Formulasi Surfaktan MES pada Proses Enhanced Oil Recovery

Pembentukan misel merupakan fenomena penting karena fenomena antarmuka seperti deterjensi, solubilisasi, penurunan tegangan permukaan ataupun antarmuka dipengaruhi oleh keberadaan misel dalam larutan. Konsentrasi dimana fenomena ini terjadi disebut critical micelle concentration CMC. Pembentukan misel merupakan mekanisme adsorpsi pada antarmuka untuk menjauhkan kontak gugus hidrofobik dari air sehingga dapat menurunkan energi bebas pada sistem. Berdasarkan pada tampilan grafik pada Gambar 25 diperkirakan bahwa titik kritis terbentuknya misel adalah pada konsentrasi MES 0,1, dimana terjadi penurunan tegangan antarmuka minyak-air dari 4,19x10 -1 dynecm sebelum ditambahkan surfaktan hingga menjadi 1,73x10 -2 dynecm setelah penambahan surfaktan MES konsentrasi 0,1. Penambahan konsentrasi surfaktan MES makin menurunkan nilai tegangan antarmuka hingga 1,03x10 -2 dynecm pada konsentrasi 0,3. Untuk aplikasi EOR disyaratkan nilai tegangan antarmuka minyak-air yang sangat rendah, karenanya konsentrasi surfaktan MES yang dipilih untuk diformulasikan dengan aditif lainnya adalah 0,3. Pertimbangan lainnya adalah untuk menjaga agar konsentrasi surfaktan tetap lebih tinggi dari 0,1 dalam larutan surfaktan karena adanya efek adsorpsi permukaan oleh batuan core pada proses aplikasi EOR. 4.5.2. Penentuan Salinitas Optimal Untuk mendapatkan nilai tegangan antarmuka minyak-air yang sangat rendah diperlukan salinitas yang optimal Healy dan Red, 1974. Optimal dalam arti kata mampu memberikan penurunan nilai tegangan antarmuka terendah. Berdasarkan hal tersebut maka penentuan salinitas optimal dilakukan untuk melihat sejauh mana pengaruh salinitas terhadap kinerja surfaktan MES yang dihasilkan. Salinitas air injeksi yang digunakan adalah sekitar 7300 ppm, yang kemudian pada pengujian salinitas optimal dilakukan penambahan garam. Berdasarkan pengujian yang dilakukan terlihat bahwa surfaktan MES yang dihasilkan relatif tahan terhadap salinitas tinggi dengan kisaran nilai tegangan antarmuka minyak-air 1,63x10 -2 hingga 8,30x10 -3 dynecm. Rekapitulasi hasil analisis penentuan salinitas optimal disajikan pada Lampiran 15. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa salinitas tidak berpengaruh nyata terhadap nilai tegangan antarmuka. Sidik ragam hasil analisa tegangan antarmuka pada beberapa taraf salinitas disajikan pada Lampiran 16. Grafik nilai tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan larutan MES pada berbagai salinitas disajikan pada Gambar 26. 0.0E+00 2.0E-03 4.0E-03 6.0E-03 8.0E-03 1.0E-02 1.2E-02 1.4E-02 1.6E-02 1.8E-02 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 55000 60000 Salinitas ppm T e ga nga n A nt a rm uk a dy n e c m Gambar 26. Tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan larutan MES pada berbagai salinitas Berdasarkan Gambar 26 terlihat bahwa penurunan nilai tegangan antarmuka yang cukup besar diperoleh setelah dilakukan penambahan konsentrasi NaCl pada larutan surfaktan MES. Nilai tegangan antarmuka larutan surfaktan sebelum penambahan NaCl adalah 1,63x10 -2 dynecm, dan berubah menjadi 8,92x10 -3 dynecm pada konsentrasi NaCl 5000 ppm. Abu-Sharkh 2003 menyatakan bahwa penurunan nilai tegangan antarmuka yang sangat tajam dapat diperoleh melalui peningkatan konsentrasi NaCl. Penurunan nilai tegangan antarmuka yang terjadi setelah penambahan NaCl dapat dijelaskan sebagai berikut : larutan NaCl selain merupakan eletrolit kuat yang bila terlarut dalam air akan terurai sempurna menjadi ion Na + dan Cl - , juga mempunyai gerak brown di permukaan yang lebih besar dari gerak brown pada air Bowles, 1984. Gerak brown ialah gerakan partikel-partikel koloid yang senantiasa bergerak lurus tapi tidak menentu gerak acaktidak beraturan. Partikel-partikel suatu zat senantiasa bergerak, dan gerakan tersebut dapat bersifat acak seperti pada zat cair dan gas. Kondisi ini ditambah dengan keberadaan ion-ion elektrolit kuat menambah gaya tarik antar partikel sehingga ikatan antar partikel menjadi lebih rapat dan semakin kuat. Larutan surfaktan menjadi semakin misscible dengan fluida reservoir yang diujikan yang ditunjukkan dengan semakin rendahnya tegangan antarmuka antar fluida minyak-air. Pada Gambar 26 terlihat bahwa pada salinitas 15.000 ppm merupakan salinitas optimal untuk menurunkan nilai tegangan antarmuka minyak-air akibat penggunaan surfaktan MES. Pada konsentrasi 15.000 ppm, elektrolit dari NaCl yang ditambahkan mampu menstabilkan mikroemulsi sehingga tegangan antarmuka terendah dapat dicapai. Penambahan salinitas lebih tinggi dari 15.000 ppm tidak menyebabkan nilai tegangan antarmuka surfaktan MES menjadi lebih rendah daripada nilai yang dicapai pada 15.000 ppm. Sebagaimana dinyatakan oleh Healy dan Reed 1974 bahwa peningkatan salinitas yang lebih tinggi dari kondisi salinitas optimal akan menyebabkan peningkatan nilai IFT. Meskipun nilai tegangan antarmuka minyak-air akibat penggunaan surfaktan MES berfluktuasi namun kecenderungan yang terlihat adalah terjadi penurunan meskipun tidak akan lebih rendah daripada nilai pada salinitas optimal. Hal ini disebabkan karena penambahan konsentrasi NaCl memiliki batasan, dimana dengan semakin meningkatnya NaCl yang ditambahkan maka akan membentuk HCl dan RSO 3 Na sehingga menjadi zat bukan aktif permukaan dan akibatnya tidak dapat menurunkan tegangan antarmuka minyak-air. Peningkatan salinitas berdampak pada peningkatan densitas larutan surfaktan MES sebagaimana terlihat pada Gambar 27. Penambahan air injeksi menghasilkan larutan MES 0,3 dengan nilai densitas 0,9907 gcm 3 , terjadi kenaikan densitas dibandingkan densitas surfaktan MES sebesar 0,9769 gcm 3 , dan pada penambahan salinitas kelipatan 5000 ppm dihasilkan densitas dengan kisaran nilai 0,9959 hingga 1,0328 gcm 3 . Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa salinitas berpengaruh sangat nyata terhadap nilai densitas Lampiran 16. Semakin banyak penambahan konsentrasi NaCl yang dilakukan semakin tinggi nilai densitas yang dihasilkan. Peningkatan densitas larutan surfaktan ini berimplikasi pada makin meningkatnya perbedaan densitas antara minyak dan larutan surfaktan pada saat pengukuran nilai tegangan antarmuka menggunakan Spinning Drop Tensiometer. Perbedaan densitas density difference antara dua fasa ini menyebabkan nilai tegangan antarmuka yang terukur menjadi makin meningkat dengan mengikuti persamaan Y = ¼ x ω 2 x D 3 x ∆p, dengan syarat : LD = 4, dimana y = tegangan antarmuka dynecm, ω = kecepatan angular s -1 , D = radius droplet pada axis cm dan ∆p = perbedaan densitas antara dua fasa gcm 3 . 0.96 0.97 0.98 0.99 1.00 1.01 1.02 1.03 1.04 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 55000 60000 Salinitas ppm D ensi tas g cm 3 Gambar 27. Densitas larutan MES dan air injeksi pada berbagai salinitas Peningkatan salinitas ternyata berdampak pada nilai pH yang cenderung mengalami penurunan sebagaimana terlihat pada Gambar 28. Sebelum penambahan garam nilai pH larutan MES 0,3 dalam air injeksi adalah 9,27. Nilai ini kemudia mengalami penurunan hingga diperoleh pH 8,95 pada salinitas 60.000 ppm. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa salinitas tidak berpengaruh terhadap nilai pH Lampiran 16. Secara umum, penambahan salinitas berdampak pada kecenderungan peningkatan nilai viskositas larutan surfaktan MES baik pada suhu pengukuran 30 maupun 70 o C. Pada suhu 30 o C viskositas larutan surfaktan MES pada berbagai salinitas berkisar 1,02 hingga 1,25 cP, dan pada suhu 70 o C berkisar 0,63 hingga 0,71 cP. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa salinitas tidak berpengaruh terhadap nilai viskositas larutan surfaktan pada suhu pengukuran 30 dan 70 o C Lampiran 16. Peningkatan viskositas larutan surfaktan MES pada penambahan garam untuk suhu 30 dan suhu 70 o C disajikan pada Gambar 29. Bila dibandingkan nilai viskositas antara pengukuran suhu 30 dan 70 o C pada kondisi salinitas yang sama, terlihat bahwa semakin tinggi suhu pengukuran maka nilai viskositas mengalami penurunan, sebagaimana disebutkan oleh Abu-Sharkh et al. 2003. Viskositas berkorelasi linier terhadap suhu dan karakteristik lainnya seperti fluiditas, tegangan permukaan, sebagaimana disebutkan oleh Fisher 1998. 8.70 8.80 8.90 9.00 9.10 9.20 9.30 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 55000 60000 Salinitas ppm pH Gambar 28. Nilai pH larutan MES dan air injeksi pada berbagai salinitas 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 55000 60000 Salinitas ppm V isko si ta s cP 30 oC 70 oC Gambar 29. Viskositas larutan MES dan air injeksi pada berbagai salinitas

