Penerapan Prinsip Dasar Co-management dalam Pengelolaan TNLL pada Kondisi Saat ini

163

5.5. Penerapan Prinsip Dasar Co-management dalam Pengelolaan TNLL pada Kondisi Saat ini

Pengelolaan kawasan konservasi terutama taman nasional dengan pendekatan co-management ditentukan oleh beberapa faktor penting yang sangat bervariasi sesuai dengan kondisi masing-masing taman nasional. Untuk penelitian ini khusus mengkaji sejauhmana prinsip dasar dari co-management telah diterapkan dalam pengelolaan TNLL pada kondisi saat ini existing condition. Prinsip dasar yang dimaksud yakni: 1 partisipasi stakeholder, 2 pengakuan terhadap wilayah hak adat, 3 ada proses negosiasi, 4 Penerapan sanksi adat, 5 ada batas teritori, 6 kejelasan hak dan tanggungjawab dari stakeholder, serta 7 ada konsensus yang disepakati oleh stakeholder inti. Penerapan dari ke tujuh prinsip dasar co-management tersebut di desa KKM dan desa non-KKM dalam pengelolaan TNLL pada kondisi saat ini diuraikan sebagai berikut: 1 Partisipasi stakeholder Partisipasi stakeholder sebagai salah satu prinsip dari co-management dianalisis penerapannya dalam pengelolaan TNLL pada kondisi sekarang. Partisipasi stakeholder dalam pengelolaan TNLL berdasarkan pendapat dari responden masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM ditunjukkan pada Gambar 31. Gambar 31 Persentase partisipasi stakeholder sebagai prinsip co-management dalam pengelolaan TNLL 2007. Partisipasi stakeholder di Desa KKM 57.78 17.78 24.44 Belum dilibatkan tidak memberikan pendapat telah dilibatkan Partisipasi stakeholder di Desa NKKM 71.11 20 8.89 Belum dilibatkan tidak memberikan pendapat telah dilibatkan 164 Gambar 31 menunjukkan bahwa pengelolaan TNLL saat ini menunjukkan partisipasi masyarakat lokal di desa KKM tergolong tinggi 66,67, untuk desa non-KKM memperlihatkan partisipasi yang rendah 8,89. Partisipasi stakeholder yang tinggi di desa KKM mengindikasikan bahwa prinsip dasar dari co-management dalam pengelolaan taman nasional pada kondisi saat ini di desa KKM telah memperlihatkan penerapan yang tinggi akan tetapi sebaliknya pada desa non-KKM penerapannya masih rendah. Hal ini memberikan indikator bahwa masyarakat yang ada di desa KKM menilai bahwa mereka telah dilibatkan dalam pengelolaan TNLL terutama pada pengawasanpengamanan kawasan sehingga kawasan taman nasional diharapkan dapat terhindar dari kegiatan masyarakat yang berpeluang mengancam kelestarian taman nasional baik masyarakat yang berada di desa KKM sendiri maupun masyarakat yang berasal dari luar desa KKM. Kegiatan yang dimaksud antara lain pengambilan kayu secara illegal, pemasangan jerat dalam kawasan, dan pengambilan rotan secara illegal. Menurut masyarakat yang ada di desa KKM bahwa kegiatan yang dilakukan secara illegal tersebut akan merugikan masyarakat sendiri terutama yang bermukim di sekitar kawasan kalau seandainya terjadi tanah longsor akibat dari penebangan liar. Akan tetapi masyarakat yang bermukim di desa non-KKM masih relatif sedikit yang merasa bahwa mereka sudah mulai dilibatkan dalam pengelolaan TNLL saat ini. Partisipasi sejumlah masyarakat lokal pada desa non- KKM baru pada taraf dialog dan masih pada kategori rendah 8,89. Dialog yang dilaksanakan pada Juni 2003 tentang apa yang masyarakat inginkan terkait dengan TNLL, namun keinginan masyarakat lokal di desa non-KKM saat ini masih belum diakomodir terutama dalam hal keinginan masyarakat untuk diakui hak adathak kelola dari lahan masyarakat yang terdapat dalam kawasan baca kepentingan masyarakat