74 Operasi penangkapan ikan dengan jaring insang hanyut berlangsung selama
2 hari per trip. Operasi penangkapan ikan ini melibatkan 8-14 orang nelayan dengan rata-rata 10 orang per trip. Jumlah bahan bakar yang digunakan berkisar antara 52-
115 litertrip dengan rata-rata 82 litertrip atau 41 literhari. Jumlah es yang dibawa untuk mempertahankan kesegaran ikan berkisar dari 14-35 baloktrip dengan rata-
rata 23 baloktrip atau 12 balokhari. Jumlah air tawar yang dibawa berkisar dari 15- 40 litertrip dengan rata-rata 26 litertrip atau 13 literhari.
Payang dioperasikan secara aktif mengejar kawanan ikan permukaan. Satu trip operasi penangkapan ikan berlangsung selama 1-3 hari, namun umumnya hanya
1 hari. Jumlah nelayan yang diperlukan untuk mengoperasikan alat ini berkisar dari 8 hingga 14 orang dengan rata-rata 11 orang. Jumlah bahan bakar yang diperlukan
minimum 80 liter dan maksimum 135 litertrip dengan rata-rata 113 litertrip. Jumlah es yang dibawa dalam satu trip mulai dari 16-60 baloktrip dengan rata-rata
35 baloktrip. Jumlah air tawar yang menjadi perbekalan mulai dari 60-125 litertrip dengan rata-rata 93 litertrip.
Operasi penangkapan ikan dengan bagan perahu berlangsung selama 3 hari per trip, Operasi penangkapan ikan ini melibatkan 5-12 orang nelayan dengan rata-
rata 7 orang per trip. Jumlah bahan bakar yang digunakan berkisar antara 65-160 litertrip dengan rata-rata adalah 97 litertrip atau 32 literhari. Jumlah es yang
dibawa untuk mempertahankan kesegaran ini berkisar antara 18-50 baloktrip dengan rata-rata 33 baloktrip atau 11 balokhari. Jumlah air tawar yang dibawa
berkisar antara 90-250 litertrip dengan rata-rata 145,5 litertrip atau 45 literhari.
4.2 Konflik Perikanan Tangkap
4.2.1 Kronologis interaksi pengelolaan dan konflik perikanan tangkap di Teluk Lampung
Secara umum, pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung dapat ditunjukkan oleh dinamika aktivitas perikanan tangkap yang berpusat di PPI
Lempasing dan dulunya di Teluk Betung. Pengelolaan perikanan tangkap di Teluk
75 Lampung dapat dikatakan dimulai dari keberhasilan beberapa tokoh nelayan yang
berdomisili di Teluk Betung dalam mengembangkan jaringan dengan nelayan kelompoknya untuk membentuk KUD Mina Jaya pada tahun 1953 Tabel 14.
Perkembangan selanjutnya adalah penggunaan motor tempel pada tahuhn 1976 menggantikan dayung sebagai alat penggerak utama perahu dalam operasi
penangkapan ikan. Penggunaan motor tempel ini berakibat pada semakin luasnya daerah penangkapan ikan nelayan pancing yang sebelumnya dekat dengan pantai
menjadi ke lokasi yang lebih jauh. Saat ini, banyak unit penangkapan ikan yang berbasis di Lempasing menggunakan motor sebagai penggerak utama. Semakin
banyaknya jumlah perahu bermotor yang keluar masuk TPI Lempasing menyebabkan aktivitas perikanan tangkap di Teluk Lampung semakin intensif
hingga suatu klimaks terjadi pada tahun 1981. Pada tahun tersebut, interaksi stakeholders cenderung negatif karena sering terjadi konflik perebutan tempat
sandartambat labuh di antara para nelayan. Konflik ini menunjukkan semakin terbatasnya ruang di darat atau lebiih tepat pantai untuk mengakomodasi
kebutuhan nelayan. Konflik ini terus berlanjut akhirnya Pemerintan Propinsi Lampung memutuskan untuk merelokasi TPI Teluk Betung pada tahun 1985.