4.5.3. Pemilihan Aditif

Penambahan aditif berupa alkali bermanfaat untuk menurunkan nilai tegangan antarmuka minyak dan air Nedjhioui et al., 2005. Untuk itu pada penelitian ini dilakukan penambahan dua jenis aditif alkali yaitu NaOH dan Na 2 CO 3 dengan konsentrasi 0,1 - 0,6 persen. NaOH merupakan basa kuat sementara Na 2 CO 3 merupakan garam yang terbentuk dari asam lemah H 2 CO 3 dan basa kuat NaOH. Pada Gambar 30 dan 31 disajikan beberapa contoh sampel larutan surfaktan MES yang telah ditambahi NaOH dan Na 2 CO 3 pada berbagai konsentrasi. Dari kedua gambar tersebut terlihat bahwa kedua jenis aditif larut sempurna dan tidak terbentuk endapan dalam larutan surfaktan untuk semua penambahan konsentrasi aditif yang dilakukan. Gambar 30. Contoh sampel larutan surfaktan MES yang telah ditambah NaOH Gambar 31. Contoh sampel larutan surfaktan MES yang telah ditambah Na 2 CO 3 Dari hasil pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air, pada penambahan NaOH dihasilkan nilai tegangan antarmuka dengan kisaran nilai 2,85x10 -1 hingga 2,21x10 -2 dynecm, sementara dengan penambahan Na 2 CO 3 dihasilkan kisaran nilai tegangan antarmuka yang lebih rendah yaitu 1,06x10 -2 hingga 6,97x10 -3 dynecm. Rekapitulasi hasil analisis pemilihan aditif disajikan pada Lampiran 17. Hasil sidik ragam menunjukkan jenis dan konsentrasi aditif berpengaruh sangat nyata terhadap nilai tegangan antarmuka Lampiran 18. Berdasarkan nilai tegangan antarmuka yang dihasilkan, disimpulkan bahwa aditif yang sesuai untuk surfaktan MES adalah Na 2 CO 3 . Konsentrasi Na 2 CO 3 optimal yang ditambahkan adalah 0,3 dengan nilai tegangan antarmuka 6,97x10 -3 dynecm, lebih rendah dibanding nilai tegangan antarmuka terbaik sebelum penambahan aditif sebesar 8,3x10 -3 dynecm. Penambahan konsentrasi aditif lebih tinggi dari 0,3 tidak berdampak pada penurunan nilai tegangan antarmuka, bahkan mengalami kenaikan dibanding konsentrasi optimal. Grafik pengaruh konsentrasi NaOH dan Na 2 CO 3 terhadap nilai tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan MES pada salinitas 15.000 ppm disajikan pada Gambar 32. 1.00E-03 1.00E-02 1.00E-01 1.00E+00 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 Konsentrasi Aditif T eg an g an A n ta rm u ka d y n e cm NaOH Na2CO3 Gambar 32. Tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan MES dan salinitas 15.000 ppm pada berbagai konsentrasi aditif Pada Tabel 14 disajikan tampilan droplet minyak bumi pada pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan aditif pada berbagai konsentrasi. Berdasarkan tampilan droplet tersebut terlihat bahwa nilai tegangan antarmuka merupakan fungsi dari lebar droplet minyak sebagai akibat dari kinerja larutan surfaktan. Semakin pendek lebar drop minyak maka dapat dipastikan nilai tegangan antarmuka larutan surfaktan semakin rendah. Tabel 14. Tampilan droplet minyak bumi pada pengukuran nilai tegangan antarmuka dengan penambahan aditif Konsentrasi Jenis Aditif 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 NaOH Na 2 CO 3 Menurut Lakatos-Szabo dan Lakatos 1999, minyak bumi merupakan campuran hidrokarbon dan asam karboksilat organik yang direpresentasikan sebagai asam HA. Asam HA ini mendistribusi diri diantara fasa minyak dan fasa larutan surfaktan dan alkali. Korelasi antara nilai tegangan antarmuka terhadap konsentrasi surfaktan dengan keberadaan alkali dapat dijelaskan sebagai berikut : ketika terjadi kontak antara fasa larutan dan minyak, alkali dalam fasa larutan dan asam organik HA dalam fasa minyak akan berpindah menuju antarmuka, bereaksi dan menghasilkan senyawa aktif permukaan petroleum soap sehingga nilai tegangan antarmuka menjadi turun. Penambahan aditif menyebabkan terjadinya peningkatan nilai pH larutan surfaktan MES sebagaimana terlihat pada Gambar 33. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis dan konsentrasi aditif berpengaruh sangat nyata terhadap nilai pH Lampiran 18. NaOH merupakan basa kuat yang memiliki nilai pH 14. Ketika basa kuat ini dilarutkan dalam larutan surfaktan dan fluida reservoir yang memiliki nilai pH berkisar 8, maka terjadi kenaikan nilai pH hingga berkisar 10,89 – 12,66. Sementara Na 2 CO 3 merupakan garam yang terbentuk dari asam lemah H 2 CO 3 dan basa kuat NaOH sehingga memiliki nilai pH berkisar 10, sehingga ketika Na 2 CO 3 direaksikan dengan larutan surfaktan dan fluida formasi dihasilkan kisaran pH 9,52 – 10,16. Tinggi rendahnya nilai pH larutan surfaktan diduga berkaitan dengan tinggi rendahnya nilai tegangan antarmuka yang dihasilkan. Nilai pH larutan surfaktan yang lebih tinggi akibat penambahan NaOH dibanding pada penambahan Na 2 CO 3 menyebabkan nilai tegangan antarmuka larutan surfaktan yang dihasilkan menjadi lebih tinggi. 8.00 8.50 9.00 9.50 10.00 10.50 11.00 11.50 12.00 12.50 13.00 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 Konsentrasi aditif N ila i p H NaOH Na2CO3 Gambar 33. Nilai pH larutan MES dengan salinitas 15.000 ppm pada berbagai konsentrasi aditif Penambahan aditif juga menyebabkan densitas larutan surfaktan mengalami peningkatan sebagaimana disajikan pada Gambar 34. Pada penambahan NaOH dihasilkan kisaran densitas 1,0026 hingga 1,0075 gcm 3 , sementara pada penambahan Na 2 CO 3 dihasilkan kisaran densitas 1,0013 hingga 1,0054 gcm 3 Lampiran 17. Sidik ragam pengaruh jenis dan konsentrasi aditif terhadap densitas formula disajikan pada Lampiran 18. Penambahan NaOH menyebabkan kenaikan densitas yang lebih besar dibanding penambahan Na 2 CO 3 . Faktor densitas merupakan parameter penting dalam penghitungan nilai tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan surfaktan yang dihasilkan, karena berkaitan dengan selisih densitas density difference antara densitas larutan surfaktan dengan densitas minyak bumi 0,85174 gcm 3 . Nilai selisih densitas yang lebih kecil cenderung menghasilkan nilai tegangan antarmuka yang lebih rendah. 0.9975 0.9996 1.0017 1.0038 1.0059 1.0080 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 Konsentrasi aditif D e n s it a s g c m3 NaOH Na2CO3 Gambar 34. Densitas larutan MES dengan salinitas 15.000 ppm pada berbagai konsentrasi aditif

