49
akses terhadap sumberdaya dan distribusi keuntungan dari sumberdaya alam; dan
4 Kompatibilitas antara kepentingan dan aktivitas stakeholder dengan kebijakan konservasi, yang mengakui keberadaan atau potensi akibat dari
aktivitas stakeholder terhadap basis sumberdaya. Banyak kasus menunjukkan kalau masyarakat cenderung bertindak untuk
kepentingan pribadi bukan karena mereka tidak peduli terhadap yang lain, tetapi karena mereka kurang percaya terhadap institusi dan peraturan danatau
informasi menyebabkan mereka memilih opsi kooperatif Aarts 1998. Terkait dengan itu, dibutuhkan ruang untuk pembelajaran sosial dan kooperatif yang
tergantung pada kondisi awal dan jenis institusi, hal ini mungkin membutuhkan negosiasi strategi terlebih dahulu Baland dan Plateau 1996.
2.5.3. Konsep Property Rights
Bromley 1991 mendefinisikan hak properti sebagai kapasitas untuk menyatakan kolektifitas yang mendukung klaim seseorang akan suatu manfaat.
Konsep properti yang sejauh ini hanya didefinisikan dalam istilah ekonomi yang terkait dengan kondisi yang diperlukan untuk berfungsinya pasar secara efisien
seperti objek fisik yaitu tempat tinggal, lahan atau properti lainnya. Terkait dengan konsep ini, properti bukan suatu obyek, tetapi suatu hubungan sosial
yang membatasi hak-hak pemilik properti yang terkait dengan keuntungan. Sebagai hubungan sosial, properti akan menghubungkan antara orang yang satu
dengan lainnya yang terkait dengan lahan dan sumberdaya lainnya. Oleh karena itu, hubungan properti adalah pengaturan kontrak yang terkonstruksi secara
sosial diantara sekelompok orang yang terkait dengan nilai obyek dan lingkungan mereka Bromley 1998.
Agrawal dan Ostrom 1999 menggambarkan hak properti sebagai otoritas yang dapat dilaksanakan untuk mengambil aksi tertentu pada domain
spesifik, dengan demikian hak properti dapat dianggap sebagai institusi atau peraturan
institusi untuk
membuat individu-individu
menginternalisasi eksternalitas produksi mereka atau membangun dan memfasilitasi penggunaan
dan pertukaran sumberdaya dan komoditas dalam suatu masyarakat. Salah satu posisi teoritis mengenai hak properti adalah kalau mereka mengembangkan
untuk internalisasi-ekternalitas ketika perolehan internalisasi menjadi lebih besar daripada biaya internalisasi Baland dan Platteu 1996. Institusi seperti itu
berguna untuk meregulasi interaksi perilaku dan sosial terkait dengan obyek
50
yang memiliki nilai, karena institusi ini adalah suatu bentuk hambatan dan perizinan yang memberi kemampuan kepada individu untuk mengaplikasikannya
dalam situasi ketika nilai obyek tertentu adalah jarang, diskriminasi yang konsisten, dapat diprediksi dan diterima secara sosial Challen 2000.
Demsetz 1967 menyatakan bahwa fungsi utama hak properti adalah memandu insentif dalam rangka menyadari internalisasi-eksternalisasi yang lebih
besar. Terkait dengan sumberdaya alam, hak properti memainkan peranan dalam menentukan pola kesamaan dan ketidaksamaan akses, dan juga kreasi
insentif untuk keseluruhan manajemen dan perbaikan yang berkelanjutan. Meinzen-Dick dan Knox 1999 membuat ringkasan mengenai pentingnya hak
properti sebagai berikut: ketetapan insentif untuk manajemen, menyediakan otorisasi yang diperlukan dan mengontrol sumberdaya, dan memperkuat aksi
kolektif. Agrawal dan Ostrom 1999 menyatakan ada lima macam hak propeti
yang relefan terhadap eksploitasi sumberdaya alam: hak akses terhadap sumberdaya, hak mengeluarkan atau memperoleh produk sumberdaya, hak
untuk mengelola sumberdaya, hak untuk pengecualian terhadap yang lain, dan hak untuk mengalihkan hak kepada orang lain. Eggertsson 1990 juga
menyatakan hal yang serupa yaitu mendefinisikan hak properti sebagai hak individual untuk memanfaatkan sumberdaya. Sebagai konsep operasional,
sistem hak properti terdiri dari dua komponen: hak properti yaitu sekumpulan hak kepemilikan yang menetapkan hak dan kewajiban dalam pemanfaatan sumber-
daya alam, dan peraturan properti yang menentukan cara pelaksanaan hak dan kewajiban Bromley 1991. Aspek penting dari hak properti adalah apakah hak
properti ini penerapannya telah sesuai atau dibiarkan tidak terdefiniskan atau spesifikasinya tidak sesuai.
