Konflik dalam Pengelolaan Taman Nasional

30 2 memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; 3 memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; 4 memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; dan 5 merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. + 8 9 32+ -9 : : ; Persoalan penting yang perlu diketahui menyangkut daerah penyangga adalah berimpitnya batas TNLL dengan halaman rumah penduduk pada beberapa daerah yang berbatasan langsung dengan TNLL sehingga penetapan daerah penyangga pada wilayah tersebut dibutuhkan fleksibilitas posisi atau situasi daerah penyangga relatif terhadap kawasan konservasi Ebregt dan Greve 2000.

2.3. Konflik dalam Pengelolaan Taman Nasional

Paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang lebih menitikberatkan pada aspek ekologi semata, tanpa memperhatikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya menghasilkan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi yang salah arah misleading policy. Hal ini disebabkan karena pengelolaan kawasan konservasi yang sentralistik dengan perencanaan dan keputusan-keputusan yang bersifat topdown akibatnya nilai dan kepentingan dari pengelolaan kawasan konservasi tidak searah dengan nilai dan kepentingan masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Implikasi dari kondisi ini adalah terjadinya ketidakstabilan yang ditandai dengan terjadinya konflik kepentingan antara pengelola kawasan dengan stakeholder lainnya terutama komunitas- komunitas lokal yang berada di sekitar kawasan tersebut. 31 Fisher et al. 2001 mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok yang memiliki, atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang satu sama lain tidak sejalan. Dikemukakan pula bahwa konflik timbul karena adanya kesenjangan status sosial, akses yang tidak seimbang terhadap sumberdaya, kekuasaan yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan, dan kejahatan. Berkaitan dengan itu, Priscoli 1997 membedakan lima penyebab utama terjadinya konflik, yakni: 1 data, 2 kepentingan, 3 nilai, 4 hubungan, dan 5 struktural. Konflik akibat data disebabkan oleh keterbatasan informasi, informasi yang keliru, interpretasi yang berbeda serta perbedaan pandangan terhadap data. Konflik kepentingan terjadi karena adanya kepentingan atau kebutuhan yang saling bertentangan atau tidak cocok diantara pihak-pihak yang bertikai. Konflik nilai terjadi karena adanya penggunaan kriteria yang berbeda untuk hasil outcome yang disebabkan oleh perbedaan ideologi, kepercayaan agama, pandangan hidup, dan gaya hidup. Sementara itu, konflik bisa juga karena hubungan-hubungan yang tidak harmonis, biasanya menyangkut emosi yang kuat, komunikasi yang mandeg, dan prilaku negatif yang terus berulang. Konflik struktural berkaitan dengan bagaimana sesuatu yang di set-up, batasan peran, kendala waktu dan ruang, serta ketimpangan dalam kekuatankekuasaan atau kontrol terhadap sumberdaya. Winardi 1994, membedakan tiga wujud konflik, yakni konflik bersifat tertutup latent, mencuat emerging atau terbuka manifest. Konflik laten dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, atau belum terangkat ke puncak-puncak kutub konflik. Seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik. Konflik mencuat adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka merupakan konflik dimana pihak-pihak terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan buntu. Selanjutnya Tadjudin 2000 mengemukakan bahwa sumber konflik adalah karena adanya perbedaan pada berbagai tataran yakni: 1 perbedaan persepsi, 2 perbedaan pengetahuan, 3 perbedaan tata nilai, 4 perbedaan 32 kepentingan, dan 5 perbedaan akuan hak kepemilikan. Kemudian Fuad dan Maskanah 2000 berpendapat bahwa konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan oleh perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya, dimana masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang sama terhadap sumberdaya. Fuad dan Maskanah 2000 menyatakan pula bahwa akhir-akhir ini wujud konflik sumberdaya alam telah menjadi konflik yang mencuat, tumpang tindihnya kepentingan pada suatu wilayah hutan yang sama pada akhirnya menimbulkan konflik yang tidak terhindarkan. Terkait dengan konflik, maka konflik antara pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat ditandai dengan sifat benci, saling tidak percaya mistrust, dan terjadinya hambatan-hambatan psikologis dan komunikasi diantara mereka miscommunication each others. Konflik yang tidak segera ditangani akan mencuat dan akhirnya akan menjadi konflik terbuka open conflict. Konflik ini ditandai dengan terjadinya benturan-benturan fisik, pengambilalihan otoritas kawasan yang disertai dengan ”pencurian” dan bahkan ”penjarahan” besar-besaran terhadap sumberdaya yang ada di dalam kawasan. Salah satu aspek penting dalam menganalisis dinamika konflik adalah perbedaan kekuatan power yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berkonflik. Kekuatan yang dimiliki pihak pengelola kawasan konservasi dalam mempertahankan kawasannya karena adanya topangan legal, dukungan dari pihak-pihak keamanan, dukungan dana, serta tingkat pendidikan. Sementara itu, masyarakat setempat biasanya mengandalkan pada alasan kesejarahan, kedekatan sumberdaya kawasan dengan mereka, dukungan dari pihak-pihak luar yang peduli dengan kehidupan masyarakat. Wilardjo dan Budi 2000 mengemukakan bahwa perubahan dan pergeseran kekuatan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berkonflik akan berpengaruh terhadap intensitas konflik. Salah satu faktor eksternal yang paling besar pengaruhnya terhadap terjadinya perubahan dan pergeseran kekuatan antara pihak-pihak yang berkonflik karena adanya perubahan iklim sosial, ekonomi, dan politik reformasi. Dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, keberanian komunitas lokal dalam melakukan penjarahan massal atas sumberdaya di dalam kawasan merupakan indikasi meningkatnya power yang dimiliki masyarakat di satu sisi dan di sisi lain adalah 33 melemahnya power yang dimiliki oleh pihak pengelola kawasan, akhirnya memicu intensitas terjadinya konflik pengelolaan kawasan.

2.4. Teori Co-management