4.5.4. Pemilihan Co-Surfaktan

Pemilihan co-surfaktan dilakukan terhadap 14 surfaktan komersial yang terdiri atas satu surfaktan kationik, tiga surfaktan anionik dan 10 surfaktan nonionik. Pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air dilakukan dengan melarutkan surfaktan komersial 0,3 di air formasi dari lapangan minyak dan air injeksi. Sebagai perbandingan, surfaktan yang sama dilarutkan pula dalam air demineralisasi dan diukur nilai tegangan antarmukanya dengan menggunakan jenis minyak yang sama. Hasil pengukuran nilai tegangan antarmuka surfaktan komersial pada air formasi menunjukkan kisaran nilai 6,54x10 -1 hingga 1,43x10 -2 dynecm, pada air injeksi berkisar 1,22x10 -1 hingga 1,61x10 -2 dynecm, sementara pada air demineralisasi berkisar 8,52x10 -1 hingga 3,61x10 -2 dynecm sebagaimana disajikan pada Tabel 15. Rekapitulasi hasil analisis nilai tegangan antarmuka minyak-fluida setelah penambahan beberapa surfaktan komersial disajikan pada Lampiran 19. Secara berturut-turut, nilai tegangan antarmuka minyak-air demineralisasi lebih besar dibandingkan nilai tegangan antarmuka minyak-air formasi dan minyak-air injeksi. Secara umum, surfaktan komersial yang dilarutkan dalam air formasi memiliki nilai tegangan antarmuka minyak-air yang lebih rendah. Sebagaimana disajikan pada Lampiran 13, air formasi mengandung ion Cl - sebanyak 21.875 ppm sedangkan air injeksi mengandung ion Cl - sebanyak 6.998 ppm. Ion Cl - pada air formasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan air injeksi diduga menyebabkan lebih rendahnya nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan surfaktan komersial yang dilarutkan pada air formasi. Tabel 15. Perbandingan nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan beberapa surfaktan komersial yang dilarutkan pada air formasi AF, air injeksi AI dan air demineralisasi AD Nilai IFT dynecm Kode Nama Kimia Jenis AF AI AD SK05 Alkyl Polyglicoside C 12 Nonionik 1,91x10 -2 9,25x10 -2 4,98x10 -2 SK06 Alkyl Polyglicoside C 8 Nonionik 4,13x10 -2 8,32x10 -2 1,26x10 -1 SK10 C10 Alkoxylated 7 Nonionik 6,54 x10 -1 8,57x10 -3 6,26x10 -1 SK13 Dietanolamida Nonionik 1,43x10 -2 1,61x10 -2 3,61x10 -2 SK15 Alcohol ethoxylate 7 EO Nonionik 1,17x10 -1 1,16x10 -1 2,02x10 -1 SK24 Sodium dodecyl benzene sulfonate 25 Anionik 6,04x10 -2 6,25x10 -2 6,03x10 -1 SK25 Sodium dodecyl benzene sulfonate 65 Anionik 6,79x10 -2 7,86x10 -2 8,52x10 -1 SK26 Dodecyl benzene sulfonic acid Anionik 5,90x10 -2 5,11x10 -2 4,91x10 -1 SK27 Nonyl phenol ethoxylate 9 EO Nonionik 8,59x10 -2 1,22x10 -1 1,14x10 -1 SK28 Nonyl phenol ethoxylate 10 EO Nonionik 8,94x10 -2 1,02x10 -1 1,41x10 -1 SK33 Alkyl benzyl dimethyl ammonium chloride Kationik 2,60x10 -2 3,60x10 -2 2,68x10 -1 SK38 Secondary C 12-14 , 7 Ethoxylated Nonionik 3,74 x10 -2 2,16x10 -2 8,02x10 -1 SK39 Secondary C 12-14 , 7 Ethoxylated Nonionik 6,55x10 -1 3,40x10 -2 6,66x10 -1 SK50 Alkyl Polyglicoside C 12-16 Nonionik 8,00x10 -2 9,25x10 -2 1,41x10 -1 Berdasarkan data nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan surfaktan komersial yang dilarutkan dalam air formasi, diketahui bahwa 12 surfaktan komersial memiliki kisaran nilai tegangan antarmuka minyak- air 10 -2 dynecm, sementara 3 surfaktan komersial lainnya memiliki kisaran 10 -1 dynecm. Tiga surfaktan komersial yang memiliki nilai tegangan antarmuka minyak-air terendah yaitu SK05 1,91x10 -2 dynecm, SK13 1,43x10 -2 dynecm dan SK33 2,60x10 -2 dynecm.

