkan secara aktif