Karakteristik Orangtua Responden Mahasiswa Batak di Institut Pertanian Bogor

Karakteristik orangtua yang kedua adalah tingkat pendapatan. Besar kecilnya pendapatan yang diperoleh seseorang seringkali dijadikan alasan untuk menekuni suatu bidang pekerjaan tertentu. Dalam penelitian ini diperoleh informasi tentang tingkat pendapatan yang diperoleh oleh orangtua responden. Dilihat dari Tabel 5, diperoleh informasi bahwa pendapatan orangtua, baik ayah maupun ibu dominan berada pada tingkat rendah. Tingkat pendapatan ini dilihat dari kisaran pendapatan seluruh orangtua. Tingkat pendapatan rendah berada antara Rp.0,- sampai Rp. 2,5 juta, tingkat pendapat dikatakan sedang jika berada pada Rp. 2,6 sampai Rp. 5 juta serta pendapatan tinggi lebih dari Rp.5 juta. Meskipun pendapatan orangtuanya rendah namun dengan jumlah pendapatan itu, kebutuhan hidup sehari-hari tercukupi bahkan dapat menyekolahkan anak- anaknya dan masih dapat menabung. Persentase ayah dengan pendapatan rendah adalah 57,55 persen sedangkan persentase ibu dengan pendapatan rendah adalah 48,11 persen. Ditinjau dari segi jenis pekerjaan orangtua, sebagian besar orangtua responden baik ayah atau ibu sama-sama memilih pekerjaan sebagai PNS sebagai pekerjaan utama.Pekerjaan yang paling banyak mendominasi orangtua, baik ayah atau ibu responden adalah pekerjaan sebagai PNS atau Pegawai Negeri Sipil Lampiran 2. Dari hasil survei yang dilakukan, ayah responden yang berkerja sebagai petani berjumlah satu orang dan ibu yang bekerja sebagai petani berjumlah dua orang. Pekerjaan pada sektor pertanian terutama sebagai petani hanya dijadikan sebagai pekerjaan sampingan. Berdasarkan kepemilikan lahan, diketahui bahwa orangtua responden sebesar 58,5 persen memiliki lahan yang berasal dari warisan maupun membeli sendiri. Lahan ini digunakan untuk usaha pertanian baik dikelola oleh orangtua secara langsung maupun disewakan kepada saudara umumnya maupun orang lain. Meninjau tempat asal masyarakat Batak maka domisili dibagi menjadi dua bagian yaitu domisili Tapanuli dan luar Tapanuli. Ternyata perbandingan domisili orangtua responden yang berdomisili dari Tapanuli dengan luar Tapanuli berbeda tipis, yaitu 9,44 persen. Orangtua responden yang berdomisili di daerah Tapanuli sebesar 54.72 persen sedangkan yang berasal dari luar Tapanuli sebesar 45,28 persen. Fakta tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Batak Toba tersebar di seluruh penjuru Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh Simanjuntak 1986 bahwa meskipun masyarakat Batak minoritas namun terdapat dipelosok Indonesia layaknya yang dilakukan oleh responden yang merantau untuk melangsungkan pendidikan di IPB. Di antara mereka banyak yang berkeinginan kelak setelah lulus lebih memilih menetap di Jawa untuk ‘mengadu nasib’. Hanya sedikit diantara mereka yang berkeinginan untuk pulang ke daerah. Hal ini pun dikemukakan oleh responden yang mendapat kesempatan kuliah dari beasiswa utusan daerah BUD. Selain itu, mahasiswa yang berkeinginan untuk kembali ke daerah asal setelah lulus kuliah dikarenakan keinginan dari orangtua atau keluarga.

BAB V PROSES SOSIALISASI NILAI KERJA PERTANIAN

5.1 Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian dalam Keluarga Mahasiswa Batak Toba di IPB