lokal. Tingginya persentase 71,11 masyarakat lokal di desa non-KKM yang berpendapat bahwa pengelolaan TNLL saat ini belum melibatkan masyarakat di sekitar kawasan, memberikan indikator bahwa partisipasi masyarakat lokal di desa non-KKM dalam pengelolaan TNLL masih rendah. Alasan yang dikemukakan oleh masyarakat di desa non-KKM yang merasa belum dilibatkan dalam pengelolaan TNLL diantaranya: bahwa dengan keberadaan taman nasional justru masyarakat kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan hak adathak kelola lahan yang terdapat dalam kawasan, kehilangan kesempatan untuk mengumpul rotan sebagai sumber pendapatan, akan terjadi kelangkaan 165 lahan untuk anak-anak mereka di masa depan, kesulitan memperoleh kayu untuk bahan bangunanan, dan kesulitan memperoleh kayu bakar. Persentase masyarakat lokal di desa non-KKM berdasarkan alasan yang dikemukakan ditunjukkan pada Tabel 38. Tabel 38 Alasan yang dikemukakan masyarakat lokal di desa non-KKM terkait dengan pengelolaan TNLL pada kondisi saat ini 2007 No. Alasan yang dikemukakan Jumlah org Persentase 1. Masyarakat kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan hak adathak kelola lahan yang terdapat dalam kawasan 24 53,33 2. Kehilangan kesempatan untuk mengumpul rotan sebagai sumber pendapatan 9 20,00 3. Akan terjadi kelangkaan lahan untuk anak cucu mereka di masa depan 7 15,56 4. Kesulitan memperoleh kayu untuk bahan bangunan 5 11,11 Total 45 100,00 Sumber : Hasil analisis 2007. Tabel 38 menunjukkan bahwa terkait dengan pengelolaan TNLL pada kondisi sekarang, maka masyarakat lokal yang bermukim di desa non-KKM yang merasa kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan hak adathak kelola lahan yang terdapat dalam kawasan masih berada pada kategori tinggi. Kemudian menyusul masyarakat yang merasa kehilangan kesempatan untuk mengumpulkan rotan sebagai sumber pendapatan, dan yang tidak kalah pentingnya menurut masyarakat yang ada di desa non-KKM adalah kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kelangkaan lahan bagi anak cucu mereka di masa yang akan datang. Hal ini semakin memberikan gambaran yang kuat bahwa partisipasi masyarakat di desa non-KKM pada tahap dialog terkait dengan pengelolaan TNLL saat ini belum dapat dikatakan sebagai bentuk co- management sebab masih berpeluang untuk menimbulkan konflik sebagai akibat dari kepentingan masyarakat yang belum terakomodir. Partisipasi masyarakat di desa non-KKM pada tahap dialog tersebut, oleh Sen Nielsen 1996; Pomeroy 2001 masih dikategorikan ke dalam tahap yang sifatnya baru pertukaran informasi antara pemerintah dan pengguna yang dikenal dengan taraf instruktif, belum pada tataran co-management. Sementara Fisher 1995 mengemukakan bahwa konsep dasar dari co- management adalah partisipasi masyarakat lokal 166 dalam pengelolaan dan perlindungan suatu kawasan konservasi, sebagai imbalannya masyarakat mempunyai akses untuk memanfaatkan sumberdaya yang terdapat dalam kawasan hutan. Mengacu pada pendapat Sen Nielsen 1996; Pomeroy 2001; Fisher 1995 maka dapat dikatakan bahwa penerapan prinsip dasar co-management untuk partisipasi stakeholder di desa KKM sudah pada kategori tinggi atau telah teraplikasi dengan baik sedang di desa non-KKM penerapannya masih rendah atau belum pada tataran co-management. 