Kepentingan AkademisiPeneliti Kepentingan Stakeholder

132 Tabel 27 memperlihatkan bahwa kepentingan pelaku bisnis terkait dengan TNLL adalah mendapatkan keuntungan dari berbagai peluang bisnis dengan pengambilan hasil hutan oleh masyarakat dan keuntungan bisnis yang diperoleh dari hasil pertanian. Keinginan lain dari pelaku bisnis yakni menginginkan adanya peluang usaha hendaknya diakomodir oleh pihak BTNLL yang dipadukan dengan keinginan Pemda untuk mengembangkan sumberdaya yang berpotensi untuk dijadikan sebagai objek wisata dengan melibatkan pelaku bisnis yang tertarik untuk mengembangkan usaha di bidang pariwisata. Pengembangan objek wisata di wilayah TNLL dengan melibatkan pengusaha pelaku bisnis sebagai pemilik modal, diharapkan memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat lokal yang ada di sekitar taman nasional agar ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan diharapkan dapat berkurang, sehingga pada suatu saat TNLL akan terhindar dari perambahan. Terhindarnya kawasan taman nasional dari perambahan, merupakan salah satu jaminan kelestarian kawasan TNLL.

5.3.8. Kepentingan AkademisiPeneliti

Keunikan TNLL telah menarik perhatian para akademisipeneliti dari berbagai daerah dan bidang keilmuan termasuk Gottingen University dan Kassel University dari Jerman, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Tadulako. Daya tarik TNLL selain dikenal oleh peneliti dari berbagai Perguruan Tinggi di dalam negeri, juga dikenal oleh para peneliti asing yang tertarik dengan satwa endemik maupun adat istiadat masyarakat yang ada di sekitar TNLL. Keanekaragaman hayati yang tinggi dan keanekaragaman adat istiadat masyarakat yang hidup di sekitar TNLL mempunyai keunikan tersendiri untuk dikaji oleh para akademisipeneliti sehingga sejak tahun 2000 Universitas Tadulako dan Institut Pertanian Bogor keduanya dari Indonesia dengan Gottingen University dan Kassel University dari Jerman telah dilakukan kerjasama penelitian dalam berbagai bidang ilmu. Jumlah peneliti dan asal peneliti serta bidang yang diteliti di sekitar TNLL ditunjukkan pada Tabel 28. Tabel 28 menunjukkan bahwa rata-rata 57 orang peneliti yang melaksanakan penelitian di sekitar TNLL. Para peneliti tersebut 63 diantaranya berasal dari mancanegara yang didominasi oleh para paneliti dari Gottingen University dan Kassel University. Peneliti Indonesia berasal dari berbagai universitas terutama Universitas Tadulako dan Institut Pertanian Bogor. 133 Tabel 28 Jumlah peneliti dan negara asal peneliti yang melaksanakan penelitian di sekitar TNLL 2004 sampai dengan 2006. Tahun Jumlah peneliti orang Negara asal Beberapa judul penelitian yang dilaksanakan 2004 27 Indonesia UNTAD, IPB, UGM, dan ITB - Stabilisasi Dan Hak Kepemilikan Lahan Di Wilayah Taman Nasional Lore Lindu - Konservasi Rotan Berbasis Masyarakat Studi Kasus di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu - Analisis Keseimbangan Air Untuk Memprediksi Aliran Permukaan Di DAS Palu. - Aliran Energi Dynamic pada Pemanfaatan lahan yang Berbeda Di Taman Nasional Lore Lindu. - Curah Hujan dan Karakter Vegetasi Terkait dengan Hilangnya Intersepsi Pada Hutan Hujan Tropis. 36 German Gottingen University dan Kassel University - Cacao Agroforestry: an Ecological Perspective on Synergy Potentials Between Agriculture and Conservation. - Differences in Power Structures regarding Access to Natural Resources at the Village Level in Central Sulawesi Indonesia - The Impact of Economic Vulnerability on Deforestation at the Rainforest Margin 1 Austria Six Years of Rainforest Margin Modification does not Affect Bird Diversity But Endemic Species on Sulawesi. 2005 17 Indonesia UNTAD, IPB, UGM, ITB, dan Pajajaran - Potensi Nutrisi pada Agroforestry Cacao di Sulawesi Tengah. - Kajian Tentang Arbuscular Mycorrhizal pada Hutan Alam dan Agroforestry Cacao di Sulawesi Tengah. - Efek dari Percobaan drought pada Agroforestry Cacao, Sulawesi, Indonesia. - Struktur dan Komposisi Floristic pada Hutan Sekunder di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, Indonesia. - Management Konservasi Anoa untuk Peningkatan Sosial Ekonomi Penduduk Asli di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu. 32 German Gottingen University dan Kassel University - Yield Determinants in Cacao Agroforestry Systems in Central Sulawesi: Is shade tree cover a good predictor for intensification? - Risk Management and land use change in the face of ENSO-Events-coping strategies of rural poor in Central Sulawesi, Indonesia. - Spider diversity and their relation to cacao agroecosystem management in Sulawesi, Indonesia. - Determinants of Rural Income Generation at the Rainforest Margin. 2006 19 Indonesia UNTAD, IPB, UGM, dan ITB - Sebaran Spasial dan Keanekaragaman Jenis Reptil Pada Beberapa Habitat di TNLL - Keanekaragaman Beberapa Jenis Burung Pada Beberapa Habitat di TNLL - Akselerasi Reproduksi Burung Maleo Macrocepalon maleo Melalui Sinergi Pakan dan Pola Pemeliharaan di TNLL - Potensi Ekowisata Pada Ekosistem Hutan di Danau Kalimpa’a - Prospek dan Tantangan Kesepakatan Konservasi Masyarakat Di Taman Nasional Lore Lindu 32 German Gottingen University dan Kassel University Insect Diversity and Tropic Interactions in Relation to Agroforestry Management and ENSO Droughts - Walfare Economic Assessment of Forest Encroachment and ENSO Effects in the Face of Personal Capital and Social Capital Dynamics - Hydrological Model WASIM-ETH for the Gumbasa Catchment Area 1 Kanada Carbon Dioxide Production in Soil Under Cacao Agroforestry and Natural Forest: Effects of Drought and Lanscape Variability. Sumber : Tscharntke T et al 2007; BTNLL 2007, setelah diolah. 