Namun relokasi tersebut tidak langsung dilakukan karena belum ditemukannya lokasi yang dianggap memadai dan cukup strategis, serta masih banyak penolakan
dari stakholders perikanan tangkap terutama nelayan di TPI Teluk Betung. Pada tahun 1990, Pemerintah Propinsi Lampung memutuskan untuk memperluas lokasi
tambat labuh dan pembangunan beberapa sarana pendukung lainnya. Pada tahun 1992, pusat perikanan tangkap di Teluk Lampung Selatan ini terpaksa dipindahkan
ke Lempasing sebagai lokasi terpilih. Pemindahan ini menyebabkan penolakan dan konflik terbesar dalam sejarah perikanan tangkap Teluk Lampung. KUD Lestari
juga ikut berkembang di lokasi baru PPI Lempasing sebagai alternatif bila KUD Mina Jaya juga sulit direlokasi. Padahal KUD Mina Jaya adalah pelopor
terbentuknya Tempat Pelelangan Ikan TPI Teluk Betung. Pada saat penelitian lapang dilakukan, beberapa dampak negatif masih lanjut hingga saat itu. Kondisi
interaksi intensif antar stakeholders di PPI Lempasing pada saat penelitian lapang disajikan pada Gambar 7. Konflik terjadi di perairan pantai dan kompleks lahan
PPI.
76 Tabel 14
Time lines interaksi pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung
Sumber : Hasil Survei Lapang 2007
Pada tahun 1964, TPI Teluk Lampung sudah semakin sibuk dengan kedatangan kapal-kapal penangkapan ikan dari luar Lampung, seperti Sibolga,
Indramayu, dan Cirebon. Interaksi dengan pihak luar dipicu oleh perkembangan yang kondusif di TPI Teluk Lampung. TPI ini memberi alternatif bagi nelayan luar
untuk menjual hasil tangkapannya ke pasar lokal. Dampak positif dari interaksi ini adalah adopsi teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan dari
Cirebon dan Indramayu pada tahun 1971. 1953
KUD Mina Jaya terbentuk menjadi pelopor kegiatan TPI di Teluk Betung Selatan
1964 Kegiatan TPI di Teluk Lampung sudah berinteraksi dengan nelayan dari
luar 1971
Nelayan mengembangkan alat tangkap dengan mengintroduksi teknologi Indramayu dan Cirebon
1976 Penggunaan mesin tempel untuk operasi alat tangkap pancing
1981 TPI di Teluk Betung mulai terasa tidak layak untuk aktivitas perikanan
tangkap beberapa kali terjadi konflik perebutan tempat untuk sandar 1985
PEMDA mulai memikir relokasi TPI Teluk Betung 1990
Penambahan beberapa sarana pendukung TPI Teluk Betung Selatan 1992
- Pemindahan PPI dari Teluk Betung Selatan dan aktivitas nelayan ke PPI Lempasing
- Konflik antara nelayan dengan PEMDA nelayan menolak relokasi karena jaraknya yang jauh
1992 Nelayan besar pendatang dari Surabaya, Medan dan Sibolga masuk
1995 Pengembangan fasilitas pendidikan dan puskesmas di perumahan
Lempasing 1996
Konflik penganturan bongkartambat labuh antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang Indramayu
1997 Bloming hasil tangkap harga jual anjlok
1999 Konflik nelayan tradisional dayung bubu, jaring dengan nelayan besar
tentang fishing ground. Nelayan besar sering melakukan penangkapan kurang dari 3 mil
2001 Perilaku oknum POL AIR yag menakut-nakuti nelayan di laut
2003 Banyak penangkapan ikan menggunakan bom
2007 Pengembangan TPI baru di PPI Lempasing
77 Gambar 7 Spot mapping lokasi terjadinya konflik di PPI Lempasing dan sekitarnya.
Gambar 8 Sketsa Spot mapping lokasi terjadinya konflik di PPI Lempasing dan sekitarnya.
