107
5.3. Kepentingan Stakeholder
Masyarakat di sekitar TNLL merupakan stakeholder utama dengan kepentingan yang berbeda terhadap taman nasional dibandingkan dengan
stakeholder lainnya, khususnya otoritas TNLL.
5.3.1. Kepentingan Masyarakat lokal
Kepentingan masyarakat lokal akan lahan adat kebun yang telah dikelola sebelum penetapan kawasan, menimbulkan konflik dengan pihak BTNLL
yang menginginkan agar masyarakat lokal tidak berkebun di dalam kawasan taman nasional. Kepentingan masyarakat yang ada di desa KKM dan desa non-
KKM terkait dengan TNLL ditunjukkan pada Tabel 17. Tabel 17 menunjukkan bahwa kepentingan masyarakat lokal terkait
dengan taman nasional diantaranya adalah bahwa masyarakat berkepentingan untuk tetap dapat memetik hasil tanaman kopikakaonya baik untuk desa KKM
maupun masyarakat yang ada di Desa Nono-KKM. Selain itu 55,56 masyarakat di desa KKM mengharapkan tetap dapat mengambil rotan sebagai sumber
pendapatan dan untuk desa non-KKM 64,44 diantaranya yang masih mengharapkan tetap dapat mengambil rotan, dan masyarakat juga menginginkan
ketersediaan kayu untuk konstruksi rumah tinggal, dan ketersediaan kayu untuk pembangunan sarana sosial seperti rumah ibadah, lobo dan bantaya.
Pengambilan kayu untuk bahan bangunan rumah tinggal dan atau bangunan rumah ibadah sesuai dengan yang tertuang dalam naskah Kesepakatan
Konservasi Masyarakat KKM pada Pasal 9 antara masyarakat pada kelompok desa KKM dengan pihak BTNLL, hanya dapat dilakukan oleh masyarakat dengan
seizin lembaga adat. Mekanisme pengambilan kayu dilakukan oleh anggota masyarakat dengan mengajukan surat permohonan kepada lembaga adat
dengan mencamtumkan berapa m
3
yang akan diambil, jenis kayu apa, dan lokasinya di mana. Selanjutnya lembaga adat bersama kepala desa meniliti surat
permohonan yang diajukan oleh anggota masyarakat tersebut, kemudian surat izin untuk mengambil kayu dalam kawasan dikeluarkan oleh lembaga adat
dengan tetap mencamtumkan berapa m
3
yang akan diambil, jenis kayu apa, diperuntukkan untuk apa, dan lokasinya di mana.
108
Tabel 17 Persentase kepentingan masyarakat pada dua kelompok desa terkait dengan TNLL 2007
Kepentingan stakeholder Persentase masyarakat lokal berdasarkan pilihan kepentingan
Desa KKM Desa Non-KKM
MMSK MYTP
Total MMSK
MYTP Total
Hak adathak kelola dari lahan di dalam kawasan
yang telah dijadikan kebun sebelum penetapan
kawasan diakui dan tetap dapat dimanfaatkan atau
diolah 82,22
17,78 100,00
93,33 6,67
100,00
Masyarakat tetap dapat memungut hasil tanaman
kopikakaonya 71,11
28,89 100,00
86,67 13,33
100,00 Masyarakat tetap dapat
memungut rotan dan damar sebagai sumber
pendapatan 55,56
44,44 100,00
64,44 35,56
100,00 Ketersediaan kayu untuk
konstruksi rumah tinggal 31,11
68,89 100,00
42,22 57,78
100,00 Ketersediaan kayu untuk
pembangunan sarana sosial rumah ibadah, lobo,
dan bantaya 22,22
77,78 100,00
20,00 80,00
100,00 Rata-rata
52,44 47,56
100,00 61,31
38,69 100.00
Keterangan : -Jumlah responden untuk desa KKM dan desan non-KKM masing-masing = 45 orang -MMSK = masyarakat yang memilih sebagai suatu kepentingan
- MYTP = masyarakat yang tidak memberikan pilihan.
