Bercerita dengan Alat Peraga

Pelajaran 5 Kesehatan 103 leher manusia. “Inilah rubah yang baru datang. Aku ingin mendengarkan apakah pikirannya sama dengan anjing dan kudaku.” Dan manusia pun bertanya kepada si rubah. Dia menceritakan apa yang telah terjadi. Rubah menengadah, mencari pohon mana dan cabang mana yang telah mencelaka- kan srigala. “Itulah dia, pohon di sana itu” sahut Srigala. “Di cabang yang paling rendah katamu? Masa, begitu tinggi kau bisa naik?” “Ya, aku naik ke atasnya” seru Srigala. “Bagaimana mungkin?” tambah Rubah lagi. “Apalagi kata kalian, si Srigala sampai terjepit kakinya Ah, aku tidak bisa memba- yangkannya” “Tapi itu benar-benar telah terjadi” kata Srigala semakin panas hatinya. “Kalau tidak melihat sendiri, aku tidak bisa memercayai hal itu bisa terjadi.” Srigala melepaskan manusia, tegak berdiri, bulu-bulunya mengembang. Dengan geram dia berkata, “Apakah itu berarti bahwa kau menganggapku sebagai pendusta?” “Jangan salah paham Cobalah kau tempatkan dirimu di pihakku. Tentulah kau tidak akan semudah itu memercayai cerita yang aneh. Masa, Srigala dapat naik ke cabang itu Meskipun kelihatan rendah, tetapi memerlukan kesigapan buat mencapainya.” Tanpa menunggu kalimat atau kata-kata lain, srigala telah melompat, naik ke dahan yang menjadi pembicaraan. “Begini” seru- nya. “Sekarang apakah kau percaya?” si Rubah tampak terperanjat. “Aaaaah, hebat Lalu bagaimana ka- kimu terjepit?” Srigala menempatkan satu kakinya ke dalam retakan kayu. “Begini,” katanya lagi. Dan tiba-tiba dia tergelincir, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Sekali lagi dia tergantung, kepala di bawah, satu kaki di antara jepitan cabang. “Nah, sekarang aku percaya bagaimana kau bisa naik dan terjepit di atas pohon” kata si Rubah. Srigala menjerit dan berteriak. Tak seorang pun memerhatikannya. Manusia menoleh kepada Rubah, katanya “Aku ber- terima kasih kepadamu, hai, Rubah. Apakah yang dapat kuberikan kepadamu sebagai ganti pertolonganmu?” “Oooh, kalau memang kau hendak menyenangkan hatiku, bawakanlah aku satu karung penuh dengan ayam yang gemuk.” Keesokan harinya, manusia datang ke tempat perjanjian. Dia meletakkan karung yang dijinjing di punggung. “Inilah yang kauminta,” katanya. “Hanya ada suara seekor ayam” sahut Rubah. “Ya, yang lain kupukuli supaya tidur. Habis, suaranya ribut sekali.” Rubah mende- katkan moncong ke lubang karung. “Hmmmmm, bau ayam Sedap sekali” “Akan lebih keras lagi baunya di sebelah dalam” kata manusia sambil membuka karung lebih lebar. Dan si Rubah memasuk- kan setengah moncongnya ke lubang. Lebih ke dalam lagi Si Rubah bergerak, badannya turut menyelonong ke dalam karung. Seketika itu terdengar suara perangkap yang tertutup. Mulutnya terjebak, tidak bisa berkata-kata lagi. Hanya badannya menggeliat, kakinya mencakar. Tetapi manusia segera menutup karung rapat-rapat. Dia menuju pulang. Hatinya puas. Dia akan bisa membawa da- ging dan bulu rubah yang berharga. Sumber: Dongeng dari Prancis dalam Kumpulan Dongeng dari Mancanegara, 2003, dengan pengubahan Selesaikanlah soal-soal berikut dengan cermat 1. Jelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan sebuah cerita agar menarik 2. Tuliskan beberapa contoh alat peraga yang diperlukan dalam cerita di atas Berbahasa dan Bersastra Indonesia 1 104 Sumber: Dok. Penerbit 3. Ceritakan cerita di atas dengan alat peraga yang kamu pilih 4. Diskusikan dengan temanmu hasil penceritaanmu 5. Temukanlah kelebihan dan kekurangan dalam penceritaanmu

