Karakterisasi Bahan Baku Olein dan ME Olein

basa dan asam lemak bebas yang tinggi. Sabun yang terbentuk dapat mengganggu proses pemisahan antara produk utama yaitu metil ester dengan produk samping yaitu gliserol, sehingga menyebabkan rendahnya rendemen metil ester yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis, kadar asam lemak bebas pada bahan baku olein cukup rendah, yaitu 0,19. Berdasarkan kandungan asam lemak bebas olein sawit yang kurang dari 2, maka untuk mengkonversi olein sawit menjadi metil ester hanya diterapkan satu tahapan reaksi, yaitu proses transesterifikasi menggunakan metanol dan katalis basa. Tabel 9. Hasil analisis olein dan ME olein sawit Analisis Satuan Olein ME Olein Asam Lemak Bebas 0,19 0,13 Bilangan Asam mg KOHg 0,41 0,94 Bilangan Iod mg Iodg 61,93 61,77 Bilangan Penyabunan mg KOHg 208,40 207,63 Densitas gcm 3 0,906 0,8718 Viskositas 29 o C cP 61,5 - Kadar Air 0,103 0,13 Fraksi tak tersabunkan 0,38 0,14 Kadar Gliserol Total -massa - 0,06 Kadar Ester -massa - 95,55 Asam lemak : a. Asam lemak jenuh - Laurat - Miristat - Palmitat - Stearat b. Asam lemak tidak jenuh - Oleat - Linoleat - Linolenat 0,147 0,909 40,207 1,294 43,901 11,897 0,852 Semakin sedikit asam lemak bebas yang terkandung pada bahan baku olein berkorelasi dengan semakin rendahnya bilangan asam. Hal ini karena bilangan asam merupakan jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak Ketaren, 1986. Mengingat asam lemak bebas olein cukup rendah, maka jumlah mg KOH untuk menetralkan asam lemak tersebut semakin sedikit, sehingga pada perhitungan dihasilkan nilai bilangan asam yang rendah sebesar 0,41 mg KOHg sampel dan kadar asam lemak bebasnya sebesar 0,19. Bilangan iod menunjukkan derajat ketidakjenuhan minyak, yang dinyatakan sebagai jumlah iod yang dapat diikat oleh minyak. Ketidakjenuhan minyak menandakan keberadaan ikatan rangkap yang menyusun rantai karbon asam lemak. Semakin tinggi tingkat ketidakjenuhan minyak, maka semakin besar kemungkinan ikatan rangkap tersebut dapat mengikat iod sehingga semakin tinggi pula nilai bilangan iod yang dihasilkan. Bilangan iod tidak berpengaruh terhadap proses transesterifikasi namun dapat menentukan karakteristik metil ester yang dihasilkan dan keberhasilan proses konversi yang dilakukan. Metil ester dari minyak tidak jenuh kurang stabil terhadap oksidasi, karena menurut Sanford et al. 2009 stabilitas terhadap oksidasi ditentukan oleh dua aspek yaitu keberadaan atom hidrogen pada ikatan rangkap yang merupakan titik terjadinya oksidasi dan adanya antioksidan alami pada minyak yang dapat mencegah oksidasi pada molekul trigliserida. Proses transesterifikasi hanya berfungsi untuk mengubah - OH menjadi -OCH 3 pada gugus karboksil, dan tidak menyebabkan perubahan struktur molekul rantai karbon, sehingga tidak akan terjadi perubahan ikatan rangkap. Bilangan iod bahan baku olein yang dihasilkan 61,93 mg iodg sampel. Nilai ini mendekati kisaran bilangan iod minyak sawit menurut Hui 1996 yaitu 44 – 54 mg iodg sampel. Bilangan penyabunan menunjukkan miligram KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu gram lemak atau minyak Ketaren, 1986. Panjang rantai karbon dalam asam lemak penyusun trigliserida dan bobot molekul trigliserida akan berpengaruh terhadap jumlah KOH yang diperlukan untuk menyabunkan molekul penyusun trigliserida. Menurut Sanford et al. 2009, semakin tinggi bilangan penyabunan suatu trigliserida menunjukkan rantai karbon asam lemak penyusun trigliserida semakin pendek. Bilangan penyabunan untuk tiap minyak memiliki nilai tertentu yang menunjukkan panjang pendeknya rantai karbon asam lemak penyusunnya, sehingga dapat digunakan sebagai parameter untuk mengidentifikasi minyak dan menunjukkan keberhasilan proses konversi yang dilakukan tidak menyebabkan perubahan struktur molekul rantai karbon. Menurut Hui 1996, bilangan penyabunan olein sawit berkisar 194 – 202 mg KOHg sampel, sementara hasil analisis bahan baku yang digunakan menunjukkan 208,40 mg KOHg sampel. Kandungan air pada bahan baku olein sawit yang digunakan cukup rendah yaitu 0,103. Nilai ini jauh lebih rendah dibanding batas toleransi kandungan air dalam bahan baku menurut Gerpen et al. 2004 yaitu maksimal 1. Perlunya batas toleransi kandungan air dalam bahan baku disebabkan karena air mampu menghidrolisis trigliserida menjadi digliserida, monogliserida dan akhirnya terbentuk asam lemak bebas. Asam lemak bebas akan bereaksi dengan katalis basa membentuk sabun. Air