Potensi Sumber Daya Perikanan

Prinsip ketiga, pengaturan di tingkat kolektif Collective choice arangement, dimaksudkan setiap individu yang berpartisipasi pada tingkat operasional dapat turut serta dalam pembuatan peraturan, karena individu-individu ini yang selalu berinteraksi secara langsung dengan pemanfaat lain dan sumber daya alam, sehingga mengetahui secara pasti batas-batas sumber daya alam, kondisi sumber daya alam dan kondisi masyarakat lokal. Prinsip keempat, kegiatan monitoring Monitoring menjelaskan sangat penting dilakukan kegiatan monitoring dan pemeriksaan kondisi sumber daya alam, sampai di mana sumber daya alam termanfaatkan. Individu yang terlibat dalam kegiatan monitoring ini dapat berasal dari pemanfaat sumber daya alam. Tabel 5.1 Design principles Design Principles Uraian Kejelasan dalam pengaturan Clearly defined boundaries Harus ada ketentuan yang jelas pada individu danatau kelompok yang dapat memanfaatkan sumber daya alam; kejelasan batasan sumber daya alam yang dimanfaatkan Kesesuaian pengaturan dengan kondisi lokal congruence between appropriation and provision rules and local conditions Pengaturan waktu, tempat, dan teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya alam harus sesuai dengan kondisi sumber daya alam, dan kondisi masyarakat sekitar sumber daya alam Pengaturan di tingkat kolektif Collective-choice arrangements Semua individu yang memanfaatkan sumber daya alam memiliki hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam pembuatan peraturan Kegiatan monitoring monitoring Para pemonitor harus aktif dan berkelanjutan dalam memeriksa kondisi sumber daya alam. Para pemonitor ini bertanggung jawab kepada pemanfaat untuk memberikan informasi terkini akan kondisi sumber daya alam. Para pemonitor ini dapat berasar dari pemanfaat sumber daya alam itu sendiri Pemberian sanksi graduated sanstions Pemanfaat sumber daya alam yang melakukan pelanggaran pada peraturan yang telah disepakati harus diberikanan sanksihukuman. Pemberi hukuman dapat dilakukan oleh pemanfaat yang lain, atau lembaga lokal, atau lembaga formal, atau ketiganya sesuai peraturan yang disepakati Mekanisme resolusi konflik conflict-resolution mechanisms Pemanfaat, lembaga informal, danatau lembaga formal memiliki akses untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antar pemanfaat sumber daya alam, dan antara pemanfaat sumber daya alam dengan pihak lain lembaga informal dan lembaga formal Minimal recognition of rights to organize Peraturan yang dibuat oleh pemanfaat sumber daya alam tidak bertentangan dengan peraturan formal yang dibuat oleh pemerintah Pengaturan untuk wilayah yang lebih luas Nested enterprises for CPR that are part of larger system Pengaturan untuk wilayah yang lebih luas dengan pemanfaat sumber daya yang lebih kompleks. Sumber: Ostrom 1990: 90 Prinsip kelima, pemberian sanksi graduated sanctions menjelaskan pentingnya pemberian sanksi jika terjadi pelanggaran pada peraturan yang ada. pemberian sanksi ini dapat dilakukan oleh lembaga informal maupun lembaga formal, danatau keduanya, sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan dan peraturan yang telah disepakati. Prinsip keenam, mekanisme resolusi konflik conflict-resolution mechanism menjelaskan pentingya penyelesaian konflik yang terjadi dalam kegiatan pemanfaatan terhadap sumber daya alam. Konflik ini dapat terjadi antara pemanfaat sumber daya alam, maupun antara pemanfaat sumber daya alam dengan lembaga yang memiliki hak dan kewenangan dalam mengelola sumber daya alam yang dapat disebabkan karena perbedaan kepentingan dan pengetahuan pada kondisi sumber daya alam yang ada. Prinsip ketujuh, dukungan dari lembaga formal minimal recognition of rights to organize menjelaskan pengaturan kelembagaan terutama yang dibuat oleh masyarakat lokal menjadi lebih kuat, saat peraturan yang dibuat tidak bertentangan dengan peraturan formal dari pemerintah dan mendapat dukungan dari pemerintah. Prinsip kedelapan, pengaturan untuk wilayah yang lebih luas Nested enterprises berkaitan dengan ketujuh prinsip di atas dalam kondisi pengelolaan yang lebih tinggi dan wilayah yang lebih luas, sehingga pihak yang bersaing lebih banyak dan biasanya ditujukan pada pemanfaatan sumber daya alam pada sistem yang besar.

