107
5.3. Kepentingan Stakeholder
Masyarakat  di  sekitar  TNLL  merupakan  stakeholder  utama  dengan kepentingan  yang  berbeda  terhadap  taman  nasional  dibandingkan  dengan
stakeholder lainnya, khususnya otoritas TNLL.
5.3.1. Kepentingan Masyarakat lokal
Kepentingan  masyarakat  lokal  akan  lahan  adat  kebun  yang  telah dikelola sebelum penetapan kawasan, menimbulkan konflik dengan pihak BTNLL
yang  menginginkan  agar  masyarakat  lokal  tidak  berkebun  di  dalam    kawasan taman nasional. Kepentingan masyarakat  yang ada di desa KKM dan desa non-
KKM terkait dengan TNLL ditunjukkan pada Tabel 17. Tabel  17  menunjukkan  bahwa  kepentingan  masyarakat  lokal  terkait
dengan  taman  nasional  diantaranya  adalah  bahwa  masyarakat  berkepentingan untuk  tetap  dapat  memetik  hasil  tanaman  kopikakaonya  baik  untuk  desa  KKM
maupun masyarakat yang ada di Desa Nono-KKM. Selain itu 55,56 masyarakat di  desa  KKM  mengharapkan  tetap  dapat  mengambil    rotan  sebagai  sumber
pendapatan    dan    untuk  desa  non-KKM  64,44  diantaranya  yang  masih mengharapkan tetap dapat mengambil rotan, dan masyarakat juga menginginkan
ketersediaan kayu untuk konstruksi rumah tinggal, dan  ketersediaan kayu untuk pembangunan  sarana  sosial  seperti  rumah  ibadah,  lobo  dan  bantaya.
Pengambilan  kayu  untuk  bahan  bangunan  rumah  tinggal  dan  atau  bangunan rumah  ibadah  sesuai  dengan  yang  tertuang  dalam  naskah  Kesepakatan
Konservasi Masyarakat KKM pada Pasal 9 antara masyarakat pada kelompok desa KKM dengan pihak BTNLL, hanya dapat dilakukan oleh masyarakat dengan
seizin  lembaga  adat.  Mekanisme  pengambilan  kayu  dilakukan  oleh  anggota masyarakat  dengan  mengajukan  surat  permohonan  kepada  lembaga  adat
dengan  mencamtumkan  berapa  m
3
yang  akan  diambil,  jenis  kayu  apa,  dan lokasinya di mana. Selanjutnya lembaga adat bersama kepala desa meniliti surat
permohonan  yang  diajukan  oleh  anggota  masyarakat  tersebut,  kemudian  surat izin  untuk  mengambil  kayu  dalam  kawasan  dikeluarkan  oleh  lembaga  adat
dengan  tetap  mencamtumkan  berapa  m
3
yang  akan  diambil,  jenis  kayu  apa, diperuntukkan untuk apa, dan lokasinya di mana.
108
Tabel 17 Persentase kepentingan masyarakat pada dua kelompok desa terkait dengan TNLL 2007
Kepentingan stakeholder Persentase masyarakat lokal berdasarkan pilihan kepentingan
Desa KKM Desa Non-KKM
MMSK MYTP
Total MMSK
MYTP Total
Hak adathak kelola dari lahan di dalam kawasan
yang telah dijadikan kebun sebelum penetapan
kawasan diakui dan tetap dapat dimanfaatkan atau
diolah 82,22
17,78 100,00
93,33 6,67
100,00
Masyarakat tetap dapat memungut hasil tanaman
kopikakaonya 71,11
28,89 100,00
86,67 13,33
100,00 Masyarakat tetap dapat
memungut rotan dan damar sebagai sumber
pendapatan 55,56
44,44 100,00
64,44 35,56
100,00 Ketersediaan kayu untuk
konstruksi rumah tinggal 31,11
68,89 100,00
42,22 57,78
100,00 Ketersediaan kayu untuk
pembangunan sarana sosial rumah ibadah,  lobo,
dan bantaya 22,22
77,78 100,00
20,00 80,00
100,00 Rata-rata
52,44 47,56
100,00 61,31
38,69 100.00
Keterangan : -Jumlah responden untuk desa KKM dan desan non-KKM masing-masing = 45 orang -MMSK = masyarakat yang memilih sebagai suatu kepentingan
- MYTP  = masyarakat yang tidak memberikan pilihan.