134 Pada tanggal 20 April 2008 yang lalu dilakukan pula penandatanganan kerjasama penelitian antara Indonesia dan Jerman dalam hal ini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI dan DFG Jerman dengan topik yang diteliti diantaranya: 1 Ecological and sosio-economic impacts of different forest use intensities, 2 Sustainable management of agroforestry systems, dan 3 Integrated concepts of land use in tropical forest margins. Namun, kerjasama yang telah dibangun tersebut tidak dapat berjalan dengan baik tanpa dukungan dari semua stakeholder terkait. Menurut para peneliti ada beberapa hal penting yang diharapkan oleh para peneliti terkait dengan kegiatan penelitian di TNLL ditunjukkan pada Tabel 29. Tabel 29 Kepentingan dari stakeholder akademisipeneliti terkait dengan pengelolaan TNLL 2007 No. Kepentingan stakeholder Persentase jumlah stakeholder akademisipeneliti berdasarkan pilihan kepentingan Total APMSK APYTP 1. Pemda menjamin keamanan peneliti dalam pelaksanaan penelitian 83,33 16,67 100,00 2. BTNLL membangun pusat informasi untuk kebutuhan pendidikan penelitian 83,33 16,67 100,00 3. Kemudahan akses untuk pendidikan penelitian 66,67 33,33 100,00 4. Tersedianya petugas lapangan yang terampil 33,33 66,67 100,00 Rata-rata 66,67 33,34 100,00 Keterangan: - APMSK = Akademisipeneliti yang memilih sebagai suatu kepentingan - APYTP = Akademisipeneliti yang tidak memberikan pilihan. Tabel 29 menunjukkan bahwa kepentingan dari kelompok akademisi peneliti terkait dengan pelaksanaan penelitian di TNLL adalah adanya jaminan keamanan dalam pelaksanaan penelitian baik pada penelitinya sendiri maupun pada objek yang diteliti. Harapan ini terungkap dari pengalaman peneliti yang dijadikan responden yang merasa bahwa ada ketidak nyamanan dalam pelaksanaan penelitian. Plot-plot penelitian yang telah di desain ternyata tidak 135 dapat diamati dengan baik karena plotnya sudah tidak lengkap atau bahkan sudah rusak yang menurut peneliti kejadian tersebut akibat dari ulah manusia yang tidak bertanggungjawab. Peneliti yang melaksanakan penelitian di kawasan TNLL dan pernah tidak dapat mengamati objek yang diteliti karena plotnya sudah tidak lengkap dan bahkan sudah rusak, kurang lebih 33,33 dari total responden. Selanjutnya kepentingan lain dari para peneliti yakni ketersediaan informasi atau data yang mendukung terlaksananya penelitian. Kelengkapan data pendukung diharapkan penelitian yang dilakukan akan memberikan hasil yang maksimal, sebaliknya dengan tidak tersedianya data pendukung kemungkinan akan menghasilkan penelitian yang tidak efektif dan tidak efisien baik tenaga, waktu, maupun biaya yang harus dialokasikan untuk suatu jenis penelitian tertentu. Beberapa hal yang telah dikemukakan tidak akan terjadi apabila semua kelompok saling bekerjasama dan punya pemahaman yang sama terhadap setiap kegiatan yang dilaksanakan di sekitar TNLL. Terkait dengan kepentingan dari masing-masing kelompok stakeholder yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa konflik yang terjadi di kawasan TNLL diakibatkan oleh adanya perbedaan kepentingan. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Tadjudin 2000 yang mengemukakan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya perbedaan pada berbagai tataran diantaranya adalah perbedaan kepentingan dan perbedaan akuan kepemilikan, kemudian Fuad dan Maskanah 2000 mengemukakan pula bahwa konflik yang mencuat akhir-akhir ini lebih disebabkan karena tumpang tindihnya kepentingan pada suatu wilayah hutan yang sama. Konflik kepentingan yang terjadi di kawasan TNLL ditunjukkan dengan adanya: perambahan kawasan, illegal loging, pengrusakan pal batas, dan pembakaran pos polisi hutan. Selain itu kegiatan lain yang terjadi di sekitar taman nasional sebagai indikator terjadinya konflik kepentingan yakni: penyitaanpengrusakan rotan dan damar milik masyarakat, penebangan tanaman kopikakao, dan pembakaran pondok atau dangau masyarakat. Kegiatan tersebut masih ditemukan di desa KKM, akan tetapi ditemukan terutama pada desa non-KKM. Beberapa kegiatan yang terjadi di TNLL akibat dari konflik kepentingan akan diuraikan sebagai berikut diantaranya adalah: 136 - Perambahan kawasan Budidaya di dalam taman nasional dikategorikan sebagai “perambahan hutan”, sekalipun hal itu terjadi di dalam tanah adat. Ada beberapa alasan yang mendorong penduduk desa untuk melakukan kegiatan budidaya dalam kawasan, diantaranya adalah penduduk tidak lagi memiliki lahan untuk memperluas usaha pertanian mereka kecuali di dalam kawasan taman nasional. Hasil studi terindentifikasi bahwa luas kepemilikan lahan masyarakat yang ada di desa KKM dan desa non-KKM ditunjukkan pada Gambar 20. 10 20 30 40 50 P e rs e n ta s e Desa KKM Desa Non-KKM Kepemilikan lahan Tidak memiliki lahan ? 