C. Mengomentari Buku Cerita yang Dibaca

Mengomentari buku cerita berarti mengungkapkan sesuatu berdasarkan isi buku cerita yang dibaca. Ungkapan atau komentar tersebut dapat berupa tanggapan, penilaian baikburuk, dan kesan. Untuk dapat mengomentari buku cerita, kita harus dapat memahami jalan cerita, pokok permasalahan, serta penokohan yang ada pada setiap cerita di dalam buku cerita tersebut. Dengan memahami ketiga unsur tersebut, kita akan dapat dengan mudah untuk mengomentarinya. Supaya dapat mengetahui isi buku cerita secara jelas, kalian perlu membacanya secara cermat dan teliti. Dengan demikian, kalian benar-benar dapat menangkap keseluruhan cerita. Komentar terhadap tiap-tiap cerita maupun keseluruhan cerita antara satu orang dengan orang lainnya dapat berbeda-beda. Hal ini dika- renakan adanya perbedaan apresiasi atau penilaian, sudut pandang, pengalaman, perasaan, dan selera setiap orang terhadap suatu cerita. Hal yang dapat dikomentari dalam sebuah buku cerita meliputi berikut.

1. Variasi isi cerita

Komentar yang berkenaan dengan variasi isi cerita yaitu bahwa dalam sebuah buku cerita yang baik memiliki berbagai variasi, yang meliputi variasi tema, bentuk cerita, model cerita, dan latar belakang cerita.

2. Unsur intrinsik

Komentar terhadap sebuah buku cerita dapat disampaikan berkenaan dengan unsur intrinsik setiap cerita yang ada di dalamnya. Sebagaimana telah kalian pelajari bahwa unsur intrinsik 1. Ingat-ingatlah sebuah dongeng 2. Jika kamu tidak ingat, kamu dapat membaca buku dongeng kembali 3. Pahamilah isi dongeng tersebut 4. Ceritakanlah kisah dongeng tersebut di depan kelas dengan alat peraga dengan baik TAGIHAN Tujuan Pembelajaran Tujuan belajar kalian adalah dapat menentukan isi buku cerita dan mengomentari buku cerita yang dibaca. Pelajaran 5 Kesehatan 105 sebuah cerita meliputi tema, amanat, alur, setting, gaya bahasa, penokohan, dan sudut pandang.