Terkait  dengan  masalah  kayu,  sama  sekali  tidak  diperkenankan  meng- ambil  kayu  untuk  tujuan  komersil  baik  di  desa  KKM  maupun  pada  desa  non-
KKM.  Namun  demikian  kondisi  faktual  yang  terlihat  di  lapangan  ditemukan adanya  pengangkutan  kayu  secara  illegal  yang  diperkirakan  5  m
3
satu  mobil truk ditemukan di desa KKM yang kemudian digagalkan oleh pihak Tondo Ngata
kelompok pengamanan kawasan. Kasus lain yang juga terjadi di desa KKM, pada tahun 2005 penebangan
kayu    yang  diperkirakan  sebanyak  3  m
3
dilakukan  oleh  salah  satu  anggota masyarakat tanpa seizin lembaga adat sekalipun alasan yang dikemukakan oleh
pelaku bahwa untuk kepentingan membangun rumah kost anaknya di Kota Palu. Menurut    pelaku  pengambilan  kayu  tersebut  untuk  tujuan  domestik  akan  tetapi
oleh  lembaga  adat  tetap  dikategorikan  sebagai  pelanggaran  kesepakatan  yang telah dibangun dan telah dituangkan dalam naskah KKM. Kasus ini disidangkan
di lembaga adat, dan kemudian  lembaga adat  memberikan sanksi adat  berupa:
109
tolu ungu,  tolo mpulu, tolu  ngkau  tiga ekor hewan kerbau atau sapi, tiga puluh dulangpiring, dan tiga lembar kain mbesakain adat, yang apabila dikonversi ke
nilai  rupiah,  kurang  lebih  senilai  Rp6.500.000,00  enam  juta  lima  ratus  ribu rupiah.  hasil  diskusi  dengan  anggota  Kelompok  Tondo  Ngata  dan  Ketua
Lembaga Adat 2007. Sanksi adat  tersebut dikenakan pada pelaku pelanggaran yang  terkait  dengan  hasil  hutan  berupa;  kayu,  rotan,  gaharu,  damar,  dan
perburuan  hewan  yang  dilindungi  diantaranya  anoa  dan  babi  rusa  hasil  diskusi dengan  anggota  kelompok  Tondo  Ngata  dan  Ketua  Lembaga  Adat  2007.
Sementara  untuk  desa  non-KKM,  perambahan  kawasan  diawali  dengan  illegal logging  yang  dilakukan  oleh  masyarakat  lokal  kemudian  hasil  tebangan  illegal
tersebut di serahkan kepada cukong kayu yang berasal dari Kota Palu. Tabel 17 menunjukkan pula bahwa pilihan kepentingan masyarakat lokal
yang ada di sekitar TNLL  untuk tetap mempertahankan hak adathak kelola dari lahan  yang  terdapat  di  dalam  taman  nasional  memperlihatkan  persentase
tertinggi  dibanding  kepentingan  lainnya.  Hal  ini  berindikasi  bahwa  kepentingan utama    dari  masyarakat  lokal  adalah  pemanfaatan  lahan  adat  mereka  yang
berada  di  dalam  kawasan  taman  nasional  yang  telah  menjadi  sumber  mata pencaharian  mereka  secara  turun  temurun  baik  pada  kelompok  desa  KKM
maupun  pada  desa  non-KKM.  Kepentingan  akan  lahan  adat  tersebut  di  desa KKM  telah  terakomodir    melalui  kesepakatan  yang  dibangun  dan  disetujui  oleh
pihak BTNLL, akan tetapi pada   desa non-KKM masih berkisar pada keinginan untuk memperjelas status kepemilikan lahan atau sumberdaya yang ada dalam
kawasan taman nasional. Menurut  masyarakat  lokal  di  desa  non-KKM  ketidak  jelasan  status  lahan
di  dalam  kawasan  yang  masyarakat  telah  olah  sebelum  penetapan  kawasan, memberikan  dampak  ketidak  nyamanan  dalam  pemanfaatan  sumberdaya  yang
merupakan  kebutuhan  dasar  bagi  masyarakat.  Ketidak  nyamanan  yang dirasakan  oleh  masyarakat  lokal  sejak  adanya  Surat  Keputusan  Menteri
Kehutanan  No.  593Kpts-II1993  pada  tanggal  5  Oktober  1993  tentang penunjukan  Kawasan  TNLL  baca  Sub  Bab  Diskripsi  TNLL,  yang  pada  saat  itu
mulai  pemberlakukan  aturan  yang  melarang masyarakat  lokal  untuk mengambil atau  memanfaatkan  sumberdaya  alam  yang  terdapat  dalam  kawasan  tanaman
nasional.  Pemberlakuan  aturan  ini  didukung  pula  Pemerintah  Daerah  Propinsi Sulawesi  Tengah  dengan  keluarnya  SK  Gubernur  No.5921993  tentang  tidak
diakuinya keberadaan lahan adat di Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah.
