22
ْنع دْ ع
ّّا نْب
ْ ع يض
ّّا ا ْ ع
; ّنأ
أ ْما ْتلاق
: اي
س ّّا
ّنإ ي ْبا
ا ناك
ي ْ ب ل
ءاع ,
ييْدث ل
ءاقس ,
ْجح ل
ءا ح ,
ّنإ ابأ
ي قّل ,
دا أ ْنأ
ع تْ ي ي م
اقف ا ل
س ّّا
ىلص ه
يلع ملس
تْنأ ّقحأ
ب ام
ْمل ح ْ ت
ا د ْحأ
, بأ
د اد ,
حّحص مكاحْلا
Artinya: “Dari Abdullah bin Ar Ra. Sesungguhnya seorang wanita datang
dan m engadu kepada Rasulullah , “ya Rasulullah sesungguhnya anak ini
perut saya yang mengandungnya dan dari susu saya ia mandapat minuman, dan pangkuan sayalah yang menjadi penjaganya. Sedangkan ayahnya telah
menceraikan saya, dan ia bermaksud memisahkan dia dari saya. Maka Rasulullah bersabda kepadanya: Engkau lebih berhak terhadap anakmu
selama engkau belum kawin dengan orang lain
”. Diriwayatkan oleh Abu Daud.
9
Hadis diatas menjelaskan bahwa ibu yang lebih berhak untuk memelihara anaknya selama ia belum menikah dengan orang lain, dengan
kata lain jika ibunya menikah, maka praktis hak asuh terhadap anaknya itu gugur lalu berpindah kepada ayahnya. Karena jika ibunya menikah lagi, besar
kemungkinan perhatiannya akan beralih pada suaminya yang baru dan dikhawatirkan apabila hak asuh anak tetap diberikan kepada ibunya, maka
anak akan mendapatkan perlakuan yang kurang baik sehingga akan lebih baik apabila hak asuh tersebut diberikan kepada ayahnya.
C. Syarat Bagi Pemegang Hak Hadhanah
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang
disebut hadhin dan anak yang diasuh atau mahdun. Keduanya harus
9
Syaikh Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan Abi Dawud Riyadh: Maktabah al-M a’arif
li al-Nasyir wa al- Tawzi’ 1998 juz, II, h..32.
23
memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama
berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu dan ayah
berkewajiban untuk memelihara anak-anaknya.
10
Adapun syarat-syarat sebagai pemegang hak hadhanah adalah seperti berikut: a.
Islam, terdapat perbedaan diantara para Ulama tentang boleh tidaknya seorang anak diasuh oleh nonmuslim, Ulama madzhab Syafi’i dan
Hambali mensyaratkan bahwa pengasuh harus seorang muslimah atau muslim, karena orang non-islam tidak punya kewenangan dalam
mengasuh dan memimpin orang Islam, disamping itu juga dikhawatirkan pengasuh akan membawa anak masuk ke dalam
agamanya. Apabila orang Islam tidak ada maka menurut Imam Hambali diperbolehkan kepada kafir dzimmi karena kafir dzimmi lebih
dapat dipercaya dibandingkan kafir harbi. Akan tetapi, Ulama madzhab Hanafi dan Maliki tidak mensyaratkan seorang pengasuh
harus muslimah, jika anak tersebut juga wanita.
11
b. Baligh dewasa, pengasuh itu haruslah orang yang sudah dewasa,
karena seorang pengasuh yang masih kecil atau belum dewasa tidak bisa mengurus dirinya sendiri, apalagi mengurus orang lain, sehingga
anak yang berada dalam asuhannya dikhawatirkan tidak akan tumbuh
10
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang, h. 328.
11
Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh Ala al-Madzahib Al- Arba’ah Beirut: Dar al Fikr, jilid
IV h. 596.
24
dengan baik, oleh karena itu pengasuh harus orang yang lebih dewasa.
12
c. Berakal, jika orang yang tidak sempurna akal seperti gila, mereka tidak
diberikan kepercayaan untuk menjaga anak-anak. Mereka sendiri tidak dapat menjaga diri dengan baik, jadi bagaimana dapat memelihara
anak-anak dan apa yang bersangkutan dengannya. Akan tetapi apabila gilanya orang tersebut hanya sementara saja seperti satu atau dua hari
dalam setahun, maka mereka masih memiliki hak hadhanah. d.
Mampu, mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik mahdun anak yang diasuh, dan tidak terikat dengan suatu
pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah jadi terlantar.
13
e. Jujur, wanita fasik jahat bermoral rendah dan berakhlak buruk tidak
boleh mengasuh, sebab apabila dibawah asuhannya dikhawatirkan akan berpindah tingkah lakunya kepada anak yang diasuh. Imam
Taqiyuddin dalam “Kifayatul Akhyar” halaman 153, menganggap
jujur dan dipercaya itu cukup dilihat dari kenyataan, sebagaimana halnya dalam saksi perkawinan. Tetapi Ibnu Al Qayim membantah
syarat ini, menurut pendapatnya adalah berkelakuan baik itu tidak termasuk dalam syarat, walaupun sahabat-sahabat Imam Muhammad
Idris As- Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal mensyaratkannya.
12
Zakariya Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-Anak dalam Islam, Penerjemah Chadijah Nasuiton, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 h.57.
13
Satria Effendi, Problematika Hukum Kelurga Islam Kontemporer, Jakarta; Kencana, 2004 h. 172.