Unsur intrinsik Mengomentari Buku Cerita yang Dibaca
Berbahasa dan Bersastra Indonesia 1
106
“Astaga” kata si perampok. “Untung bertemu denganku, Pak. Beberapa saat lalu
aku bertemu dengan seorang laki-laki menarik- narik seekor kambing. Nampaknya kambing
itu enggan mengikutinya. Di balik rumpun pohon itu. Jika Anda lari, pasti Anda dapat
menangkapnya.”
“Terima kasih,” kata Pak Pandir. Wajah- nya berseri kembali. “Aku akan mengejarnya.
Tolonglah jaga keledaiku ini sementara aku pergi.”
“Baiklah,” kata si perampok kedua. Dipeganginya tali keledai. Pak Pandir segera
lari ke arah rumpun pohon. Tentu saja tak ada siapa-siapa. Kemu-
dian, ketika ia dengan napas tersengal-sengal sampai ke tempat kawan barunya yang diting-
gal tadi, orang itu telah menghilang bersama keledainya.
Pak Pandir menangis menjerit-jerit menjambaki rambutnya. Tapi tak ada guna-
nya. Kambingnya telah hilang. Keledainya dan bekal makanan serta pakaiannya juga
telah lenyap. Tak ada yang dapat dikerjakan- nya selain balik ke desanya lagi.
Ia harus kembali menempuh jalan jelek yang berdebu itu. Matahari bersinar terik. Pak
Pandir lega ketika sampai ke dekat sebuah perigi. Di dekat perigi itu duduk seorang laki-
laki yang sedang menangis meraung-raung sambil menarik-narik rambutnya. Persis ia
sendiri tadi.
“Celaka Sial” tangis orang itu. Pak Pandir datang mendekatinya dan bertanya.
“Mengapa?” “Aku terjerat kesulitan yang paling
rumit di dunia,” tangis yang ditanya. Pak Pandir hampir-hampir tak percaya
pada pendengarannya. Dia tak bisa membayangkan, masih ada
yang lebih celaka lagi dibandingkan dengan dirinya. Tapi dengan sabar ia mendengarkan
juga. “Aku membungkuk ke dalam perigi,
maksudku mau mengambil air,” kata orang itu. “Tahu-tahu, kantung permata yang
kubawa jatuh ke dalam perigi. Padahal, permata-permata itu milik Khalifah. Jika aku
pergi menghadap dan menceritakan yang sebenarnya, Khalifah takkan percaya dan akan
memasukkan aku ke dalam penjara.”
Pak Pandir mengangguk-angguk. “Ya, memang rumit,” katanya. “Menga-
pa tidak kau ambil saja kantung itu? Kau pasti dengan mudah bisa menemukannya.”
“Oh, aku tidak bisa berenang. Aku takut tenggelam dalam perigi,” kata si perampok
ketiga. “Kecuali permata, kantung itu juga berisi sepuluh keping uang emas. Uang itu
akan kuhadiahkan kepada siapa pun yang bisa mengambilkan kantung itu.”
Pak Pandir merasa tertarik. Sepuluh keping uang emas cukup untuk membeli
seekor kambing, seekor keledai, makanan, pakaian, dan masih akan tersisa banyak.
“Nah, aku akan masuk ke perigi dan mencari kantungmu,” katanya.
“Tapi aku tak mau bajuku basah. Maukah kau menjaganya sementara aku
masuk ke perigi?” “Tentu,” jawab perampok ketiga. Pak
Pandir pun masuk ke dalam perigi. Air perigi itu sedingin es. Apalagi Pak
Pandir baru saja berada di tempat yang sangat panas. Tentu saja, bagaimanapun telitinya ia
mengaduk-aduk lumpur dalam perigi, kantung permata itu tak dapat ditemukan. Lekas-lekas
ia naik kembali, tak ingin kawan barunya menunggu terlalu lama.
Tak bisa ditemukan, sebab memang tak ada kantung permata yang jatuh ke dalam
sumur. Di atas tak ada seorang pun yang menunggunya. Pakaiannya pun telah lenyap.
Beberapa saat kemudian, barulah ia sadar bahwa ia telah tertipu. Dengan sangat
mendongkol ia berlari pulang. Sepanjang jalan dia berteriak-teriak
menceritakan kisah malangnya kepada siapa pun yang mau mendengar.
Pelajaran 5 Kesehatan
107
Sumber: Dok. Penerbit
Contoh komentar yang dapat disampaikan terhadap cerita di atas yaitu berikut.
1. Tema dalam cerita tersebut sudah biasa digunakan dalam cerita-cerita anak. Namun demikian, pengemasan cerita
dengan tokoh dan jalan cerita tersebut menjadikan cerita tersebut menarik dan asyik.
2. Gaya bahasa yang digunakan pengarang tidak terlalu istimewa. Pemilihan katanya cenderung biasa-biasa saja,
yaitu bahasa keseharian dan bukan bahasa yang penuh dengan ungkapan. Hal tersebut justru menjadikan cerita di
atas mudah dipahami isinya.
Uji Kemampuan 3
Bacalah cerita “Pangeran dan Kuda Api” dengan cermat
Para tetangga menganggap pengalaman- nya itu lucu sekali. Setiap malam, bergantian
mereka mengundang Pak Pandir untuk makan malam sambil mengisahkan pengalamannya.
Para tetangganya itu tertawa terpingkal- pingkal saat Pak Pandir bercerita.
Sumber: Dongeng dari Irak dalam Kumpulan
Dongeng dari Mancanegara, 2003
Pangeran dan Kuda Api
Di pedalaman Rusia bekas Uni Soviet, dahulu diperintah seorang raja yang kaya dan
sangat berkuasa. Kekayaannya didapat dari tambang batu bara, perak, dan permata,
sehingga rakyatnya hidup makmur penuh kedamaian. Tapi sang Raja merasa gundah
gulana, soalnya permaisurinya hingga kini belum melahirkan anak. Padahal, mereka
sudah lama menikah.
Namun, dengan sabar sang Raja me- nunggu. Akhirnya penantiannya tidak sia-sia.
Setelah bertahun-tahun, Permaisuri Sophie melahirkan bayi laki-laki yang sehat dan
tampan. Anak itu diberi nama Pangeran Arran.
Raja dan permaisuri sangat bahagia. Di seluruh negeri diadakan pesta, hadiah-hadiah
dibagikan. Seisi negeri ikut bergembira. Sayang, ada satu orang yang tidak puas. Dia
adalah sepupu Raja, namanya Gubernur Olaf. Sebelum Pangeran Arran lahir, Gubernur Olaf
adalah calon pewaris tahta. Sejak kelahiran Putra Mahkota, kedudukan Gubernur Olaf
tergeser. Dia bukan lagi pewaris tunggal tahta kerajaan. Iri hati dan dengki meracuni hati
Guberbur Olaf. Dari hari ke hari, Putra Mahkota tumbuh makin besar, tampan, dan
pandai. Namun, Pangeran Arran semakin dibenci oleh Gubernur Olaf.
... Pada suatu malam, Gubernur Olaf
menculik putra mahkota dan melarikannya ke gunung. Gubernur yang licik itu pun
meninggalkan putra mahkota yang masih kecil di lereng gunung terpencil, lalu kembali
ke istana. Bangsawan itu tidak tahu bahwa gunung itu adalah tempat tinggal Kuda
Bersayap Api. Binatang ajaib ini mempunyai sayap, ekor, dan surai yang selalu menyala
seperti api. Dia selalu berkeliaran menjelajah celah-celah pegunungan. Kuda itu merasa iba
melihat Pangeran Arran. Digendongnya