Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Tangerang dan

68 kesamaan yaitu pada dua putusan ini pihak yang dimenangkan mendapatkan hak asuh adalah pihak ayah, yang dimana usia anak-anak ketika terjadi perceraian dapat dikategorikan belum mumayyiz masih dibawah umur, hal ini berlainan dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 huruf a yang berbunyi: “apabila terjadi perceraian, maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur adalah hak ibunya dan ketentuan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 102KSIP1973 tanggal 24 April 1975, yang menyatakan mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandungnya yang diutamakan khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan dan kesejahteraan anak menjadi suatu kriteria, kecuali kalau terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar memeliharanya. Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan, menurut penulis terdapat perbedaan pada dua putusan tersebut, pertama, mengenai putusan di Pengadilan Negeri Tangerang, dalam putusan ini penulis memperhatikan bahwa Majelis Hakim tidak menggunakan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 102KSIP1973, yang mana mengutamakan ibu untuk mendapatkan hak asuh anak yang masih kecil. Akan tetapi, hakim menggunakan hukum Adat Batak Toba yang dijadikan sumber hukum untuk menetapkan kasus sengketa hak asuh anak No. 282Pdt.G2014PN.TNG. Pada umumnya dalam masyarakat Batak Toba, hak pengasuhan anak akan jatuh ke tangan suami, hal ini dikarenakan masyarakat Batak Toba menganut garis keturunan patrilineal. Kemudian dalam keyakinan Adat Batak sesuatu yang dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh manusia dan anak- 69 anak hasil pernikahan mengikuti kepada marga ayahnya. 4 Namun dalam hal terdapat anak balita yang masih menyusui, maka anak tersebut akan tinggal bersama dengan ibunya sampai cukup usia untuk dipisah menyusui sirang susu yaitu 2-3 tahun. Selama waktu yang ditentukan tersebut pihak ayah berkewajiban menafkahi anak-anaknya. 5 Kemudian hakim menetapkan hak asuh kepada pihak ayah, dikarenakan pihak istri bersikap tidak baik dalam mengasuh anak dan sering tidak taat terhadap suami. Perkara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, sumber hukum yang digunakan adalah Kompilasi Hukum Islam KHI dan UU Perkawinan yang dimana menerangkan bahwa hak asuh anak yang masih belum mumayyiz diberikan kepada ibunya, akan tetapi dalam kasus ini para hakim tidak melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam peraturan tersebut, melainkan para hakim lebih mempertimbangkan kemaslahatan bagi si anak dikarenakan sikap ibu selama mengurus anak, tidak menunjukan iktikad baik dan sering terjadi salah paham dengan ibu penggugat. Sehingga majelis hakim menetapkan hak asuh anak diberikan kepada penggugat ayahnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Muhammad Idris As- Syafi’i yang memasukan ayah ke dalam salah satu pihak yang berhak mendapatkan hak asuh anak hadhanah. Dalam konteks hak asuh kepada ibu bagi yang belum mumayyiz merupakan suatu aturan umum dan terdapat aturan khusus yaitu, sepanjang ibu belum menikah lagi maka dapat 4 Wawancara pribadi dengan hakim PN Tangerang, Bapak. Muhammad Irfan, S.H, M.Hum, tanggal 22 Februari 2016. 5 E. Sitorus, Hak Asuh Anak dalam Hukum Adat Batak, http:respository.usu.ac.id , pada hari selasa, 05 April 2016. 70 diberikan hak asuh kepadanya, akan tetapi hak asuh seorang anak dapat dipindahkan kepada bapak, apabila pihak ibu tidak cakap dan pertimbangan hakim tentang kesejahteraan anak. Dengan demikian putusan tentang hak asuh anak lebih bersifat kasuistik melihat kondisi di lapangan. 6 Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 105 menyebutkan bahwa, yang menentukan tentang pengasuhan anak terbagi menjadi dua keadaan. Pertama, ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz kurang dari 12 tahun pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya. Kedua, ketika usia anak tersebut dapat dikatakan mumayyiz usia 12 tahun ke atas dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih hendak diasuh oleh ibunya atau ayahnya. 7 Tak selamanya hak asuh anak yang belum mumayyiz diberikan kepada ibu, hak asuh anak hadhanah dapat dilimpahkan kepada pihak bapak dengan pertimbangan, pihak ibu tidak cakap, kemudian pertimbangan agama pengasuh dan demi kesejahteraan si anak. 8 Hak melakukan hadhanah sama sekali bukan menetapkan seseorang menjadi miliknya seperti hak milik kebendaan yang menafikan hak pihak lainnya, akan tetapi hak hadhanah hanya semata-mata menunjukan hak sekaligus kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak untuk mengantarkan anak tersebut kepada masa depan yang baik. Oleh karenanya 6 Wawancara pribadi dengan Hakim PA Jakarta Selatan, Bapak Drs. Saifuddin, M.H, tanggal 18 Maret 2016. 