Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Kerja Generasi Muda

socialization dimana orang yang lebih muda dapat menggunakan pengaruh mereka terhadap yang lebih tua. 3. Tahap Dewasa Sosialisasi pada orang dewasa merupakan suatu proses dimana individu dewasa mempelajari norma, nilai dan peranan yang baru dalam lingkungan sosial yang baru pula. Misal, peran sebagai pekerja dalam memasuki dunia kerja, peran sebagai suamiisteri dalam pernikahan, peran sebagai ayahibu ketika sudah mempunyai anak dan sebagainya. Umumnya orang dewasa menginginkan tiga hal yaitu bekerja, menikah dan memiliki anak dan tentu saja ini semua membutuhkan sosialisasi. 4. Tahap Tua Menurut Eitzen dalam Soe’oed 1999, orang lanjut usia sama seperti remaja yang mengalami masa transisi dalam kehidupan dari orang dewasa produktif ke masa menuju kematian. Ketika seseorang memasuki tahap ini, mereka harus bergantung kepada orang lain, belajar untuk tidak terlalu produktif dan menghabiskan sebagian besar waktu untuk santai.

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Kerja Generasi Muda

Bila ditinjau berdasarkan generasi penerus, perubahan nilai terkait dengan proses sosialisasi nilai orangtua kepada anak. Pada penelitian perubahan nilai kerja pertanian pada pemuda tani, Tjakrawati 1988 mengemukakan bahwa adanya perubahan nilai kerja dipengaruhi oleh proses sosialisasi dalam keluarga dan pengaruh dari luar, yakni kaitan desa-kota, kaitan pertanian dan non- pertanian . Nilai kerja tersebut diukur melalui tujuh dimensi, yaitu dimensi lahan, dimensi tenaga kerja, dimensi modal, dimensi pasar, komoditi dan transportasi, dimensi pola pekerjaan dan pandangan terhadap kerja, dimensi hubungan dengan teman dan kerabat, dimensi harapan-harapan. Kristono 1994 juga menyebutkan bahwa perubahan nilai seseorang terhadap pekerjaan pertanian diakibatkan oleh proses migrasi dan perubahan jenis pekerjaan, hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada masalah pokok lain dari sistem budaya. Sunarto 1993 mendefinisikan sosialisasi sebagai keseluruhan kebiasaan yang dipunyai oleh manusia baik dalam bidang ekonomi, kekeluargaan, pendidikan, agama dan sebagainya yang harus dipelajari oleh setiap anggota baru suatu masyarakat melalui suatu proses. Proses sosialisasi merupakan pembinaan dan pengembangan budaya berlangsung berupa kegiatan-kegiatan yang melibatkan generasi “muda” dalam rangkaian proses belajar dan penghayatan nilai-nilai budaya yang berlaku di masyarakat dengan ajaran, bimbingan, keteladanan dari generasi “orangtua” Sucipto, 1998. Dalam proses sosialisasi ini terdapat kemungkinan nilai diterima atau anak memberikan reaksi terhadap nilai orangtuanya sehingga ia memilih nilai sendiri karena dalam penerusan nilai secara vertikal bersamaan dengan penerusan nilai secara horizontal sebagai interferensi Noerhadi, dalam Tjakrawati,1988. Selain itu, Tjakrawati 1998 menuturkan bahwa tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan nilai meskipun berlangsung dalam kurun waktu yang tidak cepat sehingga nilai ini tetap diajarkan ke generasi berikutnya. Soe’oed 1999 mengatakan bahwa orientasi nilai kerja bukanlah faktor keturunan melainkan hasil interaksi sosial dimana diperoleh cara berfikir. Namun dalam prosesnya, sosialisasi dapat dilakukan demi kepentingan orang yang disosialisasikan atau orang yang melakukan sosialisasi. Sosialisasi nilai kerja pertanian pada masyarakat dengan kultur pertanian tidak selalu terjadi. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Herlina bahwa orangtua tidak menginginkannya untuk bekerja sebagai buruh tani seperti dirinya tetapi mereka lebih suka menyekolahkan anaknya dengan harapan pemuda akan dapat pekerjaan di luar pertanian yang lebih baik daripada bekerja sebagai petani. Seorang petani yang cukup berhasil sangat membanggakan sektor ini dengan tegas mengatakan harapannya agar anaknya tidak meneruskan jejaknya sebagai petani. Secara tidak sadar orangtua telah mensosialisasikan pandangan kepada anaknya tentang kecapekan, kerendahan dan ketidakcerahan bekerja di pertanian, yang berarti orangtua telah mengalami pergeseran pandangan terhadap pekerjaan ini walaupun secara faktual mereka masih hidup di dalamnya. Hal ini berbeda dengan Lubis dan Sutarto 1991 yang berpendapat bahwa adanya konsistensi antara pekerjaan anak dengan orangtua pada masyarakat petani sebagai akibat daya tarik pertanian. Meskipun dalam dua lokasi yang diteliti terdapat perbedaan, upaya untuk melibatkan anak laki-laki mengenal pekerjaan bertani lebih dominan dilakukan oleh masyarakat yang tigkat pendapatannya kecil sedangkan pada masyarakat petani cukupan ke atas gejala tersebut tidak terlalu tampak. Pemuda dibebaskan memilih jalan hidup, hal ini terlihat dalam cara pandang orangtua yang lebih suka menyekolahkan anaknya daripada menuntut mereka untuk bekerja di sektor pertanian. Dalam mempelajari sosialisasi tentunya akan membicarakan siapa yang menjadi agen sosialisasi atau pihak yang menjalankan sosialisasi. Fuller dan Jacob Sunarto 1933 mengidentifikasi agen-agen sosialisasi yaitu: a. Keluarga. Agen sosialisasi terdiri atas orangtua dan saudara kandung. Pada masyarakat yang mengenal sistem keluarga luas, agen sosialisasi bisa berjumlah banyak dan mencakup nenek, kakek, paman, bibi dan lainnya. b. Teman Bermain. Biasanya seorang anak yang tengah bepergian atau merantau, maka anak tersebut akan memperoleh agen sosialisasi di luar keluarga yaitu teman bermain baik yang terdiri dari kerabat maupun tetangga atau teman sekolah. c. Dalam sekolah, seorang anak akan mempelajari hal-hal baru yang belum dipelajari sebelumnya dalam keluarga ataupun dalam kelompok bermain. d. Media Massa. Media massa sebagai agen sosialisasi yang berpengaruh terhadap perilaku khayalaknya. Perkembangan teknologi yang semakin maju telah meningkatkan kualitas pemberi pesan serta peningkatan frekuensi pengenaan masyarakat sehingga memberi peluang yang semakin tinggi bagi media massa untuk berperan sebagai agen sosialisasi. Menurut Van Doorm Lammers dalam Sajogyo 1982, proses sosialisasi dilakukan melalui pengendalian sosial yang meliputi empat proses yaitu : 1. Proses ajar didik atau pewarisan. Menurut Witting yang dalam Muhibbin dikutip oleh Aminah 2007, mengungkapkan bahwa proses belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai suatu organisme sebagai hasil pengalaman. Proses belajar sosial terjadi dalam urutan yang meliputi tahap perhatian, tahap penyimpanan dalam ingatan, tahap reproduksi dan tahap motivasi. Dalam masyarakat Melayu Pontianak, proses ajar didik dilakukan melalui pemberian nasehat oleh orangtua kepada anaknya melalui tradisi Pantang Larang. 2. Sanksi, merupakan tindakan-tindakan atau hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau ketentuan undang-undang Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995. Lubis dikutip Aminah 2007 menyatakan bahwa sanksi digolongkan kedalam tiga bentuk yaitu : a sanksi berupa fisik berupa kontrol negatif, pengusiran, permusuhan dan hukuman fisik b sanksi ekonomi berupa hukuman ekonomi, intimidasi ekonomi dan hadiah atau ganjaran ekonomi c sanksi psikologis berupa hukuman secara psikologis atau ganjaran atau hadiah secara psikolog. Pada masyarakat Melayu Pontianak, sanksi berkenaan dengan tradisi Pantang Larang yang disampaikan ketika upacara perkawinan kepada calon pengantin, pada pasangan suami istri di masa kehamilan dan kelahiran. 3. Ritus kolektif, adalah tata cara dalam upacara keagamaan bersama-sama Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995. Pada Masyarakat Melayu Pontianak, ritus kolektif ditunjukkan melalui upacara adat seperti pernikahan dan kehamilan Aminah, 2007. 4. Alokasi posisi, adalah adanya peranan-peranan tertentu yang dilakukan dengan status yang dimilikinya. Pada Masyarakat Melayu Pontianak, alokasi posisi ditunjukkan dari kepatuhan anak kepada orangtua yang berkenaan tradisi Pantang Larang sehingga tradisi tersebut tetap dijalankan oleh generasi muda Aminah, 2007. Proses belajar yang bersifat adaptif dan intelengensia juga menyebabkan terjadinya pergeseran nilai pada pada pemuda. Proses belajar pada pemuda membentuk tindakan sosial dengan memanfaatkan pengalamannya bila dinilai perlu atau pengalaman orangtua melalui saluran sosialisasi dalam keluarga. Perubahan pengetahuan ini akan berdampak langsung terhadap suatu pekerjaan. Tingkat akses pemuda terhadap informasi baru dan lembaga pendidikan, interaksinya dengan pihak lain akan turut mempengaruhi pandangan terhadap masa depan yang diharapkan Vembriato, dalam Herlina, 2002. Hal ini juga dinyatakan oleh Rogers dan Shoemaker 1971 bahwa karakteristik individu dan karakteristik sosial individu, misalnya kosmopolitan akan mempengaruhi pengetahuan terhadap inovasi dan keuntungan beberapa pengertian dari fungsi inovasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karakteristik individu dan karakteristik sosial pada generasi muda dalam hal ini mahasiswa akan berhubungan nilai kerja mereka karena nilai kerja tersebut dapat ditentukan dari seberapa jauh mereka mengetahui tentang kerja pertanian dan dampak berupa keuntungan maupun kerugian dari kerja pertanian. Proses sosialisasi keluarga tersebut dipengaruhi oleh berbagai latar belakang orangtua. Sosialisasi nilai kerja akan dipengaruhi oleh latar belakang berupa pendidikan, pekerjaan, pendapatan, lahan maupun domisili. Lahan masih menempati posisi sentral dalam perkembangan sejarah peradaban manusia, karena persoalan lahan tidak semata-mata menjadi persoalan ekonomi namun persoalan lahan ini hampir menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat. Seperti yang diungkapkan Tjakrawati 1988 dalam penelitiannya bahwa lahan masih menjadi titik sentral segala aktivitas sosial ekonomi bagi masyarakat. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Lubis dan Soetarto 1991 dalam penelitiannya, diketahui bahwa kerja pertanian masih menarik bagi pemuda, namun yang menjadi persoalan pokoknya adalah ketersediaan lahan bagi kegiatan pertanian. Pendidikan merupakan salah satu faktor dalam pembentukan kualitas sumberdaya manusia. Pendidikan seringkali mewarnai tujuan yang ingin dicapai. Rahmat yang dikutip oleh Hartati 1994, mengungkapkan bahwa terdapat perubahan sikap mental dari tenaga kerja buruh terhadap modernisasi yang terjadi terutama akibat perbaikan tingkat pendidikan dan status sosial yang berakibat aktivitas usaha tani dirasakan kurang menarik dan besarnya tingkat upah di usahatani yang cenderung tetap dan bahkan secara riil turun. Peningkatan pendidikan pada generasi muda yang telah diusahakan oleh para orangtua tampak terkandung suatu harapan bahwa kelak anak-anaknya itu akan mengangkat derajat orangtua mereka. Berdasarkan hasil penelitian Herlina 2002, pemuda memiliki pendidikan yang tinggi cenderung memilih bekerja di non-pertanian karena dinilai lebih berstatus sosial yang tinggi. Bagi mereka yang berpendidikan rendah terpaksa bekerja di pertanian karena keterbatasan kesempatan di sektor non-pertanian dimana pendidikan menjadi salah satu syarat untuk memperoleh pekerjaan.

2.6 Nilai kerja Pertanian pada Mayarakat Batak Toba