0.5 - 1 ha 1 - 2 ha 2 ha Gambar 20 Persentase masyarakat lokal berdasarkan luas kepemilikan lahan di desa KKM dan non-KKM di sekitar TNLL 2007 Gambar 20 memperlihatkan bahwa persentase masyarakat di desa KKM yang memiliki lahan ?0,5-1 ha berkisar 31,11, di desa non-KKM sebesar 46,67 dan yang memiliki lahan 2 ha 15,56 di desa KKM dan hanya 11,11 di desa non-KKM. Selanjutnya yang tidak memiliki lahan di desa KKM sekitar 8,89 dan di desa non-KKM sebesar 28,89. Hasil studi ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Li 2002 menunjukkan bahwa begitu banyaknya keluarga di Desa Rahmat yang tidak memiliki lahan 80 dari 177 KK. Sangaji dan Lumeno 2001 mengemukakan pula bahwa persentase petani yang tidak memiliki lahan di wilayah sekitar TNLL relatif tinggi: Desa Kolori 22 dari 144 rumah tangga, di Desa Kengkeka 22 dari 152 rumah tangga, dan di Desa Tuare 62 dari 104 rumah tangga. Sebagian dari tanah adat pada beberapa desa tersebut telah dikonversi menjadi kawasan TNLL, sehingga hal ini 137 merupakan salah satu penyebab sempitnya luasan lahan yang dikelola oleh masyarakat di sekitar TNLL pada saat ini. Seiring dengan pembangunan, perolehan lahan oleh pendatang merubah struktur kepemilikan lahan terutama di desa non-KKM dan sebagian terjadi di desa KKM. Keberadaan para pendatang terutama yang berasal dari Sulawesi Selatan, merupakan awal dari perubahan kepemilikan lahan melalui sistem gadai yang akhirnya lahan milik penduduk asli berpindah tangan menjadi lahan milik penduduk migran. Perubahan struktur kepemilikan lahan tersebut didukung pula oleh meningkatnya kebiasaan penduduk asli untuk menjual lahannya dalam rangka menutupi kebutuhannya seperti acara-acara adat: upacara kematian dan perkawinan baca Gambar 13. Kebiasaan penduduk asli untuk menjual lahannya dan keaktifan para pendatang terutama Etnis Bugis untuk mendapatkan lahan dengan jalan membeli merupakan salah satu penyebab sempitnya lahan yang dikelola oleh penduduk asli, serta sebagian tanah adat yang telah dikonversi menjadi kawasan TNLL merupakan pula penyebab sempitnya lahan yang dikelola oleh penduduk asli di sekitar TNLL pada saat ini. Hal ini sejalan dengan penelitian Acciaioli 2001 yang mengemukakan bahwa pendatang yang paling aktif dalam mencari peluang ekonomi untuk mendapatkan lahan adalah yang berasal dari Sulawesi Selatan, terutama Etnis Bugis. Jumlah Etnis Bugis yang bermukim di sekitar TNLL diperkirakan sekitar 15 dari total penduduk yang berdiam di sekitar batas taman nasional Yayasan Kayu Riva 2005. Selanjutnya keaktifan para pendatang untuk mendapatkan lahan di sekitar taman nasional didukung pula oleh hasil survey yang dilaksanakan oleh TNC 2004 mengemukakan bahwa alasan para pendatang untuk memilih desa yang menjadi target tujuannya adalah: 1 di Kecamtan Palolo, 88 dari pendatang berpindah ke lokasi tertentu untuk membeli dan mencari tanah. 2 di Kecamatan Lore Utara, hampir 65 pendatang membeli lahan. 3 di Biromaru, sekitar 59 pendatang tiba untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. 4 di Kulawi, 47 pendatang mencari pekerjaan yang lebih baik. 5 Di Kecamatan Lore Selatan, 63 pendatang karena menikah di wilayah ini. Gambaran ini menunjukkan bahwa masalah perambahan kawasan juga dipicu oleh penjualan lahan terutama di wilayah desa non-KKM. Sugiharto dan Aryanto 2002 menyatakan pula bahwa pada salah satu dusun di Desa Non-KKM ada 7 KK Etnis Bugis yang menguasai lahan pertanian seluas 82 ha, walaupun desa ini merupakan desa di wilayah terpencil. Wilayah ini 138 hanya bisa diakses dengan berjalan kaki atau berkuda. Hasil SCP site conservation plan di wilayah taman nasional yang dilakukan oleh TNC pada tahun 2001 menunjukkan bahwa penduduk lokal yang tinggal di sekitar hutan dan bergantung pada hasil hutan merupakan kelompok utama yang merambah kawasan. Diantara sejumah perambah yang masuk ke dalam kawasan TNLL, jumlah terbesar terdapat di Kawasan Dongi-Dongi. Untuk mengetahui sejumlah perambah yang telah melakukan aktivitas pertaniannya di dalam kawasan TNLL ditunjukkan pada Tabel 30. Tabel 30. Jumlah perambah yang telah melakukan aktivitas pertanian di dalam kawasan TNLL 2007 Tahun Jumlah Perambah KK Luas Rambahan ha Tempat Perambahan 1998 16 1 24,0 2 Siliwanga 61 1 92,0 2 Watumaeta 2001 20 30,0 Dodolo 1.030 4.000,0 Dongi-Dongi Total 1.127 4.146,0 - Rata-rata 282 1.036,5 - Keterangan : 1 Pengungsi asal Poso; 2 Angka perkiraan. Tabel 30 menunjukkan bahwa jumlah perambah yang telah melakukan aktivitas pertanian di dalam kawasan taman nasional sebanyak 1.127 KK, dimana 77 KK diantaranya adalah pengungsi dari Poso pada saat terjadi konflik tahun 1998. Total kawasan yang dirambah seluas 4.146 ha, dengan demikian rata-rata perambah yang masuk ke dalam kawasan TNLL untuk priode 1998 sampai dengan 2001 berjumlah 282 KKtahun dengan luas kawasan TNLL yang dirambah rata seluas 1.036,5 hatahun. Dongi-Dongi yang merupakan wilayah di dalam taman nasional, yang menjadi terkenal pada pertengahan tahun 2001, ketika penduduk lokal dari 4 desa di Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala mulai menebang pohon yang ada dalam TNLL. Dongi-Dongi terletak di wilayah administrasi Kabupaten Poso, dan sebagian masuk kedalam wilayah TNLL. Berdasarkan batas administrasi, wilayah ini merupakan Wilayah Desa Sedoa Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso. Wilayah Dongi-Dongi diakui sebagai milik masyarakat Adat Sedoa, tetapi telah menjadi