7 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta :Akademia Pressindo, 2007, hal 138. 8 Wawancara pribadi dengan Hakim PA Jakarta Selatan, Bapak Drs. Saifuddin, M.H, tanggal 18 Maret 2016. 71 menurut hukum, masing-masing pihak tidak boleh menghalang-halangi pihak lainnya untuk berhubungan dengan anaknya. 9 Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara harus memenuhi idee des recht yang meliputi tiga unsur , yaitu keadilan gerechttigheid, kepastian hukum rechtszekerheid, dan kemanfaatan zwechtmassighed. Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat penting dalam melakukan kegiatan penemuan hukum oleh hakim di pengadilan, kemandirian ini berarti tidak adanya intervensi dari pihak extra judicial, yaitu dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. 10 Putusan majelis hakim pada Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Agama Jakarta Selatan menurut penulis sudah tepat. Dikarenakan, dari dua putusan tersebut, pihak ibu dari anak-anak yang disengketakan dapat dikategorikan berbuat nusyuz membangkangdurhaka kepada suami, misalnya pada putusan Pengadilan Negeri Tangerang dijelaskan bahwa penggugat sering keluar malam dengan teman-temannya dan pernah juga penggugat pulang ke rumah dalam keadaan mabuk sehingga anak-anak lebih sering diasuh oleh pembantu ataupun baby sister, maka dari itu berdasarkan pertimbangan majelis hakim, hak pengasuhan diberikan kepada tergugat ayah. 9 Salinan putusan perkara No. 2558Pdt. G2014PA.JS, h. 32. 10 Wildan Suyuthi Musthofa, Kode Etik Hakim, Jakarta:Kencana Prenada Media Grup,2013, h. 98. 72 Kemudian putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan, setelah penulis amati, tergugat sering tidak patuh, cemburu berlebihan, sering kali mengumbar urusan keluarga di media sosial, sering mengeluarkan kata-kata kasar, selalu membesar-besarkan masalah, tidak bisa menjaga sopan santun didepan umum dan sering terjadi salah paham dengan ibu penggugat, kemudian karena si anak lebih sering bersama ibu penggugat, maka demi kebaikan dan kesejahteraan anak, hak asuh diberikan kepada ayahnya. Dengan demikian konsep penemuan hukum oleh hakim pada dua pengadilan tersebut dapat dibenarkan. Sebagimana menurut Sudikno Mertokusumo, suatu penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum atau menerapkan hukum terhadap suatu peristiwa hukum yang konkret. 11 Jadi, pada dasarnya hakim diberikan wewenang untuk mengambil keputusan dengan pertimbangan peristiwa hukum yang konkret atau kemaslahatan bagi pihak-pihak yang berperkara. Berdasarkan keterangan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa dua putusan mengenai sengketa hak asuh anak yang diberikan kepada ayahnya dapat dibenarkan, dikarenakan berbagai bukti dan keterangan saksi bahwa pihak ibu dari masing-masing perkara tidak menunjukan sikap yang baik, sehingga para hakim baik di Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Agama Jakarta Selatan menetapkan hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada ayahnya, yang bertujuan untuk kemaslahatan si anak. 11 Wildan Suyuthi Musthofa, Kode Etik Hakim, Jakarta:Kencana Prenada Media Grup,2013. H 88. 73 Meskipun demikian, pihak ayah tidak boleh membatasi hubungan si ibu dengan anaknya, karena bagaimanapun tumbuh kembang seorang anak yang masih kecil membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu juga. Pada hakikatnya para hakim telah melakukan kewajibannya yaitu, menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, sebagaimana dijelaskan pada bab ke tiga tentang kewajiban dan fungsi hakim. Hasil analisis penulis mengenai sengketa hak asuh anak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Tangerang, penulis menggambarkannya dalam sebuah tabel berikut: No. Materi Pembanding Pengadilan Agama Jakarta Selatan Pengadilan Negeri Tangerang 1. Jenis Perkara Permohonan cerai dan hak asuh anak pemohon pihak bapak Permohonan cerai dan hak asuh anak pemohon pihak ibu 2. Usia Anak 1. Mike Qianting Ati belum genap berusia 2 tahun 1. Jordyn Manuelle Dameia Napitupulu 5 tahun 2. Gary Nathaniel Napitupulu 4 tahun 3. Sumber Hukum Dalam Memutuskan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 41 UU No.1 Tahun 1974 Hukum Adat Batak dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI 74 Perkara tentang Perkawinan No. 102KSIP1973 4. Pertimbangan Hukum Hakim Secara Undang-Undang yang berhak mendapatkan hak asuh anak adalah pihak ibu, akan tetapi demi kemaslahatan anak, hak asuhnya diberikan kepada bapak. Dikarenakan pihak ibu tidak bisa mengasuh dan sering menelantarkan anak dan tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Majelis hakim mempertimbangkan hukum Adat dalam memutuskan sengketa hak asuh anak. Dan penggugat tidak terlalu dekat dengan anak-anak, dan lebih sering di asuh oleh ibu tergugat ataupun baby sister 5. Pihak yang Mendapatkan Hak Asuh Anak Pihak bapak Pihak bapak 75

