Masa Hadhanah HADHANAH DALAM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI

33 adalah kalimat-kalimat tauhid. Disamping itu telah mulai diajarkan tentang budi pekerti dengan mengemukakan contoh-contoh yang baik. b. Masa kanak-kanak, masa ini dimulai sejak anak berumur tujuh atau sembilan tahun dan berakhir pada waktu anak berumur sembilan atau sebelas tahun. Pada masa ini anak-anak telah dapat mengurus dirinya sendiri, telah mulai mencari teman dan pada umumnya telah masuk waktu untuk bersekolah. Karena itu ia telah boleh memilih pengasuh yang ia inginkan diantara pengasuhnya yang ada. Pada masa ini telah diajarkan latihan-latihan untuk mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, seperti, solat, puasa dan sebagainya, sehingga apabila ia telah baligh, ia tidak canggung lagi dan telah terbiasa mengerjakannya. 25 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 47 menjelaskan “anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya. 26 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang kapan berakhirnya masa hadhanah : a. Dalam Pasal 105 menjelaskan pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya b. Pasal 98 ayat 1 menjelaskan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak 25 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang perkawinan, Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1974, h. 146-147. 26 R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, edisi revisi. Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1996, h. 551. 34 bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak saat lahirnya seorang anak dalam hal anak luar kawin yang disahkan. Sejak hari pengesahannya itu berakhir pada saat anak itu menjadi dewasa atau telah menikah dan pada waktu perkawinan orang tuanya telah meninggal dunia atau karena perceraian. Adapula kemungkinan menurut Pasal 229 KUH Perdata BW selama perkawinan bapak dan ibunya, setiap anak sampai mereka itu dewasa tetap bernaung dibawah kekuasaan mereka, sejauh mereka tidak dibebaskan atau dilepaskan dari kekuasannya itu. 27 Pada prinsipnya hadhanah hukumnya adalah wajib, karena anak yang dipelihara al-mahdun akan mengalami masa depan yang tidak pasti jika kewajiban hadhanah diabaikan oleh individu atau masyarakat. Kewajiban memelihara, mengasuh mendidik dan memenuhi kebutuhan anak, adalah dalam tanggung jawab sosial masyarakat sebagai upaya menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan dan pertumbuhan fisik dan psikologis anak. Hadhanah menjadi hak anak-anak masih kecil, karena ia masih membutuhkan pengawasan, penjagaan dan pelaksanaan urusannya, dari orang yang mendidiknya, yaitu orang tuanya. Jika terjadi perpisahan antara ibu dan ayahnya, sedangkan mereka memiliki anak, maka ibunya lebih berhak daripada ayahnya, selama tidak ada alasan pencegahan pencabutan 27 Masita Harumawati, “Hak Perwalian Anak Apabila Terjadi Perceraian Studi di Pengadilan Negeri Semarang dan Pengadilan Agama Semarang, “Tesis S2 Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Kenotariatan UNDIP Semarang, 2007, h.27. 35 hadhanah, maupun karena alasan anak sudah mampu memilih, apakah akan ikut ibu atau ayahnya. 28 Dengan demikian permasalahan hak asuh anak merupakan suatu yang wajar dalam hal terjadinya perceraian, dikarenakan sifat rasa ingin memiliki terhadap anak hasil dari pernikahan, maka dalam hal ini Pengadilan dapat memutuskan siapakah pihak yang paling berhak mendapatkan hak asuh anak tersebut. Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 menyebutkan bahwa suatu pengasuhan anak, dilaksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan mental. Dan ayat 2 yang menjelaskan bahwa pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 , diselenggarakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, danpendidik secara berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan biaya danatau fasilitas lain, untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial, tanpa mempengaruhi agama yang dianut anak. 29 28 Andi Syamsu Alam dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta : Kencana Prenada Grup, 2010 cet ke-1 h. 127. 29 Pasal 38 Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 36

