47 Tanggapan keluarga Besar Bapak Aritonang terhadap perkawinan yang
dilakukannya tanpa prosesi adat menimbulkan berbagai spekulasi antara menyetujui dan tidak,kendala inilah yang dihadapi saat ini,terutama terhadap
keluarga istri Bapak Aritonang sebagai pihak hula-hula yang seharusnya dalam unsur dalihan na tolu,pihak hula-hula yang paling dihormati somba marhula-
hula. Pada dasarnya yang menjadi kendala paling utama dalam kehidupan rumahtangga adalah kurangnya keharmonisan atau kekompakan antara
keduabelah pihak keluarga dan tidak adanya komunikasi yang baik antara keluarga karena tidak adanya campurtangan prosesi adat dalam pernikahan
sebelumnya. Pernikahan yang dilakukan dengan adat diakui lebih kepada tujuan
mempererat hubungan kekeluargaan dalam cinta kasih dan kepedulian antara orangtua , saudara dan masyarakat sekitarnya terhadap anak yang dicintainya, hal
ini dapat dilihat dari simbol pemberian “ulos” pada saat pesta adat. Sementara pernikahan tanpa adat lebih kepada pemberkatan gereja semata, lebih kepada ijin
berkat secara agama dan sedikit mengesampingkan proses adat yang berlaku baik dalam lingkungan masyarakat maupun keluarga. Dalam siklus rumahtangga yang
dijalani sehari-hari, Bapak Aritonang berpendapat tidak ada kendala maupun perbedaan yang mencolok yang dirasakan oleh keluarganya, hanya saja keakraban
antara keluarga memang beda bila dibandingkan dengan keluarga – keluarga yang menjalani prosesi adat pada saat pernikahannya.
3. Bapak P. Nainggolan Ibu D. Sianturi
Bapak Nainggolan 31 tahun adalah seorang guru di salah satu SMU swasta di Kecamatan Sumbul, dan istrinya Ibu Sianturi 28 tahun adalah seorang
Universitas Sumatera Utara
48 penjahit pakaian, keluarga ini baru menikah 2 tahun yang lalu dan telah dikarunia
1 anak perempuan yang berumur 1 tahun. Bapak Nainggolan adalah seorang kharismatik yang memang pada kenyataannya tidak memasukkan adat dalam
kehidupannya, atau lebih tepatnya tidak mengakui keberadaan adat dalam kehidupannya. Tetapi orangtua dari Bapak Nainggolan bukanlah penganut paham
ajaran kharismatik, beliau mengikuti ajaran ini sejak beliau kuliah yang pada akhirnya dipilihnya sebagai kenyakinannya.
‘
Perkawinan adalah ikatan suci antara pria dan wanita untuk menjalani kehidupan bersama di dalam suka dan duka, di dalam sakit dan sehat dan
dalam keadaan kaya ataupun miskin dan disaksikan oleh pengikut kristus.’ Demikian tanggapan Bapak Nainggolan ketika dimintai keterangan
tentang arti perkawinan oleh penulis. Beliau mengakui bahwa dia adalah orang Batak dan bahkan mengaku cukup mengerti tentang adat Batak. Menurut beliau
orangtuanya adalah sosok orang tua yang cukup menjunjung tinggi adat, dan diakui bahwa beliau dibesarkan dalam tradisi batak yang cukup kuat. Oleh karena
itu juga Bapak Nainggolan memiliki alasan untuk menentang segala tradisi yang ada itu dengan berpindah kenyakinan sebagai Kristen Kharismatik, maka ketika
beliau menikah , beliau tidak memasukkan unsur adat dalam proses pernikahannya , hanya fokus pada acara pemberkatan gereja saja.
Langkah yang diambil oleh Bapak Nainggolan menimbulkan berbagai masalah, salah satunya ketidak setujuan pihak istrinya dan terutama keluarganya
sendiri. Rencana pernikahan itu ditentang habis-habisan oleh kedua belah pihak keluarga, tetapi berdasarkan pendekatan yang mereka lakukan dan memang
memakan waktu yang cukup lama, pada akhirnya disetujui walaupun pada dasarnya sangat bertentangan dengan keluarga. Pihak dari istri Bapak Nainggolan
Universitas Sumatera Utara
49 sebenarnya sangat berharap agar pernikahannya dilakukan dengan jalan
mangadati atau diberlakukannya prosesi adat di dalamnya, sehingga pernikahan Bapak Nainggolan sempat tidak disetujui oleh pihak keluarga istri beliau, namun
berdasarkan penjelasan beliau tentang keyakinan yang dianutnya dan juga oleh penjelasan yang cukup baik yang disampaikan oleh beliau, pada akhirnya
perkawinan itu pun disetujui. Hingga saat ini berdasarkan penjelasan beliau hubungan kekerabatan
antara beliau dengan keluarga biasa – biasa saja, pertentangan pandangan pasti ada antara beliau dengan keluarga tetapi tidak sampai pada konflik yang
berkepanjangan. Pertentangan pandangan itu akan terjadi antara keluarga beliau pada saat menghadiri pesta adat yang ada pada keluarga maupun lingkungan, bila
seharusnya secara adat mengharuskan beliau untuk “Mangulosi” atau memberikan ulos pada pihak yang mengadakan pesta, beliau tidak akan memberikannya tetapi
menggantikannya dengan sumbangan yang dianggapnya pantas untuk diberikan sehingga hal ini akan diperbincangkan diantara lingkungan keluarga. Hal ini
merupakan suatu kendala yang dihadapi oleh beliau dalam proses menjalani rumahtangganya.
Pernikahan yang dilakukan dengan adat memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan pernikahan tanpa adat, dimana pernikahan adat membawa unsur
yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat Batak yakni unsur Dalihan Na Tolu dan juga berbagi proses adat seperti mangulosi memberikan ulos,
marbagi jambar pembagian jambardan masih banyak tahap lain yang harus dijalani. Sedangkan pernikahan tanpa adat cukup hanya mengandalkan acara
pemberkatan gereja maka pernikahan telah sah adanya. Dalam kehidupan
Universitas Sumatera Utara
50 bersosialisasi dengan masyarakat, menurut pengakuan Bapak Nainggolan
semuanya berjalan dengan baik. Masyarakat sekitar lingkungannya bisa menerima kenyakinan yang dianutnya, masyarakat memahami alasan beliau untuk tidak
andil dalam “paradatan” orang Batak. Perbedaan antara keluarga yang melakukan pernikahan dengan acara adat dengan yang tidak, tentunya ada tetapi tidak terlalu
mencolok terasa. B. Tokoh Adat
1. Sabar Siahaan