bagian dari TNLL. Dalam periode 12 bulan diperkirakan areal seluas 4.000 ha telah mengalami deforestasi, dan lebih dari 1.030 keluarga 139 masuk ke wilayah ini sebagaimana yang dikemukakan pada Bab Pendahuluan. Dari perspektif konservasi, deforestasi di wilayah ini merupakan suatu masalah serius karena merusak beberapa habitat spesies endemik yang ada pada bagian kawasan taman nasional di Wilayah Dongi-Dongi. Sebelum deklarasi TNLL pada tahun 1982, Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah telah mengeluarkan izin HPH yang meliputi Wilayah Dongi-Dongi kepada PT Kebun Sari untuk mengeksploitasi Agathis lorantifolia pada tahun 1976. Pada saat PT Kebun Sari menguasai Dongi-Dongi, masyarakat lokal memiliki akses untuk mengumpulkan rotan, menanam kopi dan memanen tanaman lainnya. Namun demikian ketika wilayah ini dirubah dari hutan konsesi menjadi TNLL pada tahun 1993, masyarakat tidak dapat lagi mengakses sumberdaya yang terdapat dalam taman nasional. Pada saat penetapan taman nasional, batas dari areal konsesi langsung ditetapkan sebagai batas taman nasional. Akibatnya, penduduk lokal dengan kebun mereka yang berada di dalam taman nasional dituduh sebagai petani liar oleh pemerintah, sehingga penduduk lokal melakukan protes dengan tetap memanfaatkan sumberdaya yang terdapat di dalam kawasan taman nasional yang sering disebut sebagai kegiatan perambahan. Bagian kawasan taman nasional yang dirambah oleh masyarakat, ditunjukkan pada Gambar 21 dan Gambar 22. Gambar 21 Kegiatan pembukaan lahan dibagian kawasan TNLL Dokumentasi 2006. 140 Gambar 22 Perambahan dan pemukiman di bagian kawasan TNLL Dokumentasi BTNLL 2001. Perambahan yang dilakukan sebagai bentuk dari protes masyarakat lokal setelah perambahan di Kawasan Dongi-Dongi sebagaimana yang telah ditunjukkan pada Tabel 30, maka kegiatan perambahan lainnya yang dilakukan di kawasan TNLL ditunjukkan pada Tabel 31. Tabel 31 menunjukkan bahwa kegiatan perambahan yang dilakukan oleh masyarakat lokal baik yang bermukim di desa KKM maupun di desa non-KKM masih berlangsung sampai saat ini hanya saja kegiatan perambahan yang dilakukan di desa KKM memperlihatkan persentase yang lebih kecil 22,22 dibanding dengan kegiatan perambahan yang dilakukan di desa non-KKM 77,78. Apabila mengacu pada persentase perambahan yang dilakukan baik di desa KKM maupun di desa non-KKM maka semakin kuat dugaan bahwa memang dibutuhkan suatu pendekatan pengelolaan taman nasional agar kepentingan para stakeholder utamanya masyarakat lokal dapat diakomodir untuk menghindari semakin rusaknya kawasan TNLL. 141 Tabel 31 Perambahan yang dilakukan oleh masyarakat lokal di beberapa bagian kawasan TNLL 2007 Tahun Desa KKM Desa Non-KKM Sanksi Banyak- nya pelaku orang Luas yang dirambah ha Banyak- nya pelaku orang Luas yang dirambah ha Pebruari 2006 - - 3 4,5 Sanksi : Menghijaukan kembali lokasi perambahan. Maret 2006 - - 2 3,0 Satu tahun penjara 3 4,53 - - Sanksi Adat: Denda 2 dua ekor kerbau dan menghi-jaukan kembali lokasi peram-bahan - - 1 1,5 Sanksi: Memusnahkan tanaman yang telah ditanam di dalam kawasan taman nasional dan menghi-jaukan kembali lokasi peram- bahan Novem- ber 2006 - - 2 3,0 Sanksit: Memusnahkan tanaman kakao yang telah ditanam di dalam kawasan taman nasional, memus-nahkan pondok kerja yang terdapat di dalam kawasan taman nasional, dan menghi- jaukan kembali lokasi peram-bahan - - 1 1,5 Sanksi: Memusnahkan tanaman kakao yang telah ditanam di dalam kawasan taman nasional, dan menghijaukan kembali lokasi perambahan Maret 2007 - - 1 1,5 Sanksi: Memusnahkan tanaman kakao yang telah ditanam di dalam kawasan taman nasional, dan menghi-jaukan kembali lokasi perambahan 1 1,5 - - Proses pembinaan berupa surat pernyataan Juli 2007 - - 2 3,0 Proses pembinaan berupa surat pernyataan Sumber : Hasil Operasi Fungsional BTNLL 2007, diolah. Angka perkiraan berdasarkan rata-rata luas rambahan per orang : 1,5 ha. 142 Selanjutnya Sangaji 2001 mengemukakan bahwa masyarakat lokal telah empat kali melakukan protes untuk mempertahankan hak-hak kepemilikannya. Keempat kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat lokal tersebut ditunjukkan pada Tabel 32. Tabel 32 Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan hak- nya terkait dengan TNLL No. U r a i a n 1. Pertama, masyarakat Desa Bunga melakukan protes pada tahun 1981 2. Kedua, masyarakat Desa Kamarora mencoba menyiapkan areal permukiman pada tahun 1982. 3. Berikutnya ditahun 1998, kurang lebih 450 KK dari Desa Rahmat, Kamamora dan Kadidia menebang hutan seluas 50 ha, 4. Pada tahun 1999 sekitar 40 orang merambah 50 ha taman nasional Tabel 32 menunjukkan berbagai upaya untuk melakukan perambahan di Kawasan Dongi-Dongi sebelum tahun 2001 tapi semua upaya tersebut digagalkan oleh polisi hutan. Delapan puluh orang ditahan di Palu, tetapi kemudian mereka dilepaskan dari penjara kecuali satu orang yang tetap berada dipenjara hingga 4 bulan tanpa adanya proses hukum. Masyarakat yang terlibat perambahan di Dongi-Dongi berasal dari kelompok Etnis Da’a dan Kulawi. Mereka tinggal di desa-desa dekat dengan taman nasional setelah mereka direlokasi oleh Departemen Sosial dan Kehutanan melalui Proyek Relokasi yang berlangsung pada tahun 1974 hingga 1983. Mereka direlokasi karena tempat tinggal asal mereka dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung. Pada tahun 1997, penduduk desa meminta pemerintah daerah untuk merelokasi mereka kembali untuk memperoleh lahan pertanian yang cukup dan pemerintah berjanji untuk memenuhi permintaan mereka. Pada tahun 1999 dan 2000, penduduk desa mengulangi permintaan mereka untuk direlokasi dibawah koordinasi Kepala Kecamatan Palolo tetapi inipun tidak dipenuhi sehingga pada tahun 2001 sejumlah 1.030 KK masyarakat yang bermukim di desa non-KKM merambah sekaligus bermukim di dalam kawasan TNLL. Keberadaan masyarakat di wilayah Dongi-Dongi sampai sekarang belum mendapat pengakuan dari pihak Pemerintah Daerah maupun pihak BTNLL. Menurut Kepala BTNLL kalau Dongi-Dongi diakui sebagai sebuah desa maka itu berarti bahwa telah ada pengakuan hak milik kepada masyarakat yang bermukim di Dongi-Dongi. Sementara pernyataan dari masyarakat yang ada di 143 Wilayah Dongi-Dongi tidak bersedia lagi dipindahkan ke tempat lain karena mereka telah menanam kakao, kemiri, vanili, durian, mangga, dan tanaman semusim lainnya seperti ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Selain itu tanaman yang mereka tanam juga sebagian sudah bisa dinikmati hasilnya terutama untuk hasil tanaman kakao. Terkait dengan perambahan di Dongi-Dongi telah beberapa kali pertemuan dan diskusi dilaksanakan dalam rangka penyelesaian masalah di Dongi-Dongi, antara lain rapat yang diadakan di tingkat propinsi pada Juni 2003 yang menetapkan tiga satgas untuk menangani masalah Dongi-Dongi. Satgas pertama menangani masalah illegal logging, satgas kedua menangani masalah penggergajian, dan satgas yang ketiga menangani masalah relokasi. Kemudian dialog antara masyarakat Dongi-Dongi dengan Ketua dan sejumlah anggota DPRD Kabupaten Donggala yang didampingi oleh sejumlah Kepala Dinas, dan Kepala Wilayah Kecamatan Palolo. Dalam dialog tersebut, Pemda melalui Dinas Transmigrasi menawarkan kepada masyarakat untuk relokasi pada beberapa tempat yakni Ue Nuni berada di Wilayah Kecamatan Palolo, Ongulara dan Malino di Wilayah Kecamatan Marawola. Namun, dari hasil dialog tersebut masyarakat tetap tidak bersedia dipindahkan ke tempat lain dengan alasan yang dikemukakan bahwa: 1 Tanaman kakao mereka sudah mulai berbuah, 2 Lokasi dimana mereka akan dipindahkan sulit untuk dijangkau karena belum dijangkau kenderaan umum. Selanjutnya masyarakat di Dongi-Dongi bersedia dipindahkan ke tempat yang kondisinya relatif sama dengan Dongi- Dongi Tanahnya subur dan setiap hari dilalui oleh kenderaan umum. Menyimak hasil dialog tersebut memberikan indikasi bahwa masyarakat bersedia untuk diatur oleh pemerintah tapi bukan di tempat lain melainkan tetap tinggal di Dongi-Dongi. Ketidak inginan masyarakat di Dongi-Dongi untuk dipindahkan ke tempat lain disebabkan pula karena masyarakat sudah telanjur mengeluarkan banyak biaya untuk membuka lahan di Dongi-Dongi. Biaya yang dikeluarkan untuk membuka lahan per hektarnya sekitar 2 juta rupiah hasil diskusi dengan beberapa anggota masyarakat di Bantaya Dongi- Dongi 2007. Masalah Dongi-Dongi sampai sekarang belum bisa terselesaikan dengan baik sehingga berpotensi untuk menimbulkan masalah yang serius karena dapat memicu masyarakat lainnya untuk mengikuti aktivitas yang dilakukan oleh 144 masyarakat di Dongi-Dongi. Apabila masyarakat lainnya yang hidup di sekitar TNLL ikut merambah kawasan TNLL sama dengan yang dilakukan oleh masyarakat di Dongi-Dongi maka tidak menutup kemungkinan kawasan TNLL ke depan semakin rusak yang selain mengakibatkan spesies endemik yang terdapat dalam kawasan TNLL akan langkah bahkan punah sebagai akibat dari rusaknya ekosistem alami di kawasan taman nasional tersebut, juga akan menyebabkan kerugian materi yang tidak sedikit nilainya. Aspek lain dari perambahan taman nasional adalah pengaruh negatif dari perdagangan rotan. Bagi penduduk asli, pengumpulan rotan dikenal sebagai aktivitas tradisional untuk tujuan domestik. Berkembangnya pasar untuk rotan, maka banyak masyarakat lokal yang terlibat dalam aktivitas ini. Strategi pasar yang diterapkan pedagang rotan dan rendahnya pengetahuan masyarakat lokal sebagai pengumpul rotan tentang harga, menempatkan penduduk asli pada posisi yang lemah dalam melakukan transaksi komoditi rotan. Kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang ada di sekitar TNLL dalam hal penjualan rotan adalah sebagai berikut: 1 setiap pekerja atau pengumpul rotan menerima uang muka biasanya Rp50.000,- atau Rp 100.000,- ataukah berdasarkan permintaan mereka yang pada umumnya diterima dalam bentuk barang seperti rokok, beras, gula, minyak goreng, ikan asin dan sabun sebagaimana yang telah diuraikan pada kebutuhankepentingan pelaku bisnis 2 setelah total harga rotan yang dikumpulkan oleh masyarakat lokal dihitung oleh pedagang, maka sejumlah uang yang diterima oleh pengumpul rotan adalah total harga rotan dikurangi dengan besarnya nilai barang atau kebutuhan yang telah diambil oleh pengumpul sebelumnya. Total pendapatan dari pengumpul rotan berkisar Rp160.000 sampai dengan Rp200.000 untuk 10 hari kerja mengumpulkan rotan di hutan. Kadang- kadang rotan yang dikumpulkan nilainya kurang dari nilai barang yang sudah diambil oleh pengumpul sebelumnya, dengan demikian maka pengumpul rotan masih memiliki hutang pada pedagang rotan. Nilai