Hubungan Domisili Orangtua Dengan Proses Sosialisasi

bahwa kepemilikan lahan sebagai modal dalam pertanian akan mendorong orangtua untuk mengajarkan tentang bertani dan domisili dengan suasana pertanian menjadi salah satu alasan orangtua atau agen sosialisasi untuk mensosialisasikan tentang pekerjaan pertanian. Secara singkat Tabel 12 menggambarkan hasil uji statistik antara karakteristik orangtua dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian. Tabel 12. Hasil Pengujian Chi-square Karakteristik Orangtua Responden dengan Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian, 2008 Karakteristik Orangtua Proses Sosialisasi Hasil Kecenderungan Tingkat Pendidikan Ayah Tingkat Pendidikan Ibu Berhubungan Tidak Nyata Berhubungan Tidak Nyata Negatif Negatif Tingkat Pendapatan Ayah Tingkat Pendapatan Ibu Berhubungan Tidak Nyata Berhubungan Tidak Nyata Negatif Negatif Kepemilikan Lahan Berhubungan Nyata Positif Domisili Berhubungan Nyata Positif

BAB VI NILAI KERJA PERTANIAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHINYA 6.1 Nilai Kerja Pertanian Nilai kerja pertanian sebagai konteks pelaku sosial memberi penilaian terhadap kerja yang terwujud dari perilaku pelaku sosial dalam komunitasnya. Nilai kerja untuk setiap suku berbeda yang dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya masing-masing. Nilai untuk suatu jenis pekerjaan disampaikan dari generasi ke generasi dan suatu saat untuk setiap generasi akan mengalami perubahan. Nilai Kerja Pertanian akan dilihat dari tujuh dimensi seperti yang dikemukakan oleh Silvia Tjakrawati, 1988 yaitu dimensi lahan, dimensi tenaga kerja, dimensi modal, dimensi pasar, komoditi dan transportasi, dimensi pola pekerjaan dan pandangan terhadap kerja, dimensi hubungan dengan teman dan kerabat serta yang terakhir dimensi harapan-harapan. Nilai kerja bagi masyarakat Batak adalah suatu usaha untuk mencapai status sosial. Cita-cita masyarakat Batak yang dikenal dengan 3H hagabeon, hamoraon dan hasangapon dulunya diperoleh melalui garis keturunan. Sejak masuknya ajaran agama Kristen ke dalam kebudayaan Batak untuk mencapai 3H tersebut bukan lagi dengan keturunan melainkan melalui pendidikan. Kini pendidikan menjadi prioritas dalam masyarakat Batak yang kelak dijadikan sebagai tolak ukur untuk memperoleh hagabeon, hamoraon dan hasangapon sehingga pada akhirnya akan menciptakan status sosial. Jenjang pendidikan merupakan faktor utama yang menyebabkan pertanian ditinggalkan karena dengan semakin tinggi pendidikan