Selanjutnya, hak properti bisa dianggap efisien apabila hak properti ini memenuhi beberapa hak dasar termasuk di dalamnya kepemilikan, dapat
ditransfer, dan dapat dilaksanakan. Hak properti dan pemenuhan insentif, merangsang pengguna untuk bekerja sama dalam manajemen sumberdaya
alam. Rezim properti merupakan bagian dari institusi masyarakat, kendala organisasi yang menyusun struktur interaksi dan bentuk insentif bagi manusia
North, 1990. Bromley 1998 menyatakan bahwa sebagai suatu institusi hak properti bisa merupakan kendala dan juga bisa sebagai penunjang.
51
Perbedaan rezim hak properti akan tergantung pada kondisi kepemilikan, hak dan kewajiban pemilik, peraturan penggunaan, dan tempat pengawasan.
Tabel 1 menunjukkan klasifikasi sederhana dari empat tipe rezim hak properti dan kewajibannya McCay dan Acheson 1987; Bromley 1989; Hanna et al.
1995. Private property mewajibkan pemberian nama kepemilikan individu,
jaminan terhadap pemiliknya untuk mengontrol akses dan hak pemanfaatan sosial yang dapat diterima Black 1968. Hal ini mengharuskan pemiliknya untuk
menghindari pemanfaatan khusus yang tidak diterima secara sosial, seperti polusi air sungai. Common property dimiliki oleh sekelompok orang yang memi-
liki hak untuk mengeluarkan mereka yang bukan pemilik dan berkewajiban memelihara penggunaan properti sesuai dengan batasan-batasan yang ada
McCay dan Acheson 1987; Stevenson 1991. Rezim seperti ini seringkali
Tabel 1 Tipe hak kepemilikan
No. Hak kepemilikan
Pemilik Hak kepemilikan
Kewajiban pemilik
1. Private property
perorangan kepemilikan
perorangan, pemiliknya dengan
mudah untuk meng- akses dan me-
ngontrol pemanfaatan
sumberdaya menghindari
pemanfaatan yang tidak dapat
diterima secara sosial
2. Common property
kelompok tidak melibatkan
mereka di luar kelompok
pemeliharaan, pemanfaatan
sumberdaya terbatas sesuai
dengan batasan- batasan yang
ada
3. State property
negara memanfaatkan
sumberdaya sesuai dengan aturan
pemanfaatan untuk tujuan
sosial 4.
Open access non- property
tidak ada pemilik
diperebutkan tidak ada
Sumber: McCay dan Acheson 1987; Bromley 1989; Hanna et al. 1995
. diimplementasikan untuk sumberdaya publik yang sulit untuk dibagi Ostrom
1990. State property dimiliki oleh negara dalam unit politik yang memberikan kewenangan kepada agen publik untuk membuat aturan Black 1968. Agen
publik tersebut memiliki kewajiban untuk memastikan kalau aturan-aturan yang dibuat mempromosikan tujuan-tujuan sosial. Negara memiliki hak untuk
52
memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan aturan. Open access tidak ada pemiliknya dan terbuka untuk umum. Dinamika dari open access merupakan
dasar dari apa yang disebut “tragedy of the commons”. Dibawah rezim open access, pemilik tidak memiliki kawajiban untuk memelihara sumberdaya atau
membatasi penggunaannya. Penting untuk diketahui bahwa keempat sistem ini tidak berlawanan satu dengan lainnya melainkan merupakan sebuah kombinasi
sepanjang spektrum dari open access hingga kepemilikan pribadi Hanna et al.
1995.