Terkait dengan masalah kayu, sama sekali tidak diperkenankan meng- ambil kayu untuk tujuan komersil baik di desa KKM maupun pada desa non-
KKM. Namun demikian kondisi faktual yang terlihat di lapangan ditemukan adanya pengangkutan kayu secara illegal yang diperkirakan 5 m
3
satu mobil truk ditemukan di desa KKM yang kemudian digagalkan oleh pihak Tondo Ngata
kelompok pengamanan kawasan. Kasus lain yang juga terjadi di desa KKM, pada tahun 2005 penebangan
kayu yang diperkirakan sebanyak 3 m
3
dilakukan oleh salah satu anggota masyarakat tanpa seizin lembaga adat sekalipun alasan yang dikemukakan oleh
pelaku bahwa untuk kepentingan membangun rumah kost anaknya di Kota Palu. Menurut pelaku pengambilan kayu tersebut untuk tujuan domestik akan tetapi
oleh lembaga adat tetap dikategorikan sebagai pelanggaran kesepakatan yang telah dibangun dan telah dituangkan dalam naskah KKM. Kasus ini disidangkan
di lembaga adat, dan kemudian lembaga adat memberikan sanksi adat berupa:
109
tolu ungu, tolo mpulu, tolu ngkau tiga ekor hewan kerbau atau sapi, tiga puluh dulangpiring, dan tiga lembar kain mbesakain adat, yang apabila dikonversi ke
nilai rupiah, kurang lebih senilai Rp6.500.000,00 enam juta lima ratus ribu rupiah. hasil diskusi dengan anggota Kelompok Tondo Ngata dan Ketua
Lembaga Adat 2007. Sanksi adat tersebut dikenakan pada pelaku pelanggaran yang terkait dengan hasil hutan berupa; kayu, rotan, gaharu, damar, dan
perburuan hewan yang dilindungi diantaranya anoa dan babi rusa hasil diskusi dengan anggota kelompok Tondo Ngata dan Ketua Lembaga Adat 2007.
Sementara untuk desa non-KKM, perambahan kawasan diawali dengan illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat lokal kemudian hasil tebangan illegal
tersebut di serahkan kepada cukong kayu yang berasal dari Kota Palu. Tabel 17 menunjukkan pula bahwa pilihan kepentingan masyarakat lokal
yang ada di sekitar TNLL untuk tetap mempertahankan hak adathak kelola dari lahan yang terdapat di dalam taman nasional memperlihatkan persentase
tertinggi dibanding kepentingan lainnya. Hal ini berindikasi bahwa kepentingan utama dari masyarakat lokal adalah pemanfaatan lahan adat mereka yang
berada di dalam kawasan taman nasional yang telah menjadi sumber mata pencaharian mereka secara turun temurun baik pada kelompok desa KKM
maupun pada desa non-KKM. Kepentingan akan lahan adat tersebut di desa KKM telah terakomodir melalui kesepakatan yang dibangun dan disetujui oleh
pihak BTNLL, akan tetapi pada desa non-KKM masih berkisar pada keinginan untuk memperjelas status kepemilikan lahan atau sumberdaya yang ada dalam
kawasan taman nasional. Menurut masyarakat lokal di desa non-KKM ketidak jelasan status lahan
di dalam kawasan yang masyarakat telah olah sebelum penetapan kawasan, memberikan dampak ketidak nyamanan dalam pemanfaatan sumberdaya yang
merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat. Ketidak nyamanan yang dirasakan oleh masyarakat lokal sejak adanya Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. 593Kpts-II1993 pada tanggal 5 Oktober 1993 tentang penunjukan Kawasan TNLL baca Sub Bab Diskripsi TNLL, yang pada saat itu
mulai pemberlakukan aturan yang melarang masyarakat lokal untuk mengambil atau memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat dalam kawasan tanaman
nasional. Pemberlakuan aturan ini didukung pula Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tengah dengan keluarnya SK Gubernur No.5921993 tentang tidak
diakuinya keberadaan lahan adat di Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah.
110
Kebijakan yang melarang masyarakat lokal untuk tidak lagi melakukan kegiatan di dalam kawasan TNLL, membuat masyarakat tidak nyaman dalam
beraktivitas untuk memenuhi kebutuhannya. Alasan ketidak nyamanan tersebut diungkapkan oleh masyarakat bahwa: apabila polisi hutan menemukan
masyarakat membawa rotan yang berasal dari kawasan taman nasional maka anggota masyarakat yang ditemukan tersebut di tahan oleh polisi hutan dan
rotan yang dibawahnya akan dirusak dipotong-potong. Selain itu polisi hutan juga menebang tanaman kopi atau tanaman kakao masyarakat lokal yang
ditemukan di dalam kawasan taman nasional. Jumlah responden masyarakat lokal di desa non-KKM yang merasakan ketidak nyamanan dalam beraktivitas
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terkait dengan sumberdaya yang terdapat dalam kawasan TNLL ditunjukkan pada Tabel 18.