2 Pengakuan terhadap hak lahan adat S alah satu prinsip dasar dari co-management yang dianalisis sejauhmana penerapannya dalam penelitian ini adalah pengakuan terhadap hak lahan adat. Penerapan dari prinsip dasar tersebut akan mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh stakeholder masyarakat lokal yang ditunjukkan pada Gambar 32. Gambar 32 Persentase pengakuan terhadap wilayah hak adat sebagai prinsip co-management dalam pengelolaan TNLL 2007. Gambar 32 menunjukkan bahwa di dalam pengelolaan taman nasional, telah ada pengakuan terhadap hak lahan adat yang bermukim di desa KKM dengan persentase masyarakat yang menyatakan bahwa telah ada pengakuan terhadap hak lahan adat di desa KKM tergolong tinggi 82.22. Pengakuan terhadap hak lahan adat bagi masyarakat yang ada di desa KKM tersebut memberikan dampak yang positif terhadap kelestarian kawasan taman nasional, dengan berkurangnya kegiatan perambahan bahkan dapat dikatakan bahwa kegiatan perambahan di desa KKM sudah tidak ada. Hasil penelitian ini sejalan Pengakuan lahan adat di Desa KKM 13.33 4.44 82.22 Belum diakui Tidak memberikan pendapat Telah diakui Pengakuan lahan adat di Desa NKKM 77.78 13.33 8.89 Belum diakui Tidak memberikan pendapat Telah diakui 167 dengan pendapat yang dikemukakan oleh NRTEE 1999 bahwa untuk menjaga integritas ekologi sumberdaya alam dengan pendekatan co-management, maka prinsip dasar yang harus dimiliki diantaranya adalah: 1 pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan tradisional, dan 2 perbaikan hak masyarakat lokal. Hasil penelitian ini sejalan pula dengan David et al. 2003 mengemukakan bahwa peranserta masyarakat yang meluas dan tidak sekedar simbolik ternyata menunjukkan hasil yang baik dimana produktifitas tercapai tanpa menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat lokal. Sementara di desa non-KKM persentase masyarakat masih tergolong rendah 13,33 yang mengatakan bahwa hak masyarakat terhadap sumberdaya alam terutama sumberdaya lahan yang terdapat di dalam kawasan telah diakui oleh pihak BTNLL. Hal ini dapat dilihat dengan berbagai upaya yang sedang dilakukan oleh masyarakat di desa non-KKM untuk memperjuangkan haknya agar dapat diakui minimal sama dengan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat di desa KKM yang telah mendapat pengakuan dari pihak BTNLL. Salah satu upaya yang sedang digagas oleh masyarakat di desa non-KKM agar mendapat pengakuan terhadap hak adathak kelola mereka diantaranya adalah membangun kesepakatan antara masyarakat dengan pihak BTNLL, tapi belum ada pengakuan secara resmi terhadap hak masyarakat untuk tetap memanfaatkan sumberdaya alam di wilayah adatnya yang terdapat di dalam kawasan. Pengakuan hak yang belum diperoleh masyarakat di desa non-KKM sebagaimana yang telah diuraikan, merupakan implikasi dari keputusan yang bersifat topdown sehingga kepentingan dari pengelolaan kawasan taman nasional tidak searah dengan kepentingan masyarakat di sekitar kawasan. Akibatnya terjadi ketidakstabilan yang ditandai dengan terjadinya konflik kepentingan antara pengelola kawasan dengan komunitas lokal yang bermukim di sekitar kawasan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Fisher et al. 2001 bahwa konflik akan terjadi apabila hubungan antara dua pihak atau lebih yang merasa memiliki sasaran yang satu dengan yang lain tidak sejalan. Sasaran yang tidak sejalan inilah yang membutuhkan suatu pendekatan agar kepentingan masig-masing pihak dapat disinergikan untuk menghindari terjadinya konflik yang dapat berimplikasi negatif terhadap kelestarian taman nasional. Oleh sebab itu untuk menjaga kelestarian TNLL maka pengakuan terhadap hak masyarakat yang bermukim di desa non-KKM seyogyanya 168 diberikan oleh pihak BTNLL sama dengan pengakuan terhadap hak masyarakat yang bermukim di desa KKM tentunya lewat suatu negosiasi untuk mendapatkan suatu kesepakatan. 