110
Kebijakan  yang  melarang  masyarakat  lokal  untuk  tidak  lagi  melakukan kegiatan  di  dalam  kawasan  TNLL,  membuat  masyarakat  tidak  nyaman  dalam
beraktivitas  untuk  memenuhi  kebutuhannya.  Alasan  ketidak  nyamanan  tersebut diungkapkan  oleh  masyarakat  bahwa:  apabila  polisi  hutan  menemukan
masyarakat  membawa  rotan  yang  berasal  dari  kawasan  taman  nasional    maka anggota  masyarakat  yang  ditemukan  tersebut  di  tahan  oleh  polisi  hutan  dan
rotan  yang  dibawahnya  akan  dirusak  dipotong-potong.  Selain  itu  polisi  hutan juga  menebang  tanaman  kopi  atau  tanaman  kakao  masyarakat  lokal  yang
ditemukan  di  dalam  kawasan  taman  nasional.  Jumlah  responden  masyarakat lokal  di  desa  non-KKM  yang  merasakan  ketidak  nyamanan  dalam  beraktivitas
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terkait dengan sumberdaya yang terdapat dalam kawasan TNLL ditunjukkan pada Tabel 18.
Tabel 18 Jumlah dan  alasan responden masyarakat lokal di desa non-KKM  yang merasakan ke
tidak nyamanan terkait dengan sumberdaya yang terdapat di dalam TNLL 2007 No.
Alasan yang dikemukakan Jumlah dan persentase
responden Jumlah
orang Persentase
1. Takut  kalau  rotan  yang  diambil  dipotong-potong
oleh polisi hutan 25
55,56 2.
Takut  tanaman  kopikakaonya  ditebang  oleh  polisi hutan
12 26,67
3. Takut ditangkap oleh polisi hutan
8 17,77
Total 45
100,00 Sumber: Data Primer setelah diolah 2007.
Tabel  18  menunjukkan  ketidak  nyamanan  yang  dirasakan  oleh masyarakat  lokal    di  desa  non-KKM  dalam  memanfaatkan      sumberdaya  alam
yang terdapat di dalam kawasan TNLL.  Masyarakat merasa tidak aman karena takut  tanaman  kopikakaonya  ditebang  oleh  polisi  hutan  55,56  dan    ada
26,67 dari responden yang merasa tidak aman sebab takut  kalau rotan  yang diambil  dipotong-potong  atau  dicincang  oleh  polisi  hutan.  Selain  itu  masyarakat
lokal merasa takut, berusaha jangan sampai tertangkap oleh polisi hutan. Kondisi ini  berlangsung  kurang  lebih  5  tahun  sejak  1993  sampai  akhirnya  masyarakat
mulai  melakukan  perlawanan  pada  1998  zaman  reformasi.  Salah  satu  bentuk perlawanan  yang  dilakukan  oleh  masyarakat  adalah  dengan  memasang  jerat
untuk menangkap anoa di dalam kawasan dan kemudian konflik secara terbuka terjadi  pada  tahun  2001  dimana  masyarakat  yang  bermukim  di  desa  non-KKM
melakukan perlawanan terhadap tindakan polisi hutan yang menurut masyarakat
111
lokal  tidak  dapat  lagi  ditolerir,  sebab  selain  polisi  hutan  menebang  tanaman kopicacao  masyarakat,  polisi  hutan  juga  membakar  dangau  yang  dibuat  oleh
masyarakat.  Bentuk perlawanan lainnya yang dilakukan oleh masyarakat di desa non-KKM  adalah  dengan  mebakar  dua  unit  pos  penjagaan  polisi  hutan  dan
selanjutnya  sebanyak  1.030  KK  masyarakat  masuk  ke  dalam  kawasan  taman nasional menebang kayu, berkebun dan sekaligus bermukim di dalam kawasan.