Proses sosialisasi nilai kerja pertanian dilihat dari pernah tidaknya responden diajak ke sawah dan diajarkan bertani, baik oleh orangtua, teman, kerabat atau lainnya. Proses sosialisasi yang berlangsung dihubungkan dengan nilai-nilai budaya sehingga melalui nilai-nilai yang disosialisasikan akan diketahui apakah pekerjaan pada sektor pertanian mampu mewujudkan status sosial yang merupakan perwujudan nilai budaya Batak Toba. Proses sosialisasi nilai kerja pertanian dikategorikan menjadi a tinggi, apabila responden pernah diajak ke sawah dan diajarkan bertani, b sedang, apabila pernah diajak ke sawah dan c rendah, apabila tidak pernah diajak ke sawah dan diajarkan tentang pertanian. Proses sosialisasi nilai kerja pertanian dikatakan rendah skor antara 2 sampai 6. Dari 106 responden penelitian, sebesar 44,34 persen mahasiswa IPB suku Batak Toba Angkatan 42 memiliki tingkat sosialisasi nilai kerja pertanian yang dikategorikan rendah yang artinya mahasiswa tersebut tidak diajak ke sawah atau lahan pertanian dan diajarkan bertani oleh agen sosialisasi. Rendahnya tingkat sosialisasi pekerjaan dikalangan mahasiswa IPB etnis Batak Toba dengan alasan tidak memiliki lahan dan sudah tinggal di kota yang jauh dari keberadaan sawah. Selain itu para orangtua telah memberikan kebebasan kepada anak-anaknya mengenai pekerjaan yang mereka inginkan sesuai dengan keterampilan dan minat. Distribusi jumlah dan persentase responden menurut proses sosialisasi nilai kerja pertanian secara singkat dan jelas tergambar pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian, 2008 Proses Sosialisasi Jumlah Persentase Rendah 47 44,34 Sedang 41 38,68 Tinggi 18 16,98 Responden yang mengalami proses sosialisasi nilai kerja pertanian sedang skor 7 sampai 11 sebesar 38,68 persen. Sedangkan, responden yang mengalami proses sosialisasi nilai kerja pertanian tinggi skor 12 sampai 17 lebih rendah dibandingkan responden yang mengalami proses sosialisasi nilai kerja pertanian sedang atau tinggi yaitu 16,98 persen. Diduga, proses sosialisasi nilai kerja pertanian tinggi akan memiliki nilai kerja yang baik. Sosialisasi nilai kerja pertanian ini dikatakan tinggi karena mereka mendapat pengalaman serta pengetahuan tentang pertanian dari orangtua atau keluarga serta kerabat dan juga lingkungan serta ditambah setelah kuliah di IPB. Meskipun bukan dari keluarga petani, mereka yang berada di lingkungan pertanian kadang kala diajak oleh tetangga-tetangga atau teman untuk membantu di sawah terutama pada musim penanaman dan panen. Bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan atau jauh dari lingkungan pertanian, mengenal pertanian ketika mereka pulang ke kampung halaman tempat kakek-nenek mereka berada dan tentunya setelah kuliah di IPB. Kasus Responden Menurut Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian, 2008 Kasus 1 : RS merupakan mahasiswa yang berasal dari daerah perkotaan yang jauh dari lingkungan pertanian namun kakek dan neneknya merupakan petani. Kedua orangtuanya merupakan lulusan sarjana dan berprofesi sebagai dosen dan guru. RH menyatakan bahwa dia tidak pernah diajak atau diajarkan tentang bertani oleh kedua orangtua namun pada saat pulang kampung sering diajak oleh kakek dan nenek di kampung ke sawahnya bahkan diajari tentang bertani. Menurutnya pekerjaan bertani itu sangat sulit dan melelahkan namun kalau tidak ada generasi yang mau jadi petani bagaimana memenuhi kebutuhan pangan negeri ini. Pekerjaan bertani itu akan sangat bagus apabila menerapkan ilmu terutama yang kuliah di fakultas pertanian. Mereka seharusnya mampu mengembangkan pertanian. Pertanian sebenarnya bukan pekerjaan yang tidak bagus, sebagai generasi muda yang berpendidikan sudah layak menciptakan inovasi baru tentang cara bertani sehingga pertanian tidak dipandang sebagai pekerjaan yang buruk lagi. Kasus 2 : MP adalah mahasiswa fakultas pertanian yang berasal dari daerah Tapanuli. Kedua orangtua memiliki lahan pertanian yang dikelola sendiri sehingga ketika berada di rumah sering diajak dan diajar tentang bertani. Menurutnya pertanian itu unik tapi memang melelahkan. Setelah saya kuliah, dunia pertanian itu lebih terasa dan menyenangkan. Pertanian itu tidak seburuk anggapan orang-orang selama ini. Ini merupakan tugas kita sebagai generasi muda untuk membangun pertanian yang lebih baik dengan metode baru yang tentunya dengan teknologi ramah lingkungan. Kasus 3 : DH tinggal di perkotaan dengan orangtua bekerja sebagai pengusaha. DH sejak dini selalu dipesankan orangtua agar meneruskan pekerjaan orangtuanya. Ia beranggapan bahwa sebenarnya tidak terlalu berminat jadi pengusaha. Ia juga tidak pernah diajak apalagi untuk diajarkan bertani. Pertanian baginya suatu pekerjaan yang sulit sehingga dibutuhkan tenaga baik fisik atau pikiran dan lainnya. Kasus 4 : YS memiliki orangtua baik ayah atau ibu bekerja sebagai PNS. Ia juga tidak pernah diajak dan diajar tentang bertani karena tempat tinggal mereka yang jauh dari lingkungan pertanian dan juga tidak memiliki lahan pertanian. Orangtuanya sejak dini menyampaikan bahwa pekerjaan sebagai PNS sudah cukup terutama bagi perempuan. 5.2 Hubungan Karakteristik Orangtua Dengan Proses Sosialisasi 5.2.1 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Proses Sosialisasi Tingkat pendidikan merupakan salah satu pembentuk kualitas sumberdaya manusia. Berdasarkan Tabel 7, diperoleh bahwa tingkat pendidikan orangtua responden dengan proses sosialisasi berbanding terbalik yaitu semakin tinggi pendidikan orangtua maka proses sosialisasi nilai kerja pertanian semakin rendah dan sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan orangtua maka semakin tinggi proses sosialisasi nilai kerja pertanian. Ayah responden yang berpendidikan