5.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2013. Lokasi penelitian mencakup tujuh kawasan pengelolaan berdasarkan peraturan yang disepakati dalam awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat Gambar 3.1 dengan satu kawasan diwakili oleh satu desa penelitian. Ketujuh kawasan ini antara lain kawasan Sambelia, kawasan Pringgebaya, kawasan Labuhan Haji, kawasan Sakra Timur, kawasan Teluk Jukung, kawasan Teluk Serewe, dan kawasan Teluk Ekas 3.1. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer berupa informasi tentang kelembagaan awig-awig yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan sumber daya perikanan pantai di wilayah periaran Kabupaten Lombok Timur. Pengambilan sample pada penelitian ini, menggunakan snow-ball sampling yang dilakukan dengan mengadaptasi Reed et al. 2009 dan Prell et al. 2009, yakni dengan menentukan terlebih dahulu beberapa aktor yang terlibat dalam kelembagaan awig-awig di Kabupaten Lombok Timur dan melakukan wawancara, kemudian dari informasi ini ditentukan beberapa aktor berikutnya. Selain melalui wawancara langsung, data primer juga dilakukan melalui pengumpulan data secara observasi. Observasi ini dilakukan dengan mendeskripsikan apa yang ada di lapangan untuk mendukung hasil data wawancara. Data sekunder berupa peraturan-peraturan yang terkait pengelolaan sumber daya perikanan di Kabupaten Lombok Timur, data perikanan, dan data-data pendukung lainnya seperti kondisi topografi dan demografi kondisi umum lokasi penelitian diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini, antara lain Badan Pusat Statistik BPS, BPS Kabupaten Lombok Timur, Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur, dan hasil-hasil penelitian sebelumnya baik yang berupa tesis, desertasi, maupun jurnal-jurnal nasional dan international. Setelah data terkumpul dilakukan analisis melalui pendekatan IAD Ostrom et al. 1990 sesuai dengan kerangka analisis data Gambar 3.3, yakni dengan menganalisis peraturan yang disepakati, situasi aksi, dan aktor.

5. 4 Metode Analisis Data

Analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur sesuai dengan kerangka analisis data yang ada Gambar 3.3, dilakukan dengan menganalisis situasi aksi, aktor dan peraturan yang disepakati.

5.4.1 Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur

Bagian ini membahas tentang hasil analisis situasi aksi dan analisis aktor. Pada penelitian ini, dibatasi pada analisis aktor yang turut serta dalam kelembagaan awig- awig di Kabupaten Lombok Timur dan bagaimana tugas dan kewenangan dari para aktor, bagaimana para aktor ini melaksanakan tugas dan kewenangan yang ada.

5.4.2 Peraturan yang disepakati

Bagian ini membahas tentang hasil analisis peraturan yang disepakati, yang dilakukan dengan identifikasi dan analisis pada peraturan, larangan, dan sanksi dari awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Lombok Timur apakah awig- awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur telah memenuhi kriteria pada “design principle” Ostrom, 1990.

5.5 Hasil dan Pembahasan

Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan di Kabupaten Lombok Timur, pada awalnya, diinisiasi oleh kelompok nelayan Nautilus. Awig-awig ini dibuat untuk mengatasi permasalahan yang sering terjadi pada kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan lokal Desa Tanjung Luar antara lain makin maraknya penggunaan alat tangkap bom dan potas, penangkapan ikan yang dilindungi seperti lumba-lumba, penurunan hasil tangkapan terutama pada cumu-cumi, serta kerusakan lingkungan terumbu karang dan berkurangnya kawasan mangrove. Sehingga, awig-awig ini ditujukan kepada larangan penggunaan bom dan potas. Awig-awig ini disosialisasikan melalui kotbah di mesjid, karena banyak nelayan Desa Tanjung luar yang beragama islam. Selain itu, beberapa tokoh agama dan masyarakat, serta pemerhati lingkungan mengajak masyakat pesisir Desa Tanjung Luar untuk melakukan kegiatan bersih-bersih pantai dan penanaman mangrove. Tetapi, awig- awig ini belum dapat berjalan efektif karena sanksi sulit ditegakkan jika nelayan yang melakukan pelanggaran berasal dari luar Desa Tanjung Luar Syaifullah 2009. Kemudian para tokoh masyarakat dan pemberhati lingkungan menganggap penting dukungan dari lembaga formal. Pada perkembangan selanjutnya, awig-awig yang ada berubah menjadi awig-awig desa, dengan harapan lebih adanya penghargaan dari pemanfaat sumber daya perikanan pantai dengan melibatkan pemerintah desa setempat dalam pengaturan. Tetapi, praktiknya, awig-awig desa ini juga mengalami ketidakefektifan dengan masih banyak ditemukan penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan potas di wilayah perairan Desa Tanjung Luar Syaifullah 2009. Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki program Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Coastal Community Development and Fisheries Resource Management Project atau yang lebih dikenal dengan Co-Fish Project sebagai salah satu program penguatan kelembagaan lokal memberikan dukungan kepada kelembagaan awig- awig ini. Sehingga, awig-awig yang semula hanya berpusat pada Desa Tanjung Luar diperluas pada seluruh wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok Timur, dengan membagi wilayah perairan menjadi tujuh kawasan dan setiap kawasan memiliki satu lembaga informal yang bertugas untuk membuat awig-awig, dan nama awig-awig desa diubah menjadi awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Lombok Timur. Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur ini kemudian dibukukan sejak tahun 2003. Selain, dilakukan pembagian wilayah perairan, peraturan yang disepakati dalam awig-awig juga diperbaiki, dan aktor yang terlibat juga lebih diperluas dengan melibatkan lembaga informal dan formal, serta awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai ini mendapatkan dukungan secara formal dari pemerintah daerah Kabupaten Lombok Timur dengan ditetapkan Perda Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai Secara Partisipatif.