3 Pelaksanaan negosiasi P rinsip dasar co-management lainnya yang dianalisis sejauhmana penerapannya dalam penelitian ini adalah pelaksanaan negosiasi. Negosiasi merupakan salah satu faktor kunci untuk mencapai kompromi atau kesepakatan atas konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan terkait dengan sumberdaya alam. Penerapan atau pelaksanaan negosiasi dalam pengelolaan taman nasional pada dua kelompok desa yang ada di sekitar TNLL ditunjukkan pada Gambar 33. Gambar 33. Persentase pelaksanaan negosiasi sebagai prinsip co- management dalam pengelolaan TNLL 2007. Gambar 33 menunjukkan bahwa di dalam pengelolaan taman nasional, pelaksanaan negosiasi khusus di desa KKM memperlihatkan persentase yang sedang sementara di desa non-KKM hanya sekitar 13,33 masyarakat yang menyatakan bahwa telah dilakukan upaya untuk mempertemukan kepentingan dari stakeholder yang terkait dengan TNLL. Proses negosiasi yang dilaksanakan di desa KKM untuk mewujudkan kesepakatan antara masyarakat lokal dengan pihak TNLL tidak dilakukan dengan duduk bersama antar stakeholder terutama stakeholder inti melainkan hanya dilakukan melalui mediasi oleh LSM yang memfaslitasi terbangunnya KKM. Proses negosiasi yang dilaksanakan di desa KKM untuk membentuk suatu kesepakatan dilakukan dengan cara melibatkan beberapa tokoh masyarakat kemudian oleh LSM yang memfasilitasi terbentuknya KKM tersebut Pelaksanaan negosiasi di Desa KKM 22.22 35.56 42.22 Belum dilaksanakan Tidak memberikan pendapat Telah dilaksanakan Pelaksanaan negosiasi di Desa NKKM 15.56 13.33 71.11 Belum dilaksanakan Tidak memberikan pendapat Telah dilaksanakan 169 mendapat informasi dari tokoh masyarakat tentang hak-hak yang masyarakat lokal inginkan terkait dengan TNLL kemudian LSM memformulasi keinginan- keinginan masyarakat tersebut termasuk membuat Peta Partisipatif tentang lahan adat masyarakat yang terdapat di dalam kawasan TNLL. Selanjutnya naskah KKM yang telah diformulasi tersebut diajukan ke pihak BTNLL untuk dipelajari kemudian disetujui atau diakui oleh pihak BTNLL. Mengacu pada pelaksanaan negosiasi yang dilakukan di desa KKM maka dapat dikatakan bahwa proses negosiasi yang dilaksanakan tersebut, belum memenuhi syarat dari co-management dimana stakeholder terkait harus duduk bersama untuk membicarakan konflik kepentingan diantara stakeholder dengan satu pemahaman: ”saling memberi dan menerima” untuk mencapai suatu kesepakatan. Hal ini didukung oleh Borrini-Feyerabend et al. 2000 yang mengemukakan bahwa co-management adalah dua atau lebih stakeholder bernegosiasi, menetapkan dan memberikan garansi diantara mereka untuk secara adil membagi hak dan tanggungjawab dari suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu. Selain itu dikatakan pula bahwa salah satu prinsip yang menentukan keberhasilan dari co-management adalah lebih menghargai dan mementingkan proses ketimbang produk fisik jangka pendek . Oleh sebab itu negosiasi sebagai salah satu prinsip dasar dari pendekatan co-management haruslah benar-benar dilaksanakan dengan melibatkan stakeholder terkait untuk menghasilkan suatu kesepakatan yang legitimate. Lain halnya dengan masyarakat yang bermukim di desa non-KKM, hanya 13,33 diantara mereka yang mengatakan bahwa telah dilakukan proses negosiasi dengan Pemda melalui dialog dengan Ketua dan anggota DPRD Kab. Donggala serta para kepala dinas terkait, hanya saja pelaksanaan dialog tersebut tidak dihadiri oleh pihak BTNLL. Pelaksanaan proses negosiasi di desa non-KKM tersebut juga belum memenuhi syarat dari co-management, dimana dalam proses negosiasi untuk mencapai kesepakatan harus melibatkan stakeholder inti: masyarakat lokal dan BTNLL WWF-Indonesia 2008. Jadi pelaksanaan negosiasi telah dilakukan baik di desa KKM maupun di desa non- KKM hanya saja pelaksanaan negosiasi pada ke dua desa tersebut belum memenuhi tataran co-management. 