4.5.5. Beberapa Formula Surfaktan Berbasis MES yang Dihasilkan untuk

EOR Formula-formula surfaktan berbasis MES didapatkan dengan melakukan kombinasi antara surfaktan MES, surfaktan komersial, salinitas optimal, dan konsentrasi aditif terbaik yang diperoleh pada tahapan penelitian sebelumnya. Surfaktan MES yang digunakan adalah 0,3, surfaktan komersial yang dipilih yaitu SK05, SK13 dan SK33 dengan konsentrasi masing-masing 0,3, salinitas optimal terpilih adalah 15.000 ppm, dan aditif terbaik yang digunakan adalah Na 2 CO 3 dengan konsentrasi 0,3. Grafik nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan beberapa formula berbasis MES yang dihasilkan disajikan pada Gambar 35. Nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan formula surfaktan berbasis MES yang dihasilkan disajikan pada Lampiran 20. Berdasarkan Gambar 35, terlihat bahwa pada kombinasi formula surfaktan MES, salinitas 15.000 ppm dan Na 2 CO 3 0,3 menghasilkan nilai tegangan antarmuka minyak-air paling rendah yaitu 6,97x10 -3 dynecm Formula 7 dibandingkan dengan semua formula berbasis MES lainnya. Nilai tegangan antarmuka minyak-air terendah kedua diperoleh ketika surfakan MES hanya dikombinasikan dengan salinitas 15.000 ppm saja Formula 5. Ketika surfaktan MES hanya dikombinasikan dengan aditif Na 2 CO 3 saja nilai tegangan antarmukanya menjadi lebih tinggi dibanding jika ditambahkan salinitas. Saat surfaktan MES dikombinasikan dengan surfaktan komersial SK05 dan SK13, nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan formula yang diperoleh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai antarmuka minyak-air pada penambahan surfaktan komersial saja. Nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan kombinasi surfaktan MES dengan SK05 dan SK13 juga mengalami penurunan ketika dilakukan penambahan garam dan aditif Na 2 CO 3 . Hal ini diduga karena surfaktan MES yang bersifat anionik memiliki muatan negatif ketika direaksikan dengan surfaktan SK05 dan SK13 yang bersifat nonionik tidak bermuatan maka tidak terjadi reaksi antagonis antar molekulnya. Surfaktan MES malah berfungsi meningkatkan kinerja surfaktan nonionik dalam fluida formasi sehingga nilai tegangan antarmuka surfaktan nonionik menjadi lebih rendah ketika dikombinasikan dengan surfaktan MES. 0.00E+00 5.00E-03 1.00E-02 1.50E-02 2.00E-02 2.50E-02 3.00E-02 3.50E-02 4.00E-02 4.50E-02 5.00E-02 5.50E-02 6.00E-02 6.50E-02 7.00E-02 7.50E-02 8.00E-02 8.50E-02 9.00E-02 9.50E-02 1.00E-01 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Formula T e g a n g an A n tar m u ka d yn e cm Ket. 1 = MES 11 = MES 0,3+SK05 0,3+NaCl 15.000 ppm+Na 2 CO 3 0,3 2 = SK05 12 = MES 0,3+SK13 0,3 3 = SK13 13 = MES 0,3+SK13 0,3+NaCl 15.000 ppm 4 = SK33 14 = MES 0,3+SK13 0,3+ Na 2 CO 3 0,3 5 = MES 0,3+NaCl 15.000 ppm 15 = MES 0,3+SK13 0,3+NaCl 15.000 ppm+Na 2 CO 3 0,3 6 = MES 0,3+Na 2 CO 3 0,3 16 = MES 0,3+SK33 0,3 7 = MES 0,3+NaCl 15.000 ppm+Na 2 CO 3 0,3 17 = MES 0,3+SK33 0,3+NaCl 15.000 ppm 8 = MES 0,3+SK05 0,3 18 = MES 0,3+SK33 0,3+ Na 2 CO 3 0,3 9 = MES 0,3+SK05 0,3+NaCl 15.000 ppm 19 = MES 0,3+SK33 0,3+NaCl 15.000 ppm+Na 2 CO 3 0,3 10 = MES 0,3+SK05 0,3+ Na 2 CO 3 0,3 Gambar 35. Nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan formula berbasis MES, salinitas 15.000 ppm dan Na 2 CO 3 0,3 dengan variasi surfaktan komersial Pada saat surfaktan MES dikombinasikan dengan SK33 terjadi peningkatan nilai tegangan antarmuka baik ketika tanpa penambahan ataupun dengan penambahan garam 15.000 ppm dan Na 2 CO 3 . Hal ini karena ketika surfaktan MES yang bersifat anionik bermuatan negatif dikombinasikan dengan surfaktan SK33 yang bersifat kationik bermuatan positif terjadi reaksi antagonis yang saling berlawanan antara molekul sehingga kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka fluida menjadi rendah, yang ditunjukkan dengan nilai tegangan antarmukanya yang lebih tinggi. Dapat disimpulkan bahwa surfaktan komersial yang diujikan tidak tahan terhadap salinitas tinggi, yang ditunjukkan dengan nilai tegangan antarmukanya yang lebih tinggi dibanding surfaktan MES yang memiliki nilai tegangan antarmuka lebih rendah ketika diujikan pada fluida reservoir. Karenanya, ketika surfaktan MES dikombinasikan dengan surfaktan komersial, nilai tegangan antarmuka fluida minyak-air yang diperoleh lebih tinggi dibanding penggunaan surfaktan MES tunggal dalam formula setelah ditambahi aditif. Untuk tahapan pengujian kinerja formula yang terpilih adalah formula surfaktan MES konsentrasi 0,3 dengan penambahan NaCl 15.000 ppm dan Na 2 CO 3 0,3. 4.6. Uji Kinerja Formula Surfaktan Berbasis MES untuk Aplikasi pada EOR Untuk menentukan formula surfaktan berbasis MES yang dihasilkan dapat digunakan pada aplikasi enhanced oil recovery, maka perlu dilakukan uji kinerja formula surfaktan. Tahapan uji yang dilakukan meliputi uji kompatibilitas, uji kelakuan fasa, uji filtrasi, uji ketahanan terhadap panas, uji adsorpsi dan uji core.

4.6.1. Uji Kompatibilitas

Uji kompatibilitas dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara surfaktan dengan air formasi dari suatu reservoir. Terdapat tiga kemungkinan yang akan terjadi pada pencampuran surfaktan dengan air formasi, yaitu a larut sempurna, terbentuk campuran yang jernih, 1 fasa, b koloid, terbentuk campuran yang terlihat seperti air susu milky, 1 fasa, dan c suspensi, terbentuk campuran 2 fasa, cairan dan padatan dimana butirangumpalan terlihat sangat jelas Eni et al ., 2010. Diharapkan campuran yang terbentuk adalah larutan sempurna atau koloid, sedangkan larutan berbentuk suspensi tidak diharapkan karena dikhawatirkan akan menyebabkan penyumbatan Karenanya ketika larutan surfaktan dan air formasi membentuk suspensi, berarti surfaktan tidak lolos tidak kompatibel dan dianggap tidak layak untuk reservoir yang bersangkutan. Uji kompatibilitas dilakukan dengan melarutkan surfaktan MES 0,3 pada air formasi dan air injeksi, dan kemudian diamati perubahan yang terjadi pada larutan pada suhu reservoir. Hasil pengamatan uji kompatibiliti antara air formasi dan surfaktan MES disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 36. Hasil pengamatan uji kompatibilitas antara air injeksi dan surfaktan MES disajikan pada Tabel 17 dan Gambar 37. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa surfaktan MES yang dilarutkan pada air formasi maupun air injeksi berbentuk larutan homogen satu fasa berwarna coklat muda terang jernih, kelarutan tinggi, surfaktan larut sempurna, tidak terbentuk endapan atau gumpalan. Dapat disimpulkan bahwa formula surfaktan MES kompatibel dengan air formasi dan air injeksi. Adapun bahan mengapung yang teramati diduga merupakan komponen minyak yang terlarut dalam air formasi dan air injeksi akibat pengaruh sisa pengemulsi yang digunakan pada sumur minyak sebelumnya yang berhasil dikoagulasikan oleh surfaktan MES hingga akhirnya terpisah dan mengapung di bagian permukaan. Tabel 16. Hasil pengamatan uji kompatibilitas surfaktan MES dengan air formasi Hasil Pengamatan Awal Pemanasan 12 jam 112 o C Pemanasan 24 jam 112 o C No Jenis Pengamatan Tanpa Saring Saring 500 mesh Tanpa Saring Saring 500 mesh Tanpa Saring Saring 500 mesh 1 Kelarutan ++++ ++++ ++++ ++++ +++++ +++++ 2 Bahan Mengapung +++ + + ++ + + ++ ++ 3 Endapan - - - - - - Keterangan : +++++ = banyak sekali, ++++ = banyak, +++ = agak banyak, ++ = sedikit + = sangat sedikit, - = tidak ada. Tabel 17. Hasil pengamatan uji kompatibilitas surfaktan MES dengan air injeksi Hasil Pengamatan Awal Pemanasan 12 jam 112 o C Pemanasan 24 jam 112 o C No Jenis Pengamatan Tanpa Saring Saring 500 mesh Tanpa Saring Saring 500 mesh Tanpa Saring Saring 500 mesh 1 Kelarutan ++++ ++++ ++++ ++++ +++++ +++++ 2 Bahan Mengapung +++ +++ + ++ ++ + ++ + 3 Endapan - - - - - - Keterangan : +++++ = banyak sekali, ++++ = banyak, +++ = agak banyak, ++ = sedikit + = sangat sedikit, - = tidak ada. a b a b a b Awal Pemanasan 12 jam 112 o C Pemanasan 24 jam 112 o C Ket. c larutan surfaktan tanpa disaring d larutan surfaktan dengan disaring 500 mesh Gambar 37. Tampilan larutan surfaktan MES-air injeksi pada uji kompatibilitas a b a b a b Awal Pemanasan 12 jam 112 o C Pemanasan 24 jam 112 o C Ket. a larutan surfaktan tanpa disaring b larutan surfaktan dengan disaring 500 mesh Gambar 36. Tampilan larutan surfaktan MES-air formasi pada uji kompatibilitas