rotan dihitung berdasarkan banyaknya rotan yang dikumpulkan oleh setiap pemungut rotan dihitung dalam kg dikali dengan harga rotan rata-rata per kg harga rotan rata-rata: Rp900kg. Berdasarkan sistem yang dibangun oleh pedagang rotan dengan jalan menyiapkan kebutuhan sehari-hari bagi pengumpul rotan dan keluarganya, maka hubungan tersebut lebih cenderung dikatakan sebagai hubungan antara 145 pemilik modal dan pekerja bukan hubungan antara penjual dan pembeli sebab nilai atau harga rotan tidak disepakati melalui transaksi antara pedagang rotan dengan pemungut rotan, melainkan ditentukan sepihak oleh pedagang rotan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kecil sekali kemungkinan bagi pengumpul rotan untuk mencari alternatif harga rotan yang lebih menguntungkan, sehingga dapat dikatakan bahwa pengambilan rotan di dalam kawasan justru akan memberikan keuntungan yang lebih besar kepada pelaku bisnis. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tellu 2007 bahwa saluran pemasaran rotan di Sulawesi Tengah dengan harga yang berlaku di lapangan, nampaknya perotan memperoleh keuntungan paling rendah yang ditunjukkan dengan margin sebesar Rp150kg dengan beban kerja paling berat, sedangkan pelaku bisnis pedagang pengumpul memiliki beban kerja yang relatif kecil dengan perolehan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan perotan yang ditunjukkan dengan margin sebesar Rp350kg. Mengacu pada kegiatan perambahan sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 30 dan Tabel 31, serta rendahnya nilai ekonomi yang diperoleh masyarakat lokal dari pemanfaatan sumberdaya misalnya pengambilan rotan di dalam taman nasional dibanding dengan pelaku bisnis sebagai bagian dari stakeholder yang terkait dengan TNLL, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan kawasan konservasi tersebut kecuali dengan pendekatan multipihak. Pendekatan multipihak dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder yang mempunyai kepentingan dengan kawasan TNLL duduk bersama, memikirkan bagaimana mensinergikan kepentingan dari masing-masing stakeholder sehingga konflik yang terjadi dapat dieliminir. - Illegal loging Illegal loging, terutama yang dilakukan oleh penduduk lokal di sekitar taman nasional merupakan kegiatan yang sering terjadi. Beberapa kasus illegal loging yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan TNLL ditunjukkan pada Lampiran 5. Lampiran 5 menunjukkan bahwa kegiatan illegal loging yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan TNLL frekuensi tertinggi terjadi pada Maret 2006 yakni 5 buah kasus dengan total kayu illegal sebanyak 10,2 m 3 . Menyusul Pebruari 2006 dan Juni 2006 dengan jumlah kasus masing 3 buah dan total kayu illegal masing-masing 4,3 m 3 dan 4,0 m 3 , lalu kemudian menyusul 2 buah kasus pada Maret 2007 dengan total kayu illegal sebanyak 10,0 m 3 . Kegiatan illegal 146 logging yang sampai saat ini masih ditemukan di sekitar TNLL terjadi baik di desa KKM maupun di desa non-KKM. Kasus illegal loging yang ditemukan di sekitar TNLL yang ditunjukkan pada Lampiran 5 memperlihatkan bahwa persentase kegiatan illegal loging yang terjadi di desa non-KKM sebesar 82,35 dari jumlah kasus. Angka ini jauh lebih besar dibanding dengan kasus illegal loging di desa KKM yakni 17,65 dari total kasus yang ditemukan. Apabila besaran persentase tersebut dijadikan acuan, maka dapat dikatakan bahwa kecenderungan kelestarian kawasan di wilayah desa KKM lebih baik dibanding dengan wilayah desa non-KKM. Beberapa penggal kayu illegal yang ditemukan di dalam kawasan TNLL ditunjukkan pada Gambar 23. Gambar 23 Kayu illegal yang ditemukan di dalam kawasan TNLL Dokumentasi BTNLL 2007. Kasus illegal loging lainnya yang ditemukan oleh jaringan LSM WALHI memperlihatkan bahwa dari Januari sampai dengan Desember 2000, hampir 119 kasus kayu dan rotan illegal yang berasal dari TNLL. Terkait dengan kegiatan illegal logging, otoritas TNLL bersama-sama dengan petugas kepolisian menyelidiki illegal loging yang terjadi dalam taman nasional mulai dari bulan Juni hingga Desember 2001. Kerjasama tersebut menyita 302 m 3 kayu illegal atau setara dengan 55 mobil truk. Insiden tertinggi terjadi dalam periode 27 Juni hingga 16 Juli 2002, dengan 92 m 3 kayu 20 truk yang berasal dari kawasan taman nasional. Dalam masa tiga minggu dari masa enam bulan pengamatan, jumlah kasus kayu mencapai 30. Situasi ini nampaknya erat kaitannya dengan 147 awal terjadinya kasus perambahan di Dongi-Dongi. Kasus Dongi-Dongi adalah perambahan sekaligus kegiatan illegal loging yang dilakukan oleh sejumlah 1.030 KK dari desa sekitar TNLL sebagaimana yang telah dikemukakan pada Latar Belakang, sebagai salah satu bentuk protes dari masyarakat lokal yang merasa tidak lagi memiliki hak untuk memanfaatkan sumberdaya yang terdapat di dalam kawasan TNLL. Masalah illegal loging yang terjadi di TNLL, seringkali pihak otoritas taman nasional sulit untuk membuktikan kalau kayu yang dibawa dengan truk adalah illegal, karena jaringan bisnis untuk komoditi kayu memperoleh izin yang resmi. Izin sawmill dikeluarkan oleh Departeman Perindustrian setelah bahan mentahnya tersedia, sementara izin sawmill harus didasarkan pada izin penggunaan kayu IPK yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan. IPK hanya