170 4 Penerapan sanksi adat Penerapan P rinsip dasar co-management lainnya yang dianalisis penerapannya dalam penelitian ini adalah penerapan sanksi adat. Seberapa besar penerapan dari sanksi adat dalam pengelolaan TNLL ditunjukkan pada Gambar 34. Gambar 34. Persentase penerapan sanksi adat sebagai prinsip co-management dalam pengelolaan TNLL 2007. Gambar 34 menunjukkan bahwa penerapan sanksi adat dalam pengelolaan TNLL di desa KKM telah dilaksanakan dan memperlihatkan hasil yang efektif, sebab anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran dan kemudian disidangkan di lembaga adat, di yakini oleh masyarakat di desa KKM sebagai suatu pantangan yang akan dirasakan oleh keluarga tersebut secara turun temurun, sehingga sanksi adat akan cenderung lebih efektif dibanding dengan hukum formal. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh McKean 1992 dan Li 2000 bahwa sanksi adat terkait erat dengan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu komunitas masyarakat adat tertanam pada setiap individu, sehingga lebih bertahan dan lebih dipatuhi bila dibandingkan sanksi- sanksi formal bentukan pemerintah. Sejalan dengan pendapat McKean 1992 dan Li 2000 sebagaimana yang telah dikemukakan, maka kajian yang dilakukan oleh Basuni 2003; Flint Lulof 2005; Pagdee et al. 2006 bahwa aturan-aturan lokal yang disepakati, diimplementasikan dengan baik, serta didukung oleh identitas komunal yang kuat, terbukti mampu menunjang kelestarian fungsi hutan. Oleh karena itu penerapan sanksi adat secara konsisten, akan berdampak positif terhadap kelestarian TNLL. Penerapan sanksi adat di Desa KKM 84.44 15.56 Belum diterapkan Tidak memberikan pendapat Telah diterapkan Penerapan sanksi adat di Desa NKKM 86.67 4.44 8.89 Belum diterapkan Tidak memberikan pendapat Telah diterapkan 171 Masyarakat yang bermukim di desa non-KKM, hanya 4,44 diantara mereka yang mengatakan bahwa sudah pernah dilakukan sidang adat terkait dengan keberadaan kawasan taman nasional. Menurut masyarakat di desa non- KKM perhatian mereka lebih mengarah pada keinginan akan adanya pengakuan dari pihak BTNLL atas lahan masyarakat yang dijadikan sebagai sumber mata pencaharian yang terdapat dalam kawasan. Apabila penerapan sanksi adat yang dilakukan di desa KKM dijadikan sebagai acuan dalam memberikan sanksi bagi siapapun pelaku kegiatan yang cenderung mengancam kelestarian kawasan taman nasional, maka dapat dikatakan bahwa penerapan sanksi adat dalam pengelolaan TNLL ke depan cenderung akan lebih efektif. 5 Batas teritori S alah satu prinsip dasar dari co-management yang dianalisis dalam penelitian ini adalah adanya batas teritori. Sejauhmana keberadaan batas teritori pada masing-masing kelompok desa ditunjukkan pada Gambar 35. Gambar 35 Persentase pendapat responden tentang batas teritori dalam pengelolaan TNLL 2007. Gambar 35 menunjukkan bahwa persentase pendapat responden tentang adanya penetapan batas teritori dalam pengelolaan TNLL di desa KKM telah ada dan telah disepakati serta mendapat pengakuan dari pihak BTNLL yang