Amanat Menemukan Hal-hal Menarik dari Dongeng
Pelajaran 3 Olahraga
61
Berhubung namanya dipanggil berulang kali untuk menghadap sang Ratu, akhirnya
Pagar Bumi dibangunkan oleh para pengawal Ratu itu, tetapi hasilnya tetap sia-sia. Kemu-
dian sang Ratu kembali ke ruang dalam. Setelah itu, Sang Ratu keluar sambil memba-
wa air putih yang telah diberi mantra dan reramuan, lalu dituangkan sang Ratu ke dalam
mulut Pagar Bumi. Lalu Pagar Bumi bangun dari tidurnya dan dalam keadaan sadar.
Dia sangat tercengang di kala berada di hadapan sang Ratu dan para hulubalang yang
kejam-kejam itu. Dia bertanya tentang keberadaan temannya. Para pengawal lain
menjelaskan bahwa kamu tadi tertidur lelap sampai berulang-ulang dibangunkan tetapi
masih tidur terus. Mendengarkan penjelasan ini, Pagar Bumi merasa malu sehingga dia
segera mohon izin pulang, karena niatnya telah lupa untuk berguru kepada sang Ratu
tersebut.
Sang Ratu berkata kepada para pe- ngawalnya, “Sekalipun dia tidak sempat
belajar ilmu dalam tempo waktu empat puluh hari, maka dia akan mendapatkan ilmu
kesaktian melalui lidahnya, karena telah saya beri ramuan berisi mantra gaib ke dalam
mulutnya.”
Karena itulah, Pagar Bumi dikenal sebagai si Pahit Lidah.
... Pada suatu hari si Pahit Lidah pergi
menuju Ulu menjelajahi Sungai Ogan. Dia mendekati tepi bebatuan yang tampak sebagai
tempat pemandian. Dari tempat ini terdengar bunyi gendang ditabuh bertalu-talu, ramai
sekali sorak-sorai. Laki-laki dan perempuan penuh tawa. Suara ramai itu terdengar dari
kejauhan. Si Pahit Lidah berusaha mendekati. Ternyata dari kejauhan sudah tampak sepasang
penganten diarak dengan menggunakan payung kebesaran. Penganten itu hendak
melakukan mandi pencuci diri. Mempelai putra yaitu anak raja yang baru saja menikahi
gadis cantik jelita.
Mulai dari kejauhan, si Pahit Lidah sudah bertanya, “Ada pesta apa sekarang?”
Mereka tak ada yang menjawab sama sekali. Di antara mereka tak ada yang mendengar,
sebab ramainya bersorak- sorai dan gendang bertalu-talu. Hingga si Pahit Lidah marah
sekali sambil berucap, “Kemungkinan mereka semua itu adalah batu, ditanya kok diam
saja.” Ternyata keramaian berhenti total, serta semua orang menjadi batu. Kali ini sihir si
Pahit Lidah berhasil kembali. Tempat ini sampai sekarang dinamakan Batu Raja.
Kini si Pahit Lidah terus mengembara. Setiap tiba di daerah yang dilalui, penduduk
setempat merasa takut, karena setiap bertemu dengan orang lain, si Pahit Lidah menyihirnya
menjadi batu. Orang berusaha menjauhi si Pahit Lidah, karena takut disihir menjadi batu.
Lama-kelamaan dia dijauhi orang-orang, sehingga dia hidup hanya sebatang kara. Setiap
daerah yang dilalui si Pahit Lidah, masyarakat setempat berupaya untuk membunuhnya dan
mengalahkan kesaktian yang dimilikinya.
Pada suatu hari penduduk Komering hilir minta bantuan orang sakti bernama Pu-
yung Suan. Dia memberi saran kepada pen- duduk setempat agar memberikan potongan
jala-jala di pintu masuk jalan kampung. Potongan jala itu dibakar dan abunya melekat
pada tempat itu. Setiba di daerah Komering Tengah, si Pahit Lidah melihat jala-jala yang
terdapat pada tiang-tiang bambu. Si Pahit Lidah sudah menduga bahwa daerah ini
memiliki kesaktian yang tinggi, karena jala pun bisa mereka renda dari abu. Maka, dia
membatalkan memasuki daerah itu.
Kini Si Pahit Lidah posisinya dalam keadaan tidak menentu, hingga pada suatu
ketika dia sampai di Kerajaan Tanjung Menang. Rajanya bernama Nurullah atau
Empat Mata. Si Pahit Lidah melewati kebun jeruk milik raja. Penjaga kebun jeruk itu
terdiri dari tiga puluh tentara. Dalam keadaan haus, si Pahit Lidah minta satu jeruk, tetapi
penjaga tak berani untuk memberinya, karena takut dimarahi raja. Si Pahit Lidah berkata,
“Ah, sangat kikir sekali, buah jeruk pahit begitu tidak boleh diminta.” Ternyata ke-
esokan harinya, jeruk yang ada dalam kebun itu rasanya pahit semua. Padahal, biasanya
Berbahasa dan Bersastra Indonesia 1
62
jeruk itu rasanya manis dan enak. Kemudian penjaga kebun itu menceritakan kejadian
yang telah dialami. Raja segera memerin- tahkan bala tentaranya untuk mencari si Pahit
Lidah yang telah menyihir kebunnya tadi.
