Teori Co-management TINJAUAN PUSTAKA

33 melemahnya power yang dimiliki oleh pihak pengelola kawasan, akhirnya memicu intensitas terjadinya konflik pengelolaan kawasan.

2.4. Teori Co-management

, -: - stakeholder netapkan . Stakeholder adalah mereka yang terlibat dan terpengaruh oleh kebijakan. 9 . - - 3 9 4 - - - Pengembangan konsep kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan suatu program pengelolaan sumberdaya alam, memiliki peran dan fungsi yang jelas antara masing-masing pihak. Co-management dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah suatu bentuk pengelolaan sumberdaya yang kegiatannya didasarkan pada kerjasama antara masyarakat dan pemerintah yang berorientasi pada optimalisasi pencapaian tujuan organisasi. Co-management tidak saja dilihat dari hubungan kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat, namun lebih luas lagi pada lingkup stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan bersama. Selanjutnya Claridge dan O’Callaghan 1995 mengemukakan bahwa co- management adalah partisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat baik secara individu maupun kelompok yang mempunyai keterkaitan atau kepentingan dengan sumberdaya tersebut. Dikemukakan pula bahwa ada tiga elemen penting dari co-management yakni: 34 1 Pembagian wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya berdasarkan rencana yang dipahami dan disetujui oleh semua pihak; 2 Tujuan sosial, budaya, dan ekonomi merupakan bagian yang terintegrasi dari strategi pengelolaan; dan 3 Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya merupakan tujuan utama. Berkaitan dengan itu Borrini-Feyerabend et al. 2000 mengemukakan bahwa co-management memiliki pula prinsip-prinsip sebagai berikut: 1 Mengakui perbedaan nilai, kepentingan dan kepedulian para pihak yang terlibat dalam mengelola wilayah atau kesatuan sumberdaya alam, baik di luar maupun di dalam komunitas lokal; 2 Terbuka bagi berbagai model hak pengelolaan sumberdaya alam selain pengelolaan yang secara legal telah ada dimiliki oleh pemerintah atau pihak yang berkepentingan; 3 Mengusahakan terciptanya transparansi dan kesetaraan dalam pengelolaan sumberdaya alam; 4 Memperkenankan masyarakat sipil untuk mendapatkan peranan dan tanggungjawab yang lebih nyata; 5 Mendayagunakan dengan saling memperkuat kapasitas dan keunggulan komparatif dari berbagai aktor yang terlibat; 6 Lebih menghargai dan mementingkan proses ketimbang hasil produk fisik jangka pendek; dan 7 Memetik pelajaran melalui kaji ulang secara terus menerus dan memperbaiki pengelolaan sumberdaya alam; Co-management adalah suatu kesepakatan dimana tanggung jawab pengelolaan sumberdaya dibagi antara pemerintah di satu sisi dan stakeholders di sisi lain dengan tujuan untuk menjaga integritas ekologi sumberdaya alam National Round Table on the Environment and the Economy = NRTEE 1999. Co-management memiliki pula beberapa prinsip dasar yakni: 1 pemberdayaan dan pembangunan kapasitas, 2 pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan tradisional, 3 perbaikan hak masyarakat lokal, 4 pembangunan berkelanjutan, 5 akuntabel dan transparan, 6 pelestarian lingkungan sumberdaya, 7 pengembangan mata pencaharian, 8 keadilan, dan 9 keterpaduan Knight Tighe 2003. 