4.6.2. Uji Kelakuan Fasa

Pengamatan kelakuan fasa dilakukan dengan mencampurkan larutan surfaktan dan minyak dalam volume yang sama dalam tabung terukur, dan disimpan pada suhu reservoir hingga kesetimbangan dicapai Syahrial, 2008. Perbedaan volume larutan surfaktan dan minyak secara visual digunakan untuk mengestimasi kelakuan fasa yang terbentuk. Pada Gambar 38 disajikan tampilan kelakuan fasa larutan surfaktan-minyak bumi. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa volume air mengalami peningkatan walaupun sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa mikroemulsi cenderung berbaur dengan air formasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa fasa yang terbentuk adalah fasa bawah. Gambar 38. Hasil uji kelakuan fasa larutan surfaktan-minyak bumi pada suhu reservoir

4.6.3. Uji Ketahanan terhadap Panas Thermal Stability Test

Uji ketahanan terhadap panas dilakukan dengan memanaskan larutan surfaktan pada suhu reservoir 112 o C selama waktu tertentu di dalam oven. Secara berkala dilakukan pengamatan terhadap larutan dan pengukuran nilai tegangan antarmuka. Hasil pengamatan secara visual hingga pemanasan hari ke- Ulangan 1 Ulangan 2 77 larutan surfaktan masih dalam bentuk satu fasa, namun terbentuk endapan putih pada bagian bawah tabung uji. Endapan putih di bagian bawah tabung tersebut mulai terlihat pada pemanasan hari ke-11. Namun, endapan yang terbentuk tidak bertambah dengan semakin lamanya pemanasan. Pada Gambar 39 disajikan terbentuknya endapan pada larutan formula surfaktan selama pemanasan pada uji thermal stability. Endapan putih yang terbentuk di bagian bawah tabung diduga merupakan ion Ca 2+ dan Mg 2+ yang terendapkan dalam bentuk CaCO 3s . Hal ini terjadi akibat fluida formasi yang diujikan kesadahannya tinggi, sehingga ketika formula surfaktan berbasis MES yang mengandung Na 2 CO 3 dibuat, maka Na 2 CO 3 menjadi terlarutkan dalam fluida formasi. Diketahui bahwa pelarut Na 2 CO 3 ternyata berfungsi untuk membebaskan air dari kesadahan dengan adanya panas. Sebagai gambaran reaksi yang terjadi disajikan pada Gambar 40. Pemanasan hari ke-1, suhu 112 o C Pemanasan hari ke-11, suhu 112 o C Gambar 39. Terbentuknya endapan pada larutan formula surfaktan selama pemanasan pada uji thermal stability Endapan Tanpa endapan CaCl 2aq + Na 2 CO 3aq CaCO 3s + 2 NaCl aq Gambar 40. Reaksi pengendapan sadah Hasil pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan surfaktan pada suhu reservoir memperlihatkan terjadinya peningkatan nilai tegangan antarmuka minyak-air dari 6,97x10 -3 dynecm sebelum pemanasan menjadi 2,87x10 -2 dynecm pada pemanasan hari ke-2. Pada pengamatan hari selanjutnya nilai tegangan antarmuka mengalami penurunan hingga pengamatan hari ke-48 dengan kisaran nilai 10 -2 dynecm dan mulai mengalami peningkatan hingga hari ke-77 meskipun nilai tegangan antarmuka fluida masih berkisar pada 10 -2 dynecm. Sebagai perbandingan, dilakukan pula pengukuran nilai tegangan antarmuka fluida pada pemanasan suhu 70 o C yang memperlihatkan terjadi peningkatan nilai tegangan antarmuka dari 6,97x10 -3 dynecm sebelum pemanasan menjadi 6,99x10 -3 dynecm pada pemanasan hari ke-2. Pada pengamatan hari selanjutnya nilai tegangan antarmuka mengalami penurunan hingga pengamatan hari ke-14 4,43x10 -3 dynecm dan mulai mengalami peningkatan hingga hari ke- 77 3,46x10 -2 dynecm. Hingga pemanasan hari ke-48 nilai tegangan antarmuka larutan surfaktan yang dipanaskan pada suhu 70 o C bertahan pada kisaran 10 -3 dynecm, dan menjadi 10 -2 dynecm pada pengamatan hari berikutnya. Grafik perubahan nilai tegangan antarmuka fluida akibat pemanasan surfaktan disajikan pada Gambar 41. Rekapitulasi hasil pengamatan pengujian ketahanan larutan surfaktan terhadap panas disajikan pada Lampiran 21. Berdasarkan hasil pengujian ketahanan terhadap pemanasan, maka dapat disimpulkan bahwa surfaktan lebih tidak stabil pada suhu tinggi, yang ditandai dengan nilai tegangan antarmuka fluida setelah penambahan surfaktan menjadi semakin meningkat. Meskipun demikian, formula sufaktan yang dikembangkan relatif tahan terhadap suhu reservoir yang tinggi. Hal ini diindikasikan dengan nilai tegangan antarmuka fluida setelah penambahan formula surfaktan yang masih berkisar pada 10 -3 dynecm pada pemanasan suhu 70 o C hingga hari ke-48, dan masih berkisar pada 10 -2 dynecm hingga hari ke-77 pada pemanasan suhu 70 dan 112 o C. panas 0.00E+00 5.00E-03 1.00E-02 1.50E-02 2.00E-02 2.50E-02 3.00E-02 3.50E-02 4.00E-02 4.50E-02 5.00E-02 2 7 14 28 41 48 55 70 77 Lama Pemanasan hari Te g a nga n A nt a rm uk a d y n e cm 112 oC 70 oC Gambar 41. Perubahan nilai tegangan antarmuka akibat pemanasan