dikeluarkan untuk digunakan selama 1 tahun, sedangkan izin sawmill yang dikeluarkan oleh Kantor Perindustrian Daerah berlaku selama usaha sawmill tersebut masih melakukan kegiatannya. Hal ini berimplikasi pada sawmill untuk terus beroperasi ketika IPK telah habis, sehingga menimbulkan permintaan kayu secara illegal. Salah satu faktor yang juga memiliki kontribusi terhadap praktek illegal loging adalah lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah terhadap setiap bentuk pelanggaran sehingga kegiatan illegal yang menyebabkan kerusakan kawasan taman nasional meningkat secara signifikan seluas 75 hatahun pada priode 1983-1999 menjadi 340 hatahun pada priode 1999-2001 353 dan kerusakan TNLL lebih meningkat lagi seluas 4.000 hatahun pada priode 2001-2002 atau meningkat sebesar 1.076 kalau dibanding dengan priode sebelumnya sebagaimana yang telah diuraikan pada latar belakang dari disertasi ini. Kerusakan TNLL dikhawatirkan akan lebih meningkat lagi pada beberapa tahun yang akan datang, kecuali semua stakeholder terkait memiliki keinginan yang kuat untuk menyelesaikan masalah illegal loging guna mempertahankan kawasan taman nasional. - Pengrusakan pal batas taman nasional Proses pendirian TNLL bermula dari integrasi dua kawasan suaka margasatwa dan satu kawasan Hutan Wisata Danau Lindu Deskripsi TNLL, yang memerlukan waktu kurang lebih 23 tahun Tabel 7. Konflik antara BTNLL dan penduduk lokal mulai terjadi pada saat aturan pelarangan pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan dilaksanakan sebab lahan yang dimiliki 148 masyarakat lokal dari berbagai macam kelompok etnis Kaili, Lindu, Pekurehua, dan Bada ditetapkan sebagai bagian dari TNLL tanpa ada kesepakatan. Masyarakat lokal mengkalim bahwa taman nasional yang mengambil lahan masyarakat, sementara pihak BTNLL mengatakan bahwa masyarakat lokal yang merambah kawasan taman nasional. Hal ini terjadi karena sebelum penetapan kawasan taman nasional, masyarakat sudah memanfaatkan sumberdaya lahan yang terdapat di dalam kawasan taman nasional jauh sebelum penetapan kawasan taman nasional. Pemasangan pal batas yang dilakukan oleh petugas Departemen Kehutanan tanpa penjelasan yang memadai kepada masyarakat yang bermukim di sekitar TNLL, mulai mendapat protes dari masyarakat setelah diberlakukannya aturan yang melarang masyarakat untuk mengakses sumberdaya yang terdapat dalam kawasan. Pelibatan masyarakat dalam pemasangan pal batas hanya sebagai pekerja atau buruh tanpa mengerti apa tujuan dari pemasangan pal batas tersebut sehingga ada pal yang ditanam di dalam kebun masyarakat, di dalam sawah, dan bahkan ada yang ditanam pas dibelakang rumah penduduk hasil diskusi pribadi dengan tokoh masyarakat di desa KKM dan desa non- KKM. Berkaitan dengan penetapan kawasan TNLL maka kelompok stakeholder yang paling terkena dampak dari penetapan kawasan taman nasional tersebut adalah kelompok masyarakat lokal karena kehidupan mereka banyak bergantung pada sumberdaya hutan. Kegiatan mereka yang telah berlangsung lama seperti mengambil kayu, rotan, bambu, tanaman obat, atau untuk memanen tanaman kopinya tidak lagi diizinkan. Tanpa penjelasan yang memadai, staf Departemen Kehutanan langsung memasang patok sebagai batas taman nasional, walaupun patok tersebut berada di dalam tanah adat masyarakat, sehingga tanaman kopi yang telah ditanam sebelum dilakukan penetapan batas kawasan mudah sekali ditemukan di dalam kawasan taman nasional. Pemasangan patok yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan, pada awalnya tidak mendapatkan protes dari penduduk desa karena mereka tidak tahu apa sesungguhnya tujuan pemasangan patok tersebut. Penduduk lokal terlibat sebagai buruh yang dibayar untuk membawa dan memasang patok sesuai instruksi dari staf Departemen Kehutanan. Penduduk lokal dengan senang melakukannya atas dukungan kepala desa kepala desapun tidak mengetahui secara jelas apa tujuan pemasangan patok tersebut. 149 Setelah patok pembatas selesai dipasang, peraturan tentang taman nasional kemudian diterapkan pada tahun 1993, yang menyebabkan tidak ada lagi ruang bagi penduduk lokal untuk mengumpulkan hasil hutan dari tanah adat mereka. Pada awalnya penduduk lokal diizinkan untuk memanen kopi tapi tidak dibolehkan melakukan pemeliharaan terhadap tanaman kopi yang ada di dalam kebun mereka. Selain itu apabila masyarakat lokal tertangkap membawa rotan maka mereka ditahan oleh polisi hutan dan rotan mereka dipotong-potong. Di beberapa desa, polisi hutan menebang tanaman kopi dan bahkan membakar dangau penduduk lokal. Peletakan pal batas tersebut menjadi hal yang sangat serius, karena ketergantungan masyarakat sekitar kawasan terhadap sumberdaya hutan. Salah satu contoh ketergantungan masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan yakni adanya tanaman kopi mereka yang berada di dalam kawasan taman nasional. Aditjondro 1979 mengamati bahwa untuk merelokasi mereka jauh dari hutan sama saja dengan memaksa pelaut untuk mendarat dan menggantung jala mereka. Disisi lain, polisi hutan harus melakukan tugasnya sehingga pertentangan atau konflik antara polisi hutan dan penduduk lokal merupakan hal yang sering terjadi di sekitar taman nasional. Pengrusakan pal batas yang dilakukan oleh masyarakat dengan alasan bahwa pada saat pemasangan