78 Keterkaitan individu maupun kelompok stakeholders dengan aktivitas bisnis
perikanan tangkap, pengaruh suatu kelompok stakeholders terhadap kelompok stakeholders lainnya, sifat hubungan yang positif maupun yang negatif yang
berpeluang menimbulkan konflik ditunjukkan dalam sebuah institutional wheel seperti pada Gambar 9.
PEMDA Propinsi
PEMDA Kota
-
Keamanan Laut POL AIR
Investor Nelayan
Tradisional
Nelayan Pendatang
Nelayan Besar
Kel. Nelayan
Pengolah Pedagang
HSNI Pengelola
PPITPI
KUD Lestari
KUD Mina Jaya
Konsumen -
- +
+ +
-
+ +
+ +
+ +
+ +
+ +
- +
- +
+ +
-
Keterangan :
+ = interaksi dengan dampak positif - = interaksi berpeluang menimbulkan konflik
Gambar 9 Interaksi antar stakeholders perikanan tangkap di Teluk Lampung
periode 1981-2007.
79
4.2.2 Jenis konflik perikanan tangkap di Teluk Lampung
Konflik yang ada atau pernah terjadi di Teluk Lampung khususnya PPI Lempasing sebagai pusat kegiatan perikanan tangkap mencapai tujuh jenis Tabel
15. Ketujuh jenis konflik perikanan tangkap di Teluk Lampung tersebut adalah : 1 konflik pemindahan PPI dari Teluk Betung Selatan ke Lempasing, 2 konflik
relokasi penduduk pantai ke perumahan PPI Lempasing, 3 konflik tambat labuh dan harga jual antara nelayan besar pendatang dengan nelayan lokal, 4 konflik
penangkapan menggunakan bahan peledak, 5 konflik oknum petugas keamanan laut POL AIR dengan nelayan tentang pungutan ilegal, 6 konflik perebutan
fishing ground nelayan tradisional dengan nelayan besar, dan 7 konflik perebutan kendali pengelolaan PPITPI Pemerintah Kota dengan Pemerintah Propinsi.
Tabel 15 Konflik pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung No
. Jenis Konflik
Tipologi Konflik
Stakeholders Berkonflik
Dampak 1.
Pemindahan PPI
Mekanisme pengelolaan
PEMDA, Nelayan,
Pengolah, Pedagang
Korban jiwa 10 – 15 orang; Luka 215 orang.
Harta benda ratusan juta rupiah
2. Relokasi
perumahan Alokasi
eksternal PEMDA,
nelayan, penduduk di
sekitar pantai Penyakit malaria; anak-
anak terbengkali bersekolah; Kerugian
ratus juta rupiah
3. Tambat labuh
dan harga jual Mekanisme
pengelolaan Nelayan lokal,
nelayan pendatang
Perkelahian 5 kasus; keuntungan berkurang;
pengusiran investor tertentu
4. Penggunaan
bom ikan Alokasi
internal Nelayan dayung,
pancing, bagan, petugas
keamanan laut Sudah 3 orang korban
jiwa; 8 orang cacat; Terumbu karang dan SDI
rusak 100 kasus
5. Pungutan
ilegal di laut Mekanisme
pengelolaan Nelayan, petugas
keamanan laut Kekerasan fisik 12
kasus, pungutan 20 kasus
6. Perebutan
fishing ground Alokasi
internal Nelayan
tradisional, nelayan besar
Disharmonisasi hubungan
7. Perebutan
kendali pengelolaan
PPITPI Jurisdiksi
PEMDA Kota, PEMDA
Propinsi Nelayan, pengolah, dan
pedagang menjadi korban
Sumber : Hasil Survei Lapang 2007; = tipologi konflik menurut Charles 1992
80 Bila mengacu kepada tipologi konflik menurut Charles 1992, maka :
a. Konflik pemindahan PPI, konflik tambat labuh dan harga jual, dan konflik pungutan ilegal di laut termasuk konflik mekanisme pengelolaan.
b. Konflik relokasi perumahan termasuk konflik relokasi eksternal. c. Konflik penggunaan bom ikan dan konflik perebutan fishing ground termasuk
konflik relokasi internal. d. Konflik perebutan kendali pengelolaan PPITPI termasuk konflik jurisdiksi.