4.6.4. Uji Filtrasi

Uji filtrasi bertujuan untuk menentukan ada atau tidak kemungkinan terbentuknya presipitan oleh larutan surfaktan. Kehadiran presipitan ini perlu diketahui dari awal karena kehadirannya dikhawatirkan dapat menyumbat pori- pori batuan reservoir. Kehadiran presipitan ini ditandai dengan kurva lengkung pada plot volume terhadap waktu filtrasi Syahrial, 2008. Proses filtrasi dilakukan terhadap air demineralisasi, air formasi dan larutan formula surfaktan MES yang masing-masing dilarutkan pada air demineralisasi dan air formasi dengan menggunakan empat jenis ukuran pori yaitu 500 mesh, 20-22 µm, 0,45 µm dan 0,22 µm, dilakukan secara bertahap. Rekapitulasi hasil uji filtrasi air demineralisasi, air formasi dan larutan formula surfaktan dalam air demineralisasi dan air formasi disajikan pada Lampiran 22. Kemungkinan terjadinya presipitasi dilihat dari nilai filtration ratio FR yang dihasilkan, dimana semakin besar nilai FR maka kemungkinan terjadinya filtrasi akan semakin besar. Grafik perbandingan hasil uji filtrasi air demineralisasi, air formasi, dan larutan surfaktan dalam air demineralisasi dan air formasi pada suhu ruang menggunakan berbagai ukuran pori media filtrasi disajikan pada Gambar 42. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 500 mesh 20-25 µm 0,45 µm 0,22 µm Ukuran Pori Media Filtrasi F il tr a ti on R a ti o FR AD AF Formula+AD Formula+AF Gambar 42. Nilai filtrasi rasio FR air demineralisasi AD, air formasi AF, dan larutan formula surfaktan pada suhu ruang menggunakan berbagai ukuran pori media filtrasi Berdasarkan Gambar 42 terlihat bahwa nilai FR air demineralisasi berkisar 1-2,19. Air demineralisasi merupakan pelarut murni yang telah dihilangkan kandungan mineral ataupun padatan terlarutnya, sehingga ketika dilewatkan pada berbagai media berpori dengan ukuran apapun cenderung tidak mengalami perlambatan. Nilai FR air formasi pada media 500 mesh dan 20-25 µm cenderung tetap pada kisaran 1,2 namun mengalami peningkatan yang sangat drastis pada saat disaring menggunakan media filtrasi dengan ukuran pori 0,45 µm mencapai 9,53. Padatan terlarut di dalam air formulasi dapat dengan mudah melewati ukuran pori 500 mesh dan 20-25 µm, namun mengalami hambatan pada 0,45 µm. Diduga ukuran partikel padatan terlarut dalam air formasi lebih besar dari 0,45 µm sehingga ketika disaring menggunakan ukuran pori 0,45 µm terjadi perlambatan akibat banyak padatan terlarut yang tertahan di permukaan pori-pori. Pada formula surfaktan yang dilarutkan dalam air demineralisasi dan air formasi, keduanya memiliki kecenderungan yang sama yaitu terjadi penurunan nilai FR dengan semakin kecil ukuran pori yang diujikan. Hal ini diduga disebabkan karena pada formula larutan surfaktan dan air demineralisasi serta larutan surfaktan dan air formasi terbentuk lapisan minyak di bagian atas permukaan larutan pada pengujian di suhu ruang, sehingga ketika pertama kali dilewatkan pada media 500 mesh sebagian besar minyak tersebut tertahan di pori- pori yang menyebabkan terjadi perlambatan. Perlambatan yang terjadi semakin turun dengan semakin kecilnya ukuran pori-pori.

4.6.5. Uji Adsorpsi

Adsorpsi ialah peristiwa penyerapan partikel atau ion atau senyawa lain pada permukaan partikel yang disebabkan oleh luasnya permukaan partikel. Uji ini bertujuan untuk melihat seberapa besar formula surfaktan mengalami penurunan kinerja akibat terjadinya penyerapan partikel surfaktan oleh core sintetik yang diujikan. Core sintetik yang digunakan dibuat dengan mencampurkan pasir kuarsa ukuran 35 mesh dengan semen dan air. Semen adalah suatu zat yang dapat menetapkan dan mengeraskan dengan bebas serta dapat mengikat material lain. Komponen utama semen adalah batu kapurgamping yang sebagian besar tersusun oleh mineral kalsium karbonat CaCO 3 . Berdasarkan hal tersebut maka core sintetik yang dihasilkan diasumsikan dapat merepresentasikan native core batuan karbonat. Proses pembuatan core sintetik yaitu dengan mencampurkan pasir kuarsa ukuran 35 mesh dengan semen 25 dari jumlah pasir kuarsa dan air 10 dari bobot total. Campuran bahan kemudian dicetak menggunakan cetakan tabung dan dikeringkan di bawah sinar matahari selama sehari. Kemudian core sintetik yang sudah kering dikeluarkan dari cetakan, dipotong sesuai ukuran dan digerinda, dan dicuci menggunakan toluene. Sebelum pengujian dilakukan terlebih dahulu pengecilan ukuran core sintetik dengan cara digerus hingga halus untuk memperbesar luas permukaannya. Proses pembuatan core sintetik disajikan pada Lampiran 23. Uji adsorbsi dilakukan menggunakan dua pendekatan, yaitu menggunakan nilai absorbansi tanpa methylene blue dan absorbansi dengan methylene blue dengan alat spektrofotometer yang masing-masing ditampilkan dalam bentuk kurva standar dan menggunakan metode titrasi dua fasa. Pada pengujian adsorpsi larutan surfaktan dicampur dengan core sintetik pada perbandingan 1:2 kemudian dipanaskan dalam oven selama dua hari. Setelah dua hari, kemudian dilakukan pemisahan larutan dan dilakukan pengukuran. Rekapitulasi data uji nilai absorbansi beberapa konsentrasi MES disajikan pada Lampiran 24. Kurva standar nilai absorbansi terhadap beberapa konsentrasi MES tanpa menggunakan methylene blue disajikan pada Gambar 43. Hasil pengujian adsorpsi larutan surfaktan 0,3 dengan core sintetik menghasilkan absorbansi sebesar 0,192. Nilai absorbansi ini bila dirujuk ke kurva adsorpsi dengan cara ekstrapolasi maka diperoleh konsentrasi surfaktan MES 0,0597, yang menunjukkan bahwa penyerapan konsentrasi MES akibat adsorpsi mencapai 80. y = 0.0649x 1.1737 R 2 = 0.9837 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 0.025 0.05 0.075 0.1 0.125 0.15 0.175 0.2 0.225 0.25 0.275 0.3 Konsentrasi MES A b so rb an s i n m Gambar 43. Kurva standar absorbansi surfaktan MES tanpa methylene blue Kurva standar nilai absorbansi terhadap beberapa konsentrasi MES menggunakan metode methylene blue disajikan pada Gambar 44. Hasil pengukuran memberikan nilai absorbansi sebesar 0,117. Nilai absorbansi hasil adsorbsi ini jauh lebih rendah dibanding absorbansi larutan surfaktan MES 0,025. Pada titik ini konsentrasi surfaktan MES yang tersisa dalam larutan setelah adsorpsi oleh core adalah 0,013, yang berarti sekitar 95,43 terserap oleh core. Pengukuran nilai absorbansi menggunakan methylene blue ataupun tanpa methylene blue terlihat memiliki kecenderungan yang sama, yaitu nilai absorbansi yang besar berkisar 80-95. Namun nilai absorbansi tidak dapat menggambarkan kondisi adsorpsi yang sebenarnya, mengingat prinsip pengujian menggunakan spektro adalah warna, sementara warna surfaktan MES adalah gelap. Karenanya dilakukan pengujian menggunakan metode titrasi dua fasa, untuk mengetahui jumlah bahan aktif yang terserap core selama uji adsorpsi. Pengujian dilakukan menggunakan core sintetik untuk tiga macam larutan berbeda. Hasil pengujian menunjukkan kisaran adsorpsi 155,29 – 152,86 µg bahan aktifg core. Formula surfaktan berbasis MES yang dikembangkan memiliki nilai adsorpsi terendah yaitu 152,86 µg bahan aktifg core, nilai ini lebih rendah dibandingkan formula lain yang tanpa Na 2 CO 3 Dapat disimpulkan bahwa pemakaian Na 2 CO 3 dapat mengurangi kemungkinan terjadinya adsorpsi. Grafik nilai adsorpsi bahan aktif menggunakan metode titrasi dua fasa disajikan pada Gambar 45. Rekapitulasi perhitungan nilai adsorpsi disajikan pada Lampiran 25. y = 1.7725x 0.5435 R 2 = 0.9474 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 0.025 0.050 0.075 0.100 0.125 0.150 0.175 0.200 0.225 0.250 0.275 0.300 0.325 Konsentrasi MES A b so rb an si n m Gambar 44. Kurva standar absorbansi surfaktan MES menggunakan methylene blue 151.5 152.0 152.5 153.0 153.5 154.0 154.5 155.0 155.5 MES 0,3 MES 0,3 + NaCl 15000 ppm MES 0,3 + NaCl 15000 ppm + Na2CO3 0,3 Formula Larutan Surfaktan µ g b a h a n a k tif g c o re Gambar 45. Adsorpsi bahan aktif menggunakan metode titrasi dua fasa Mekanisme terjadinya adsorpsi adalah sebagai berikut : surfaktan yang dilarutkan dalam air injeksi akan mempengaruhi tegangan antarmuka minyak-air, sekaligus akan bersinggungan dengan permukaan butiran batuan. Pada saat terjadinya persinggungan ini, molekul-molekul surfaktan akan ditarik oleh molekul-molekul batuan reservoir dan diendapkan pada permukaan batuan secara terus menerus sampai titik jenuh. Akibat dari adsorpsi ini kualitas surfaktan akan menurun dan menyebabkan terjadinya pemisahan surfaktan. Adsorpsi batuan reservoir terhadap surfaktan terjadi akibat gaya tarik menarik antara molekul- molekul surfaktan dengan batuan reservoir. Besarnya gaya tersebut tergantung dari besarnya afinitas batuan reservoir terhadap surfaktan.