5.5.1 Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur

Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur dilakukan dengan membagi wilayah perairan di Kabupaten Lombok Timur menjadi tujuh kawasan dan setiap kawasan memiliki satu lembaga informal yang bertugas dan berwewenang untuk membuat, memonitoring, dan menegakkan awig- awig yang dikenal dengan KPPL Kawasan. Selain KPPL Kawasan, beberapa aktor lain yang berperan serta dalam kelembagaan awig-awig adalah nelayan lokal, Komite Kelautan dan Perikanan Kabupaten KKPK, Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, dan Perguruan Tinggi Tabel 5.2. KPPL Kawasan beranggotakan wakil dari nelayan lokal, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerhati lingkungan, pamswakarsa, dan wanita nelayan. Tetapi, sampai saat ini, wakil dari nelayan budidaya, nelayan pengolah hasil laut, dan wanita nelayan belum terlibat secara aktif dalam kepengurusan di KPPL Kawasan. Ketidakakikutsertaan wanita nelayan ini dikarenakan, kegiatan pengawasan perikanan sebagai wujud dari awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan dianggap berbahaya bagi wanita. Nelayan lokal merupakan nelayan yang berasal dari Kabupaten Lombok Timur yang melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan baik kegiatan penangkapan ikan, budidaya sumber daya perikanan, dan pengolahan hasil perikanan di wilayah perairan pantai wilayah perairan laut yang lebarnya sampai dengan empat mil dihitung dari garis pasang surut terendah. Tetapi sampai saat ini, nelayan lokal yang terlibat dalam awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai hanya nelayan perikanan tangkap. Nelayan lokal memilik tugas dan kewenangan dalam memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada dan turut bertugas dalam monitoring dan penegakkan awig- awig melalui kegiatan pengawasan perikanan yang dilakukan bersama-sama dengan KPPL Kawasan danatau saat mereka melakukan kegiatan penangkapan. Saat nelayan mengetahui adanya pelanggaran atas peraturan dalam awig-awig, maka nelayan lokal ini wajib menginformasikan kegiatan pelanggaran tersebut kepada pihak KPPL Kawasan. KKPK merupakan lembaga informal di tingkat Kabupaten yang beranggotakan wakil dari KPPL Kawasan, nelayan lokal, pembudidaya, wanita nelayan, perguruan Tabel 5.2 Aktor, tugas dan kewenangan dalam awig-awig pengelolaan perikanan pantai Aktor Anggota Tugas dan Kewenangan Nelayan Lokal Nelayan lokal dan pembudidaya sumber daya perikanan Sebagai pemanfaat sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur, dan membantu dalam kegiatan pengawasan perikanan dan penerapan peraturan KPPL Kawasan Wakil dari nelayan lokal, tokoh agama, tokoh masyarakat, pamswakarsa, pengusaha perikanan, pemerhati lingkungan, dan wanita nelayan Menjaga dan mengawasi sumber daya perikanan, melaksanakan dan menegakkan awig-awig, mengkoordinir sumbangan dari masyarakat, dan memberikan masukan dalam rangka rangka penyempurnaan awig-awig KKPK Wakil dari KPPL Kawasan, nelayan lokal, pembudidaya, wanita nelayan, perguruan tingg, unit pelaksana teknis penangkapan ikan Memberikan penilaian dan pertimbangan terhadap suatu usulan kegiatan usaha di wilayah pesisir Pemerintah Daerah Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Desa dan Perikanan Propinsi Nusa Tenggara Barat Bertanggung jawab akan peraturan secara formal, mengakui keberadaan awig-awig, penentu pembagian wilayah, menetapkan kepenguruan KPPL Kawasan, menetapkan kepengurusan KKPK, menyediakan bantuan teknis, melakukan koordinasi antar pemerintah daerah, melakukan kegiatan pengawasan, pemerintah desa bersama dengan pemerintah kecamatan, dan BPD menetapkan awig-awig Pemerintah Pusat Kementiraan Kelautan dan Perikanan Penyedia dana dan bantuan teknis