Perkembangan Budaya Politik dalam Masyarakat Indonesia
25 bersungguhnya tak memiliki tradisi demokrasi dengan kebebasan para warga
masyarakat untuk mengeluarkan opini-opini guna mencadangkan alternatif-alternatif yang melawan kemapanan, dan untuk bersikat guna menggalang sinergi yang akan
merealisasi opini-opini alternatif itu. Selain itu, Indonesia adalah suatu negeri yang sesungguhnya tak memiliki tradisi kulture politik yang egalitarian dengan hak-hak
warga masyarakat untuk secara asasi diperlukan tanpa diskriminasi apapun”.
17
Apa yang dikemukakan Soetandyo diatas, tampak pada ketegangan ketika para pendiri negara founding fathers menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka.
Ketegangan yang dimaksud antara lain, tampak pada pemikiran yang mengehendaki negara dominan diwakili Soekarno dan Soepomo, dengan yang berorientasi warga
negara yang kuat diwakili Hatta dan Yamin. Pemikiran Soepomo tersebut, tergambar pada konsep negara integralistik. “Konsep negara Integralistik diuraikan dengan
menggunakan metafora keluarga, dan pada kenyataannya memang disebut dengan negara keluarga. Dalam keluarga ideal, anak-anak dipelihara dan dilindungi oleh orang
tua dengan penuh rasa kasih sayang, mereka tidak memerlukan perlindungan hak-hak asasi mereka terhadap orang tua. Dalam negara integralistik yang diajukan oleh
Soepomo pada tahun 1945, rakyat tidak membutuhkan hak-hak asasi. Hak-hak tersebut dianggap sebagai perwujudan pemikiran individualistik yang menentang semangat
kebersamaan keluarga”. Pergumulan tersebut, berakhir dengankompromi. Hal itu, terlihat pada kandungan konstitusi UUD 1945 yang menempatkan negara pada posisi
yang kuat, misalnya menganut sistem presidensil, dan eksekutif memiliki wewenang bersama legislatif dalam membuat UU dan dimasukkannya hak dan kewajiban warga
negara atau hak asasi manusia. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa yang diidealnya adalah negara yang kuat, harus tetap menjamin hak asasi manusia
“HAM”. Konsekuensi atas dijaminnya HAM, maka berrarti tidak lagi dikenal diskriminasi atau antar gusti kawula lagi, tetapi yang ada adalah kedudukan mereka
yang baru sebagai warga negara yang sama derajatnya egalitarian.
18
Soepomo mengatakan, sesungguhnya “.....telah meninggalkan pikiran negara persatuan negara menyatu dengan masyarakat sebagai kesatuan yang menyeluruh atau
negara kekeluargaan family state ketika dia terlibat dalam penyusunan UUD 1945 dan juga ketika memimpin panitia perancang UUD 1950 dengan tugas memasukkan esensi
dari UUD 1945 kedalam UUD yang baru”. Selanjutnya Adnan Buyung Nasution 1995 menyatakan “kita bisa menduga bahwa waktu itu Soepomo telah belajar dari
pengalaman selama adanya negara Indonesia bahwa penyalahgunaan kekuasaan dan
17
Ibid. hlm.8 – 9
18
Ibid. hlm.9
26 pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM ternyata dapat juga dilakukan oleh orang-
orang Indonesia”.
19
Namun, paham negara integralistik dalam perkembangannya masih cukup kuat berpengaruh dalam pemikiran politik penguasa di Indonesia, terutama ketika era orde
baru. Adnan Buyung Nasution 1995, menyatakan konsep negara integralistik merupakan pengingkaran terhadap hakikat permasalahan negara konstitusional, yaitu
bahwa kekuasaan pemerintah pada hakikatnya selalu menjadi masalah dan ini berlaku universal, yang menurut cara-cara khusus dibawah kondisi-kondisi modern untuk
mencegahnya menjadi sewenang-wenang despostis. Dengan kata lain, bahwa negara integralistik dimanapun cenderung berkembang menjadi negara yang otoriter yang
sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
20
Memang diakui pada awal perjalanan negara Indonesia merdeka, ada kecenderungan budaya demokratis yang lebih berkembang dengan berlakunya
demokrasi parlementer. Akan tetapi hal itu berjalan tidak begitu lama, bukan karena tidak cocoknya budaya demokrasi tetapi lebih disebabkan karena orang-orang partai
politik, lebih berorientasi kepada kepentingan kelompok dari pada kepentingan rakyat banyak dan juga karena jatuh bangunnya pemerintah pada periode demokrasi
parlementer yang dianggap sebagai cermin semakin melemahnya negara. Kondisi ini kemudian memunculkan kehendak terutama dari pemerintah yang berorientasi perlunya
mengembangkan negara yang kuat. Orientasi pada negara yang kuat inilah yang pada akhirnya melahirkan demokrasi terpimpin.