4.6.6. Uji Core Flooding Skala Laboratorium

Pengujian core flooding skala laboratorium dilakukan menggunakan core sintetik sebagaimana yang digunakan pada uji adsorpsi, sehingga dapat merepresentasikan native core batuan karbonat. Core sintetik dibuat semirip mungkin dengan core asli. Core sintetik sebelum digunakan dicuci terlebih dengan toluen menggunakan refluks dan dikeringkan dalam oven bersuhu 60-70 o C, dan kemudian dijenuhkan dengan air formasi dan diikuti dengan penjenuhan minyak sebelum dilakukan pengujian. Pengujian dilakukan secara bertahap yaitu core diinjeksi dengan air formasi hingga jenuh dengan laju alir satu meter per hari atau setara dengan satu ml8 menit pada suhu 70 o C dan tekanan 1,5 bar, dengan tekanan pada core holder 5,5 bar. Setelah core tersaturasi oleh air formasi, kemudian dilakukan penginjeksian minyak yang akan mendorong air formasi yang telah tersaturasi pada core. Minyak menggantikan tempat air formasi yang keluar sehingga minyak yang masuk setara dengan air formasi yang keluar. Air formasi yang keluar diukur untuk mengetahui volume minyak yang tersimpan dalam core. Kemudian dilakukan penginjeksian air injeksi, dimana proses injeksi ini akan mendorong minyak yang terkandung pada core. Penginjeksian fluida berupa air injeksi ini merupakan simulasi tahap sekunder dalam recovery minyak berupa water flooding. Penginjeksian ini berhenti jika tidak ada lagi minyak yang keluar. Selanjutnya dilakukan penginjeksian fluida ketiga berupa formula surfaktan dimana surfaktan telah dilarutkan dalam air injeksi. Data dimensi core yang digunakan pada uji core flooding disajikan pada Lampiran 26. Proses persiapan dan tahapan uji core flooding disajikan pada Lampiran 27. Adanya gaya tarik menarik batuan reservoir dan gelembung-gelembung minyak serta penyempitan pori-pori menyebabkan minyak terperangkap di dalam pori-pori. Ketika larutan surfaktan diinjeksikan terjadi penurunan tegangan antarmuka minyak-air dan menyebar melalui ‘film” air yang merupakan pembatas antara batuan reservoir dengan gelembung-gelembung minyak. Dengan turunnya tegangan antarmuka ini, gaya adhesi antara gelembung-gelembung minyak dan batuan reservoir akan berkurang dan tekanan kapiler yang bekerja pada daerah penyempitan pori-pori juga akan berkurang. Dengan demikian, sisa minyak yang terperangkap tersebut dapat dilarutkan dalam bentuk mikroemulsi. Kedudukan gelembung-gelembung minyak setelah didesak oleh larutan surfaktan melalui daerah penyempitan pori-pori bergerak dan kemudian bertemu dengan gelembung-gelembung minyak lainnya membentuk suatu fasa minyak continue oil bank. Dengan demikian, larutan formula surfaktan yang diujikan memiliki kemampuan untuk menurunkan gaya adhesi antara minyak dan core sintetik yang diujikan, sehingga pada uji core flooding larutan surfaktan setelah injeksi air menghasilkan incremental oil recovery sekitar 8-19, dengan total recovery mencapai 52-76. Pengujian menggunakan native core dihasilkan incremental oil recovery 9,1 dengan total recovery mencapai 45,5. Data hasil uji core flooding larutan surfaktan setelah injeksi air disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Hasil uji core flooding larutan surfaktan setelah injeksi air Kode Core Saturasi Air Porositas Water Flooding Surfactant Flooding Total Recovery Core Sintetik-1 15 36 57 19 76 Core Sintetik-3 3 44 44 8 52 Native Core-1 31 11,2 36,4 9,1 45,5 Pengujian juga dilakukan dengan menginjeksikan larutan surfaktan dengan arah aliran injeksi flow berbeda, yaitu antara searah gaya gravitasi dari atas ke bawah menjadi berlawanan gaya gravitasi dari bawah ke atas. Sebagai hasilnya, uji core flooding larutan surfaktan dengan arah flow dari bawah ke atas menghasilkan oil recovery yang lebih besar 77 dibanding flow dari atas ke bawah 61. Hasil uji core flooding larutan surfaktan dengan perbedaan arah flow injeksi disajikan pada Tabel 19. Hasil uji core flooding larutan surfaktan setelah injeksi air disajikan pada Lampiran 28 dan dengan perbedaan arah flow injeksi disajikan pada Lampiran 29. Tabel 19. Hasil uji core flooding larutan surfaktan dengan perbedaan arah flow injeksi Kode Core Perlakuan Saturasi Air Porositas Recovery Core Sintetik-2 Surfaktan Flooding atas ke bawah 33 41 61 Core Sintetik-4 Surfaktan Flooding bawah ke atas 7 41 77 Pada Tabel 19 terlihat bahwa recovery antara arah injeksi larutan surfaktan dari atas ke bawah dengan arah dari bawah ke atas menghasilkan nilai yang berbeda meskipun porositas core yang diujikan memiliki nilai yang sama yaitu 41. Diduga perbedaan ini lebih dipengaruhi oleh gaya gravitasi, perbedaan viskositas dan perbedaan permeabilitas. Aliran ke arah bawah memungkinkan larutan surfaktan yang memiliki densitas dan viskositas lebih besar dibanding densitas dan viskositas minyak, mengalir lebih cepat dibanding aliran minyak. Sementara aliran ke arah atas dapat menyebabkan pendesakan minyak lebih merata di seluruh pori-pori. Nilai permeabilitas masing-masing core tidak dihitung sehingga angka pastinya tidak diketahui. Namun, sebagai gambaran adanya permeabilitas yang berbeda, dapat dibandingkan antara data volume core Lampiran 26 dan volume air formasi yang tersisa dalam core setelah diinjeksi minyak Lampiran 29. Core-2 memiliki volume core 13,16 ml sementara core-4 memiliki volume core 18,24 ml. Namun volume air formasi yang tersisa dalam core -2 1,7963 ml lebih besar dibanding yang tersisa dalam core-4 0,5362 ml setelah diinjeksi minyak. Artinya, core-4 memiliki kemampuan lebih besar untuk melalukan memindahkan fluida dibanding core-2 sehingga dihasilkan nilai recovery yang lebih besar pula.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Hasil kajian kondisi proses produksi surfaktan MES untuk fluida formasi karbonat menunjukkan bahwa kondisi terbaik dicapai pada lama proses sulfonasi 3-4 jam, adanya penambahan laju udara kering 1,8 kgjam dan pemurnian dilakukan tanpa penambahan metanol dengan pH 8. Kondisi terbaik ini menghasilkan surfaktan MES yang memiliki karakteristik tegangan antarmuka pada air formasi 7,46x10 -3 dynecm, tegangan antarmuka pada air injeksi 1,49x10 -2 dynecm, bilangan iod 16,10 mg iodg sampel, kandungan bahan aktif 4,63 persen, kestabilan emulsi berkisar 0,8 persen, viskositas 99,90 cP, warna 280,5 klett. Semakin tinggi laju udara kering yang ditambahkan maka nilai bilangan iod dan bahan aktif semakin meningkat, sementara nilai viskositas dan warna semakin menurun. Jika pH surfaktan mendekati nilai pH fluida formasi, maka nilai tegangan antarmuka fluida yang dihasilkan semakin rendah. Formula surfaktan berbasis MES terbaik untuk aplikasi EOR pada formasi karbonat adalah formula dengan komposisi surfaktan MES 0,3, Na 2 CO 3 0,3 dan salinitas 15.000 ppm. Surfaktan MES yang dihasilkan memiliki sifat lebih tahan panas, salinitas dan kesadahan tinggi dibanding surfaktan komersial. Surfaktan MES yang dilarutkan pada fluida formasi memberikan nilai tegangan antarmuka fluida yang lebih baik ketika digunakan secara tunggal dibanding jika dikombinasikan dengan surfaktan komersial. Uji kinerja formula surfaktan berbasis MES menunjukkan bahwa formula surfaktan kompatibel dengan air formasi dan air injeksi, fasa yang terbentuk adalah fasa bawah, relatif stabil pada pemanasan hingga hari ke-77 suhu reservoir 70 dan 112 o C dengan kisaran tegangan antarmuka 10 -2 dynecm, adsorpsi mencapai 152,86 µg bahan aktifg core serta incremental oil recovery setelah injeksi air water flooding menggunakan core sintetik sebesar 8-19 dan menggunakan native core sebesar 9,1. Uji core flooding larutan surfaktan dengan arah flow dari bawah ke atas menghasilkan oil recovery yang lebih besar 16 dibanding flow dari atas ke bawah, dipengaruhi karena adanya gaya gravitasi.

