Tabel 11. Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian Menurut Domisili Orangtua Responden, 2008
Proses Sosialisasi Rendah Sedang
Tinggi Total
Domisili N N N N
Tapanuli 20 34,5
25 43,1
13 22,4
58 100
Luar Tapanuli 27
56,3 16
33,2 5
10,4 48 100
Berdasarkan uji chi-square terbukti bahwa domisili berhubungan nyata dengan proses sosialisasi pekerjaan pertanian. Hal ini berarti semakin jauh
domisili dari daerah Tapanuli atau non-Tapanuli maka proses sosialisasinya pun rendah. Hal ini juga terbukti dari pernyatan responden PS :
“tempat tinggal saya dekat dengan lahan-lahan pertanian, jadi seandainyapun punya orangtua saya tidak punya lahan saya
masih bisa ke sawah dan belajar bertani kepada saudara atau teman”
Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa di daerah Tapanuli sebagian besar bermukim dengan saudara-saudara sedarah. Masyarakat Batak
yang kental dengan sistem kekerabatannya memungkinkan terjadi proses sosialisasi pekerjaan, misalnya ketika membantu pada saat pengolahan,
pemanenan atau lainnya. Berdasarkan perhitungan statistik chi-square maka diperoleh nilai chi-square hitung diperoleh informasi bahwa terdapat hubungan
antara domisili dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian.
5.3 Resume
Berdasarkan hasil pengujian statistik maka diperoleh bahwa tingkat pendidikan, tingkat pendapatan orangtua berhubungan tidak nyata dengan proses
sosialisasi nilai kerja pertanian. Karakteristik orangtua yang berhubungan dengan proses sosilisasi adalah kepemilikan lahan dan domisili. Hal ini menunjukkan
bahwa kepemilikan lahan sebagai modal dalam pertanian akan mendorong orangtua untuk mengajarkan tentang bertani dan domisili dengan suasana
pertanian menjadi salah satu alasan orangtua atau agen sosialisasi untuk mensosialisasikan tentang pekerjaan pertanian. Secara singkat Tabel 12
menggambarkan hasil uji statistik antara karakteristik orangtua dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian.
Tabel 12. Hasil Pengujian Chi-square Karakteristik Orangtua Responden dengan Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian, 2008
Karakteristik Orangtua Proses
Sosialisasi Hasil Kecenderungan
Tingkat Pendidikan Ayah Tingkat Pendidikan Ibu
Berhubungan Tidak Nyata Berhubungan Tidak Nyata
Negatif Negatif
Tingkat Pendapatan Ayah Tingkat Pendapatan Ibu
Berhubungan Tidak Nyata Berhubungan Tidak Nyata
Negatif Negatif
Kepemilikan Lahan Berhubungan Nyata
Positif Domisili
Berhubungan Nyata
Positif
BAB VI NILAI KERJA PERTANIAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA 6.1 Nilai Kerja Pertanian
Nilai kerja pertanian sebagai konteks pelaku sosial memberi penilaian terhadap kerja yang terwujud dari perilaku pelaku sosial dalam komunitasnya.
Nilai kerja untuk setiap suku berbeda yang dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya masing-masing. Nilai untuk suatu jenis pekerjaan disampaikan dari generasi ke
generasi dan suatu saat untuk setiap generasi akan mengalami perubahan. Nilai Kerja Pertanian akan dilihat dari tujuh dimensi seperti yang dikemukakan oleh
Silvia Tjakrawati, 1988 yaitu dimensi lahan, dimensi tenaga kerja, dimensi modal, dimensi pasar, komoditi dan transportasi, dimensi pola pekerjaan dan
pandangan terhadap kerja, dimensi hubungan dengan teman dan kerabat serta yang terakhir dimensi harapan-harapan. Nilai kerja bagi masyarakat Batak adalah
suatu usaha untuk mencapai status sosial. Cita-cita masyarakat Batak yang dikenal dengan 3H hagabeon, hamoraon
dan hasangapon dulunya diperoleh melalui garis keturunan. Sejak masuknya ajaran agama Kristen ke dalam kebudayaan Batak untuk mencapai 3H tersebut
bukan lagi dengan keturunan melainkan melalui pendidikan. Kini pendidikan menjadi prioritas dalam masyarakat Batak yang kelak dijadikan sebagai tolak ukur
untuk memperoleh hagabeon, hamoraon dan hasangapon sehingga pada akhirnya akan menciptakan status sosial. Jenjang pendidikan merupakan faktor utama yang
menyebabkan pertanian ditinggalkan karena dengan semakin tinggi pendidikan