45 Beliau menjelaskan, bahwa setelah pernikahannya semua berjalan dengan
baik terutama dalam keluarganya. Hubungan kekeluargaan menurut beliau normal saja. Beliau menjelaskan belum ada kendala yang sangat rumit yang dihadapinya
setelah menikah, tetapi beliau juga berpendapat bahwa kemungkinan untuk mendapatkan kendala itupun pasti ada tetapi kabur keberadaannya.
Beliau berpendapat bahwa pernikahan yang dilakukan dengan adat adalah sebuah pernikahan yang melibatkan tradisi budaya Batak Toba, yakni pernikahan
dengan prosesi adat. Dimana, prosesi adat itu harus melewati beberapa tahap termasuk yang disebut dengan Martandang, Manjalo Tanda, Marhusip, Marhata
Sinamot, Paulak Une dan lain sebagainya dan tidak bisa dipungkiri pernikahan dengan adat akan banyak sekali mengeluarkan materi, sementara pernikahan tanpa
adat lebih kepada pernikahan yang sederhana, yang tidak membutuhkan materi yang berlebihan dan yang paling utama, pernikahan ini lebih kepada pernikahan
yang sah secara agama. Pernikahan tanpa adat ini lebih mengutamakan kesakralan secara rohani gerejawi dan tidak bertele-tele adanya.
Dalam lingkungan kehidupan sehari-hari yang dijalani beliau, semua sangat wajar kondisinya. Tidak ada masalah dalam kehidupan sosialisasinya.
Semua berjalan dengan baik. Hanya saja para tetangga selalu mengusulkan bila sudah memiliki rejeki agar segera menggelar acara adat perkawinannya, dengan
alasan supaya lebih nyaman dan lebih kepada menghargai keluarga pihak istri saja.
2. Bapak D. Aritonang Ibu L. Simamora
Bapak D. Aritonang adalah seorang petani dengan umur mencapai 45 tahun, beliau menikah dengan ibu L. Simamora 42 tahun yang memiliki
Universitas Sumatera Utara
46 pekerjaan sebagai pedagang. Keluarga bapak Aritonang sudah menikah selama
20 tahun lamanya dan telah dikaruniai 4 orang anak. Perkawinan yang dilakukan oleh Bapak Aritonang ini adalah perkawinan tanpa adat disebabkan oleh keluarga
dari pihak Ibu Simamora tidak merestui pernikahan mereka. Bapak Aritonang berpendapat perkawinan itu adalah perkawinan yang memiliki nilai yang sangat
sakral keberadaannya, sebuah pernikahan tidak dapat dinilai dengan seberapa besar adat yang dijalankan khususnya dalam tradisi Batak tetapi sejauh mana
sebuah keluarga memepertanggungjawabkan perkawinan yang dijalaninya. Bapak Aritonang berpendapat bahwa beliau adalah putra asli Batak Toba,
demikian juga halnya dengan Ibu Simamora. Mereka sangat paham dengan adat Batak. Dalam adat Batak banyak hal yang perlu dipertimbangkan terutama dalam
hal adat perkawinan, ada unsur dalihan na tolu yang dilibatkan dan banyak hal lainnya. Sebagai seorang Batak , Bapak Aritonang tidak memungkiri betapa
beliau bangga menjadi orang Batak yang sesungguhnya dan beliau mengakui bahwa ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi tradisi
Batak dan hal ini terbukti dari kenyataan bahwa orangtua dari Bapak Aritonang merupakan salah satu “Raja Adat” yang lumayan dikenal terutama di lingkungan
desanya. Bapak Aritonang memiliki alasan melakukan pernikahan tanpa prosesi
adat, disamping tidak dapat restu dari pihak istri juga faktor ekonomi yang tidak memadai. Bapak aritonang mempercayai dalam posisi perkawinan adat Batak
membutuhkan biaya yang sangat besar disamping itu prosesi perkawinan adat Batak membutuhkan waktu yang cukup lama.
Universitas Sumatera Utara
47 Tanggapan keluarga Besar Bapak Aritonang terhadap perkawinan yang
dilakukannya tanpa prosesi adat menimbulkan berbagai spekulasi antara menyetujui dan tidak,kendala inilah yang dihadapi saat ini,terutama terhadap
keluarga istri Bapak Aritonang sebagai pihak hula-hula yang seharusnya dalam unsur dalihan na tolu,pihak hula-hula yang paling dihormati somba marhula-
hula. Pada dasarnya yang menjadi kendala paling utama dalam kehidupan rumahtangga adalah kurangnya keharmonisan atau kekompakan antara
keduabelah pihak keluarga dan tidak adanya komunikasi yang baik antara keluarga karena tidak adanya campurtangan prosesi adat dalam pernikahan
sebelumnya. Pernikahan yang dilakukan dengan adat diakui lebih kepada tujuan
mempererat hubungan kekeluargaan dalam cinta kasih dan kepedulian antara orangtua , saudara dan masyarakat sekitarnya terhadap anak yang dicintainya, hal
ini dapat dilihat dari simbol pemberian “ulos” pada saat pesta adat. Sementara pernikahan tanpa adat lebih kepada pemberkatan gereja semata, lebih kepada ijin
berkat secara agama dan sedikit mengesampingkan proses adat yang berlaku baik dalam lingkungan masyarakat maupun keluarga. Dalam siklus rumahtangga yang
dijalani sehari-hari, Bapak Aritonang berpendapat tidak ada kendala maupun perbedaan yang mencolok yang dirasakan oleh keluarganya, hanya saja keakraban
antara keluarga memang beda bila dibandingkan dengan keluarga – keluarga yang menjalani prosesi adat pada saat pernikahannya.
3. Bapak P. Nainggolan Ibu D. Sianturi