sebelumnya diklaim sebagai bagian dari wilayah TNLL. Pengakuan tersebut, secara sosial-ekonomi memberikan rasa aman kepada masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat dalam wilayah taman nasional untuk memenuhi kebutuhan mereka. Penetapan batas teritori yang juga telah disepakati antara masyarakat di desa KKM dan pihak BTNLL memberikan gambaran bahwa penerapan salah satu prinsip co-management yakni adanya batas teritori dalam pengelolaan TNLL di bagian kawasan yang Batas Teritori di Desa KKM 4.44 8.89 86.67 Belun ada batas Tidak memberikan pendapat Telah ada batas Batas Teritori di Desa NKKM 88.89 4.44 6.67 Belun ada batas Tidak memberikan pendapat Telah ada batas 172 terdapat di kelompok desa KKM telah diterapkan dan sekitar 86,67 responden masyarakat lokal yang mengakui keberadaannya. Penetapan batas teritori dalam pengelolaan TNLL di desa KKM dapat dikatakan telah memenuhi salah satu prinsip dari co-management sesuai dengan yang dikemukakan oleh Borrini- Feyerabend et al. 2000 bahwa batas teritori merupakan salah satu prinsip dasar dari keberhasilan co-management. Masyarakat yang bermukim di desa non-KKM, hanya 4,44 diantara mereka yang mengatakan bahwa telah ada batas teritori yang memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk dapat mengakses sumberdaya yang telah dimanfaatkan sebelum penetapan kawasan TNLL. Sedang 88,89 masyarakat di desa non-KKM yang menyatakan bahwa belum ada batas teritori Situasi demikian, berpeluang besar terjadinya konflik terbuka sama dengan yang terjadi pada tahun sebelumnya 2001, karena masyarakat di desa non-KKM menuntut adanya pemberian hak yang relatif sama dengan hak yang diterima oleh masyarakat di desa KKM. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu pendekatan pengelolaan yang dapat mengantisipasi terjadinya konflik secara vertikal maupun konflik horizontal. 6 Kejelasan hak dan tanggung jawab Kejelasan hak dan tanggungjawab dari stakeholder merupakan salah satu prinsip dasar dari co-management yang dianalisis dalam penelitian ini. Sejauhmana aplikasinya dalam pengelolaan taman nasional pada masing- masing kelompok desa ditunjukkan pada Gambar 36. Gambar 36 Persentase pendapat responden tentang kejelasan hak dan tanggungjawab dalam pengelolaan TNLL 2007. Kejelasan hak dan tanggungjawab di Desa KKM 82.22 6.67 11.11 Belum ada kejelasan Tidak memberikan pendapat Ada kejelasan Kejelasan hak dan tanggungjawab di Desa NKKM 86.67 8.89 4.44 Belum ada kejelasan Tidak memberikan pendapat Ada kejelasan 173 Gambar 36 menunjukkan bahwa 82,22 masyarakat yang menyatakan bahwa hak dan tanggung jawab stakeholder dalam pengelolaan TNLL di desa KKM telah jelas dan diatur dalam kesepakatan konservasi masyarakat KKM. Berdasarkan hasil diskusi dengan LSM dan ketua lembaga adat, ternyata bahwa pada saat ini masyarakat berupaya melaksanakan tanggung jawabnya untuk ikut dalam pengamanan kawasan. Tanggung jawab yang diperlihatkan oleh masyarakat di desa KKM tersebut memberikan gambaran bahwa keterlibatan masyarakat di sekitar kawasan terutama dalam kegiatan pengamanan kawasan merupakan implikasi dari kejelasan hak yang diberikan kepada masyarakat yang bermukim di desa KKM. Keterlibatan masyarakat tersebut akan meringankan beban biaya yang dibutuhkan karena para pihak yang terkait akan saling bahu membahu menyumbangkan sumberdaya termasuk informasi maupun tenaga yang dimilikinya. Hal ini merupakan salah satu sasaran yang diharapkan dalam pendekatan pengelolaan kawasan konservasi dengan pendekatan co- management