Tabel 18 Jumlah dan alasan responden masyarakat lokal di desa non-KKM yang merasakan ke
tidak nyamanan terkait dengan sumberdaya yang terdapat di dalam TNLL 2007 No.
Alasan yang dikemukakan Jumlah dan persentase
responden Jumlah
orang Persentase
1. Takut kalau rotan yang diambil dipotong-potong
oleh polisi hutan 25
55,56 2.
Takut tanaman kopikakaonya ditebang oleh polisi hutan
12 26,67
3. Takut ditangkap oleh polisi hutan
8 17,77
Total 45
100,00 Sumber: Data Primer setelah diolah 2007.
Tabel 18 menunjukkan ketidak nyamanan yang dirasakan oleh masyarakat lokal di desa non-KKM dalam memanfaatkan sumberdaya alam
yang terdapat di dalam kawasan TNLL. Masyarakat merasa tidak aman karena takut tanaman kopikakaonya ditebang oleh polisi hutan 55,56 dan ada
26,67 dari responden yang merasa tidak aman sebab takut kalau rotan yang diambil dipotong-potong atau dicincang oleh polisi hutan. Selain itu masyarakat
lokal merasa takut, berusaha jangan sampai tertangkap oleh polisi hutan. Kondisi ini berlangsung kurang lebih 5 tahun sejak 1993 sampai akhirnya masyarakat
mulai melakukan perlawanan pada 1998 zaman reformasi. Salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat adalah dengan memasang jerat
untuk menangkap anoa di dalam kawasan dan kemudian konflik secara terbuka terjadi pada tahun 2001 dimana masyarakat yang bermukim di desa non-KKM
melakukan perlawanan terhadap tindakan polisi hutan yang menurut masyarakat
111
lokal tidak dapat lagi ditolerir, sebab selain polisi hutan menebang tanaman kopicacao masyarakat, polisi hutan juga membakar dangau yang dibuat oleh
masyarakat. Bentuk perlawanan lainnya yang dilakukan oleh masyarakat di desa non-KKM adalah dengan mebakar dua unit pos penjagaan polisi hutan dan
selanjutnya sebanyak 1.030 KK masyarakat masuk ke dalam kawasan taman nasional menebang kayu, berkebun dan sekaligus bermukim di dalam kawasan.
Perlawanan masyarakat lokal terhadap polisi hutan atau konflik terbuka yang terjadi antara masyarakat lokal dengan polisi hutan pihak BTNLL di desa
non-KKM lebih diakibatkan karena perbedaan kepentingan dan perbedaan akuan hak kepemilikan. Masyarakat lokal merasa bahwa lahan yang terdapat di
dalam kawasan TNLL yang dikelola atau dimanfaatkan masyarakat selama ini merupakan hak adathak kelola masyarakat yang telah menjadi sumber mata
pencaharian masyarakat secara turun temurun. Disisi lain pihak BTNLL melalui polisi hutan merasa memiliki kekuatan hukum dalam melaksanakan tugasnya
untuk mengamankan kawasan TNLL. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Priscoli 1997 bahwa ada lima penyebab utama terjadinya konflik diantaranya adalah kepentingan, sementara Tadjudin 2000 berpendapat pula bahwa
sumber konflik karena adanya perbedaan pada berbagai tataran diantaranya adalah perbedaan kepentingan dan perbedaan akuan kepemilikan, kemudian
Fuad dan Maskanah 2000 mengemukakan bahwa konflik yang mencuat akhir- akhir ini lebih disebabkan karena tumpang tindihnya kepentingan pada suatu
wilayah hutan yang sama. Selanjutnya konflik antara polisi hutan pihak BTNLL dengan masyarakat
lokal juga disebabkan karena masyarakat lokal merasa sudah berulangkali diperlakukan dengan cara yang kurang manusiawi oleh polisi hutan. Perlakuan
yang dinilai kurang manusia dari tindakan polisi hutan yang dirasakan oleh masyarakat di desa non-KKM ditunjukkan pada Tabel 19.