Akhirnya si Pahit Lidah berhasil ditang- kap dan dibawa ke hadapan raja. Pada
mulanya dia hendak dihukum, tetapi sang raja justru dirangkul si Pahit Lidah, karena ternyata
dia adalah kakaknya sendiri. Kedua-duanya saling berangkulan, karena sudah lama sekali
tidak bertemu. Muka si Pahit Lidah sangat ceria sekali. Mulai saat itu dia diterima
sebagai anggota kerajaan, serta diberi jabatan sebagai panglima kerajaan.
Dalam kerajaan ini, si Pahit Lidah dini- kahkan dengan gadis cantik jelita, namanya
Dayang Merindu. Mereka hidup bahagia dalam anggota kerajaan. Dalam perka-
winannya, dia dikaruniai seorang anak laki- laki. Maka hidupnya bertambah bahagia.
Dengan kedamaian serta kemakmuran negeri Tanjung Menang, kini menimbulkan
kecemburuan sosial bagi negeri-negeri lain, utamanya kerajaan tetangga sendiri. Mereka
selalu mengganggu keamanan. Karena ke- rajaan yang makmur itu kini terganggu, maka
bermusyawarahlah orang-orang kerajaan dan di antara usul si Pahit Lidah yaitu memben-
dung alur Sungai Sugian. Usulan itu disetujui dan diserahkan sepenuhnya untuk memben-
dung sungai besar itu kepada si Pahit Lidah. Semua kekuatan dikerahkan. Akhirnya sungai
besar itu hampir selesai dibendung dalam jangka waktu cepat. Aliran sungai berhenti
total. Padahal, aliran sungai itu menjadi lalu lintas air yang bisa menghubungkan dari
berbagai negeri untuk berniaga. Akibatnya per- dagangan menurun drastis, bahkan sampai
berhenti, tak ada kegiatan perdagangan lagi. Kerajaan Tanjung Menang tidak terbuka untuk
dunia luar.
.... Si Pahit Lidah sudah mengira bahwa
dengan kesaktian yang dimilikinya itu, maka dia layak sebagai raja daripada saudara-
saudaranya. Ambisinya itu disampaikan terang-terangan kepada saudara-saudaranya.
Keinginan itu terhalang dan ditolak keras, sehingga terjadi perdebatan yang seru.
Berulangkali bermusyawarah, tetapi gagal tidak menemukan jalan keluar. Terakhir
diadakan adu kesaktian antara kakak dan adik. Tempat adu kesaktian itu di luar kerajaan,
yaitu di bawah pohon enau.
Pada hari yang telah ditentukan, ketujuh saudara itu berkumpul di bawah pohon enau
yang pohonnya besar dan menjulang tinggi. Dalam adu sakti ini, siapa yang menang akan
berhak menjadi Raja Tanjung Menang. Adu kesaktian dimulai. Yang mendapat giliran
untuk diuji saktinya, yaitu si Empat Mata. Sementara si Pahit Lidah memanjat pohon
yang tinggi itu sambil menjatuhkan tandanan dan buah itu ke bawah tanah. Si Empat Mata
berbaring di bawah pohon itu dengan dihujani tandanan buah enau. Dia siap menerima
jatuhnya tandan-tandan enau ke punggungnya.
Kelima saudaranya sebagai saksi adu kesaktian ini merasa takut serta berharap agar
si Empat Mata benar-benar selamat. Si Pahit Lidah terus-menerus menghu-
jani tandanan-tandanan besar, agar mengenai punggungnya si Empat Mata. Bahkan sampai
sepuluh kali dijatuhkan tandanan tersebut, tapi satu pun tak ada yang mengenai Empat
Mata. Itulah kesaktian dan kelebihan Empat Mata yang mampu mengecoh pandangan si
Pahit Lidah.
Si Pahit Lidah turun dari pohon enau yang tinggi itu. Kini dia mendapat giliran
berbaring di bawah pohon enau itu. Si Empat Mata naik ke pohon enau dan menjatuhkan
tandan-tandan enau. Memang disengaja si Empat Mata menjatuhkan tandanan itu tidak
ke arah punggungnya si Pahit Lidah, tetapi meleset jauh, sehingga dia tersenyum-
senyum. Kemudian berikutnya mengenai punggungnya. Dia mengeluh kesakitan, tetapi
masih berusaha menahan rasa sakitnya itu. Untuk berikutnya, si Empat Mata terus
menghujani tandan-tandan besar yang banyak buahnya hingga kelima kalinya dia tak
berdaya sampai kejatuhan keenam kalinya dia sekarat akhirnya mati.