Para ahli hak properti tetap menganggap sistem properti publik lebih disukai dari pada yang lainnya dalam situasi ketika muncul kegiatan kolektif yang
cukup untuk mengelola sumberdaya alam Ostrom 1990; Meinzen-Dick dan Knox 1999. Rezim hak properti harus menampilkan fungsi tertentu dengan
penggunaan terbatas, koordinasi pengguna, dan respon terhadap perubahan- perubahan lingkungan. Aktivitas ini membutuhkankan biaya transaksi untuk
koordinasi, pengumpulan informasi, monitoring dan pelaksanaan Eggerstsson 1990; Hanna 1995. Semakin langkahnya sumberdaya, maka rezim hak properti
harus semakin memperhitungkan peraturan yang mengatur distribusi sumberdaya dan pemanfaatan yang menaikkan biaya. Suatu hal yang mungkin
adalah terciptanya suatu sistem dengan biaya pelaksanaan tinggi sehingga jauh melebihi manfaat yang diperoleh dari pengawasan. Gerakan untuk merubah
rezim hak properti seringkali digerakkan oleh usaha-usaha untuk mengurangi
biaya transaksi.
Hal yang penting dari analisis penelitian ini adalah kenyataan bahwa sistem co-manajement merupakan kombinasi dari berbagai sistem yang berbeda.
Apabila institusi pemerintah dan masyarakat lokal terlibat maka hal ini merupakan kombinasi state property dan private property, sehingga dalam
perencanaannya harus memasukkan otoritas pembuat keputusan. Suatu sistem akan berfungsi dengan baik bila peraturan yang ditetapkan konsisten dengan
kepemilikan misalnya ketika sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat dikelola melalui pengaturan common property. Tidak peduli apapun jenis sistem properti,
keputusan-keputusan yang berdasarkan pengetahuan tentang kondisi lokal dan akomodasi pengetahuan lokal merupakan suatu sistem yang paling sesuai dapat
diadaptasi Tietenberg 1988. Mekanisme yang sesuai untuk mengatasi konflik harus tersedia. Hal lain yang dibutuhkan adalah sistem monitoring dan
53
pelaksanaan yang tepat untuk penegakan hukum yang sesuai dengan tingkat
pelanggaran untuk melindungi hak klaim Ostrom 1990. 2.6. Kesepakatan Konservasi Masyarakat KKM
Konflik kepentingan dalam pengelolaan taman nasional yang terjadi antara pihak pengelola dan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan
pada beberapa tahun belakangan ini semakin mengemuka. Konflik tersebut sering muncul ke permukaan akibat dari perbedaan kepentingan untuk
memanfaatkan sumberdaya guna memenuhi kebutuhan di satu sisi dan konservasi sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan taman nasional di
sisi yang lain. Salah satu konsep konservasi yang banyak diterapkan akhir-akhir ini adalah Integrated Conservation and Development Program ICDP.
Pendekatan ini mulai diterapkan pada awal 1980-an di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang bertujuan untuk menjembatani kegiatan konservasi
dengan kegiatan pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat dengan melibatkan masyarakat lokal Wells dan Brandon 1995.
Konsep ICDP yang diharapkan dapat mengakhiri kontroversi antara kepentingan pembangunan dan kepentingan konservasi yang dalam
pelaksanaannya, konsep ini kemudian mengalami perkembangan ke arah penyusunan kesepakatan antara pengelola kawasan konservasi dan
masyarakat. Kesepakatan tersebut pada prinsipnya mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang
terdapat di dalam kawasan taman nasional. Kesepakatan konservasi pada prinsipnya mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat di sekitar
taman nasional dalam menggunakan sumberdaya alam di dalam kawasan. Kesepakatan semacam ini di Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS dikenal
dengan istilah Kesepakatan Konservasi Desa KKD, sementara di TNLL dikenal sebagai Kesepakatan Konservasi Masyarakat KKM Adiwibowo et al. 2009.