35 Selanjutnya Sen dan Nielsen 1996 mengajukan lima tahapan co- management yakni: 1 Instruktif; pada tipe co-management ini hampir sama dengan pengelolaan oleh pemerintah. Perbedaannya sedikit sekali yakni adanya sedikit dialog antara pemerintah dan masyarakat akan tetapi proses dialog yang terjadi bisa dipandang sebagai suatu instruksi karena pemerintah lebih dominan perannya, dimana pemerintah menginformasikan kepada masyarakat rumusan-rumusan pengelolaan sumberdaya alam yang pemerintah rencanakan untuk dilaksanakan; 2 konsultatif; pada tipe ini ada mekanisme yang mengatur sehingga pemerintah berkonsultasi dengan masyarakat, hanya saja sekalipun masyarakat bisa memberikan berbagai masukan kepada pemerintah, keputusan bahwa apakah masukan itu harus digunakan tergantung sepenuhnya pada pemerintah, atau dengan kata lain pemerintahlah yang berperan dalam merumuskan pengelolaan sumberdaya alam; 3 kooperatif; tipe ini menempatkan masyarakat dan pemerintah pada posisi yang sama; dengan demikian semua tahapan manajemen sejak pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi dan pemantauan institusi co-management menjadi tanggung jawab kedua belah pihak. Pada bentuk ini masyarakat dan pemerintah adalah mitra yang sama kedudukannya; 4 pendampingan atau advokasi; pada bentuk ini, peran masyarakat cenderung lebih besar dari peran pemerintah. Masyarakat memberi masukan kepada pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Masyarakat dapat pula mengajukan usul rancangan keputusan yang hanya tinggal dilegalisir oleh pemerintah. Kemudian pemerintah mengambil keputusan resmi berdasarkan usulan atau inisiatif masyarakat. Pemerintah lebih banyak bersifat mendampingi masyarakat atau memberikan advokasi kepada masyarakat tentang apa yang sedang dikerjakan oleh mereka; dan 5 informatif; pada bentuk ini, peran pemerintah makin berkurang dan di sisi lain peran masyarakat lebih besar dibandingkan dengan empat bentuk co- management sebelumnya. Dalam hal ini pemerintah hanya memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang sepantasnya dikerjakan. Dalam kontribusi yang lebih nyata, pemerintah menetapkan delegasinya untuk bekerja- sama dengan masyarakat dalam seluruh tahapan pengelolaan 36 sumberdaya alam, mulai dari pengumpulan data, perumusan kebijakan, implementasi, serta pemantauan dan evaluasi. Hasil kerjasama tersebut dilaporkan atau diinformasikan oleh delegasi pemerintah kepada pemerintah. Dari kelima kategori co-management tersebut disajikan pada Gambar 2. Fisher 1995 menekankan pula bahwa konsep dasar dari co- management yang berkaitan dengan sektor kehutanan adalah tercapainya kesepakatan tentang pengelolaan hutan antara pihak pengelola dengan masyarakat lokal. Masyarakat lokal berperan dalam hal pengelolaan dan perlindungan, sebagai imbalannya, masyarakat lokal mempunyai akses untuk memanfaatkan hasil-hasil hutan, dan memperoleh keuntungan dengan peningkatan pendapatan. Penyederhanaan dari definisi co-management oleh Fisher dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 2 Tahapan dari Co-management Sen Nielsen1996; Pomeroy 2001. Nationa Gambar 3 Prinsip Dasar dari Co-management Fisher 1995. Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan maka dapat diartikan bahwa pengelolaan dengan pola co-management untuk kawasan - - - – – – -Informative 37 konservasi adalah kemitraan di antara berbagai pihak yang berkepentingan yang menyetujui berbagi fungsi, wewenang dan tanggung-jawab dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi. Co-management berbeda dengan pengelolaan partisipatori lainnya atau dengan pengelolaan berbasis masyarakat community- based resources management, karena menuntut adanya kesadaran dan distribusi tanggung-jawab pemerintah secara formal Borrini-Feyerabend et al. 2000. Dalam konteks ini, konsultasi masyarakat dan perencanaan partisipatori ditujukan untuk menetapkan bentuk-bentuk peranserta yang lebih tahan lama, terukur dan setara dengan melibatkan seluruh kelompok yang berkepentingan terkait dan sah legitimate dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya alam. Co-management atau pengelolaan kolaboratif collaborative mana- gement, disebut juga sebagai pengelolaan