Perlawanan  masyarakat  lokal  terhadap  polisi  hutan  atau  konflik  terbuka yang terjadi antara masyarakat lokal dengan polisi hutan pihak BTNLL di desa
non-KKM    lebih  diakibatkan  karena  perbedaan  kepentingan  dan  perbedaan akuan hak kepemilikan. Masyarakat lokal merasa bahwa lahan yang terdapat di
dalam kawasan TNLL   yang dikelola atau dimanfaatkan  masyarakat selama ini merupakan  hak  adathak  kelola  masyarakat  yang  telah  menjadi  sumber  mata
pencaharian  masyarakat  secara  turun  temurun.  Disisi  lain  pihak  BTNLL  melalui polisi  hutan  merasa  memiliki  kekuatan  hukum  dalam  melaksanakan  tugasnya
untuk mengamankan kawasan TNLL. Hasil  penelitian  ini    sejalan  dengan  pendapat  yang  dikemukakan  oleh
Priscoli  1997  bahwa  ada  lima  penyebab  utama  terjadinya  konflik  diantaranya adalah  kepentingan,  sementara  Tadjudin  2000  berpendapat  pula  bahwa
sumber  konflik  karena  adanya  perbedaan  pada  berbagai  tataran  diantaranya adalah  perbedaan  kepentingan  dan  perbedaan  akuan  kepemilikan,  kemudian
Fuad dan Maskanah 2000 mengemukakan bahwa konflik yang mencuat akhir- akhir  ini  lebih  disebabkan  karena  tumpang  tindihnya  kepentingan  pada  suatu
wilayah hutan yang sama. Selanjutnya konflik antara polisi hutan pihak BTNLL dengan masyarakat
lokal  juga  disebabkan  karena  masyarakat  lokal  merasa  sudah  berulangkali diperlakukan  dengan  cara  yang  kurang  manusiawi  oleh  polisi  hutan.  Perlakuan
yang  dinilai  kurang  manusia  dari  tindakan  polisi  hutan  yang  dirasakan  oleh masyarakat di desa non-KKM ditunjukkan pada Tabel 19.
Tabel  19  menunjukkan  bahwa  masyarakat  yang  pernah  mengalami tindakan polisi hutan yang dinilai oleh masyarakat kurang manusiawi yakni rotan
miliknya  dipotong-potong  oleh  polisi  hutan  24,44,  sedang  yang  pernah ditebang kopikakaonya sebesar 17,78, dan yang dibakar dangaunya sebanyak
6,67.  Apabila  mengacu  pada kepentingan masyarakat  lokal  di  desa  non-KKM untuk  memanfaatkan  sumberdaya  yang  terdapat  di  dalam  TNLL  terutama
pemanfaatan  sumberdaya  lahan  yang  merupakan  sumber  mata  pencaharian
112
masyarakat  tidak  terpenuhi,  maka  konflik  tentang  pemanfaatan  sumberdaya lahan  antara  masyarakat  dengan  pihak  BTNLL  belum  dapat  terselesaikan.
Karena itu prioritas yang harus dipenuhi adalah penyelesain masalah lahan yang diklaim  sebagai  lahan  adat  oleh  masyarakat  yang  terdapat  di  dalam  kawasan
TNLL.
Tabel  19.  Persentase  masyarakat  lokal  yang  pernah  mengalami  tindakan  yang    dinilai  kurang
manusiawi  dari polisi hutan di desa non-KKM 2007 N0.
Uraian Persentase
1. Masyarakat yang pernah dipotong-potong rotannya
24,44 2.
Masyarakat yang pernah ditebang kopikakaonya 17,78
3. Masyarakat yang dibakar dangaunya
6,67 4.
Masyarakat terhindar dari perlakuan yang dinilai kurang manusiawi 51,11
Total 100,00
Sumber: Data Primer setelah diolah 2007.
Berkaitan dengan masalah lahan,  masyarakat lokal yakni penduduk asli cenderung  untuk  menjual  lahannya  demi  memperoleh  uang  guna  memenuhi
kebutuhannya terutama pada acara-acara pesta kematian atau acara pernikahan anaknya,  sehingga  kebanyakan    dari  penduduk  asli  justru  memiliki  lahan  yang
relatif  sempit.    Pada  saat  yang  sama,  tidak  ada  sumber  pendapatan  lain  yang signifikan  kecuali  dari  pertanian,  peternakan  dan  pemanfaatan  hasil  hutan.
Penjualan  lahan  yang  dilakukan  oleh  responden masyarakat  lokal  di  desa  KKM dan  desa  non-KKM  untuk  memenuhi  kebutuhannya  pada  acara  kematian  dan
acara pernikahan pada wilayah penelitian ditunjukkan pada Gambar 13.