agar kelestarian kawasan dapat terjaga dengan keterlibatan stakeholder terkait. Kondisi ini didukung oleh Claridge O”Callaghan 1995; Alikodra 2004 yang mengemukakan bahwa salah satu karakteristik dari keberhasilan co-management adalah para pihak mengerti secara penuh dan saling percaya, serta mempunyai peran yang jelas. Selanjutnya dari hasil diskusi terungkap pula bahwa seharusnya ada dana operasional untuk mendukung kegiatan yang dilakukan oleh kelompok pengamanan kawasan Tondo Ngata, Panimpu Ngata, dan Hondohanua. Apabila kejelasan hak dan tanggung jawab yang harus diemban oleh masing- masing stakeholder terkait dengan pengelolaan TNLL sudah dipahami oleh setiap kelompok stakeholder, maka dana opersional untuk kelompok pengamanan kawasan yang dimaksud, tidak akan menjadi beban dalam pengelolaan taman nasional dengan pendekatan co-management. Terkait dengan kejelasan hak dan tanggung jawab dari stakeholder sebagai salah satu prinsip dasar co-managment dalam pengelolaan TNLL desa non-KKM terlihat bahwa ada 86,67 masyarakat yang menyatakan bahwa prinsip dasar dari co-management tersebut belum teraplikasi di dalam kegiatan pengelolaan taman nasional. Ketidak jelasan tersebut, berpeluang untuk menimbulkan konflik kepentingan antara masyarakat lokal dengan pihak BTNLL. Oleh sebeb itu semakin kuat dugaan bahwa co-management merupakan pendekatan yang tepat untuk pengelolaan TNLL. 174 7 Konsensus yang disepakati P rinsip dasar dari co-management yang dianalisis dalam penelitian ini adalah konsensus yang telah disepakati. Analisis dari prinsip dasar tersebut mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh stakeholder masyarakat lokal yang ditunjukkan pada Gambar 37. S Gambar 37 Persentase pendapat responden tentang adanya konsensus dalam pengelolaan TNLL 2007. Gambar 37 menunjukkan bahwa di dalam pengelolaan taman nasional, telah ada konsensus yang disepakati antara masyarakat yang bermukim di desa KKM dengan pihak BTNLL yang dikenal dengan kesepakatan konservasi masyarakat KKM. Persentase masyarakat di desa KKM yang menyatakan bahwa telah ada konsensuskesepakatan yang disepekati bersama antara masyarakat dengan pihak BTNLL dan pernyataan masyarakat tersebut berada pada kategori tinggi 91,11. Pendapat yang dikemukakan oleh masyarakat tentang keberadaan konsensuskesepakatan di desa KKM didukung oleh pernyataan dari key informan yakni To Tua Ngata yang mengemukakan bahwa memang telah ada kesepakatan yang dibangun dan bahkan telah ditandatangani bersama antara Kepala BTNLL dengan salah satu tokoh masyarakat yakni To Tua Ngata. Naskah kesepakatan yang telah ditandatangani di desa KKM dan pengakuan pihak BTNLL terhadap wilayah hukum adat ditunjukkan pada Gambar 38 dan Gambar 39. Konsensus di Desa KKM 91.11 2.22 6.67 Belum ada konsensus Tidak memberikan jawaban Telah ada konsensus Konsensus di Desa NKKM 84.44 4.44 11.11 Belum ada konsensus Tidak memberikan jawaban Telah ada konsensus 175 Naskah kesepakatan yang telah dibangun di Desa KKM dan telah mendapat pengakuan dari pihak BTNLL akan lebih legitimate seandainya Naskah kesepakatan yang telah dibangun di Desa KKM dan telah Naskah kesepakatan yang telah dibangun di desa KKM dan telah mendapat pengakuan dari pihak BTNLL akan lebih legitimate seandainya dibangun dengan proses negosiasi yang juga melibatkan Pemda terutama untuk membicarakan masalah yang terkait dengan SK Gubernur No.5921993 tentang tidak diakuinya keberadaan lahan adat di Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah. SK Gubernur tersebut