kooperatif cooperative management, round-table management, share management, pengelolaan bersama joint management atau pengelolaan multi-pihak multistakeholder management. Co-management telah diterapkan dalam bidang perikanan, taman nasional, kawasan dilindungi protected area, kehutanan, satwa liar wildlife, lokasi pengembalaan, dan sumberdaya air Conley Moote 2001. Co-management dalam mengelola kawasan konservasi di Indonesia memang diperlukan, karena menyangkut kompleksnya sub-sistem ekologi, budaya, ekonomi dan politik dengan keterkaitan berbagai isu dan keterlibatan banyak kelompok kepentingan dalam masing-masing subsistemnya. Co- management menjadi penting ketika tidak adanya kesepakatan yang dapat dibangun secara sederhana dan universal untuk mendapatkan solusi terbaik dari konflik yang terjadi. Kerjasama dari seluruh stakeholder dalam pengelolaan kawasan konservasi akan meringankan beban biaya yang dibutuhkan karena para pihak yang terkait akan saling bahu membahu menyumbangkan sumberdaya yang dimilikinya berupa pengetahuan, tenaga, informasi maupun finansial. Transformasi pola pengelolaan sumberdaya alam oleh negara, swasta, dan kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat lokal agaknya merupakan tuntutan universal, yang berlaku bukan cuma di Indonesia. Di India telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan sumberdaya alam, khususnya hutan, dari kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan sekarang kolaborasi, sementara di Nepal terjadi tiga tahap evolusi yakni privatisasi, nasionalisasi, dan populisme David et al. 2003. Bahkan pergeseran juga terjadi di beberapa 38 negara bagian Amerika Serikat tempat asal muasal pengelolaan eksklusif kawasan konservasi yang mulai bergeser menuju co-management. Peranserta masyarakat yang meluas dan tidak sekedar simbolik ternyata menunjukkan hasil yang baik dimana produktifitas tercapai tanpa menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat lokal. Pemerintah di Negara India dan Nepal, berkeyakinan bahwa masyarakat lokal berkemampuan, memiliki pengetahuan, dan kearifan yang handal untuk mengelola sumberdaya alam secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan masyarakat lokal merupakan kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi dan pelestarian dapat dicapai secara lebih efektif dan pada saat yang sama tercipta suatu mekanisme resolusi konflik yang interaktif dan dialogis Means et al. 2002. Beberapa contoh co-management yang telah berhasil dilaksanakan dalam pengelolaan taman nasional Merrill dan Effendi 2001 diantaranya adalah: 1. Co-management di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara yang wadahnya dikenal dengan DPTNB Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken. Salah satu hasil rumusannya adalah penentuan tarif masuk TN Bunaken dan pendistribusian hasil pungutan tarif masuk tersebut yang diperkirakan sekitar Rp750 juta per tahun. Pendistribusian tersebut yakni: 5 untuk dana pembangunan propinsi, 5 untuk pembiayaan pembangunan daerah-kota, 5 untuk pusat yang diperuntukkan untuk pembangunan KSDA dan ekosistemnya melalui Dephut cq. Ditjen PKA, dan 85 untuk dana pendukung pengelolaan TN Bunaken. 2. Co-management di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur yang dikenal dengan Mitra Kutai, berhasil memberikan kontribusi bantuan keuangan bagi pengelolaan TN Kutai melalui rencana kerja tahunan senilai US 100.000 – US150.000 per tahun. 