juga dapat bereaksi dengan katalis selama proses esterifikasitransesterifikasi membentuk sabun dan emulsi. Kehadiran asam lemak bebas, sabun dan emulsi ini dapat mengganggu kesempurnaan proses konversi karena akan terbentuk sabun yang berlebih. Sabun berlebih cenderung berbentuk gel pada suhu ruang yang menyebabkan proses pemisahan metil ester menjadi sulit dilakukan, sebagai akibatnya dihasilkan rendemen yang rendah. Biasanya proses pemanasan dilakukan pada bahan baku sebelum proses konversi dilakukan untuk mengurangi kandungan air pada bahan baku. Mengingat kandungan air pada olein yang lebih rendah dibanding batas toleransi, maka tidak perlu dilakukan proses pemanasan yang bertujuan untuk menghilangkan komponen air dari olein. Fraksi tak tersabunkan merupakan senyawa yang tidak dikehendaki dalam minyak yang harus diminimalkan keberadaannya. Fraksi tak tersabunkan terdiri dari senyawa organik seperti sterol, alkohol dengan berat molekul tinggi, pigmen, lilin dan hidrokarbon, yang tidak bereaksi dengan basa untuk membentuk sabun, bersifat sangat non polar. Karenanya fraksi tak tersabunkan ini masih mungkin terdapat pada metil ester setelah reaksi transesterifikasi dan pencucian dilakukan yang dapat mengurangi kemurnian metil ester. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai fraksi tak tersabunkan bahan baku olein sebesar 0,38. Hasil analisis komposisi asam lemak menunjukkan bahwa olein sawit dominan mengandung asam palmitat C 16:0 sebesar 40,207 dan asam oleat C 18:1 sebesar 43,901. Bila dibandingkan persentase antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh penyusun trigliserida olein, diketahui bahwa asam lemak tidak jenuh pada olein 57,10 lebih tinggi dibanding asam lemak jenuhnya 42,90. Komposisi asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi menunjukkan bahwa jumlah ikatan rangkap yang dimiliki lebih besar sehingga pada kondisi suhu ruang bahan baku olein tetap berbentuk cair. Metil ester olein sawit yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik jika dilihat dari faktor rendemen, kandungan pengotor dan struktur rantai karbonnya. Berdasarkan rendemen, metil ester olein yang dihasilkan memiliki kadar ester yang cukup tinggi yaitu 95,55 , sementara kandungan pengotornya cukup rendah yaitu kadar air 0,13, kadar gliserol total 0,06 dan fraksi tak tersabunkan 0,14. Terjadinya peningkatan kadar air dalam jumlah kecil pada ME olein terjadi selama proses transesterifikasi melalui reaksi antara katalis KOH dengan metanol dan juga dari proses pencucian untuk menghilangkan gliserol. Tahapan pengeringan air yang terbentuk dan tersisa pada metil ester dapat berlangsung dengan baik sehingga kadar air ME olein yang dihasilkan sebesar 0,13. Jika dilihat dari struktur rantai karbonnya terlihat tidak terjadi perubahan ataupun kerusakan, yang tergambarkan dari nilai bilangan iod dan bilangan penyabunan metil ester olein yang relatif sama dengan olein. Bilangan iod metil ester olein yang relatif sama dengan bilangan iod bahan baku olein yaitu sebesar 61,77 mg iodg sampel yang menunjukkan bahwa ikatan rangkap pada rantai karbon olein tidak mengalami perubahan, yang mengindikasikan tidak terjadi kerusakan berupa putusnya ikatan rangkap akibat kondisi proses transesterifikasi yang diterapkan. Bilangan penyabunan metil ester olein juga relatif sama dengan bilangan penyabunan olein yaitu 207,63 mg KOHg sampel, yang menunjukkan bahwa panjang rantai karbon penyusun asam lemak adalah tetap dan tidak mengalami proses pemutusan menjadi rantai lebih pendek. Hal ini menunjukkan bahwa reaktor transesterifikasi yang digunakan untuk mengkonversi olein menjadi metil ester olein mampu memberikan hasil konversi berupa ester yang tinggi dengan kadar gliserol total dan kadar air yang cukup rendah. Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini memiliki kesamaan dengan bahan baku minyak yang digunakan oleh Henkel dan Chengdu Nymph sebagaimana disajikan pada Tabel 4, yaitu metil ester dengan kandungan asam lemak dominan C 16:0 dan C 18:1 , dengan kedekatan nilai pada bilangan penyabunan, bilangan asam, kadar air, dan fraksi tak tersabunkan. Yang berbeda adalah pada nilai bilangan iod, dimana bilangan iod Henkel dan Chengdu Nymph lebih rendah yaitu 1,9 mg Ig ME karena telah melewati tahap hidrogenasi. Sementara bilangan iod yang digunakan pada penelitian ini berkisar 61,77 mg Iodg sampel menunjukkan bahwa ME olein bersifat tidak jenuh dan mengandung banyak ikatan rangkap.

