Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

3 responsibility terhadap pihak lain. Pihak lain disini dapat menyangkut keturunan atau anak dan harta benda, dan mungkin juga bekas istri yang merupakan tanggung jawab bekas suami. 6 Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam KHI menjelaskan bahwa “setiap perceraian harus dilakukan di Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 7 Dengan tujuan bahwa setiap ada permohonan perceraian, seorang hakim tidak dapat langsung mengabulkan permohonan tersebut, seharusnya hakim mengajukan adanya perdamaian antara kedua belah pihak dengan harapan perceraian tersebut tidak terjadi, akan tetapi apabila perdamaian tidak terwujud maka hakim dapat mengabulkan permohonan perceraian tersebut. Salah satu akibat yang tidak dapat dihindari ketika terjadinya suatu perceraian adalah akan adanya sengketa ataupun permasalahan, siapakah yang berhak mengasuh anak yang lahir dari hasil pernikahan suami dan istri, meskipun sebenarnya kedua orangtuanya berkewajiban untuk memberikan pendidikan kepada si anak sampai ia dewasa. Dalam KHI Pasal 105 dijelaskan bahwa “dalam hal apabila terjadi perceraian : apabila anak belum mencapai usia mumayyiz atau usia 12 Tahun maka hak asuh terhadap anak diberikan kepada ibunya”, atas ketentuan Pasal 105 KHI tersebut, apabila terjadi suatu perceraian dan pasangan tersebut memiliki anak yang masih belum mumayyiz dibawah 12 tahun, maka hak asuh secara penuh ada pada ibunya dan kewajiban ayahnya adalah menafkahi anak tersebut, sebagaimana 6 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta :PT. Raja Graffindo Persada, 2003, h. 238. 7 Pasal 115 Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 4 dijelaskan dalam Pasal 104 KHI, sedangkan apabila telah mencapai umur mumayyiz maka anak diberikan kebebasan untuk memilih apakah akan tinggal bersama ayah ataupun ibunya. 8 Keinginan untuk memperoleh anak merupakan tujuan yang mulia dan paling sehat dari suatu perkawinan. Suatu penelitian belakangan ini menunjukan bahwa selama berlangsungnya lima tahun pertama perkawinan itu, terdapat enam kali lipat banyaknya perceraian dikalangan pasangan suami istri tanpa anak bila dibandingkan dengan pasangan suami istri yang mempunyai anak. Dan dalam sepuluh tahun pertama berlangsungnya perkawinan itu, terdapat empat kali lipat besarnya perceraian pasangan tidak punya anak dibandingkan dengan yang punya anak. Akan tetapi tentu saja hal ini bukanlah berarti bahwa anak-anak bisa mencegah terjadinya perceraian antara suami istri. Kenyataan ini tiada lain memperlihatkan bahwa pasangan suami istri yang menginginkan anak akan mempunyai landasan yang sehat untuk hubungan mereka. Keinginan untuk memperoleh anak biasanya merupakan pertanda baik dan menunjukan gejolak emosional yang sehat. 9 Secara yuridis, kedudukan anak dalam perkawinan diatur dalam Pasal 42 UU No.1 tahun 1974 yang memuat ketentuan definitif 10 bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang 8 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha, Jakarta: Rajawali Press, 2012, h. 208. 9 Sylvanus M. Duvall, Diambang Pernikahan Jakarta : Mitra Utama : 1993, h. 11. 10 “Definitif” memiliki arti sesuatu yang sudah pasti 5 sah. Kemudian, menurut ketentuan limitatif 11 dalam Pasal 43 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974, anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ini berarti bahwa UU No. 1 tahun 1974 tidak membenarkan pengakuan terhadap anak diluar perkawinan yang diatur dalam Pasal 43ayat 1 UU No. 1 tahun 1974. 12 Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan kalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga. Jika ia dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia dunia dan akhirat. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa. Keadaan fitrahnya akan senantiasa siap untuk menerima yang baik atau yang buruk dari orang tua atau pendidiknya. Inilah barangkali pesan moral Islam kepada para orang tua berkaitan dengan pendidikan anak-anaknya. Orang tua sangat berkepentingan untuk mendidik dan mengarahkan putra-putrinya ke arah yang lebih baik dan memberi bekal berbagai adab dan moralitas agar mereka terbimbing menjadi anak-anak yang dapat dibanggakan oleh kedua orangtuanya kelak dihadapan Allah SWT. Anak merupakan karunia dari Allah SWT, bahkan anak dianggap harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya. Anak sebagaimana amanah Allah harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak 11 “Limitatif” memiliki arti sesuatu yang bersifat membatasi 12 Muhammad Syarifuddin, dkk.Hukum Perceraian, h. 355. 6 sebagai manusia yang dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa di masa mendatang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil kebebasan. 13 Kesejahteraan anak adalah hak asasi anak yang harus diusahakan bersama. Pelaksanaan pengadaan kesejahteraan bergantung pada partisipasi yang baik antara obyek dan subyek dalam usaha pengadaan kesejahteraan anak tersebut. Berarti setiap anggota masyarakat dan pemerintah yang berwajib berkewajiban ikut serta dalam pengadaan kesejahteraan anak dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, akan membawa akibat yang baik pada keamanan dan stabilitas suatu masyarakat, yang selanjutnya akan mempengaruhi pembangunan yang sedang diusahakan dalam masyarakat tersebut. Oleh sebab itu usaha perlindungan anak merupakan suatu upaya yang harus terus dikembangkan. 14 Islam membagi status dari anak, sesuai dengan sumber asal anak itu sendiri. Sumber asal itulah yang akan menentukan „status’ seorang anak. Setiap keadaan menentukan kedudukannya, membawa sifatnya sendiri dan 13 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam Jakarta : Kencana Prenada Grup, 2010 cet ke-1, h. 1. 14 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta : Akademika Pressindo, 1985, h. 33. 7 memberi haknya. Hukum mengenai status anak berdasarkan ketentuan- ketentuan tersebut, yang demikian menjadikan sang anak dekat atau jauh dari ibu bapaknya, dengan adanya hubungan antara mereka yang sah atau yang tidak sah bahkan apakah hubungan yang pernah ada itu dibolehkan atau diharamkan. Hubungan antara anak dengan ibu-bapaknya mempunyai syarat- syarat yang membenarkan hubungan yang ada dan terdapat antara ibu bapaknya itu. Perkawinan menentukan status anak, maka sang anak bergantung kepada perkawinan atau hubungan antara ibu dan bapak. 15 Permasalahan hak asuh anak hadhanah menjadi isu penting ketika terjadinya suatu perceraian, bagaimana hukum mengatur apabila terjadi perceraian dan terjadi sengketa hak asuh anak hadhanah yang diajukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas penulis bermaksud untuk meneliti tentang kasus sengketa hak asuh anak hadhanah yang terjadi pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 2558Pdt.G2013PA.Js. dan Pengadilan Negeri Tangerang No. 282Pdt.G2014PN.TNG. Dua putusan tersebut membahas tentang gugatan perceraian dan permohonan hak asuh anak yang terjadi pada dua lembaga penegak hukum yang berbeda yaitu Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri akan tetapi pihak hakim pada dua Pengadilan tersebut memenangkan pihak yang sama dalam hal permohonan hak asuh anak, maka dari itu, penulis ingin mengamati apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim Pengadilan 15 Fuad Mohd Fakhrudidin, Masalah Anak dalam Hukum Islam Jakarta : CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991 Cet ke-2, h. 24. 8 Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Tangerang dalam menetapkan permasalahan hak asuh anak. Guna tersistemasinya penulisan skripsi ini, maka penulis mengemasnya dalam suatu judul : Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Hadhanah. Studi Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor : 2558Pdt.G2013PA.Js dan Pengadilan Negeri Tangerang No. 282Pdt.G2014PN.TNG ”.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana ketentuan yang terdapat dalam fikih dan undang-undang yang berhubungan dengan perceraian. 2. Faktor apa yang menyebabkan terjadi perselisihan antara kedua belah pihak sehingga berujung kepada perceraian. 3. Adanya perselisihan siapa yang berhak untuk mendapatkan hak asuh anak setelah terjadi perceraian. 4. Kasus sengketa hak asuh anak yang terjadi pada dua lembaga penegak hukum yaitu Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Tangerang.