Menurut Manullang 1998 KKMKKD diperlukan karena beberapa alasan: 1 masyarakat tidak atau belum sepenuhnya mengerti akan maksud
kehadiran sebuah kawasan konservasi di daerah mereka; 2 masyarakat menyangka mereka akan sangat dirugikan oleh adanya kawasan konservasi di
daerah mereka; 3 pihak pengelola tidak atau belum mengenal sepenuhnya keadaan dan aspirasi masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Selanjutnya
Manullang 1998 mengemukakan pula bahwa dengan tercapainya kesepakatan formal antara masyarakat dan pengelola taman nasional, maka KKMKKD dapat
54
membawa fungsi dan manfaat yakni: 1 alat untuk melaksanakan dan mengendalikan proses pelimpahan wewenang pengelolaan sumberdaya alam
dari pemerintah kepada masyarakat; 2 media dan proses dimana pihak-pihak yang berkepentingan bertemu untuk saling mengakui dan menghormati
kehadiran masing-masing; 3 alat yang menunjukkan keterbukaan dan transparansi antar semua pihak; 4 alat untuk menjamin diakuinya hak-hak
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh pihak-pihak yang berkepentingan; 5 alat untuk membagi tanggung jawab pengelolaan
sumberdaya alam di antara para pihak; 6 sarana untuk meredam konflik di lapangan dengan membawanya ke meja perundingan; 7 alat pengendali
perilaku dari pihak-pihak yang terkait
Melalui KKM diharapkan kepentingan masyarakat terhadap sumberdaya yang terdapat di dalam kawasan TNLL berdasarkan pada kesejarahan, pola
pengelolaan tradisional dan hukum adat atau hukum masyarakat setempat yang disepakati untuk mendapat pengakuan dari Balai TNLL sebagai otoritas dalam
pengelolaan TNLL. Selain itu KKM diharapkan dapat meminimalisir dampak yang terjadi akibat perambahan di sekitar kawasan TNLL, dengan keikutsertaan
masyarakat secara aktif dalam pengelolaan TNLL terutama dalam kegiatan pengamanan kawasan. Kesepakatan tersebut dikenal dengan kesepakatan
konservasi masyarakat KKM yang disebut juga dengan community conservation agreement CCA.
Hasil studi dari kelompok peneliti STORMA Stability of Rainforest Margin in Indonesia, mengkaji KKM di TNLL yang difasilitasi oleh tiga LSM
memperlihatkan bahwa ketiga LSM tersebut memiliki sasaran masing-masing yaitu: 1 CARE, lebih mengutamakan pada penguatan ekonomi masyarakat
desa, 2 TNC, mengutamakan aspek-aspek konservasi flora dan fauna, dan 3 YTM memfokuskan diri pada advokasi hak tradisional. Ketiga sasaran tersebut
mengarah pada upaya penyusunan kesepakatan konservasi yang melibatkan masyarakat. Selain itu, program CSIAD-CP Central Sulawesi Integrated Area
Development Conservation Project, yang didanai oleh ADB juga dilakukan dengan pelibatan masyarakat Mappatoba 2004.
Kesepakatan konservasi berbasis masyarakat yang telah dibangun dan sudah diterapkan dalam pengelolaan TNLL diantaranya adalah kesepakatan
55
konservasi Masyarakat Adat Katu, dimana mereka mampu menyusun peta partisipatif pengelolaan kawasan konservasi secara tradisional. Komunitas Adat
Toro melalui kelembagaan adatnya juga telah menerapkan kesepakatan konservasi dalam pengelolaan TNLL berbasis masyarakat yang ditandai oleh
adanya pengakuan pihak Balai Taman Nasional Lore Lindu BLTNLL selaku pemegang otoritas TNLL terhadap eksistensi Lembaga Adat Ngata Toro dalam
mengelola dan mengamankan TNLL Sangadji 2003; lebih spesifik masyarakat Toro telah mengenal sistem kategori lahan secara tradisional sejak dahulu
dengan menentukan bentuk-bentuk akses atas lahan dan hasil hutan Golar 2007.
Berkaitan dengan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan TNLL, maka LSM telah memfasilitasi terbangunnya kesepakatan konservasi masyarakat
KKM pada 31 desa dari 65 desa di sekitar TNLL. Kesepakatan konservasi tersebut yang oleh Mappatoba 2004 disebut sebagai cikal bakal dari co-
management. Namun demikian, dengan melihat berbagai masalah yang terjadi di TNLL dan sampai saat ini belum mampu diselesaikan dengan baik, maka
perlu dikembangkan suatu konsep pengelolaan yang diharapkan dapat mengakomodir aspirasi dan keinginan dari semua stakeholder dalam mencapai
tujuan pengelolaan TNLL.
II. TINJAUAN PUSTAKA