patok beton sebagai pal batas taman nasional dilakukan secara sepihak oleh staf Departemen Kehutanan dan banyak diantara patok tersebut yang berada di dalam tanah adat masyarakat. Jumlah patok beton yang dipasang di dalam tanah adat, di dalam sawah, maupun di belakang rumah penduduk tidak diketahui secara pasti. Pemasangan patok beton dilaksanakan pada tahun 1982 dan pada saat itu belum ada larangan bagi masyarakat yang ada di desa KKM maupun masyarakat yang bermukim di desa non-KKM untuk memanfaatkan sumberdaya yang terdapat di dalam kawasan hasil diskusi dengan tokoh masyarakat dan ketua lembaga adat. Peraturan yang melarang masyarakat untuk mengambil sumberdaya di dalam kawasan taman nasional mulai diberlakukan pada tahun 1993 bersamaan dengan penunjukan kawasan konservasi tersebut sebagai TNLL Tabel 7. Selanjutnya data tentang jumlah pal batas yang dipasang maupun yang telah hilang dikonfirmasi ke pihak BTNLL Kantor BTNLL, juga tidak diperoleh data tersebut. Penjelasan yang diperoleh dari pihak BTNLL bahwa pemasangan patok dilakukan pada tahun 1982 pada saat deklarasi TNLL sementara Kantor 150 BTNLL baru diresmikan pada tahun 1997 empat tahun setelah penetapan kawasan TNLL 1993. Jadi arsip tentang data yang terkait dengan pengelolaan TNLL sebelum tahun 1997 masih ditangani langsung oleh pemerintah pusat Departement Kehutanan. Kasus lain yang masih terkait dengan batas taman nasional adalah masyarakat di desa KKM yang setelah penetapan kawasan, kebun masyarakat masuk dalam kawasan dan jarak antara pal batas dengan pemukiman penduduk hanya kurang lebih 500 meter. Salah satu pal batas TNLL yang masih ada dan ditanam di dalam kebun milik masyarakat ditunjukkan pada Gambar 24. Gambar 24 Salah satu pal batas TNLL yang terdapat di dalam kebun masyarakat Dokumentasi Penulis 2007. Gambar 24 menunjukkan salah satu pal batas TNLL yang dipasang di dalam kebun masyarakat di desa KKM yang menyebabkan masyarakat melakukan protes kepada pihak BTNLL dan pada akhirnya antara pihak masyarakat dengan pihak taman nasional dibangun suatu kesepakatan yang mengakomodir kepentingan masyarakat lokal sekaligus diharapkan sebagai alat kontrol di dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan taman nasional. Wujud dari kesepakatan tersebut yakni masyarakat yang kebunnya masuk dalam kawasan TNLL masyarakat di desa KKM tetap dapat mengolah lahannya dengan ketentuan bahwa luas lahan yang telah dikelola tersebut tidak boleh sama sekali ditambah atau diperluas. Persentase masyarakat yang lahan kebunnya masuk dalam kawasan taman nasional setelah pemasangan pal batas ditunjukkan pada Tabel 33. 151 Tabel 33 Persentase masyarakat yang lahan kebunnya masuk dalam kawasan TNLL di desa KKM dan non-KKM 2007 Uraian Persentase masyarakat lokal Desa KKM Desa Non-KKM Kebun sayuran 28,89 11,11 Kebun kopikakao 22,22 55,56 Total 51,11 66,56 Sumber : Data Primer setelah diolah 2007. Tabel 32 menunjukkan bahwa kebun masyarakat lokal yang masuk dalam kawasan setelah pemasangan pal batas lebih dari 50, baik kebun masyarakat yang ada di desa KKM maupun kebun masyarakat yang terdapat di desa non- KKM. Keadaan ini memicu terjadinya konflik antara masyarakat dengan pihak BTNLL terutama masyarakat yang bermukim di desa non-KKM karena kebun mereka yang menjadi sumber mata pencaharian utama tidak bisa diolah lagi. Penetapan batas taman nasional menuai berbagai protes yang dilakukan oleh masyarakat adat terhadap BTNLL melalui polisi hutan. Mereka meminta agar diizinkan untuk mengolah lahan adatnya yang berada di dalam kawasan taman nasional. Namun demikian, mereka merasa kecewa dengan respon pemerintah yang tidak mengakomodir keinginan masyarakat, terutama masyarakat di desa non-KKM yang akhirnya terjadi konflik kepentingan antara masyarakat dengan pihak BTNLL dalam hal pemanfaatan lahan. Luas lahan masyarakat di desa KKM dan desa non-KKM yang terdapat di dalam kawasan TNLL ditunjukkan pada Gambar 25. Konflik antara masyarakat lokal di desa non-KKM dengan polisi hutan setelah pemasangan pal batas taman nasional yang sebagian lahan masyarakat masuk di dalam kawasan taman nasional sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 25, maka Mappatoba 2004 mengemukakan pula bahwa wujud dari konflik terkait dengan pengelolaan TNLL yakni pada 1997, masyarakat Desa Tongoa melakukan protes ke Kantor Balai TNLL di Palu sebab polisi hutan mebakar dangau dan menghancurkan tanaman kakao yang berada di hutan adat mereka. Situasi ini sangat mencekam karena penduduk desa yang marah bermaksud membunuh polisi hutan yang menghancurkan kebun mereka. Sejak era reformasi tahun 1998, penduduk lokal melakukan protes tentang masalah yang sama dengan berbagai cara untuk mengklaim hutan adat mereka. Beberapa kasus tentang perlawanan penduduk lokal terhadap polisi hutan di kelompok desa non-KKM diberitakan di berbagai media cetak. Bahkan semua 152 pos penjagaan hutan yang terdapat di desa non-KKM pada saat penelitian ini dilaksanakan, telah dirusak oleh masyarakat lokal. 10 20 30 40 50 60 P e rs e n ta s e Desa KKM Desa Non-KKM Kebun sayuran Kebun kopikakao Gambar 25 Persentase luas kebun masyarakat di desa KKM dan desa non-KKM yang terdapat dalam kawasan TNLL 2007.

5.4. Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Pengelolaan Taman Nasional