Tabel 19 menunjukkan bahwa masyarakat yang pernah mengalami tindakan polisi hutan yang dinilai oleh masyarakat kurang manusiawi yakni rotan
miliknya dipotong-potong oleh polisi hutan 24,44, sedang yang pernah ditebang kopikakaonya sebesar 17,78, dan yang dibakar dangaunya sebanyak
6,67. Apabila mengacu pada kepentingan masyarakat lokal di desa non-KKM untuk memanfaatkan sumberdaya yang terdapat di dalam TNLL terutama
pemanfaatan sumberdaya lahan yang merupakan sumber mata pencaharian
112
masyarakat tidak terpenuhi, maka konflik tentang pemanfaatan sumberdaya lahan antara masyarakat dengan pihak BTNLL belum dapat terselesaikan.
Karena itu prioritas yang harus dipenuhi adalah penyelesain masalah lahan yang diklaim sebagai lahan adat oleh masyarakat yang terdapat di dalam kawasan
TNLL.
Tabel 19. Persentase masyarakat lokal yang pernah mengalami tindakan yang dinilai kurang
manusiawi dari polisi hutan di desa non-KKM 2007 N0.
Uraian Persentase
1. Masyarakat yang pernah dipotong-potong rotannya
24,44 2.
Masyarakat yang pernah ditebang kopikakaonya 17,78
3. Masyarakat yang dibakar dangaunya
6,67 4.
Masyarakat terhindar dari perlakuan yang dinilai kurang manusiawi 51,11
Total 100,00
Sumber: Data Primer setelah diolah 2007.
Berkaitan dengan masalah lahan, masyarakat lokal yakni penduduk asli cenderung untuk menjual lahannya demi memperoleh uang guna memenuhi
kebutuhannya terutama pada acara-acara pesta kematian atau acara pernikahan anaknya, sehingga kebanyakan dari penduduk asli justru memiliki lahan yang
relatif sempit. Pada saat yang sama, tidak ada sumber pendapatan lain yang signifikan kecuali dari pertanian, peternakan dan pemanfaatan hasil hutan.
Penjualan lahan yang dilakukan oleh responden masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM untuk memenuhi kebutuhannya pada acara kematian dan
acara pernikahan pada wilayah penelitian ditunjukkan pada Gambar 13.
5 10
15 20
25 30
P e
rs e
n ta
s e
P e
n ju
a la
n
la h
a n
Menjual lahan untuk biaya
pesta kematian Menjual lahan
untuk biaya pernikahan anak
Menjual lahan untuk membayar
hutang
Alasan penjualan lahan
Desa KKM Desa Non-KKM
Gambar 13 Persentase masyarakat dan alasan penjualan lahan di desa KKM dan desa non-KKM 2007.
113
Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa penjualan lahan yang dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di desa non-KKM untuk memenuhi
kebutuhannya pada acara pesta kematian menunjukkan persentase yang tinggi 26,67 dibanding dengan penjualan lahan yang dilakukan oleh masyarakat
lokal pada desa KKM 15,56. Total masyarakat yang melakukan penjualan lahan pada desa KKM untuk kebutuhan acara pesta kematian, biaya pernikahan
anak, dan untuk membayar hutang sebesar 26,67, sementara untuk masyarakat yang bermukim di desa non-KKM sebanyak 51,12. Tingginya
penjualan lahan yang dilakukan oleh masyarakat lokal di desa non-KKM menyebabkan masyarakat yang ada di desa non-KKM terutama penduduk asli
memiliki lahan yang relatif sempit rata-rata 0,8 Ha bahkan ada diantara penduduk asli yang sudah menjadi buruh tani pada lahannya sendiri 24,44,
sementara penduduk migran terutama etnis Bugis justru memiliki lahan yang relatif lebih luas rata-rata 2 Ha .
Munculnya masalah pemanfaatan lahan juga disebabkan tingginya harga pasar untuk beberapa komoditi ekspor terutama kakao yakni rata-rata seharga
Rp11.000kg bahkan harga kakao pernah mencapai Rp20.000kg, sehingga masyarakat lokal terutama pada desa non-KKM
memiliki semangat yang tinggi untuk menanam kakao sebagaimana yang dilakukan oleh para pendatang
terutama Etnis Bugis. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sitorus 2002 yang mengemukakan bahwa laju konversi
hutan menjadi kebun kakao disebabkan karena tingginya harga komoditi tersebut.
