7 Kiranya, pendekatan
yang diterapkan ini dapat dikaji-ulang untuk penyempurnaannya dalam penelitian-penelitian lainnya.
Selanjutnya, penelitian ini secara tegas menawarkan transformasi pengelolaan perikanan tangkap dari rejim semi-open access menjadi rejim limited-
entry. Transformasi ini merupakan suatu tantangan tersendiri bagi para peneliti akademisi dan pengambil kebijakan Pemerintah serta dari kalangan nelayan
sendiri. Substansi penelitian ini diharapkan memberikan wawasan yang lebih luas tentang persoalan yang terjadi di perikanan tangkap nasional dan opsi-opsi
penanganannya.
1.5 Identifikasi Masalah
Dalam pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung, timbul berbagai konflik dan upaya penyelesaian seperti negosiasi dan jalur hukum telah ditempuh,
namun belum banyak membuahkan hasil. Adanya euforia di tengah masyarakat sebagai ekses reformasi yang seolah menghalalkan segala cara dalam
menyampaikan tuntutan dan pemaksaan kehendak yang dominan maka penyelesaian konflik semakin jauh dari titik temu pada penyelesaian.
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan itu, model pengelolaan perikanan tangkap di Teluk masih perlu diperbaiki, mengingat masih cukup
banyak terjadi konflik di antara stakeholder terkait. Secara sosial, interaksi yang terjadi di antara stakeholder belum efektif untuk meredam konflik pengelolaan
yang ada. Hal ini antara lain karena belum ada strategifokus keterlibatan yang tepat dan proporsional bagi stakeholder terkait pengelolaan perikanan tangkap
yang terjadi di Teluk Lampung.
1.6 Kerangka Pemikiran
Kegiatan perikanan tangkap di Teluk Lampung yang berpusat di PPI Lempasing merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang berkembang dengan
baik di Indonesia. Saat ini, kawasan ini telah menjadi pemasok penting produk
8 perikanan ke beberapa lokasi lain di Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera
Utara, dan DKI Jakarta. Adanya kegiatan ekonomi ini memacu terjadinya berbagai interaksi di antara para stakeholders, baik yang terkait langsung maupun
tidak langsung dengan kegiatan perikanan tangkap tersebut. Setiap stakeholder mengambil peran dengan pengelolaan perikanan tangkap sesuai dengan
kepentingan masing-masing. Para nelayan berinteraksi melalui kegiatan penangkapan ikan dan menjual hasil tangkapan, pengolahpedagang berinteraksi
melalui kegiatan pembelian hasil tangkapan nelayan, pengolahan, dan penjualan produk perikanan, pengelola PPI berinteraksi melalui kegiatan pengaturan
kegiatan bongkar muat di pelabuhan dan proses pelelangan hasil tangkapan, KUD berinteraksi melalui pembiayaan dan penyediaan perbekalan, PEMDA
berinteraksi melalui penyediaan fasilitas bisnis dan regulasi, petugas kemanan laut berinteraksi melalui kegiatan pengawasan kegiatan penangkapan dan lainnya di
laut, investorpengusaha berinteraksi melalui kegiatan investasi pada berbagai kegiatan bisnis perikanan tangkap, dan konsumenmasyarakat berinteraksi melalui
pembelian produk perikanan. Dalam kaitan interaksi yang rumit ini, maka interaksi stakeholders merupakan hal penting yang perlu dikaji dalam pengelolaan
perikanan tangkap di Teluk Lampung. Interaksi tersebut perlu diupayakan sehingga lebih efisien dan berguna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Adanya keterbatasan sumberdaya dan perbedaan kepentingan di antara stakeholders terkadang menyebabkan friksi dan konflik di dalam pengelolaan.
Kasus pemindahan PPI dari Teluk Betung Selatan dan aktivitas nelayan ke PPI Lempasing merupakan contoh dari kondisi yang menyebabkan konflik tersebut.