Sub Bab 4.5 memformulasikan temuan lapang tentang interaksi antar stakeholders terkait konflik tersebut.
Konflik pemindahan PPI dari Teluk Betung Selatan ke Lempasing merupakan konflik yang terjadi di antara nelayan, pengolah, dan pedagang dengan
Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan saat itu. Konfik ini termasuk konflik dengan tipologi mekanisme pengelolaan karena terkait dengan implementasi
suatu rencana pengelolaan dan penegakan hukum berkaitan dengan pengembangan perikanan tangkap di Teluk Lampung. Pemindahan dilakukan oleh Pemerintah
Daerah karena lokasi tersebut dianggap sudah tidak layak lagi untuk pengembangan kegiatan perikanan tangkap yang lebih besar. Sedangkan nelayan, pengolah, dan
pedagang merasa lokasi aktivitasnya menjadi lebih jauh + 10 km dari tempat tinggalnya dan pemasaran hasil akan menjadi lebih sulit. Konflik tersebut
menyebabkan korban jiwa 10 – 15 orang, luka-luka sekitar 215 orang dari pihak nelayanpengolah dan kerusakan harta benda ratusan juta rupiah.
Konflik relokasi penduduk pantai Lempasing dan Teluk Betung Selatan ke perumahan PPI Lempasing juga merupakan konflik yang terjadi antara nelayan,
penduduk sekitar pantai, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan saat itu. Konfik ini termasuk konflik dengan tipologi alokasi eksternal karena konflik
tersebut sudah melibatkan masyarakat umum yang tidak ada kaitan dengan aktivitas perikanan tangkap. Terkait konflik ini, Pemerintah Daerah melakukan : 1
relokasi penduduk pantai karena alih fungsi lokasi pantai untuk perluasan pelabuhan PPI Lempasing, dan 2 relokasi tempat tinggal nelayan Teluk Betung Selatan untuk
memudahkan aktivitas mereka yang telah pindah ke Lempasing. Namun pihak
81 nelayanpengolah menolak karena fasilitas di perumahan sangat buruk dimana
prasarana jalan dan pelayanan publik puskemas dan sekolah tidak tersedia dan banyak terjadi malaria akibat banyaknya genangan air di perumahan tersebut.
Disamping itu, pembongkaran dan relokasi ke lokasi tidak digantikan sehingga nelayan dan masyarakat sekitar pantai dirugikan.
Konflik nelayan besar pendatang dengan nelayan lokal terjadi karena perselisihan tambat labuh dan harga jual hasil tangkap yang menurun. Konflik ini
termasuk konflik dengan tipologi mekanisme pengelolaan, dimana terjadi implementasi peraturan tambat labuh dan mekanisme pasar bebas. Dalam kaitan
dengan tambat labuh, kapal-kapal besar dari nelayan pendatang dianggap berlabuh terlalu lama sehingga memperlambat bongkar hasil tangkap nelayan lokal.