Luasan lahan yang dimiliki oleh masyarakat di desa non-KKM yang relatif sempit plus semangat untuk menanam kakao yang tinggi, mengakibatkan
masalah kelangkaan lahan tidak dapat terhindarkan. Kondisi ini memicu konversi hutan menjadi kebun kakao, termasuk kawasan TNLL yang akhirnya
menimbulkan konflik pemanfaatan lahan antara penduduk lokal dengan pihak otoritas taman nasional. Konflik pemanfaatan lahan ini ditandai dengan adanya
sejumlah masyarakat yang berkebun di dalam kawasan taman nasional 55,56 dari total responden. Kalau situasi ini tidak diantisipasi akan menyebabkan
rusaknya fungsi kawasan sebagai pencegah banjir, pencegah erosi, pengatur tata air, dan sumber plasma nuftah. Kerusakan fungsi kawasan tersebut akan
menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat luas dibanding dengan manfaat yang diterima oleh segelintir orang yang mengkonversi lahan
114
hutan menjadi kebun kakao. Masyarakat lokal yang ada di desa non-KKM selain masuk ke dalam taman nasional berkebun kakao 55,56, ada pula diantara
masyarakat yang mendirikan bangunan rumah di dalam kawasan taman nasional 15,56 dari total responden Gambar 14.
Masalah penting lainnya yang menarik pula untuk diketahui adalah para keluarga migran atau pendatang berupaya untuk tidak merambah kawasan, atau
mengkonversi lahan hutan yang belum mereka beli. Namun demikian, Sitorus 2002 mengemukakan bahwa Migran Bugis juga memiliki lahan pertanian illegal
di dalam taman nasional yang mereka dapatkan dengan membeli dari penduduk asli.
Secara ringkas pilihan kepentingan masyarakat lokal yang bermukim di desa KKM dan desa non-KKM disajikan pada Gambar 15.
8 2
.2 2
7 1
.1 1
5 5
.5 6
3 1
.1 1
2 2
.2 2
9 3
.3 3
8 6
.6 7
6 4
.4 4
4 2
.2 2
2 .0
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
P e
rs e
n ta
s e
Desa KKM Desa Non-KKM
Kepentingan masyarakat
tanah adat kopi,kakao
rotan,damar kayu rumah
kayu sosial
Gambar 15 Persentase kepentingan masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-
KKM 2007.
Gambar 14. Masyarakat berkebun dan bermukim dalam kawasan
TNLL Dokumentasi penulis 2007.
115
Selain kepentingan masyarakat lokal yang telah diuraikan di atas beberapa manfaat dari keberadaan taman nasional yang dikemukakan oleh
masyarakat di desa KKM dan desa non-KKM diantaranya: air bersih tersedia sepanjang waktu, terhindar dari tanah longsor, dan banjir tidak terjadi. Untuk
mengetahui prosentase masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM yang mengemukakan manfaat dari keberadaan taman nasional ditunjukkan pada
Tabel 20.
Tabel 20 Prosentase masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM
berdasarkan manfaat keberadaan TNLL yang dikemukakan 2007 No.
Manfaat keberadaan TNLL Persentase masyarakat
lokal Desa
KKM Desa Non-
KKM 1.
Air bersih tersedia sepanjang waktu 57,78
51,11 2.
Terhindar dari tanah longsor 24,44
28,89 3.
Mencegah terjadinya banjir 17,78
20,00 Total
100,00 100,00
Sumber: Data Primer setelah diolah 2007. Tabel 20 menunjukkan bahwa lebih dari 50 masyarakat yang bermukim
di desa KKM maupun desa non-KKM yang mengatakan bahwa salah satu manfaat dari keberadaan kawasan TNLL adalah ketersediaan air bersih
sepanjang waktu, kemudian manfaat lain dari keberadaan TNLL yakni masyarakat dapat terhindar dari tanah longsor, dan mencegah terjadinya banjir.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mappatoba 2004 mengemukakan bahwa beberapa indikasi tentang kepentingan
masyarakat lokal terhadap taman nasional dapat dibagi menjadi: 1 hutan sebagai sumber penghasilan dan pemungutan bahan makanan tambahan dan
tanaman obat; 2 hutan sebagai simbol kepercayaan dan inspirasi; 3 hutan sebagai sumber air, pencegah banjir, dan penyimpanan kayu; 4 hutan sebagai
faktor produksi untuk membangun ekonomi desa, dan 5 hutan sebagai cadangan lahan untuk generasi yang akan datang.