melalui program pengembangan kelembagaan lokal, melakukan kegiatan monitoring akan pelaksanaan awig-wig Perguruan Tinggi Universitas Mataram Melakukan kegiatan pendampingan, dan pelatihan Sumber: Data primer, Awig-awig pengelolaan perikanan pantai 2003, dan Perda nomor 9 tahun 2006, Data Diolah tinggi, dan unit pelaksana teknis penangkapan ikan. KKPK ini memiliki tugas dan kewenangan dalam memberikan penilaian dan pertimbangan terhadap suatu usulan kegiatan usaha di wilayah pesisir, sehingga pertemuan KKPK ini sering digunakan sebagai tempat untuk berkoordinasi antar KPPL Kawasan. Pemerintah daerah yang turut serta dalam awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai, meliputi pemerintah propinsi melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur, Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Desa, serta Badan Permusyawaratan Desa BPD yang berada di wilayah pesisir Kabupaten Lombok Timur. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Nusa Tenggara Barat memiliki tugas dan kewenangan sebagai lembaga formal yang melakukan kegiatan pengawasan perikanan di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur memiliki tugas dan kewenangan dalam melaksanakan pengawasan perikanan secara formal; mengesahkan kepengurusan KPPL Kawasan dan memberikan rekomendasi pada peraturan yang disepakati dalam awig-awig agar peraturan tidak menyimpang dari peraturan formal yang berlaku; membagi wilayah perairan; dan mengadakan penyuluhan dan pelatihan. Pemerintah daerah Kabupaten Lombok Timur memiliki tugas dan kewenangan dalam pengakuan atas awig-awig melalui penetapan peraturan daerah; pengesahan kepengurusan KKPK; dan melakukan koordinasi antar pemerintah daerah. Pemerintah Kecamatan, Desa dan BPD memiliki tugas dan kewenangan dalam mengesahkan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai, dan turut serta dalam kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Pemerintah pusat diwakili oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki tugas dan kewenangan dalam penyedia dana dan bantuan teknis melalui program pembangunan masyarakat pantai dan pengelolaan sumber daya perikan costal community development and fisheries resource management project-cofish , dan kegiatan monitoring pelaksanaan awig-awig. Tetapi, sayangnya program ini –seperti kebanyakan program pemerintah yakni hanya terjadi beberapa tahun saja −saat penelitian ini dilaksanakan, telah berakhir. Universitas Mataram sebagai wakil dari pihak perguruan tinggi dalam awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai memiliki tugas dan kewenangan dalam pendampingan, penyuluhan dan pelatihan baik saat pembuatan peraturan dan pembukuan peraturan. Saat ini, hanya tiga dari enam aktor yang masih aktif menlaksanakan tugas dan kewenangan yang ada. Ketiga aktor yang masih aktif dalam melaksanakan tugas dan kewenangan yang ada antara lain nelayan lokal, KPPL Kawasan, dan pemerintah daerah yang diwakili oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur. Sedangkan, ketiga aktor yang lain, KKPK, pemerintah pusat, dan perguruan tinggi, peran serta mereka lebih banyak dirasakan saat program co-fish dari pemerintah pusat berjalan, dan saat program ini telah berakhir peran serta mereka sudah tidak tampak di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur. Hal ini juga yang sering menjadi kritik bahwa program oleh pemerintah pusat selalu terbatas oleh waktu Adhuri dan Indrawasih, 2003. Pelaksanaan tugas dan kewenangan oleh aktor yang masih aktif pun bukan tidak memiliki hambatan dengan berakhirnya program co-fish ini. Hal ini terlihat dengan adanya penurunan kualitas dan kuantitas dari kegiatan pengawasan perikanan terutama oleh KPPL Kawasan karena tidak ada lagi pemberi dana operasional