5 10
15 20
25 30
P e
rs e
n ta
s e
P e
n ju
a la
n
la h
a n
Menjual lahan untuk biaya
pesta kematian Menjual lahan
untuk biaya pernikahan anak
Menjual lahan untuk membayar
hutang
Alasan penjualan lahan
Desa KKM Desa Non-KKM
Gambar  13  Persentase  masyarakat  dan  alasan  penjualan  lahan  di  desa  KKM  dan desa non-KKM  2007.
113
Pada  Gambar  13  dapat  dilihat  bahwa  penjualan  lahan  yang  dilakukan oleh  masyarakat  yang  bermukim  di    desa  non-KKM  untuk  memenuhi
kebutuhannya  pada  acara  pesta  kematian menunjukkan  persentase  yang  tinggi 26,67  dibanding  dengan  penjualan  lahan  yang  dilakukan  oleh  masyarakat
lokal  pada  desa  KKM  15,56.  Total  masyarakat  yang  melakukan  penjualan lahan pada desa KKM untuk kebutuhan acara pesta kematian, biaya pernikahan
anak,  dan  untuk  membayar  hutang  sebesar  26,67,  sementara  untuk masyarakat  yang  bermukim  di  desa  non-KKM  sebanyak  51,12.  Tingginya
penjualan  lahan  yang  dilakukan  oleh  masyarakat  lokal  di  desa  non-KKM menyebabkan  masyarakat  yang  ada  di  desa  non-KKM  terutama  penduduk  asli
memiliki  lahan  yang  relatif  sempit  rata-rata  0,8  Ha  bahkan  ada  diantara penduduk  asli  yang  sudah  menjadi  buruh  tani  pada  lahannya  sendiri  24,44,
sementara  penduduk  migran  terutama  etnis  Bugis  justru  memiliki  lahan  yang relatif lebih luas rata-rata 2 Ha .
Munculnya masalah pemanfaatan lahan juga disebabkan tingginya  harga pasar  untuk  beberapa  komoditi  ekspor  terutama  kakao  yakni  rata-rata  seharga
Rp11.000kg  bahkan    harga  kakao  pernah  mencapai  Rp20.000kg,  sehingga masyarakat  lokal terutama  pada   desa  non-KKM
memiliki  semangat  yang  tinggi untuk  menanam  kakao  sebagaimana  yang  dilakukan  oleh  para  pendatang
terutama  Etnis  Bugis.    Hasil    penelitian    ini    sejalan  dengan    hasil  penelitian yang  dilakukan  oleh  Sitorus  2002  yang  mengemukakan  bahwa  laju  konversi
hutan  menjadi  kebun  kakao  disebabkan  karena  tingginya  harga  komoditi tersebut.
Luasan lahan yang dimiliki oleh masyarakat di desa non-KKM yang relatif sempit  plus  semangat  untuk    menanam    kakao    yang  tinggi,  mengakibatkan
masalah kelangkaan lahan tidak dapat terhindarkan. Kondisi ini memicu konversi hutan  menjadi  kebun  kakao,  termasuk  kawasan  TNLL  yang    akhirnya
menimbulkan  konflik  pemanfaatan  lahan  antara  penduduk    lokal  dengan  pihak otoritas  taman  nasional.  Konflik  pemanfaatan  lahan  ini  ditandai  dengan  adanya
sejumlah masyarakat yang berkebun di dalam kawasan taman nasional 55,56 dari  total  responden.  Kalau  situasi  ini  tidak  diantisipasi  akan  menyebabkan
rusaknya  fungsi  kawasan  sebagai  pencegah  banjir,  pencegah  erosi,  pengatur tata  air,  dan    sumber  plasma  nuftah.  Kerusakan  fungsi  kawasan  tersebut  akan
menimbulkan  kerugian  yang  sangat  besar  bagi  masyarakat  luas  dibanding dengan  manfaat  yang  diterima  oleh  segelintir  orang  yang  mengkonversi  lahan
114
hutan menjadi kebun kakao. Masyarakat lokal yang ada di desa non-KKM selain masuk  ke  dalam  taman  nasional  berkebun  kakao  55,56,  ada  pula  diantara
masyarakat yang mendirikan bangunan rumah di dalam kawasan taman nasional 15,56 dari total responden  Gambar 14.
Masalah  penting  lainnya  yang  menarik  pula  untuk  diketahui  adalah  para keluarga migran atau pendatang berupaya untuk tidak merambah kawasan, atau
mengkonversi  lahan  hutan  yang  belum  mereka  beli.  Namun  demikian,  Sitorus 2002 mengemukakan bahwa Migran Bugis juga memiliki lahan pertanian illegal
di dalam taman nasional yang mereka dapatkan dengan membeli dari penduduk asli.