3. Co-management di Great Barrier Reef Marine Park, Australia yang dikelola oleh badan otorita khusus dengan mempekerjakan ratusan orang dan memperoleh lebih dari 1 satu juta Dollar Australia setiap tahunnya. Dalam pengelolaan taman nasional ini Kepala Taman Nasional selalu berkonsultasi dengan kelompok-kelompok yang berkepentingan termasuk masyarakat di sekitar taman nasional yang kehidupannya tergantung dari sumberdaya taman nasional tersebut. Selain itu workshop diantara para kelompok yang berkepentingan sering pula dilaksanakan untuk menyetujui keputusan 39 pengelolaan yang spesifik seperti pengaturan peruntukan zoning. - 9 . Gagasan dasar dari Acheson 1989 dapat dijadikan acuan mengapa pengelolaan kawasan konservasi membutuhkan pengelolaan yang bergotongroyong. Menurut Acheson konsep pengelolaan sumberdaya publik, seperti halnya kawasan konservasi menunjukkan kombinasi derajat intensitas keterlibatan pemerintah di satu pihak dan masyarakat di pihak lain serta dampak yang ditimbulkan. Atas dasar kombinasi tersebut, dihasilkan 4 alternatif pola pengelolaan sumberdaya alam sebagai berikut: Pertama, apabila masyarakat lokal dan pemerintah bersama-sama tidak melakukan kontrol secara intensif terhadap pengelolaan sumberdaya, akan menjadikan sumber daya tersebut didayagunakan secara terbuka sebagaimana halnya suatu sumberdaya terbuka open access. Dalam pola pengelolaan yang tidak jelas pengelolanya justru akan mengundang terjadinya the tragedy of the common yang berujung pada pemusnahan sumberdaya tersebut, karena adanya pemanfaatan yang berlebihan oleh manusia melampaui daya dukung. Kedua, apabila pemerintah melakukan kontrol mutlak terhadap pengelolaan sumberdaya, maka akan menghasilkan pola pengelolaan berbasis pemerintah state-based management. Pola inilah yang selama ini berlangsung di Indonesia. Dalam pola ini, peranan masyarakat dikesampingan, kalau pun ada hanya bersifat simbolik dan dengan demikian masyarakat kehilangan rasa memiliki dan rasa bertanggung-jawab. Padahal masyarakat juga mempunyai kapasitas tertentu dalam mengelola sumberdaya. Karena itu, masyarakat merasa tidak mempunyai kepentingan membantu pemerintah melakukan upaya-upaya pemeliharaan sumberdaya dan disamping itu pemerintah juga mempunyai keterbatasan kapasitas mengelola. Pada akhirnya, pola ini akan terjebak pada pola pertama. Ketiga, apabila masyarakat melakukan kontrol sepenuhnya terhadap pengelolaan sumberdaya, maka akan menghasilkan pola pengelolaan berbasis masyarakat community-based management. Masyarakat itu sendiri sebenarnya terdiri dari fragmen-fragmen yang cukup luas, ada masyarakat pengguna dan ada masyarakat di luar pengguna. Ketika masyarakat pengguna melakukan tindakan pengelolaan yang arif bijaksana, seringkali terdapat gangguan dari 40 masyarakat lain di luar teritorialnya. Jika intensitas gangguan itu meningkat, masyarakat pengguna tidak mampu lagi menanggulanginya secara berdikari serta ditambah dengan tidak ada dukungan kebijakan dari pemerintah dan pada akhirnya pola ini pun akan kembali terperangkap pada pola pertama. Keempat, apabila kontrol pemerintah dan masyarakat itu sangat besar dan dalam posisi yang setara dan seimbang dalam proses pengambilan keputusan, maka akan menghasilkan pola pengelolaan kolaboratif atau co-management. Secara empirik, inilah pola pengelolaan yang ideal. Co-management merupakan pilihan pola pengelolaan kawasan konservasi yang paling masuk akal. Pilihan ini akan menciptakan perimbangan kontrol masyarakat dan pemerintah terhadap sumberdaya kawasan konservasi, yang memungkinkan kawasan konservasi tidak terdegradasikan menjadi suatu sumberdaya terbuka. Borrini-Feyerabend et al. 2000 secara gamblang memberikaan argumentasi mengapa co-management penting dilaksanakan: 1 Pengelolaan yang efektif memerlukan adanya pengetahuan, kemampuan, sumberdaya dan keunggulan komparatif dari berbagai pihak yang berkepentingan dan hanya melalui co-management hal tersebut dapat dipenuhi, 2 Kebutuhan