3. Kebahasaan

Komentar berkenaan dengan aspek kebahasaan, yaitu berhubungan dengan bahasa yang digunakan oleh penyusun buku cerita. Buku cerita yang baik akan menyajikan cerita dengan bahasa yang menarik, jelas, komunikatif, dan tidak membosankan. Bacalah cerita berikut Si Tukang Cerita Dahulu di sebelah timur Kota Baghdad, ada seorang lelaki tua yang bodoh, karena kebodohannya ia disebut Pak Pandir. Begitu bodohnya ia, sehingga selalu percaya pada perkataan semua orang. Bahkan anak-anak kecil pun ia percayai omongannya. Pada suatu hari ia ingin menjual kambingnya ke Kota Baghdad. Pada masa itu, orang-orang miskin harus berjalan berhari-hari untuk mencapai Kota Baghdad. Karena bodoh atau pandir, ia jadi repot sekali jika hendak bepergian. Repot menyiap- kan bekal perjalanan. Ia harus menghitung baju, makanan, dan minuman yang harus dibawa. Ia memerlukan waktu seminggu untuk menyiapkan bekalnya. Sesudah itu, bekalnya dimasukkan ke dalam karung. Dan karung itu dinaikkan ke punggung keledai. Kambingnya diikatkan ke ekor keledai dan di leher si kambing digantungkan sebuah lonceng. “Sambil berjalan aku bisa mendengar bunyi lonceng itu,” pikir Pak Pandir. “Jika lonceng masih tetap berbunyi, itu tandanya tak ada yang mencuri kambingku. Nah, bukankah akalku cukup cerdik. Hanya orang lain saja yang menganggapku bodoh.” Pada waktu itu penduduk negeri belum sebanyak sekarang. Daerah-daerah yang menghubungkan satu desa dengan desa lainnya masih sepi, liar, dan penuh bahaya. Pak Pandir pun berang- kat. Di tempat yang sunyi, tiga perampok sudah mengha- dang. Mereka menunggunya lewat. “Aku akan merampok kambingnya,” kata perampok pertama. “Kalau begitu aku ke- ledainya,” kata perampok kedua. Perampok yang ketiga mendengus kecewa. “Tinggal baju kumalnya itu yang masih bisa kurampas,” katanya. Perampok pertama menunggu sampai Pak Pandir mendaki lereng yang cukup curam. Kemudian ia mengendap-endap dari balik se- mak. Diguntingnya tali pengikat kambing dengan ekor keledai dan dipindahkannya lonceng itu ke ekor keledai. Lalu ia bersem- bunyi lagi. Pak Pandir terus melangkah dengan riang. Pikirnya, selama lonceng itu masih berbunyi, berarti kambingnya masih ada. Beberapa saat kemudian ia menoleh dan terkejut sekali waktu melihat kambingnya tak ada lagi. Barulah Pak Pandir tahu, lonceng itu ternyata diikatkan ke ekor keledai. Ia sadar ... ia telah tertipu. Dia menangis keras-keras. Pada waktu itu datang seorang laki-laki mendekatinya. Dialah perampok yang kedua. “Ada apa, Pak Tua?” tanyanya. “Mengapa Anda menangis dan berteriak-teriak begitu?” “Kambingku Mula-mula ada. Sekarang tidak ada. Pasti ada yang mengambilnya,” keluh Pak Pandir. Berbahasa dan Bersastra Indonesia 1 106 “Astaga” kata si perampok. “Untung bertemu denganku, Pak. Beberapa saat lalu aku bertemu dengan seorang laki-laki menarik- narik seekor kambing. Nampaknya kambing itu enggan mengikutinya. Di balik rumpun pohon itu. Jika Anda lari, pasti Anda dapat menangkapnya.” “Terima kasih,” kata Pak Pandir. Wajah- nya berseri kembali. “Aku akan mengejarnya. Tolonglah jaga keledaiku ini sementara aku pergi.” “Baiklah,” kata si perampok kedua. Dipeganginya tali keledai. Pak Pandir segera lari ke arah rumpun pohon. Tentu saja tak ada siapa-siapa. Kemu- dian, ketika ia dengan napas tersengal-sengal sampai ke tempat kawan barunya yang diting- gal tadi, orang itu telah menghilang bersama keledainya. Pak Pandir menangis menjerit-jerit menjambaki rambutnya. Tapi tak ada guna- nya. Kambingnya telah hilang. Keledainya dan bekal makanan serta pakaiannya juga telah lenyap. Tak ada yang dapat dikerjakan- nya selain balik ke desanya lagi. Ia harus kembali menempuh jalan jelek yang berdebu itu. Matahari bersinar terik. Pak Pandir lega ketika sampai ke dekat sebuah perigi. Di dekat perigi itu duduk seorang laki- laki yang sedang menangis meraung-raung sambil menarik-narik rambutnya. Persis ia sendiri tadi. “Celaka Sial” tangis orang itu. Pak Pandir datang mendekatinya dan bertanya. “Mengapa?” “Aku terjerat kesulitan yang paling rumit di dunia,” tangis yang ditanya. Pak Pandir hampir-hampir tak percaya pada pendengarannya. Dia tak bisa membayangkan, masih ada yang lebih celaka lagi dibandingkan dengan dirinya. Tapi dengan sabar ia mendengarkan juga. “Aku membungkuk ke dalam perigi, maksudku mau mengambil air,” kata orang itu. “Tahu-tahu, kantung permata yang kubawa jatuh ke dalam perigi. Padahal, permata-permata itu milik Khalifah. Jika aku pergi menghadap dan menceritakan yang sebenarnya, Khalifah takkan percaya dan akan memasukkan aku ke dalam penjara.” Pak Pandir mengangguk-angguk. “Ya, memang rumit,” katanya. “Menga- pa tidak kau ambil saja kantung itu? Kau pasti dengan mudah bisa menemukannya.” “Oh, aku tidak bisa berenang. Aku takut tenggelam dalam perigi,” kata si perampok ketiga. “Kecuali permata, kantung itu juga berisi sepuluh keping uang emas. Uang itu akan kuhadiahkan kepada siapa pun yang bisa mengambilkan kantung itu.” Pak Pandir merasa tertarik. Sepuluh keping uang emas cukup untuk membeli seekor kambing, seekor keledai, makanan, pakaian, dan masih akan tersisa banyak. “Nah, aku akan masuk ke perigi dan mencari kantungmu,” katanya. “Tapi aku tak mau bajuku basah. Maukah kau menjaganya sementara aku masuk ke perigi?” “Tentu,” jawab perampok ketiga. Pak Pandir pun masuk ke dalam perigi. Air perigi itu sedingin es. Apalagi Pak Pandir baru saja berada di tempat yang sangat panas. Tentu saja, bagaimanapun telitinya ia mengaduk-aduk lumpur dalam perigi, kantung permata itu tak dapat ditemukan. Lekas-lekas ia naik kembali, tak ingin kawan barunya menunggu terlalu lama. Tak bisa ditemukan, sebab memang tak ada kantung permata yang jatuh ke dalam sumur. Di atas tak ada seorang pun yang menunggunya. Pakaiannya pun telah lenyap. Beberapa saat kemudian, barulah ia sadar bahwa ia telah tertipu. Dengan sangat mendongkol ia berlari pulang. Sepanjang jalan dia berteriak-teriak menceritakan kisah malangnya kepada siapa pun yang mau mendengar.