Secara  ringkas  pilihan  kepentingan  masyarakat  lokal  yang  bermukim  di desa KKM dan desa non-KKM disajikan pada Gambar 15.
8 2
.2 2
7 1
.1 1
5 5
.5 6
3 1
.1 1
2 2
.2 2
9 3
.3 3
8 6
.6 7
6 4
.4 4
4 2
.2 2
2 .0
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
P e
rs e
n ta
s e
Desa KKM Desa Non-KKM
Kepentingan masyarakat
tanah adat kopi,kakao
rotan,damar kayu rumah
kayu sosial
Gambar  15  Persentase  kepentingan  masyarakat  lokal  di  desa  KKM  dan  desa  non-
KKM 2007.
Gambar 14. Masyarakat berkebun dan bermukim dalam kawasan
TNLL Dokumentasi penulis 2007.
115
Selain  kepentingan  masyarakat  lokal  yang  telah  diuraikan  di  atas beberapa  manfaat  dari  keberadaan  taman  nasional  yang  dikemukakan  oleh
masyarakat  di  desa  KKM  dan  desa  non-KKM  diantaranya:  air  bersih  tersedia sepanjang  waktu,  terhindar  dari  tanah  longsor,  dan  banjir  tidak  terjadi.  Untuk
mengetahui prosentase masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM yang mengemukakan  manfaat  dari  keberadaan  taman  nasional  ditunjukkan  pada
Tabel 20.
Tabel  20  Prosentase  masyarakat  lokal  di  desa  KKM  dan  desa  non-KKM
berdasarkan manfaat keberadaan TNLL yang dikemukakan 2007 No.
Manfaat keberadaan TNLL Persentase masyarakat
lokal Desa
KKM Desa Non-
KKM 1.
Air bersih tersedia sepanjang waktu 57,78
51,11 2.
Terhindar dari tanah longsor 24,44
28,89 3.
Mencegah terjadinya banjir 17,78
20,00 Total
100,00 100,00
Sumber: Data Primer setelah diolah 2007. Tabel 20 menunjukkan bahwa lebih dari 50 masyarakat yang bermukim
di  desa  KKM  maupun  desa  non-KKM  yang  mengatakan  bahwa  salah  satu manfaat  dari  keberadaan  kawasan  TNLL  adalah  ketersediaan  air  bersih
sepanjang  waktu,  kemudian  manfaat  lain  dari  keberadaan  TNLL  yakni masyarakat dapat terhindar dari tanah longsor, dan mencegah terjadinya banjir.
Hasil  penelitian  ini  sejalan  dengan  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Mappatoba 2004  mengemukakan  bahwa  beberapa    indikasi  tentang  kepentingan
masyarakat  lokal  terhadap  taman  nasional  dapat  dibagi  menjadi:  1  hutan sebagai  sumber  penghasilan  dan  pemungutan  bahan  makanan  tambahan  dan
tanaman  obat;  2  hutan  sebagai  simbol  kepercayaan  dan  inspirasi;  3  hutan sebagai sumber air, pencegah banjir, dan penyimpanan kayu; 4 hutan sebagai
faktor  produksi  untuk  membangun  ekonomi  desa,  dan  5  hutan  sebagai cadangan lahan untuk generasi yang akan datang.
Masyarakat adat di desa KKM diidentifikasi sebagai pemegang kuat adat tradisional  yang  telah  mengklaim  hak-hak
tanah  adat mereka  yang  berada  di
dalam  TNLL  untuk  mereka  kelola.  Sistem  pengelolaan  lahan  yang  dilakukan oleh masyarakat adat di desa KKM dilakukan dengan sistem kategorisasi lahan
secara  tradisional.  Sistem  kategorisasi  menentukan  bentuk-bentuk  akses  atas
116
lahan  dan  hasil  hutan  di  wilayah  desa  KKM.  Ada  kategori  lahan  hutan  yang sama  sekali  tidak  bisa  dikelola  dan  hanya  bisa  dimanfaatkan  hasil  hutannya.
Ada  pula  kategori  lahan  hutan  yang  dapat  dikelola,  biasanya  yang  belum  ada hak penguasaan di dalamnya. Selain itu ada pula kategori lahan hutan dan jenis-
jenis hasil hutan yang sudah ada hak penguasaan, sehingga tidak bisa diakses oleh sembarang orang tanpa seijin pemiliknya Golar 2007.