kesetaraan, keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat adalah pembayar pembangunan konservasi, sehingga wajar kalau diperhitungkan dalam pengambilan keputusan, 3 Keinginan untuk mengakhiri konflik di antara para pihak berkepentingan tanpa adanya pihak yang dikalahkan dalam pengelolaan sumberdaya alam, 4 Interaksi antara masyarakat dan lingkungan adalah bagian dari alam dan keanekaragaman hayati, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan, 5 Seiring dengan tuntutan akan kemandirian daerah dalam mengurus dan mengelola sumberdaya alam mereka dalam semangat otonomi daerah dan desentralisasi, 6 Sebagai salah satu cara untuk mencapai pengelolaan yang profesional, mandiri dan bertanggungjawab pada publik, 7 Otoritas tunggal terbukti tidak efektif dalam mengelola kawasan konservasi, khususnya dalam mengurangi kerusakan kawasan dan menggalang dukungan para pihak lokal dalam pengelolaan kawasan konservasi, 8 Otoritas tunggal yang sentralistik berada pada posisi terjepit oleh realitas lokal mengenai upaya pemda dan masyarakat lokal meningkatkan kesejahteraan serta pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai penerima manfaat jasa ekologis dari kawasan konservasi, para pihak lokal turut bertanggungjawab untuk menjaga 41 dan melestarikan kawasan konservasi yang dapat dibangun dengan pola co- management. Nikijuluw 1999 mengemukakan bahwa pada dasarnya tujuan utama yang ingin dicapai dari setiap pelaku dalam pengelolaan sumberdaya melalui co- management adalah pengelolaan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata. Tujuan utama tersebut menjadi lebih konkrit dan lebih nyata ukuran keberhasilannya bila dikaitkan dengan beberapa tujuan sekunder sebagai berikut: 1 Co-management merupakan suatu cara untuk mewujudkan proses pengambilan keputusan secara desentralisasi sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif 2 Co-management adalah mekanisme atau cara untuk mengurangi konflik antar masyarakat melalui proses demokrasi partisipatif 3 Co-management mempunyai tugas-tugas dalam hal perumusan kebijakan, estimasi potensi sumberdaya, penentuan hak-hak pemanfaatan, pengaturan cara-cara eksploitasi, pengaturan pasar, pemantauan, pengendalian, dan penegakan hukum. Berkaitan dengan itu ada beberapa karakteristik dari keberhasilan co- management yakni Claridge O”Callaghan 1995; Alikodra 2004: 1 Keuntungan integrasi konservasi dan pembangunan diakui oleh pemerintah dan stakeholders lain 2 Pemerintah mendukung dan memfasilitasi secara aktif ”involment” masyarakat setempat dalam manajemen sumberdaya alam dan konservasi 3 Para pihak memberikan perhatian dan berpartisipasi secara penuh 4 = = 5 Para pihak mengerti secara penuh dan saling percaya, dan mempunyai peran yang jelas 6 Akar permasalahan dimengerti dan disetujui untuk ditindak lanjuti 7 Keuntungan yang jelas diantara para pihak 8 . The Worldwide Fund for Nature of Indonesia WWF-Indonesia telah melakukan upaya konservasi dengan pendekatan co-management dan mendorong mutual respect, mutual trust, dan mutual benefit dalam pengelolaan 42 sumberdaya alam diantara para pihak. Pengelolaan kawasan konservasi dengan pola co-management melibatkan para stakeholder inti dengan menganut prinsip kesetaraan, keterbukaan, dan partisipatif WWF-Indonesia 2008. Pada prinsipnya ada dua aspek esensial dari pendekatan co-management: menciptakan hubungan antara konservasi dan pembangunan, dan menyatakan pentingnya melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dalam mengelola taman nasional sebagai sumber perolehan manfaat ekonomi sekaligus mempertahankan keberlanjutan fungsi taman nasional untuk konservasi, perlindungan, dan pemanfaatan. 2.5. Konsep untuk Mengembangkan Co-management 2.5.1. Konsep Partisipasi