4.2. Penentuan Lama Proses Sulfonasi Metil Ester Olein Menggunakan

Reaktor STFR Pilot plant Singletube Falling Film Sulfonation Reactor STFR berlokasi di pabrik PT Mahkota Indonesia, Pulogadung. Gas SO 3 yang digunakan diperoleh dari proses produksi H 2 SO 4 dari PT Mahkota Indonesia, melalui proses pencairan sulfur pada suhu 140-150 o C, dilanjutkan dengan pembakaran sulfur cair dengan udara kering pada suhu 600-800 o C untuk menghasilkan sulfur dioksida SO 2 . SO 2 kemudian dioksidasi dalam empat bed converter menggunakan katalis V 2 O 5 pada suhu 400-500 o C sehingga dihasilkan SO 3 berupa gas. Produksi gas SO 3 sangat tergantung pada tingkat produksi asam sulfat pada PT Mahkota Indonesia. Proses sulfonasi metil ester olein dengan gas SO 3 berlangsung secara cepat pada STFR, yang berukuran tinggi enam meter dengan diameter tabung reaktor 25 mm. Umpan metil ester olein dipanaskan pada suhu 100 o C kemudian dipompakan naik ke head reactor dengan laju 100 mlmenit atau setara dengan 5,23 kgjam, masuk ke liquid chamber membentuk lapisan film dengan ketebalan tertentu. Kontak metil ester olein dengan gas SO 3 terjadi pada puncak reaktor secara kontinyu sepanjang tabung dengan aliran laminar dan ketebalan film metil ester yang mengalir di sepanjang tabung dijaga konstan agar reaksi terjadi merata sepanjang permukaan dalam tabung. Secara umum, produk MESA dan MES yang dihasilkan berwarna gelap kehitaman. Warna hitam merupakan sifat yang dihasilkan oleh proses sulfonasi ME, terutama jika umpan ME yang digunakan mengandung asam lemak tidak jenuh akibat terbentuknya senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Pada Gambar 14 disajikan contoh surfaktan MES yang dihasilkan. Mekanisme sintesis MES dari ME yang terdiri dari ester asam lemak jenuh dan tidak jenuh melalui proses sulfonasi pada reaktor falling-film terjadi dalam beberapa tahap reaksi. Menurut Stein dan Bauman 1974 dan Ghazali 2002, MES disintesis dengan mereaksikan metil ester asam lemak dengan SO 3 hingga membentuk senyawa sulfonat. Mekanisme sintesis MES dari ME yang terdiri dari ester asam lemak jenuh melalui proses sulfonasi pada reaktor falling-film terjadi dalam beberapa tahap reaksi. Pada tahap pertama atom O pada gugus karboksil bersifat sangat elektromagnetik, menarik semua elektron ke arahnya sehingga atom C pada gugus karbonil menjadi kekurangan elektron. Atom S yang kekurangan elektron dengan mudah berikatan dengan gugus - OCH3 pada ester sehingga membentuk senyawa alfa keto enol berupa asam sulfat anhidrid a. Senyawa alfa keto enol ini bersifat sementara karena dapat mengalami toutomerisasi sehingga senyawa anhidrid ini berada dalam keadaan setimbang dengan bentuk enolnya b, dimana ketika SO 3 ditambahkan maka ikatan rangkapnya diserang oleh molekul SO 3 kedua. Molekul SO 3 terikat pada ikatan π pada ikatan rangkap dan terbentuk ikatan hidrogen antara atom H dan atom O pada gugus SO 3 sebelumnya. Senyawa yang terbentuk merupakan senyawa anhidrid dengan dua gugus sulfonat yang terikat pada C α dan pada gugus karboksil c. Pada tahap kedua yang berlangsung lebih lambat, senyawa sulfonat anhidrid ini mengalami penyusunan kembali membentuk ester sulfonat dan melepaskan satu molekul SO 3 yang pada awalnya terikat pada gugus karboksil hingga menghasilkan MESA. SO 3 yang dilepaskan akan mensulfonasi molekul ME yang lain. Produk MESA selanjutnya dire-esterifikasi dan dinetralisasi menggunakan NaOH sehingga dihasilkan MES. Mekanisme reaksi pembentukan MES selama proses sulfonasi disajikan pada Gambar 15. Gambar 14. Contoh produk surfaktan MES yang dihasilkan