Sumber : BPS 1997 sampai 2007 diolah
Gambar 4. Persentase Jumlah Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Berdasarkan Golongan Umur di Indonesia Tahun 1997-2007
Berdasarkan Gambar 4, diperoleh pernyataan bahwa terjadi gejala penurunan keterlibatan usia muda yang bekerja di sektor pertanian yang terjadi
dari tahun 2002. Tenaga kerja usia muda lebih memilih pekerjaan di sektor non- pertanian yang ditunjukkan dari gambar diketahui bahwa terjadi penurunan tenaga
kerja pertanian dari tahun 1997 sebesar 51,65 persen menjadi 48,91 persen tahun 2007. Berbeda dengan tenaga kerja usia muda di sektor non pertanian dimana
pada tahun 2002 justru mengalami peningkatan Lampiran 1 pada Tabel 4.
2.2 Masyarakat Batak Toba
Batak Toba merupakan salah satu sub etnis suku Batak. Suku bangsa Batak menempati seluruh wilayah tanah Batak yang terletak di antara Provinsi
Aceh, Kabupaten Deli Serdang dan Langkat di bagian Utara serta Sumatera Barat di bagian Selatan. Batak Toba mendiami daerah yang meliputi daerah tepi danau
Toba, pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, daerah Asahan, Silindung, daerah antara Barus dan Sibolga dan daerah pegunungan Pahae dan Habinsaran. Alam
lingkungan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat Batak berasal dari alam
pertanian dengan pola pertanian seperti sawah dan ladang. Suku Batak Toba mengenal kebudayaan yang dikenal dengan Dalihan Na Tolu Tungku Nan Tiga
yang berperan sebagai sistem pranata sosial yaitu sistem kekerabatan patrineal Batak. Dalam Dalihan Na Tolu ini terdiri dari tiga unsur yaitu hula-hula
keluarga dari pihak istri, dongan sabutuha kawan semarga dan boru keluarga dari pihak menantu.
Selain itu, masyarakat Batak Toba juga memiliki cita-cita yakni hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Dari ketiga cita-cita tersebut, hasangapon merupakan
nilai budaya utama yang mencirikan orang Batak Toba yang sempurna sesuai ukuran nilai-nilai budaya Batak Toba. Orang Batak Toba telah mencapai taraf
sanggap apabila telah menjadi pemberi kebijakan, pemberi habisuhon, kearifan sekaligus teladan masyarakatnya Harahap, 1997.
2.3 Nilai Kerja Pertanian
Koentjaraningrat 1990 mengemukakan pengertian nilai merupakan unsur dari sistem budaya yang merupakan perbendaharaan idiil subyek manusia
sehingga nilai dipengaruhi oleh kebudayaan. Dikatakan sebagai perbendaharaan idiil subyek manusia karena berwujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya yang bersifat abstrak dan tidak dapat diraba karena ada dalam pikiran warga
masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Sementara itu, kebudayaan idiil dapat juga disebut sebagai adat tata kelakuan yang biasanya
berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan seseorang dalam masyarakat.
Selain itu, Kristono 1999 menyatakan bahwa pola tindakan manusia dipengaruhi oleh sikap dan nilai budaya baik secara langsung maupun melalui
pola-pola cara berpikir. Sistem nilai budaya itu sendiri merupakan suatu rangkaian dari konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian
masyarakat mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga dan mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup.
Mengutip pendapat para ahli, Tjakrawati 1988 dalam tesisnya menyimpulkan bahwa nilai sebagai konsep baik buruknya yang dihayati
seseorang dan sebagian besar warga masyarakat yang memberi pedoman untuk memilih perilaku dalam menghadapi situasi tertentu. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa nilai merupakan cara pandang suatu komunitas tentang baik atau buruknya suatu obyek yang dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat serta
perkembangan pengetahuan yang diadopsi oleh masyarakat tersebut yang selanjutnya akan mempengaruhi seseorang dalam berfikir dan bertindak.
Nilai kerja merupakan pandangan masyarakat terhadap salah satu sektor pekerjaan yaitu sektor pertanian dan non-pertanian. Herlina 2002 juga
menyimpulkan bahwa nilai kerja adalah persepsi dan penghargaan terhadap suatu aktivitas yang menghasilkan sesuatu bentuk materi ataupun non-materi yang
memberi kepuasan terhadap seseorang. Persepsi dan penghargaan tersebut akan mengarahkan tindakan sosialnya. Dengan demikian, oleh Tjakrawati 1988
mendefinisikan bahwa nilai kerja pertanian terkait dalam konteks pelaku sosial memberi penilaian terhadap kerja yang terwujud pada perilaku pelaku sosial
dalam komunitasnya atau konsepsi baik atau buruknya tentang kerja pertanian
yang dianut sebagian besar masyarakat. Setiap komunitas memiliki budaya yang berbeda sehingga nilai kerja yang ada dalam komunitas pun akan berbeda-beda.
2.4 Konsep Generasi Muda