Kebudayaan Parokial-Partisipan Tipe-tipe Budaya Politik
24 Ketegangan antara budaya feodalistik dan budaya demokrasi yang
dikembangkan tergambarkan dari perdebatan berikut ini. Misalnya, perdebatan antara dr. Soetatmo dengan dr. Tjipto Mangunkusumo tentang ikrar berbangsa satu bangsa
Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia Sumpah Pemuda 1928, pada tahun 1932. “dr. Soetatmo mengatakan, nanti kalau kita terlepas dari kolonial, kita akan mendirikan
kerajaan Jawa. Sedangkan dr. Tjipto justru akan menciptakan mendirikan Indonesia Raya dari Sabang sampai Merauke”. Dengan kata lain, Soetatmo lebih melihat
kenyataan bahwa dari segi budaya, budaya Jawa lebih mendominasi sejak zaman pergerakan nasional. Sedangkan Tjipto, melihat dari segi ideal dari kepentingan politik
bahwa sebagai masyarakat majemuk Indonesia lebih tepat dikembangkan sebagai negara kesatuan yang menjunjung tinggi kemajemukan. Negara yang menjunjung tinggi
kemajemukan adalah negara demokratis.
14
Dengan demikian dapat dinyatakan, meskipun dalam masyarakat Indonesia sebelum kemerdekaan telah memiliki potensi budaya politik demokrasi atau tipe budaya
politik partisipan, tetapi juga masih dibarengi dengan kuatnya paham feodal feodalisme. Paham feodal merupakan kendala bagi mengembangnya tipe budaya
politik partisipan dalam masyarakat. Sebaliknya menjadi lahan yang subur bagi berkembangnya masyarakat berbudaya politik subyek, karena hubungan yang
berkembang bersifat tuan dengan kaula. Begitu pula feodalisme dapat mendorong berkembangnya tipe budaya politik parokhial, karena masyarakat dikelompokkan atas
“wong gede” dengan “wong cilik”. Solidaritas kelompok yang kuat dapat mendorong peran politik yang berkembang hanya sebatas berorientasi kepada ikatan kelompok.
15
Meskipun sebelum merdeka sudah dikenal budaya demokrasi, tetapi terbatas pada tataran masyarakat desa dan sebatas sebagai nilai-nilai sosial, bukan merupakan
budaya politik sebab pada tataran penguasa, raja yang berlaku budaya feodalistik. Budaya bangsa yang sangat berpengaruh secara menonjol adalah budaya jawa yang
dikembangkan dari konsep kaula gusti. Konsep kaula gusti sangat hierarkis, lapisan masyarakat dibagi atas wong cilik orang biasa dan penggede golongan penguasa,
yang berakibat pada terjadinya perbedaan hak dan kewajiban, dan perbedaan ini bersifat pinesti ditentukan atau merupakan takdir. Budaya yang lahir dari konsep kawula gusti
bersifat feodalistik, tidak demokratis.
16
Dalam proses selanjutnya, budaya keraton yang feodalistiklah yang berkembang sebagai budaya nasional, bukan budaya desa. Sehingga tidak berkelebihan jika
Soetandyo Wignyosoebroto sampai pada pendapat bahwa “Indonesia suatu negeri yang
14
Ibid. hlm. 7 – 8
15
Ibid. hlm.8
16
Ibid. hlm.8
25 bersungguhnya tak memiliki tradisi demokrasi dengan kebebasan para warga
masyarakat untuk mengeluarkan opini-opini guna mencadangkan alternatif-alternatif yang melawan kemapanan, dan untuk bersikat guna menggalang sinergi yang akan
merealisasi opini-opini alternatif itu. Selain itu, Indonesia adalah suatu negeri yang sesungguhnya tak memiliki tradisi kulture politik yang egalitarian dengan hak-hak
warga masyarakat untuk secara asasi diperlukan tanpa diskriminasi apapun”.
17
Apa yang dikemukakan Soetandyo diatas, tampak pada ketegangan ketika para pendiri negara founding fathers menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka.
Ketegangan yang dimaksud antara lain, tampak pada pemikiran yang mengehendaki negara dominan diwakili Soekarno dan Soepomo, dengan yang berorientasi warga
negara yang kuat diwakili Hatta dan Yamin. Pemikiran Soepomo tersebut, tergambar pada konsep negara integralistik. “Konsep negara Integralistik diuraikan dengan
menggunakan metafora keluarga, dan pada kenyataannya memang disebut dengan negara keluarga. Dalam keluarga ideal, anak-anak dipelihara dan dilindungi oleh orang
tua dengan penuh rasa kasih sayang, mereka tidak memerlukan perlindungan hak-hak asasi mereka terhadap orang tua. Dalam negara integralistik yang diajukan oleh
Soepomo pada tahun 1945, rakyat tidak membutuhkan hak-hak asasi. Hak-hak tersebut dianggap sebagai perwujudan pemikiran individualistik yang menentang semangat
kebersamaan keluarga”. Pergumulan tersebut, berakhir dengankompromi. Hal itu, terlihat pada kandungan konstitusi UUD 1945 yang menempatkan negara pada posisi
yang kuat, misalnya menganut sistem presidensil, dan eksekutif memiliki wewenang bersama legislatif dalam membuat UU dan dimasukkannya hak dan kewajiban warga
negara atau hak asasi manusia. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa yang diidealnya adalah negara yang kuat, harus tetap menjamin hak asasi manusia
“HAM”. Konsekuensi atas dijaminnya HAM, maka berrarti tidak lagi dikenal diskriminasi atau antar gusti kawula lagi, tetapi yang ada adalah kedudukan mereka
yang baru sebagai warga negara yang sama derajatnya egalitarian.
18
Soepomo mengatakan, sesungguhnya “.....telah meninggalkan pikiran negara persatuan negara menyatu dengan masyarakat sebagai kesatuan yang menyeluruh atau
negara kekeluargaan family state ketika dia terlibat dalam penyusunan UUD 1945 dan juga ketika memimpin panitia perancang UUD 1950 dengan tugas memasukkan esensi
dari UUD 1945 kedalam UUD yang baru”. Selanjutnya Adnan Buyung Nasution 1995 menyatakan “kita bisa menduga bahwa waktu itu Soepomo telah belajar dari
pengalaman selama adanya negara Indonesia bahwa penyalahgunaan kekuasaan dan
17
Ibid. hlm.8 – 9
18
Ibid. hlm.9