BAB III HAKIM DAN KONSEP PENEMUAN HUKUM

A. Syarat-syarat Untuk Diangkat Menjadi Hakim

Qadihakim merupakan unsur yang sangat penting dalam melaksanakan hukum syara’. Qadi merupakan orang yang bertanggungjawab sepenuhnya, menjaga dan mempertahankan hukum syara’ dalam rangka menegakan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, Islam mensyaratkan dengan ketat untuk diangkat sebagai qadihakim. Tujuannya adalah untuk memastikan orang yang memegang jabatan benar-benar orang yang berwibawa, luas pengetahuannya dan bisa dipercaya. Agar tujuan ini dapat tercapai, Islam telah menetapkan beberapa syarat yang wajib dipenuhi dalam mengangkat seorang qadi. 1 Para ahli memberikan syarat-syarat dalam mengangkat seorang hakim, walaupun ada perbedaan dalam syarat-syarat tersebut. Syarat yang dimaksud adalah sebagi berikut: 1. Laki-laki merdeka Menurut mad zhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, anak kecil dan wanita tidak sah menjadi hakim, namun madzhab Hanafi membolehkan wanita menjadi hakim dalam masalah pidana dan qishas karena kedua hal tersebut kesaksiannya tidak dapat diterima. 2. Berakal mempunyai kecerdasan 1 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta:kencana, 2007, h. 21. 37 Syarat yang disepakati oleh seluruh Ulama. Hakim harus orang yang cerdas, bijaksana, mampu memperoleh penjelasan dan menanggapi sesuatu yang musykil. 3. Beragama Islam Adapun alasan mengapa ke-Islaman seseorang menjadi syarat seorang hakim, karena ke-Islaman adalah syarat untuk menjadi saksi atas seorang muslim, demikian menurut jumhur Ulama. Karenanya, hakim nonmuslim tidak boleh mengutus perkara orang muslim. Imam Abu Hanifah berpendapat lebih rinci, yakni membolehkan mengangkat hakim nonmuslim untuk memutus perkara orang nonmuslim karena orang yang dipandang cakap untuk menjadi saksi harus pula cakap menjadi hakim. Tetapi, tidak boleh seorang kafir dzimmi memutus perkara orang muslim karena kafir dzimmi tidak boleh menjadi saksi bagi orang muslim. 2 4. Adil Seorang hakim harus terpelihara dari perbuatan-perbuatan haram, dipercaya kejujurannya, baik diwaktu marah atau tenang, dan perkatannya harus benar. Sebagaimana Firman Allah dalam Surah Al Hujuraat ayat 6: لا جب ام ق ا ْيصت ْنأ ا ّي تف إ ب قساف ْمكءاج ْنإ ا ماء نْي ّلا ا ّيأي نيمدان م تْلعفام ىلعا ح ْصت ف 2 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, Malang:UIN-Malang Press, 2008, h.12. 38 Artinya: ’’Wahai orang-orang beriman, Jika datang kepadamu orang fasik yang membawa sesuatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum kerana kebodohankejahilan, yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. Terdapat perbedaan pendapat antara madzhab Hanafi dan Syafi’i dalam permasalahan ini. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa putusan hakim yang fasik adalah sah bila sesuai dengan syara’ dan undang- undang. Sedangkan madzhab Syafi’i tidak membolehkan mengangkat orang fasik menjadi hakim karena tidak dapat diterima sebagai saksi 5. Mengetahui segala pokok hukum dan cabang-cabangnya Hakim harus mengetahui pokok-pokok dan cabang-cabang hukum agar memperoleh jalan untuk perkara yang diajukan padanya. Dalam hal ini, Imam Abu Hanifah membolehkan mukallid menjadi hakim sesuai pendapat Al-Ghazali karena mencari orang yang adil dan ahli ijtihad sangat sulit dengan ketentuan telah diangkat oleh penguasa. 3 6. Mendengar, melihat dan tidak bisu. Hal ini penting bagi seorang qadi karena akan memberikan arahan dan menanyakan segala hal kepada pihak-pihak yang berperkara. Jika ia tidak bisa mendengar dan bisu, maka ia tidak akan dapat mencari fakta-fakta hukum dan mengetahui tentang pembuktian, sehingga putusan yang dijatuhkan akan menyimpang dari persoalan yang 3 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, h.13.