5.2. Saran

Adapun yang dapat disarankan demi perbaikan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan pengaturan gas SO 3 agar kondisi proses sulfonasi lebih stabil, misalnya berupa penyediaan chamber khusus penampung gas SO 3 sebelum dialirkan ke reaktor. 2. Mengingat penambahan Na 2 CO 3 ternyata menyebabkan timbulnya endapan pada tahap uji thermal stability, maka pemakaian Na 2 CO 3 sebagai aditif tambahan pada formasi karbonat perlu dievaluasi. 3. Uji core flooding dengan menggunakan contoh batuan core yang lebih panjang, minimal 30 cm untuk mendapatkan ketelitian yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Abu-Sharkh BF, Yahaya GO, Ali SA, Hamad EZ dan Abu-Reesh IM. 2003. Viscosity behavior and surface and interfacial activities of hydrophobically modified water-soluble acrylamideN-phenyl acrylamide block copolymers. J. of Applied Polymer Science, Vol. 89 : 2290 – 2300. Akzo Nobel Surfactants. 2006. Enhanced Oil Recovery EOR Chemicals and Formulations. Akzo Nobel Surface Chemistry LLC. www.surfactants.akzonobel.com . [14 Februari 2011]. [AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. 1995. Washington: AOAC. [AOCS] Official Method Cd 1d-92. 1998. Iodine Value of Fats and Oils, Cyclohexane-Acetic Acid Method. In : D. Firestone Ed.. Official Methods and Recommended Practices of the American Oil Chemists’ Society. 5th Edition, AOCS, Champaign. [ASTM] American Society for Testing and Material D 1331 2000. Annual Book of ASTM Standards: Soap and Other Detergents, Polishes, Leather, Resilient Floor Covering . Baltimore: ASTM. Ahmad S, Siwayanan P, Abd Murad Z, Abd Aziz H dan Seng Soi H. 2007. Beyond Biodiesel : Methyl Esters as the Route for the Production of Surfactants Feedstock. Inform 18 :216–220. Bansal VK dan Shah DO. 1978. The effect of ethoxylated sulfonates on salt tolerance and optimal salinity of surfactant formulations for tertiary oil recovery. Society of Petroleum Engineers Journal, 6 : 167 – 172. Baker J. 1995. Process for Making Sulfonated Fatty Acid Alkyl Ester Surfactant. US Patent No. 5.475.134. [terhubung berkala]. www.uspto.com [14 Februari 2011]. Basiron Y. 1996. Bailey’s Industrial oil and Fat Products. Fifth Edition, Volume 2. Hui, Y.H. Ed.. John Wiley Sons, Inc., New York. Biermann M, Lance F, Piorr R, Ploog U, Rutzen H, Schindler J dan Schnid R. 1987. Synthesis of surfactants. Surfactants in Consumer Products : Theory, Technology and Application Falbe, J. Ed.. Springer-Verlag, Heidelberg. p. 78. Bernardini E. 1983. Vegetable Oils and Fats Processing. Volume II. Rome: Interstampa. Biwald CE dan Gavlick WK. 1997. Use of total organic carbon analysis and fourier-transform infrared spectroscopy to determine residues of cleaning agents on surfaces. J. AOAC Int. 80 : 1078 – 1083. Borchardt JK. 2010. Using Dynamic Interfacial Tension to Screen Surfactant Candidates. Tomah Products.