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hadhanah dalam fikih memiliki arti pemeliharaan atau pengasuhan, dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. Kompilasi Hukum Islam KHI dalam Pasal 1 huruf g menyebutkan bahwa, yang dimaksud dengan hadhanah merupakan kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri. Imam Muhammad Idris As- Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, dua Imam madzhab ini mengkategorikan ayah sebagai salah satu pihak yang berhak mendapatkan hadhanah. Hal ini sejalan dengan Pasal 156 KHI yang menjelaskan bahwa ayah merupakan salah satu pihak yang bisa mendapatkan hadhanah, ketentuan tersebut berlainan dengan pendapat Imam Malik bin Anas dan Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa yang berhak mendapatkan hak asuh anak secara berturut-turut adalah pihak perempuan. 2. Pertimbangan hakim di Pengadilan Negeri Tangerang memberikan hak asuh kepada ayahnya ialah karena hukum Adat Batak yang menganut sistem patrilineal. Juga dikarenakan pihak ibu tidak memiliki iktikad baik dalam mengurus anak-anak. Hal ini bertujuan untuk kemaslahatan bagi si anak. Kemudian pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan memberikan hak asuh kepada 76 ayahnya dikarenakan, pihak ibu yang kurang telaten dalam mendidik dan mengurusi anak. Dan pihak bapak yang menunjukan keinginan untuk mengasuh yang di bantu oleh ibunya.

B. Saran

1. Hakim pada Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Agama harus cermat dan berhati-hati dalam mengambil keputusan ketika menentukan perkara sengketa hak asuh anak, dikarenakan hal ini dapat mempengaruhi tumbuh kembang si anak sampai dewasa dan dapat berdiri sendiri. 2. Hakim Pengadilan Negeri harus menguasai materi dan penguasaan khusus terhadap kasus sengketa hak asuh anak, dikarenakan tidak adanya undang-undang yang secara khusus membahas tentang kewenangan hak asuh anak, maka dari itu hakim diminta bersikap profesional dalam menentukan suatu kasus sengketa hak asuh anak. 3. Hakim Pengadilan Negeri dapat menggunakan hukum adat sebagai salah satu sumber hukum dalam menetapkan sengketa hak asuh anak 4. Pihak yang diberikan hak asuh anak harus bertanggung jawab dalam menjaga, merawat dan memberikan kepada si anak supaya ia dapat menjadi orang yang berhasil di masa yang akan datang. 77 DAFTAR PUSTAKA Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Madzhab, Jakarta : PT. Prima Heza Lestari, 2006. Alam, Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010. Al-Barry, Zakariya Ahmad. Hukum Anak-Anak dalam Islam, Penerjemah Chadijah Nasuiton, Jakarta: Bulan Bintang.1977 Al- Imam Muhammad Ibnu Ismail San’ani, Subulussalam, Penerjemah: Abu Bakar Muhammad, Bandung : Dhalan, Juz 3, t.th. Al-Jaziry, Abdurrahman, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al- Arba’ah Jilid IV. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1996. Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh Al- Qadha, Jakarta: Rajawali Press, 2012. Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1998. Danim, Sudarwan, Menjadi Penelitian Kualitatif, cet. Ke 5, Bandung: CV Pustaka Setia, 2002. Djalil, Basiq, Peradilan Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Duvall, Sylvianus M. Diambang Pernikahan cet. Ke II. Jakarta : Mitra Utama, 1993. Fakhrudidin, Fuad Mohd. Masalah Anak dalam Hukum Islam. CV Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1991. Fauzan, M, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyyah di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Grup, 2013. Ghazaly, Abd Rahman. Fiqh Munakahat, Jakarta : Prenada Media, 2003. Gosita, Arif, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta : Akademika Pressindo, 1985. Imam Abi al- Fadhil Ahmad bin “Ali bin Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Darul Ilmi, 1352, hlm. 287, hadis nomor 1410. “Kitab al-Qadla”. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah.