dikemukakan oleh Lubis dan Soetarto 1991 dalam penelitiannya, diketahui bahwa kerja pertanian masih menarik bagi pemuda, namun yang menjadi
persoalan pokoknya adalah ketersediaan lahan bagi kegiatan pertanian. Pendidikan merupakan salah satu faktor dalam pembentukan kualitas
sumberdaya manusia. Pendidikan seringkali mewarnai tujuan yang ingin dicapai. Rahmat yang dikutip oleh Hartati 1994, mengungkapkan bahwa terdapat
perubahan sikap mental dari tenaga kerja buruh terhadap modernisasi yang terjadi terutama akibat perbaikan tingkat pendidikan dan status sosial yang
berakibat aktivitas usaha tani dirasakan kurang menarik dan besarnya tingkat upah di usahatani yang cenderung tetap dan bahkan secara riil turun. Peningkatan
pendidikan pada generasi muda yang telah diusahakan oleh para orangtua tampak terkandung suatu harapan bahwa kelak anak-anaknya itu akan mengangkat derajat
orangtua mereka. Berdasarkan hasil penelitian Herlina 2002, pemuda memiliki pendidikan
yang tinggi cenderung memilih bekerja di non-pertanian karena dinilai lebih berstatus sosial yang tinggi. Bagi mereka yang berpendidikan rendah terpaksa
bekerja di pertanian karena keterbatasan kesempatan di sektor non-pertanian dimana pendidikan menjadi salah satu syarat untuk memperoleh pekerjaan.
2.6 Nilai kerja Pertanian pada Mayarakat Batak Toba
Seorang anak yang berasal dari keluarga petani belum tentu kelak bekerja sebagai petani. Pada masyarakat Batak Toba, penanaman nilai-nilai telah
diupayakan sejak kanak-kanak. Nilai-nilai ini disosialisasikan kepada anak untuk mempertahankan identitas diri dan adanya harapan kehidupan keturunannya akan
lebih baik darinya. Kemajuan teknologi dan modernisasi akan berlangsung secara terus menerus yang akan berimplikasi pada kebudayaan. Cita-cita masyarakat
Batak Toba juga berkembang sesuai dengan perkembangan situasi dan lingkungan yang dihadapinya. Dengan adanya perubahan pada kebudayaan maka setiap
individu harus berupaya beradaptasi terus menerus. Cita-cita masyarakat Batak dikenal dengan konsep 3H yaitu hagabeon
keturunan dan hamoraon kekayaan serta hasangapon kehormatan. Dulu untuk mencapai ketiga cita-cita ini diperoleh melalui garis keturunan, namun
dengan masuknya agama Kristen terhadap kebudayaan Batak maka cita-cita tersebut dicapai dengan pendidikan. Biasanya cita-cita seorang anak etnis Batak
Toba akan dipengaruhi oleh cita-cita keluarga, hal ini dipandang sebagai kewajiban sebagai seorang anak.
Bagi masyarakat Batak Toba, seseorang dianggap telah berhasil sebagai seorang Batak apabila telah berhasil meraih ketiga cita-cita tersebut. Pendidikan
telah menjadi titik tolak ukur untuk memperoleh hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Dengan pendidikan tinggi diharapkan akan menciptakan pekerjaan
yang tinggi pula. Apapun jenis pekerjaan yang ditekuni oleh setiap masyarakat Batak akan dianggap baik atau berhasil apabila pekerjaan tersebut mampu
memberikan status sosial bagi dirinya terutama pada orangtuanya. Bagi orang Batak, status sosial merupakan sesuatu yang didambakan sebagai manusia yang
hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Masyarakat Batak Toba akan berusaha mewujudkan hagabeon, hamoraon, dan hasangapon yang dipandang
jalan menuju untuk memperoleh status sosial yang tinggi.
Cita-cita hidup Batak Toba ditanamkan dari generasi ke generasi. Nilai dari cita-cita Batak Toba, yaitu hagabeon, hamoraon dan hasangapon atau 3H
mengalami perubahan yang selalu mengikuti arus pekembangan zaman yang telah menempatkan pendidikan sebagai kunci dalam meraih cita-cita tersebut. Hal
inilah yang mempengaruhi orangtua dalam mensosialisasi nilai kerja. Pencapaian status sosial sebagai puncak dalam keberhasilan mewujudkan ketiga cita-cita ini
juga mempengaruhi orangtua dalam menanamkan nilai-nilai. Sejak masa Si Raja Batak, sistem pertanian telah dijadikan sebagai sumber mata pencaharian. Namun,
keadaan ini mengalami perubahan karena adanya ketimpangan luas lahan dengan jumlah penduduk, serta kondisi topografi yang kurang mendukung. Hal ini
mengakibatkan masyarakat Batak cenderung meninggalkan pertanian. Mereka cenderung melakukan migrasi atau merantau ke daerah lain yang mendukung
kegiatan pertanian yang dapat memberikan taraf hidup yang lebih baik dan tidak jarang mereka meninggalkan pertanian dan mencari pekerjaan di luar pertanian.
Selain itu, adanya faktor pendidikan yang semakin tinggi mendorong orang Batak untuk keluar dari pertanian.
Bagi masyarakat Batak, merantau telah menjadi suatu budaya yang merupakan jalan mewujudkan cita-cita 3Hnya. Bagi mereka yang telah merantau,
tidak dipesankan lagi untuk kembali ke bonapasogit untuk bekerja bahkan untuk mengolah pertanian justru mereka berpesan agar mencari penghidupan yang baik
dari orangtua dimanapun. Orangtua tidak memaksakan anaknya untuk menekuni suatu pekerjaan tertentu. Keadaan ini digambarkan melalui ungkapan timbo tiang
ni ruma, timboan tiang ni sopo, sai timboma pangkat nang ilmu alai tiboan pangkat na umposo. Hal ini berarti bahwa generasi harus lebih baik. Dari kondisi
yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa nilai kerja pertanian bernilai baik apabila memberikan status sosial yang baik pula. Dari pernyataan di
atas, maka dapat dikatakan bahwa sosialisasi nilai kerja pada masyarakat Batak terjadi secara demokrasi dan permisif karena orangtua berupaya menanamkan
cita-cita hidup Batak Toba yang telah dijalankan dari dulu dan dibebaskan memilih jenis pekerjaan, jika pekerjaan tersebut mampu memberikan status sosial
yang baik bagi dirinya dan keluarga pada umumnya. a.
Hagabeon Hagabeon terkait dengan keturunan. Bagi orang Batak, hagabeon sangat
penting sebagai penerus keturunan. Kebahagiaan orang Batak belum lengkap jika belum mempunyai anak laki-laki karena anak laki-lakilah yang berfungsi
sebagai pembawa marga sekaligus penerus keturuan. Pada zaman dahulu, sebuah keluarga yang tidak memiliki keturunan laki-laki, maka sang suami
boleh menikah lagi untuk mendapatkan anak laki-laki. b.
Hamoraon Hamoraon atau kekayaan merupakan sesuatu yang sudah pasti dicari
setiap orang tak terkecuali orang Batak. Hamoraon tidak hanya diukur dari materi saja, tetapi anak pun merupakan suatu kekayaan yang tak ternilai seperti
lagu “anakkonkhi hamoraon di au”. Dalam lagu tersebut tersirat makna bahwa orangtua akan rela melakukan apa saja demi kebagiaan dan keberhasilan anak-
anaknya. c.
Hasangapon Hasangapon terkait dengan kehormatan dan kedudukan atau status sosial.
Tidak semua orang memiliki hasangapon. Namun, melalui generasi berikutnya
tidak menutup kemungkinan untuk memperoleh hasangapon meskipun dirinya belum memperoleh hasangapon. Tapi lewat keturunannya hasangapon akan
bisa dicapai. Hasangapon tidak selamanya dilihat dari pangkat atau posisi seseorang dalam masyarakat, namun dapat dilihat dari interaksi dengan
lingkungan masyarakatnya. Meskipun seseorang tidak memiliki posisi yang tinggi, bisa saja orang tersebut mendapat hasangapon atau dihormati di
lingkungannya dan sebaliknya orang-orang yang memiliki posisi atau jabatan yang tinggi dalam pekerjaan tetapi tidak dihormati di lingkungan.
Ditinjau dari sejarah, orang Batak sangat tergantung pada mata pencaharian dari bertani. Mengutip Situmorang dalam Sitorus 1998,
mengemukakan bahwa komunitas Batak Toba merupakan komunitas lembah, yaitu komunitas dengan usahatani sawah beririgasi yang dinyakini telah
diterapkan sejak masa “si Raja Batak”. Namun dengan masuknya ajaran agama Kristen membawa perubahan pola pikir masyarakat Batak yang salah satunya
pada orientasi pencapaian cita-cita hidup. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Sitompul 1991 bahwa dalam
interaksi kehidupan Batak selalu terdengar pasu-pasuberkat yang sampai saat ini telah tertanam dalam masyarakat Batak, walaupun pekerjaan seseorang tidak lagi
bertani yaitu “anduhur martutu di atas purbatua, sai sinur ma pinahan gabe na niula” yang artinya burung tekukur bernyanyi di atas purbatua,
berkembangbiaklah ternak, berbuahlah tanam-tanaman. Berkat ini bertujuan agar apa pun yang mereka kerjakan disawah dan di ladang menghasilkan buah
sedangkan ternak berkembangbiak.
Harahap 1987 mengemukakan bahwa merantau telah menjadi suatu budaya bagi orang Batak, karena masyarakat Batak merasa bahwa kampung
halaman tidak cukup memberi kemungkinan untuk meningkatkan kesejahteraan termasuk pendidikan maka mereka pun akan mencari tempat-tempat untuk dapat
mewujudkan kehidupan yang sejahtera. Selain itu, terdapat faktor-faktor yang menyebabkan keinginan merantau dan meninggalkan tanah Batak atau keinginan
untuk meninggalkan pertanian adalah faktor fisik geografis, iklimmusim dan kesuburan tanah.
1. Topografi
Dataran tinggi Danau Toba menyebabkan pengembangan usaha pertanian sulit dilakukan. Musim kering yang panjang terancam gagal panen dan petani
kehilangan pendapatan. Kondisi di atas mengakibatkan masyarakat Toba yang berada disekitar daerah dataran tinggi Danau Toba untuk berpindah tempat.
Keadaan inilah yang mengakibatkan pertanian di dataran tinggi Danau Toba semakin lama semakin redup.
2. Faktor Sosial dan Demografi
Tanah bagi orang Batak memiliki peranan baik dalam hal ekonomi maupun sosialbudaya. Pemikiran orang batak yang agraris tradisional, yaitu “sihol di
anak, sihol di tano” yang artinya suka akan anak, suka akan tanah. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dengan
luas lahan. Berkurangnya lahan pertanian tentunya mengakibatkan pendapatan berkurang yang tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan.
3. Faktor Pendidikan
Orang Batak Toba cenderung meninggalkan kegiatan tradisional, seperti bertani meraih pendidikan formal yang memberikan pendapatan yang lebih
besar dibandingkan dengan bertani dan meraih status yang lebih tinggi. Jenis- jenis pendidikan keterampilan yang berkembang akan mempengaruhi orang
Batak dalam mengikuti nilai-nilai profesional pekerjaan sesuai dengan pendidikannya.
4. Faktor Ekonomi
Keterbatasan lahan pertanian menyebabkan orang Batak merantau ke daerah lain yang mampu memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
Mengacu dari hasil studi yang dilakukan Tjakrawati 1988 tujuh dimensi untuk melihat nilai kerja pertanian maka nilai pertanian yang terdapat pada
masyarakat Batak antara lain: 1.
Dimensi lahan Tanah bagi orang Batak memiliki peranan dalam hal ekonomi maupun
sosialbudaya. Dalam hal budaya, terdapat istilah yang berkenaan dengan sistem pertanahan, seperti adat pemargaan, dalihanna tolu dan harajoan. Pada masa
agraris tradisional, masyarakat Batak mengenal istilah “sihol di anak, sihol di tano” yang artinya suka akan anak, suka akan tanah yang memiliki makna yaitu
mengejar kemakmuran berupa panen yang baik, ternak berkembangbiak dan juga keturunan yang banyak. Adanya pertambahan penduduk menyebabkan
berkurangnya lahan pertanian. Berkurangnya lahan pertanian tentunya mengakibatkan pendapatan yang berkurang tidak mencukupi pemenuhan
kebutuhan. Hal ini mendorong masyarakat Batak untuk mencari pekerjaan tambahan di luar pertanian bahkan meninggalkan pertanian.
2. Dimensi tenaga kerja
Masyarakat Batak, cita-cita untuk mencapai kemajuan hamajuon dalam diri Batak dicapai melalui pendidikan dan merantau. Orang Batak yang telah
mampu mengakses pendidikan cenderung meninggalkan kegiatan tradisional seperti bertani menjadi pekerja halus yang memberikan pendapatan yang lebih
besar dibandingkan dengan bertani dan meraih status yang lebih tinggi. Perkembangan pendidikan menumbuhkan suatu prinsip bagi orang Batak untuk
menyekolahkan anak-anak mereka bahkan sampai keluar Tapanuli. Jenis-jenis pendidikan keterampilan yang berkembang mempengaruhi kecenderungan orang
Batak Toba dalam mengikuti nilai-nilai professional pekerjaan sesuai dengan pendidikannya.
3. Dimensi modal
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Purba dan Purba 1997 bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan orang Batak meninggalkan pertanian
dan berpindah tempat mencari areal yang cocok. Faktor tersebut antara lain, faktor fisik geografis, iklimmusim dan kesuburan tanah dimana asal mula orang Batak
yang berada di dataran tinggi yang memiliki tipe topografi bergelombang dan curam, keadaan tanah bergunung-gunung dan berlembah-lembah, kemiringan
tanah yang curam tidak cocok untuk digunakan sebagai areal pertanian dan memiliki musim kering yang panjang. Berkurangnya lahan pertanian tentunya
mengakibatkan pendapatan berkurang yang tidak mencukupi pemenuhan
kebutuhan. Hal ini mendorong masyarakat Batak untuk mencari pekerjaan tambahan di luar pertanian, bahkan meninggalkan pertanian.
4. Dimensi pasar, komoditi dan transportasi
Pada masyarakat Batak, terdapat istilah onan, yaitu pasar yang merupakan
suatu institusi ekonomis juga institusi sosial yang menghubungkan antar huta kampung yang mana orang-orang yang berasal dari berbeda huta menjajakan
barang ataupun jasa. Selain itu, onan ini juga erat kaitannya dengan lingkungan pertaniannya. Tipe pasar yang dimaksud adalah parengge-rengge yaitu pedagang
kecil yang berada di emperan toko atau pasar yang menggelarkan barang dagangannya berupa bahan makanan pokok, hasil-hasil pertaniannya dan barang-
barang kecil yang mudah diangkut dan disimpan. 5.
Dimensi pola pekerjaan dan pandangan terhadap kerja Orang Batak yang berpegang teguh untuk mencapai status sosial
memandang bahwa apapun pekerjaan akan dipandang bernilai apabila mampu memberikan status sosial yang diwujudkan melalui konsep 3H, yaitu hagabeon,
hamoraon dan hasangapon. 6.
Dimensi hubungan dengan teman dan kerabat Masyarakat Batak memandang bahwa pendidikan yang tinggi akan
menciptakan status sosial sehingga mereka akan cenderung menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya. Oleh karena itu, para masyarakat Batak akan
berlomba dan berusaha memberikan pendidikan yang tinggi kepada keturunannya. 7.
Dimensi harapan-harapan Dalam keluarga Batak, apabila anaknya telah meraih pendidikan yang
tinggi maka para orangtua tidak akan memaksakan anaknya untuk kembali ke
kampung halaman untuk bekerja atau melanjutkan pekerjaan orangtuanya. Besar harapan orangtua agar anaknya dapat meraih kesuksesan dimanapun mereka
berada.
2.7 Kerangka Pemikiran