Masyarakat adat di desa KKM diidentifikasi sebagai pemegang kuat adat tradisional yang telah mengklaim hak-hak
tanah adat mereka yang berada di
dalam TNLL untuk mereka kelola. Sistem pengelolaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat adat di desa KKM dilakukan dengan sistem kategorisasi lahan
secara tradisional. Sistem kategorisasi menentukan bentuk-bentuk akses atas
116
lahan dan hasil hutan di wilayah desa KKM. Ada kategori lahan hutan yang sama sekali tidak bisa dikelola dan hanya bisa dimanfaatkan hasil hutannya.
Ada pula kategori lahan hutan yang dapat dikelola, biasanya yang belum ada hak penguasaan di dalamnya. Selain itu ada pula kategori lahan hutan dan jenis-
jenis hasil hutan yang sudah ada hak penguasaan, sehingga tidak bisa diakses oleh sembarang orang tanpa seijin pemiliknya Golar 2007.
Sebagai salah satu contoh kategorisasi lahan di desa KKM yakni areal seluas ±18.360 Ha telah dikategorikan menurut status tanah adat yang memiliki
kecenderungan setara dengan sistem pengelolaan taman nasional. Kesetaraan sistem pengelolaan tradisional dengan sistem pengelolaan taman nasional
adalah 1 zona inti yang disebut dengan wanangkiki seluas ±2.300 ha, 2 zona rimba yang sistem tradisionalnya dikenal dengan wana seluas 11.290 ha, tempat
dimana kegiatan pertanian dilarang tetapi hasil kayu dan non kayu dimungkinkan dapat diambil untuk kebutuhan sehari-hari dan pengambilannya tergantung dari
izin lembaga adat, 3 zona tradisional yakni hutan sekunder yang disebut pangale seluas 2.950 ha adalah hutan yang pernah digunakan untuk
perladangan berpindah dan sekarang sebagai cadangan untuk berbagai macam kegiatan non pertanian menurut peraturan adat tradisional, dan 4 zona
pemanfaatan intensif dikenal dengan istilah oma 1.820 ha yakni areal hutan yang dialokasikan untuk pertanian lahan kering baik untuk tanaman semusim
maupun untuk tanaman tahunan. Total rincian berdasarkan kategori adatzoning taman nasional tersebut digambarkan secara rinci pada Peta partisipatif wilayah
adat di salah satu desa KKM yang dapat dilihat pada Lampiran 3. Kategorisasi lahan adat yang telah diuraikan di atas diperjelas oleh
Lagimpu 2002 bahwa salah satu masyarakat adat di desa KKM membagi kawasan hutan di wilayah adatnya ke dalam 6 enam kategori yakni:
a. Wana Ngkiki, merupakan kawasan hutan yang berada di puncak-puncak gunung, jauh dari pemukiman penduduk, merupakan kawasan inti yang
sangat penting karena dianggap sebagai sumber udara segar winara. Kawasan hutan ini tidak dibebani hak kepemilikan individu dodoha dan tidak
dapat dikelola. Secara tradisional, mereka mencirikan kawasan hutan ini dengan pohon-pohon yang tidak terlalu besar, tidak banyak rerumputan,
namun banyak dijumpai lumut pada lantai hutan dan batang-batang pohon hingga ke dahan pohon, serta hawanya dingin dan merupakan habitat
117
beberapa jenis burung. Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif luas kawasan wana Ngkiki ini sekitar 2.300 Ha, dengan ketinggian di atas 1000 m dpl.
b. Wana, merupakan kawasan hutan rimba, di mana tidak dijumpai adanya aktivitas pertanian di dalamnya. Bagi masyarakat adat, wana merupakan
habitat tumbuhan dan berkembangbiaknya hewan langka seperti, Anoa Lupu, Babi rusa dolodo, serta berfungsi sebagai penyangga kandungan air
sumber air. Selama ini, wana hanya dimanfaatkan untuk mengambil hasil hutan non kayu seperti: getah damar, obat-obatan, rotan serta bahan
wewangian. Kepemilikan pribadi dodoha di dalam kawasan ini hanya berlaku terhadap pohon damar yang tumbuh di dalamnya, di mana
kepemilikannya tergantung pada siapa yang pertama kali mengolahnya. Selebihnya merupakan hak penguasaan kolektif, sebagai bagian ruang hidup
dan wilayah kelola tradisional masyarakat huaka. Kawasan wana ini merupakan kawasan hutan yang paling luas 11. 290 Ha.
c. Pangale, merupakan kawasan hutan yang terletak di pegunungan dan dataran, serta termasuk kategori kawasan peralihan antara hutan primer dan
sekunder. Sebagian dari lahan kawasan hutan ini pernah diolah oleh generasi pendahulu mereka dan kini telah mengalami suksesi secara alamiah.
