Pihak yang Berhak Mendapatkan Hadhanah

28 dari pihak kakek, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, saudara perempuan ayah sekandung, seibu dan seterusnya. 19 Ulama tidak sepakat dalam keutamaan haknya. Apabila ibu yang berhak dan memenuhi syarat melepaskan haknya, kepada siapa hak hadhanah itu beralih, hal ini menjadi pembicaraan dikalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat hak hadhanah pindah kepada ayah, karena ibunya merupakan cabang, sedangkan ayah bukan merupakan cabang daripada haknya. Pendapat kedua yang dianggap lebih kuat mengatakan bahwa ibu melepaskan haknya, maka hak tersebut pindah kepada ibu-ibunya, karena kedudukan ayah dalam hal ini lebih jauh urutannya. 20 Pada masyarakat Batak Toba di Medan menganut sistem kekerabatan patrillineal yaitu dalam hal orang tuanya bercerai maka yang lebih berhak atas pemeliharaanhak asuh anak hidup anak adalah pihak suamikerabat suami, karena masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilineal semua anak-anak akan mengikuti dan meneruskan marga ayahnya, dan kedudukan ini tidak akan berubah walaupun orang tuanya sudah bercerai. Namun dalam hal anak masih balita masih menyusui, hak pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang dibawah umur, umumnya akan jatuh ke tangan ibunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan agama, adat dan juga peraturan per-undang-undangan yang berlaku sekarang, khususnya dalam Kompilasi Hukum Islam, hal ini 19 Muhammad Jawad Mughniyyah. Fiqih Lima Madzhab, Penerjemah :Masykur A.D, dkk, Al-Fiqh Ala Madzhab Al-Khomsah, Jakarta : PT Lentera Basritama, 1996, h. 415-416. 20 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 332. 29 disebabkan oleh karena anak-anak dibawah umur masih memerlukan perhatian dari ibunya. 21 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan dalam Pasal 156 bahwa yang berhak mendapatkan hak asuh anak hadhanah adalah sebagai berikut; a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya meninggal dunia, maka kedudukannnya digantikan oleh: 1. Wanita-wanita garis lurus ke atas dari ibu. 2. Ayah. 3. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah. 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan. 5. Wanita-wanita kerabat menurut garis kesamping dari ibu, 6. Wanita-wanita kerabat menurut garis ke samping dari ayah. b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya; c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah tercukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Peradilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. 21 E. Sitorus, Hak Asuh Anak dalam Hukum Adat Batak Toba, http:respository.usu.ac.id , di akses pada hari selasa 05 April 2016. 30 d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri 21 tahun. e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf a, b, c dan d. f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang turut padanya. 22 Meskipun dari banyak keterangan diatas yang menjelaskan bahwa pihak yang paling berhak mendapatkan hak asuh anak adalah ibu, akan tetapi pihak yang berkewajiban untuk memberikan nafkah bagi si anak adalah ayah, sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasa 105 c, yang berbunyi: Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya. Pasal 104. 1 Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyususan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. 22 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 334-335. 31 2 Penyusuan dilakukan untuk paling lama 2 tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang 2 tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya. 23

E. Masa Hadhanah

Tidak jumpai ayat-ayat Al- Qur’an dan hadis yang menerangkan dengan tegas tentang masa hadhanah. Namun , hanya terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan ayat tersebut. Karena itu, para Ulama berijtihad sendiri- sendiri dalam menetapkan dengan berpedoman pada isyarat itu. Seperti menurut Imam Abu Hanifah, hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak laki-laki itu tidak ada lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari, seperti makan, minum, mengatur pakaian, membersihkan tempatnya, dan sebagainya. Sedangkan masa hadhanah wanita berakhir apabila ia telah baligh, atau telah datang masa haid pertamanya. 24 Menurut Imam Muhammad Idris As- Syafi’i, tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Apabila si anak sudah sampai pada tingkat ini, dia diperintahkan untuk memilih apakah tinggal bersama ayah atau ibunya. Apabila seorang anak laki-laki memilih tinggal bersama ibunya, maka ia boleh tinggal bersama ibunya pada malam hari dan dengan ayahnya pada siang hari, agar si ayah bisa mendidiknya. Sedangkan bila si anak itu perempuan dan memilih tinggal bersama ibunya, maka ia 23 Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2002, h. 78. 24 Tihami dan Sahrani, sohari Fikih Munakahat, h. 224. 32 boleh tinggal bersama ibunya siang dan malam, tetapi bila si anak memilih untuk tinggal bersama ayah dan ibunya, maka dilakukan undian, bila si anak diam tidak memberikan pilihan maka dia ikut bersama ibunya. Imam Malik bin Anas berpendapat: masa asuh anak laki-laki adalah sejak ia dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga menikah. Menurut Imam Ahmad bin Hambal: masa asuh anak laki-laki dan perempuan adalah tujuh tahun, dan sesudah itu si anak diberikan kebebasan untuk memilih apakah akan tinggal bersama ayah atau ibunya, kemudian si anak tinggal bersama salah satu dari orang tuanya yang dipilih tersebut. Berdasarkan keterangan diatas maka para ahli fikih pada umunya membagi masa pengasuhan itu kepada dua masa, yaitu : a. Masa anak kecil ialah masa sejak anak dilahirkan sampai anak berumur antara tujuh dan sembilan tahun terserah kepada pengasuh untuk menetapkan batas-batas umur itu, pada masa ini kepada anak belum dapat mengurus dirinya sendiri. Seorang anak memerlukan pelayanan, penjagaan dan didikan dari pengasuhnya. Pada masa ini kepada anak telah dapat secara berangsur-angsur ditanamkan kepercayaan dan kecintaan kepada Allah sesuai dengan kemampuannya sebagai anak-anak, bahkan agama menganjurkan agar meng-iqamatkan anak yang baru lahir apabila ia perempuan dan mengazankannya apabila ia anak laki-laki. Diantara tujuannya ialah agar kalimat yang mula-mula didengar anak-anak yang baru lahir itu 33 adalah kalimat-kalimat tauhid. Disamping itu telah mulai diajarkan tentang budi pekerti dengan mengemukakan contoh-contoh yang baik. b. Masa kanak-kanak, masa ini dimulai sejak anak berumur tujuh atau sembilan tahun dan berakhir pada waktu anak berumur sembilan atau sebelas tahun. Pada masa ini anak-anak telah dapat mengurus dirinya sendiri, telah mulai mencari teman dan pada umumnya telah masuk waktu untuk bersekolah. Karena itu ia telah boleh memilih pengasuh yang ia inginkan diantara pengasuhnya yang ada. Pada masa ini telah diajarkan latihan-latihan untuk mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, seperti, solat, puasa dan sebagainya, sehingga apabila ia telah baligh, ia tidak canggung lagi dan telah terbiasa mengerjakannya. 25 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 47 menjelaskan “anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya. 26 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang kapan berakhirnya masa hadhanah : a. Dalam Pasal 105 menjelaskan pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya b. Pasal 98 ayat 1 menjelaskan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak 25 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang perkawinan, Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1974, h. 146-147. 26 R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, edisi revisi. Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1996, h. 551.