21
Demokrasi terpimpin merupakan pemikiran tentang manunggalnya demokrasi dengan kepemimpinan. Pemikiran tersebut dapat dipahami dari pandangan Soetadmo
1888 – 1924. Yang menyatakan “agar tercapai masyarakat sama rata sama rasa tanpa
merusak tata tentran karta raharja, demokrasi harus disertai kebijaksanaan demokrasi demokrasi enwijsheid. Demokrasi terpimpin membenarkan penolakan sistem
parlementer dengan asumsi bahwa melawan pemerintah sama dengan menentang ayah sendiri. Konsep negara integralistik inilah yang akhirnya menggeser konsep negara
konstitusional yang diperjuangkan oleh konstituante dengan segala kekurangannya”.
22
Dengan demikian, pada masa demokrasi terpimpin budaya feodalistik memperoleh persemaian yang subur. Kondisi ini, berkelanjutan pada masa ode baru
dimana lembaga kepresidenan sangat dominan bahkan ada kesan sakral dari kritik dan kontrol rakyat.
23
19
Ibid. hlm.9
20
Ibid. hlm.10
21
Ibid. hlm.10
22
Ibid. hlm.10
23
Ibid. hlm.11
27 Pada masa orde baru budaya politik yang berupa pola hubungan patron-client
sangat menonjol. Pola hubungan patron-client terjadi interaksi yang bersifat timbal balik resiprokal dengan saling mempertukarkan sumberdaya masing-masing. Patron
memiliki sumberdaya yang berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan, dan tidak jarang pula sumberdaya berupa materi harta kekayaan, tanah garapan, dan uang. Sementara
client memiliki sumberdaya berupa tenaga, dukungan, dan loyalitas. Pola hibungan patron-client akan tetap terpelihara selama masing-masing pihak masih tetap memiliki
sumberdaya tersebut. Dalam hungan yang demikian sulit berkembang budaya politik demokrasi budaya politik partisipan, karena rakyat lebih berposisi sebagai objek
ketimbang subjek dan hubungan yang demikian yang bersifat tidak egaliter tetapi hierarkis.
24
Pada era reformasi, dengan amandemen UUD 1945 maka pengembangan kelembagaan negara teruatama antara eksekutif dengan legislatif dikembangkan pada
posisi yang sama kuat. Kelembagaan negara untuk mendukung negara demokrasi dan negara hukum juga berkembang dengan pesat. Dewasa ini kita mengenal: Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Ombusman Nasional.
25
Tipe budaya Parokhial dan tipe budaya subyek yang berkembang secara dominan pada masa sebelum era reformasi mulai bergeser kearah berkembangnya tipe
budaya politik partisipan. Bukti kearah berkembangnya tipe budaya politik partisipan dalam masyarakat dewasa ini, antara lain ditandai dengan maraknya partisipasi
masyarakat dalam meberikan input terhadap berbagai RUU. Seperti input dalam terhadap RUU perlindungan terhadap saksi, RUU penyiaran, RUU anti pornografi dan
porno aksi, dan sebagainya. Begitu pula berbagai kritik, protes kepada kebijakan ketika menaikkan BBM, impor beras, dan sebagainya.
26
24
Ibid. hlm.11
25
Ibid. hlm.12
26
Ibid. hlm.12
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN RPP
Ke – III
S.K. 1. Menganalisis Budaya Politik di Indonesia
K.D. 1.3. Mendeskripsikan pentingnya
sosialisasi pengembangan budaya politik
Mahasiswa; Septi Wulandari
13401241056
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 20162017
2
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN RPP
Nama Sekolah : SMA Negeri 1 Pengasih
Mata Pelajaran : Pendidikan Kewarganegaraan
PKn Materi Pokok
: BUDAYA POLITIK -
Sosialisasi Politik
Kelas Semester : XI IPA 1 1
Alokasi Waktu : 2 JP 2 x 45 menit