Sedangkan terkait dengan harga jual, masuknya hasil tangkap dari kapal pendatang Surabaya, Sibolga, dan Medan tersebut menyebabkan hasil tangkap berlimpah
sehingga harga jual turun. Di pihak nelayan pendatang, mereka merasa tidak mengganggu karena harga jual ditentukan oleh bakul dan mereka tidak pernah
berkeinginan untuk menjual murah. Di lokasi ini memang terdapat bakulinvestor yang membuat jaringan pasar sehingga mereka mudah melakukan monopoli dan
mengatur harga. Disamping keuntungan nelayan berkurang, konflik ini sempat menyebabkan perkelahiran diantara nelayan dan pengusiran terhadap bakul yang
menerapkan monopoli dan mengatur harga. Konflik penangkapan menggunakan bahan peledak bom ikan merupakan
konflik yang terjadi terus menerus. Konflik ini termasuk tifologi konflik alokasi internal karena biasanya terjadi diantara stakeholders yang berkaitan langsung
dengan kegiatan perikanan tangkap, yaitu antar nelayan dan diantara nelayan dengan petugas keamanan laut. Konflik bermula dari kegiatan menangkap ikan
menggunakan bom yang diprakarsai oleh nelayan dari luar dari Buton kemudian diikuti oleh beberapa nelayan lokal skala kecil. Nelayan pancing hand line dan
bagan tancap sering paceklik karena sumberdaya ikan langkah dan terumbu karang tempat ikan hidup rusak yang menurut anggapan mereka karena penggunaan bom
dalam penangkapan. Kondisi ini menyebabkan sering terlibat percekcokan dengan nelayan yang menggunakan bom. Konflik antar nelayan ini sudah menyebabkan
korban jiwa 3 orang dan cacat 5 orang, dimana hal ini lebih disebabkan oleh
82 ketelodoran nelayan pengguna bom itu sendiri dalam menggunakan bom.
Sedangkan nelayan dengan petugas keamanan laut terkait penggunaan bom ini adalah oknum petugas terkesan melindungi nelayan penggunaan bom. Rangkuman
tentang status dan metode penyelesaian ketujuh konflik tersebut disajikan pada Tabel 16.
Konflik oknum petugas keamanan laut POL AIR dengan nelayan yang cukup memprihatinkan terjadi karena petugas keamanan laut suka mengintimidasi
dan meminta pungutan kepada nelayan di tengah laut. Konflik ini termasuk konflik dengan tipologi mekanisme pengelolaan, dimana terjadi penyimpangan dalam
pelaksanaan tugas keamanan di laut. Konflik sering terjadi pada saat oknum petugas keamanan laut berpapasan dengan nelayan dan menurut infomasi nelayan, oknum
petugas sering mencari-cari kesalahan sehingga mereka terpaksa membayar kepadanya. Nelayan tidak berani melapor karena takut keselamatannnya terancam.
Selama ini nelayan hanya berani bercerita satu sama lain bila terjadi kekerasan fisik atau terpaksa harus membayar pungutan ilegal oknum petugas keamanan laut.
Konflik fishing ground nelayan tradisional dengan nelayan besar umumnya terjadi pada daerah-daerah pantai dengan sumberdaya ikan banyak konflik dengan
tipologi alokasi internal. Nelayan kapal besar terutama bagan perahu terkadang menangkap ikan di daerah pantai padahal menurut PERDA nelayan kapal besar
harus melakukan penangkapan pada fishing ground di atas 3 mil. Hal ini menimbulkan kekesalan nelayan tradisional dayung bubu, jaring, namun biasanya
mereka tidak bisa berbuat banyak karena tidak mungkin melawan nelayan kapal besar yang jumlahnya banyak. Konflik ini sangat sering terjadi dan setiap tahun
selalu ada kasus dan bahkan berdampak luas pada ketidakharmonisan diantara kelompok nelayan.
