Latar Belakang Model pengelolaan perikanan tangkap di teluk lampung dalam perspektif efisiensi interaksi antar stakeholder

1 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan merupakan salah bahan pangan sumber protein hewani yang penting untuk kelangsungan hidup manusia. Kegiatan yang memproduksi bahan pangan ini di antaranya adalah penangkapan ikan di laut marine fisheries atau capture fisheries. Kegiatan ini memiliki ciri di antaranya adalah menangkap ikan-ikan liar yang hidup di perairan dengan cara menerapkan teknologi penangkapan ikan, bukan menangkap ikan-ikan yang dalam keadaan dibudidayakan. Bersama kegiatan produktif lainnya, perikanan tangkap menjadi sektor ekonomi ini yang merupakan sumber mata pencaharian sebagian masyarakat dan sumber pendapatan negara. Untuk menjamin keberlanjutan dari manfaat sumber daya ikan, perikanan tangkap perlu dikelola dengan baik. Pengelolaan perikanan pada dasarnya bertujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi ikan dengan cara memelihara keberadaan stok ikan melalui program konservasi sumber daya ikan, terutama melalui berbagai tindakan pengaturan regulations dan pemantapan pengelolaan enhancement. Pengelolaan tersebut diharapkan akan meningkatkan kualitas kehidupan sosial para pelaku utama masyarakat nelayan dan pengusaha perikanan dan kesejahteraan masyarakat yang menjadi pemilik kolektif sumber daya alam yang sebenarnya. Salah satu tahap awal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan adalah pengkajian terhadap isu atau permasalahan yang dihadapi sektor perikanan, yaitu tentang aspek ekologi, teknologi, ekonomi, sosial dan etika termasuk kelembagaan sebagai pengkoordinasi dan pengawasan pemanfaatan sumberdaya secara keseluruhan. Dengan tahap awal seperti itu, upaya atau tindakan yang akan dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dapat dirumuskan sebelum menetapkan kebijakan yang diperlukan. Keberlanjutan perikanan tangkap dapat dinyatakan sebagai gabungan dari berbagai aspek keberlanjutan, yaitu aspek ekologi, sosial-ekonomi, masyarakat, 2 dan kelembagaan Charles, 2001. Keberlanjutan ekologi ecological sustainability dicirikan oleh terpeliharanya keberlanjutan stok ikan jika penangkapan ikan dilakukan secara terkendali, yaitu agar produksi ikan tidak melebihi kapasitas atau daya dukung sumber daya ikan, dan terpeliharanya kapasitas ekosistem untuk mendukung keberadaan sumber daya ikan. Keberlanjutan sosio-ekonomi socio-economic sustainability dicirikan oleh keberlanjutan kesejahteraan para pelaku perikanan, keberlanjutan usaha perikanan dan 3 Keberlanjutan komunitas masyarakat community sustainability mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat menjadi perhatian pembangunan berkelanjutan, 4 Keberlanjutan kelembagaan institutional sustainability, yaitu keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat dari ketiga pembangunan keberlanjutan di atas. Monintja 2005 menyatakan standar yang digunakan pada aspek teknologi untuk kepentingan perikanan yang berkelanjutan terutama perikanan tangkap harus memenuhi beberapa kriteria yaitu : 1 penerapan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, 2 jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan, 3 kegiatan usaha harus menguntungkan, 4 investasi rendah, 5 penggunaan bahan bakar minyak rendah dan 6 memenuhi ketentuan hukum dan perundangan-undangan yang berlaku. Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut di atas, pengelola perikanan diharapkan menyusun rencana pengelolaan perikanan yang akan ditindak-lanjuti oleh stakeholders atau instansi-instansi yang terkait. Secara alamiah, pemanfaatan dan pengelolaan perikanan di suatu wilayah akan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan stakeholders, baik secara pengakuan maupun karena partisipasinya. Pada prakteknya, karena kepentingan setiap stakeholders tersebut akan menimbulkan konflik antar stakeholders, sehingga interaksi mereka menjadi buruk dan menyebabkan ketidak-efisienan pengelolaan perikanan tangkap. Perikanan tangkap adalah suatu upayakegiatan yang menyangkut pengusahaan suatu sumberdaya laut atau perairan umum melalui cara 3 penangkapan baik secara komersial ataupun tidak komersial. Pada tahun 2003, produksi atau jumlah ikan hasil tangkapan yang didaratkan di Teluk Lampung mencapai 22.436 ton. Jumlah hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Lempasing, salah satu sentra perikanan tangkap terpenting, semakin mengecil dari waktu ke waktu. Penurunan produksi tersebut memberikan indikasi gejala terjadinya kondisi pengelolaan yang tidak kondusif di kawasan. Untuk mengatasi persoalan ini diperlukan suatu upaya perbaikan pengelolaan, baik dari aspek sosial, teknologi, ekonomi, biologi, maupun etika sehingga kegiatan perikanan tangkap dapat memberikan sumbangsih optimum bagi masyarakat di Teluk Lampung. Beberapa isu pengelolaan di wilayah Teluk Lampung oleh pihak yang berkepentingan stakeholders di wilayah pesisir menurut Renstra Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampung tahun 2000 adalah: 1 rendahnya kualitas sumberdaya manusia, 2 rendahnya penataan dan penegakan hukum, 3 belum adanya penataan ruang wilayah pesisir, 4 penguasaan teknologi rendah, 5 kelembagaan dan pencemaran wilayah pesisir belum baik, 5 kerusakan hutan Taman Nasional dan Cagar Alam Laut, 7 potensi dan obyek wisata bahari belum dikembangkan secara optimal, 8 belum optimalnya pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya, 9 rawan bencana alam gempa, tanah longsor, banjir; investasi masih rendah, 10 isu pengelolaan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya, dan 11 belum terbangunnya kemitraan yang baik di lokasi.Isu-isu tersebut perlu diperiksa dan dikonsultasikan kepada stakeholders cross check. Sebagian isu yang terkait dalam pengelolaan perikanan tangkap akan dikaji lebih dalam, sehingga akan diperoleh model pengelolaan perikanan tangkap yang tepat bagi Teluk Lampung. Pengembangan wilayah pesisir Propinsi Lampung secara kelembagaan memiliki beberapa kekuatan yang dapat diandalkan, yaitu adanya komitmen dari instansi terkait, seperti Bappeda, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan, Bapedalda, Dinas PU Pengairan dan Perguruan Tinggi, yang dikoordinasikan oleh Bappeda Propinsi Lampung. Komitmen dari institusi pemerintah yang ingin membangun bersama wilayah pesisir bersama dengan stakeholders dari non-pemerintah, seyogyanya diwujudkan dalam bentuk program-program yang terpadu untuk pengelolaan wilayah pesisir Lampung. 4 Daerah Lampung berada di sebelah ujung tenggara Pulau Sumatera, terletak pada posisi geofrafis antara 30 45’ LS – 60 45’ LS dan 103 40’ BT dan 105 50’ BT. Wilayah pesisir Propinsi Lampung dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian yaitu Pantai Barat panjang pantai 210 km, Pantai Timur panjang pantai 270 km, Teluk Semangka panjang pantai 200 km dan Teluk Lampung panjang pantai 160 km. Luas daratan secara keseluruhan 35.376,5 km 2 Kota Bandar Lampung adalah ibukota Propinsi Lampung yang berfungsi juga sebagai pusat kegiatan pemerintahan, sosial politik, pendidikan dan kebudayaan, juga merupakan pusat kegiatan perekonomian, pusat perdagangan, industri, dan pariwisata. Letaknya yang strategis, menjadikan Bandar Lampung sebagai daerah transit kegiatan perekonomian antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Sektor ekonomi yang besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi kota Bandar Lampung secara keseluruhan yaitu sektor perdagangan, jasa hotel dan restoran serta sektor jasa angkutan dan komunikasi . , panjang garis pantai Lampung 1.105 km termasuk 69 pulau kecil dengan dua teluk besar yaitu Teluk Lampung dan Teluk Semangka, serta 184 desa pantai dengan luas total 414.000 ha Wiryawan et al., 1999; 2002.

1.2 Perumusan Masalah