mendukung Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 593Kpts-II1993 pada tanggal 5 Oktober 1993 tentang penunjukan Kawasan TNLL baca Sub Bab Diskripsi TNLL, yang pada saat itu mulai pemberlakukan aturan yang melarang masyarakat lokal untuk mengambil atau memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat dalam kawasan taman nasional sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Apabila dilihat dari proses pencapaian konsensuskesepakatan yang telah terbangun antara msyarakat yang bermukim di desa KKM dengan pihak BTNLL dapat dikatakan bahwa konsensuskesepakatan yang dicapai tersebut tidak sejalan dengan prinsip dasar dari co-management yang dikemukakan oleh Borrini- Feyerabend et al. 2000 yakni lebih mementingkan proses ketimbang produk yang dihasilkan. Sementara konsensuskesepakatan yang dicapai di desa KKM dibangun melalui keterlibatan LSM YTM dan TNC yang memformulasi point-point kesepakatan berdasarkan pada keinginan-keinginan masyarakat lokal terkait dengan hak adatnya. Kemudian naskah kesepakatan yang telah diformulasi tersebut, diajukan ke pihak BTNLL melalui LSM untuk disetujui atau diakui hasil diskusi dengan tokoh adat 2007. Gambar 38 Salah seorang angota Totua Ngata menyerahkan piagam kesepakatan kepada Kepala Balai TNLL Foto: Dokumentasi masyarakat Toro 2000. Gambar 39 Masyarakat Adat Toro berpose bersama di sekeliling Prasasti Pengakuan Foto: Dokumentasi masyarakat Toro 2000. 176 Menurut Borrini-Feyerabend et al. 2000 bahwa konsensus kesepakatan yang dihasilkan seharusnya melalui proses negosiasi yang melibatkan minimal stakeholder inti masyarakat lokal dan BTNLL untuk duduk bersama membicarakan perbedaan kepentingan untuk mencapai konsensus kesepakatan yang dipahami dan dapat dijadikan kontrol oleh masing-masing pihak dalam pengelolaan taman nasional. Akan tetapi pendapat Fisher 1995 mengemukakan bahwa konsep dasar dari co-management yang berkaitan dengan sektor kehutanan adalah tercapainya kesepakatan tentang pengelolaan hutan antara pihak pengelola dengan masyarakat lokal. Oleh sebab itu konsensuskesepakatan yang telah dibangun dan telah disepakati di desa KKM antara masyarakat lokal dengan pihak BTNLL dikaitkan dengan pendapat Fisher 1995 sebagaimana yang telah dikemukakan, dapat dikatakan bahwa konsensuskesepakatan yang telah dicapai di desa KKM tersebut telah sejalan dengan konsep dasar dari co-management dan akan lebih legitimate lagi kalau konsensus yang disepakati tersebut dihasilkan melalui proses negosiasi yang sesuai dengan tataran co-management. Sementara masyarakat yang bermukim di desa non-KKM, 84,44 diantara mereka yang mengatakan bahwa belum ada konsensuskesepakatan yang dibangun antara masyarakat dengan pihak BTNLL. Menurut masyarakat di desa non-KKM, sudah beberapa kali dilakukan dialog dengan pihak BTNLL hanya saja belum ada satupun kesepakatan yang dihasilkan dari kegiatan dialog tersebut. Bukti bahwa belum ada kesepakatan yang berhasil dibangun yakni pada saat penelitian ini dilaksanakan, masyarakat di desa non-KKM mengemukakan bahwa kami telah melakukan pengukuran dan membuat patok sebagai batas wilayah yang kami bisa manfaatkan dan batas tersebut telah disetujui oleh Kepala BTNLL. Namun, ketika pemasangan patok tersebut dikonfirmasi dengan Kepala BTNLL, hal itu tidak dibenarkan oleh Kepala Balai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsensuskesepakatan antara stakeholder masyarakat lokal dengan pihak BTNLL di desa non-KKM memang belum ada.

5.6. Konsep Co-management untuk TNLL