Konflik perebutan kendali pengelolaan PPITPI merupakan konflik kepentingan antara Pemerintah Kota Bandar Lampung dengan dengan Pemerintah
Propinsi Lampung. Konflik ini termasuk konflik dengan tipologi jurisdiksi karena menyangkut tataran kebijakan dan perencanaan. Kedua institusi ini selalu
bersikukuh dengan perangkat peraturan masing-masing sehingga nelayan, pedagangpengolah PPI Lempasing sering menjadi korban. Konflik yang pernah
83 terjadi berkaitan dengan tambat labuh dan lokasi TPI. Saat ini disepakati, kapal ikan
di atas 6 GT melakukan bongkar muat di tambat labuh milik Pemerintah Propinsi Lampung dan kapal ikan di bawah 6 GT melakukan bongkar muat di tambat labuh
Pemerintah Kota Bandar Lampung. Akibat hal ini, beberapa nelayan mengalami kesulitan dalam distribusi ke TPI dan merasa terdapat perbedaan perlakukan dalam
pelayanan. Sedangkan untuk TPI, Pemerintah Propinsi Lampung berkeinginan memfungsikan kembali TPI mereka dengan mengalihkan sebagian kegiatan
pelelangan dari TPI milik Pemerintah Kota Bandar Lampung. Namun Pemerintah Kota Bandar Lampung menolak dengan alasan itu hak nelayan untuk memilih TPI
yang disukai. Tabel 16
Status penyelesaian konflik pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung
No. Konflik
Status Penyelesaian Aksi Penyelesaian
1. Pemindahan PPI
Selesai 5 kali
2. Relokasi perumahan
Selesai 3 Kali
3. Tambat labuh dan harga
jual Berulang
2 kali 4.
Penggunaan bom ikan Belum selesai
3 kali 5.
Pungutan ilegal di laut Belum selesai
Belum ada 6.
Perebutan fishing ground Belum selesai
3 kali 7.
Perebutan kendali pengelolaan PPITPI
Selesai 2 kali
Sumber : Hasil Survei Lapang 2007
4.2.3 Persepsi stakeholders tentang konflik
Bila dilihat dari durasinya, konflik yang terjadi dalam pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung ada yang langsung selesai, berulang, dan belum
terselesaikan. Untuk memudahkan penyelesaian, maka berbagai interaksi yang terjadi harus diketahui potensi konfliknya. Bila hasil analisis menggunakan time
lines Tabel 15 dipadukan dengan hasil analisis FGIE Gambar 8 dan Institutional Wheel Gambar 9, maka didapatkan tujuh interaksi yang berpotensi menimbulkan
konflik, yaitu : a. Interaksi nelayan besar dengan nelayan pendatang
b. Interaksi nelayan tradisional dengan nelayan pendatang
84 c. Interaksi nelayan tradisional dengan nelayan besar
d. Interaksi KUD Mina Jaya dengan KUD Lestari e. Interaksi Petugas Keamanan Laut dengan Nelayan
f. Interaksi Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Kota dengan nelayan g. Interaksi Pemerintah Kota dengan Pemerintah Propinsi
Dalam kaitan dengan kegiatan perikanan tangkap di Teluk Lampung, maka potensi konflik tersebut lebih disebabkan oleh benturan kepentingan diantara
stakeholders yang berinteraksi di Teluk Lampung. Ketujuh konflik yang ada saat ini, semuanya terjadi dari adanya interaksi tersebut, kecuali interaksi KUD Mina
Jaya dengan KUD Lestari, tetapi interaksi ini tetap sangat berpeluang menimbulkan konflik misalnya dalam perebutan anggota KUD dan lingkup usaha yang dilakukan.
Gambar 10 memperlihatkan persepsi responden tentang potensi konflik antar berbagai stakeholders dalam pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung.
9.62 4.81
22.12 32.69
11.54 15.38
3.85
0.00 5.00
10.00 15.00
20.00 25.00
30.00 35.00
Interaksi Pemerintah Kota vs Pemerintah Propinsi Interaksi Pemerintah Daerah vs Nelayan
Interaksi Petugas Keamanan Laut vs Nelayan Interaksi Nelayan T radisional vs Nelayan Besar
Interaksi Nelayan T radisional vs Nelayan Pendatang Interaksi Nelayan Besar vs Nelayan Pendatang
Interaksi KUD Mina Jaya vs KUD Lestari
Pote nsi konflik
Gambar 10 Persepsi responden 104 orang tentang potensi konflik antar berbagai stakeholders dalam pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung
4.3 Identifikasi Strategi Pengelolaan Perikanan Tangkap di Teluk Lampung