Sebagai  salah  satu  contoh  kategorisasi  lahan  di  desa  KKM  yakni  areal seluas ±18.360 Ha telah dikategorikan menurut status tanah adat yang  memiliki
kecenderungan  setara  dengan  sistem  pengelolaan  taman  nasional.  Kesetaraan sistem  pengelolaan  tradisional  dengan  sistem  pengelolaan  taman  nasional
adalah  1 zona inti yang disebut dengan wanangkiki seluas ±2.300 ha, 2 zona rimba yang sistem tradisionalnya dikenal  dengan wana seluas 11.290 ha, tempat
dimana kegiatan pertanian dilarang tetapi hasil kayu dan non kayu dimungkinkan dapat  diambil  untuk  kebutuhan  sehari-hari  dan  pengambilannya  tergantung  dari
izin  lembaga  adat,  3  zona  tradisional  yakni  hutan  sekunder  yang  disebut pangale  seluas  2.950  ha  adalah  hutan  yang  pernah  digunakan  untuk
perladangan berpindah dan sekarang sebagai cadangan untuk berbagai macam kegiatan  non  pertanian  menurut  peraturan  adat  tradisional,  dan  4  zona
pemanfaatan  intensif  dikenal  dengan  istilah  oma  1.820  ha    yakni  areal  hutan yang  dialokasikan  untuk  pertanian  lahan  kering  baik  untuk  tanaman    semusim
maupun untuk tanaman tahunan. Total rincian berdasarkan kategori adatzoning taman nasional tersebut digambarkan secara rinci pada Peta partisipatif wilayah
adat di salah satu desa KKM yang  dapat dilihat pada Lampiran 3. Kategorisasi  lahan  adat  yang  telah  diuraikan  di  atas  diperjelas  oleh
Lagimpu  2002  bahwa  salah  satu  masyarakat  adat  di  desa  KKM  membagi kawasan hutan di wilayah adatnya ke dalam 6 enam kategori yakni:
a.  Wana  Ngkiki,  merupakan  kawasan  hutan  yang  berada  di  puncak-puncak gunung,  jauh  dari  pemukiman  penduduk,  merupakan  kawasan  inti  yang
sangat  penting  karena  dianggap  sebagai  sumber  udara  segar  winara. Kawasan hutan ini tidak dibebani hak kepemilikan individu dodoha dan tidak
dapat  dikelola.  Secara  tradisional,  mereka  mencirikan  kawasan  hutan  ini dengan  pohon-pohon  yang  tidak  terlalu  besar,  tidak  banyak  rerumputan,
namun  banyak  dijumpai  lumut  pada  lantai  hutan  dan  batang-batang  pohon hingga  ke  dahan  pohon,  serta  hawanya  dingin  dan  merupakan  habitat
117
beberapa jenis burung. Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif luas kawasan wana Ngkiki ini sekitar 2.300 Ha, dengan ketinggian di atas 1000 m dpl.
b.  Wana,  merupakan  kawasan  hutan  rimba,  di  mana  tidak  dijumpai  adanya aktivitas  pertanian  di  dalamnya.  Bagi  masyarakat  adat,  wana  merupakan
habitat  tumbuhan  dan  berkembangbiaknya  hewan  langka  seperti,  Anoa Lupu, Babi rusa dolodo, serta berfungsi sebagai penyangga kandungan air
sumber  air.  Selama  ini,  wana  hanya  dimanfaatkan  untuk  mengambil  hasil hutan  non  kayu  seperti:  getah  damar,  obat-obatan,  rotan  serta  bahan
wewangian.    Kepemilikan  pribadi  dodoha  di  dalam  kawasan  ini  hanya berlaku  terhadap  pohon  damar  yang  tumbuh  di  dalamnya,  di  mana
kepemilikannya  tergantung  pada  siapa  yang  pertama  kali  mengolahnya. Selebihnya merupakan hak penguasaan kolektif, sebagai bagian ruang hidup
dan  wilayah  kelola  tradisional  masyarakat  huaka.    Kawasan  wana  ini merupakan kawasan hutan yang paling luas 11. 290 Ha.
c.  Pangale,  merupakan  kawasan  hutan  yang  terletak  di  pegunungan  dan dataran, serta termasuk kategori kawasan peralihan antara hutan primer dan
sekunder. Sebagian dari lahan kawasan hutan ini pernah diolah oleh generasi pendahulu  mereka  dan  kini  telah  mengalami  suksesi  secara  alamiah.