Masyarakat di desa KKM menganggap pangale sebagai lahan cadangan, yang dipersiapkan untuk kebun pada daerah berlereng dan sawah pada
daerah yang datar. Atas izin dari lembaga adat atau pemerintah desa, masyarakat dapat memanfaatkan kawasan ini untuk mengambil kayu, rotan,
damar, dan wewangian yang sebatas digunakan untuk keperluan rumah tangga. Kawasan ini memiliki luas 2.950 Ha.
d. Pahawa Pongko, termasuk dalam kategori kawasan pangale, merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan lebih dari 25 tahun sehingga
hampir menyerupai hutan sekunder. Pohon-pohonnya sudah tumbuh besar dan bila ingin menebangnya harus menggunakan “pongko”. Pongko adalah
tempat pijakan kaki yang terbuat dari kayu, diletakkan agak tinggi dari tanah agar dapat menebang batang pohon dengan leluasa. Hal yang menarik
adalah dengan tonggak bekas tebangan yang agak tinggi ini diharapkan akan tumbuh tunas baru. Sedangkan pahawa berarti mengganti atau ganti.
Kawasan ini tidak termasuk dalam hak kepemilikan pribadi, terkecuali pohon damar yang ada di dalamnya.
118
e. Oma, merupakan lahan bekas kebun yang sering diolah dan banyak dimanfaatkan untuk tanaman kopi, kakao, dan tanaman tahunan lainnya.
Dalam kawasan ini sudah melekat hak kepemilikan pribadi dodoha dan tidak bisa diklaim sebagai kepemilikan kolektif huaka. Oma diklasifikasikan
berdasarkan usia pemanfaatannya yang terdiri atas 3 tiga jenis yaitu : −
− −
−
Oma ntua, berarti bekas lahan kebun tua yang telah ditinggalkan selama 16 - 25 tahun. Usia suksesinya tergolong tua sehingga tingkat
kesuburan tanahnya sudah pulih kembali. Oma ntua telah siap dan dapat diolah kembali menjadi kebun.
− −
− −
Oma Ngura, berarti bekas lahan kebun muda yang telah ditinggalkan selama 3 – 15 tahun. Tingkatan suksesinya masih merupakan tipe
hutan yang lebih muda dibandingkan dengan oma ntua. Pohon- pohonnya belum tumbuh besar dan masih dapat ditebas hanya dengan
parang. Oma ngura masih merupakan belukar dan dicirikan dengan masih banyaknya rerumputan.
− −
− −
Oma Ngkuku, merupakan lahan bekas kebun yang usianya 1 - 2 tahun dan dicirikan oleh adanya dominasi tumbuhan rerumputan.
f. Balingkea, adalah lahan bekas kebun yang usianya 0,5 –1 tahun, sehingga tingkat kesuburan tanahnya sudah berkurang. Namun lahan ini masih sering
aktif diolah kesuburan tanahnya cukup untuk ditanami jenis palawija seperti jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, cabe, dan sayur-sayuran. Kategori lahan
oma dan balingkea sudah termasuk dalam hak kepemilikan pribadi dodoha. Mengacu pada upaya masyarakat lokal untuk mempertahankan hak adathak
kelola atas lahan yang terdapat di dalam kawasan TNLL yang merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik di sekitar TNLL, maka hal ini penting
sekali untuk dijadikan acuan kaitannya dengan pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan taman nasional dengan pendekatan co-management.
Pendekatan Co-management yang berupaya mensinergikan kepentingan dari berbagai stakeholder terutama stakeholder masyarakat lokal dan pihak BTNLL
dalam pengelolaan TNLL diharapkan dapat menginisiasi penyelesaian konflik yang terjadi terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat
dalam kawasan taman nasional terutama sumberdaya lahan.
119
5.3.2. Kepentingan Balai Taman Nasional Lore Lindu BTNLL