C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka masalah yang dibahas, dibatasi pada kasus sengketa hak asuh anak yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor : 2558Pdt.G2013PA.Js. dan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor :282Pdt.G2014PN. TNG. 9 2. Perumusan Masalah a. Bagaimana pandangan fikih dan ketentuan undang-undang yang berlaku di Indonesia mengenai hak asuh anak hadhanah? b. Apa yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan nomer perkara : 2558Pdt.G2013PA.Js dan Pengadilan Negeri Tangerang dengan nomer perkara : 282Pdt.G2014PN. TNG dalam memutuskan perkara hak asuh anak hadhanah?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah : a. Untuk menemukan ketentuan dalam fikih dan undang-undang yang berlaku di Indonesia, mengenai hak asuh anak hadhanah, dengan siapa si anak akan tinggal setelah terjadinya perceraian antara ibu-bapaknya dan yang paling berhak mendapat hak asuh atas anak. b. Untuk mengidentifikasi dan menganalisis dasar pertimbangan majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Tangerang dalam penetapan hak asuh anak hadhanah. 2. Manfaat secara teoritis dan pragmatis dari penelitian ini adalah: 10 a. Menemukan ketentuan yang digunakan Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara hak asuh anak hadhanah, karena tidak adanya undang-undang yang secara khusus mengatur tentang hak asuh anak. b. Bagi akademisi penelitian ini dapat menambah wawasan tentang cara hakim memutuskan suatu perkara dan metode-metode yang digunakan hakim dalam menetapkan atau memutuskan. c. Menambah kontribusi keilmuan bagi akademisi dalam rangka menganalisis ketentuan dalam hukum Islam dan undang-undang mengenai hak asuh anak hadhanah. d. Memberikan pemahaman yang benar kepada akademisi tentang aturan aturan hukum hak asuh anak hadhanah, agar sesuai dalam penerapannya di masyarakat.

E. Review Studi Terdahulu

Adapun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain: 1. “Tuntutan Hak Asuh Anak oleh Suami” Studi Putusan Pengadilan Agama Makassar, No.339Pdt.g2010PA.Mks. Skripsi yang ditulis oleh Alfrianti Alimuddin Mahasiswi Hukum Acara Universitas Hassanuddin Makassar th. 2013. a. Isi Skripsi tersebut memaparkan tentang sengketa hak asuh anak hadhanah, yakni hak asuh anak yang belum mumayyiz diberikan kepada ayah, sedangkan dalam ketentuan KHI Pasal 105, yang berhak