Masyarakat  di  desa  KKM  menganggap  pangale  sebagai  lahan  cadangan, yang  dipersiapkan  untuk  kebun  pada  daerah  berlereng  dan  sawah  pada
daerah  yang  datar.  Atas  izin  dari  lembaga  adat  atau  pemerintah  desa, masyarakat dapat memanfaatkan kawasan ini untuk mengambil kayu, rotan,
damar,  dan  wewangian  yang  sebatas  digunakan  untuk  keperluan  rumah tangga.  Kawasan ini memiliki luas 2.950 Ha.
d.  Pahawa  Pongko,  termasuk  dalam  kategori  kawasan  pangale,  merupakan hutan  bekas  kebun  yang  telah  ditinggalkan  lebih  dari  25  tahun  sehingga
hampir  menyerupai  hutan  sekunder.  Pohon-pohonnya  sudah  tumbuh  besar dan  bila  ingin  menebangnya  harus  menggunakan  “pongko”.  Pongko  adalah
tempat pijakan kaki yang terbuat dari kayu, diletakkan agak tinggi dari tanah agar  dapat  menebang  batang  pohon  dengan  leluasa.  Hal  yang  menarik
adalah dengan tonggak bekas tebangan yang agak tinggi ini diharapkan akan tumbuh  tunas  baru.  Sedangkan  pahawa  berarti  mengganti  atau  ganti.
Kawasan ini tidak termasuk dalam hak kepemilikan pribadi, terkecuali pohon damar yang ada di dalamnya.
118
e.  Oma,  merupakan  lahan  bekas  kebun  yang  sering  diolah  dan  banyak dimanfaatkan  untuk  tanaman  kopi,  kakao,  dan  tanaman  tahunan  lainnya.
Dalam kawasan ini sudah melekat hak kepemilikan pribadi dodoha dan tidak bisa  diklaim  sebagai  kepemilikan  kolektif  huaka.  Oma  diklasifikasikan
berdasarkan usia pemanfaatannya yang terdiri atas 3 tiga jenis yaitu : −
− −
−
Oma  ntua,  berarti  bekas  lahan  kebun  tua  yang  telah  ditinggalkan selama 16 - 25 tahun. Usia suksesinya tergolong tua sehingga tingkat
kesuburan  tanahnya  sudah  pulih  kembali.  Oma  ntua  telah  siap  dan dapat diolah kembali menjadi kebun.
− −
− −
Oma  Ngura,  berarti  bekas  lahan  kebun  muda  yang  telah  ditinggalkan selama  3  –  15  tahun.  Tingkatan  suksesinya  masih  merupakan  tipe
hutan  yang  lebih  muda  dibandingkan  dengan  oma  ntua.  Pohon- pohonnya belum tumbuh besar dan masih dapat ditebas hanya dengan
parang.  Oma  ngura  masih  merupakan  belukar  dan  dicirikan  dengan masih banyaknya rerumputan.
− −
− −
Oma Ngkuku, merupakan lahan bekas kebun yang usianya 1 - 2 tahun dan dicirikan oleh adanya dominasi tumbuhan rerumputan.
f.  Balingkea,  adalah  lahan  bekas  kebun  yang  usianya  0,5  –1  tahun,  sehingga tingkat  kesuburan  tanahnya  sudah  berkurang.  Namun  lahan  ini  masih  sering
aktif  diolah  kesuburan  tanahnya  cukup  untuk  ditanami  jenis  palawija  seperti jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, cabe, dan sayur-sayuran. Kategori lahan
oma  dan balingkea sudah termasuk dalam hak kepemilikan pribadi dodoha. Mengacu  pada  upaya masyarakat  lokal untuk mempertahankan  hak  adathak
kelola  atas  lahan  yang  terdapat  di  dalam  kawasan  TNLL  yang  merupakan salah  satu  penyebab  terjadinya    konflik  di  sekitar  TNLL,  maka  hal  ini  penting
sekali  untuk  dijadikan  acuan  kaitannya  dengan    pelibatan  masyarakat  lokal dalam  pengelolaan  taman  nasional  dengan    pendekatan  co-management.
Pendekatan  Co-management  yang  berupaya  mensinergikan kepentingan  dari berbagai stakeholder terutama stakeholder masyarakat lokal dan pihak BTNLL
dalam  pengelolaan  TNLL  diharapkan  dapat menginisiasi  penyelesaian  konflik yang  terjadi  terkait  dengan  pemanfaatan  sumberdaya  alam  yang  terdapat
dalam kawasan taman nasional terutama sumberdaya lahan.
119
5.3.2. Kepentingan Balai Taman Nasional Lore Lindu BTNLL