Konflik terkadang semakin rumit bila tidak ada yang mau mengalah dan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan kepentingannya. Terlepas hal ini,
kegiatan perikanan tangkap yang telah dikondisikan dengan baik dan didukung oleh pola kemitraan dan kesepahaman di antara stakeholders terkait akan tetap
berkembang dan inilah yang menyebabkan kegiatan ekonomi berbasis perikanan berkembang baik hingga kini. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan tangkap
seyogyanya mampu menumbuhkan interaksi positif, dengan mengeliminir interaksi negatif. Interaksi stakeholders dan komponen lainnya tersebut harus
diketahui pengaruhnya dan beberapa kasus harus dianalisis untuk menilai
9 potensinya dalam menyebabkan konflik. Hal inilah yang menjadi bagian
perhatian utama dalam penelitian ini. Salah satu upaya menyiasati keterbatasan sumberdaya dan perbedaan
kepentingan stakeholders adalah mengelola secara optimal sumberdaya perikanan tangkap dengan memperhatikan keterbatasannya sebagai kendala pengelolaan.
Perhatian terhadap batas jumlah ikan yang boleh ditangkap, misalnya, dapat mewujudkan pemanfaatan sumber daya yang maksimal tanpa mengganggu
kelestarian sumber daya tersebut. Konsep optimalisasi ini yaitu memaksimumkan manfaat dalam batas-batas tertentu juga menjadi perhatian dari
penelitian ini. Dalam kaitan dengan konflik, konsep pengelolaan ini perlu dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi model yang dapat mengoptimalkan
pengelolaan yang ada sekaligus mereduksi atau mengurangi konflik-konflik yang terjadi.
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
Stakeholders
Model Pengelolaan
-
Sumberdaya Terbatas
Perbedaan Kepentingan
Ketidakefektifan Interaksi
Interaksi Stakeholders
Komponen Optimalisasi
Pengelolaan
10 Suatu konflik dapat diselesaikan dengan baik bila kita mengetahui tipologi
konflik tersebut, stakeholders yang terkait, dampak dari konflik tersebut, dan kemudian dalam penyelesaiannya metode pendekatan approach method yang
tepat diterapkan. Keberhasilan dari penyelesaian konflik ini sangat tergantung kepada interaksi stakeholders yang ada, apakah efektif mengarah kepada
penyelesaian atau justru memperburuk konflik yang ada. Oleh karena ini, dalam penelitian ini mencoba untuk merumuskan strategi yang tepat untuk mengubah
interaksi negatif yang ada menjadi sesuatu yang lebih baik. Kondisi yang diharapkan dari penerapan strategi tersebut adalah interaksi efisien di kalangan
stakeholders. Perumusan strategi ini dapat dilakukandengan cara menganalisis tingkat pengaruh interaksi terhadap konflik, memilih interaksi yang perlu dicegah
dan dibiarkan, dan menetapkan strategi pengelolaan atau pemecahan masalah terkait interaksi stakeholders tertentu. Konsep interaksi tersebut sangat berguna
bagi penyelesaian menyeluruh konflik pengelolaan perikanan tangkap dan lainnya di Teluk Lampung.
11
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan
2.1.1 Konsep hasil maksimum yang lestari
Menurut Clark 1985 keberlanjutan suatu sumberdaya sangat ditentukan oleh terjadi tidaknya keseimbangan biologi dari sumberdaya tersebut berupa
regenerasi yang terus menerus dan tidak terganggu oleh upaya pemanfaatan yang diterjadi pada sumberdaya tersebut. Pada bidang perikanan tangkap, ditentukan
oleh konsep ”Produksi Maksimum yang Lestari maximum sustainable yield” atau yang bisanya disingkat MSY.
Terlepas dari popularitasnya dan kepraktisan penerapannya, penggunaan MSY sebagai acuan kuantitatif pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang
berkelanjutan mempunyai beberapa kelemahan, seperti dikatakan oleh Fauzi 2005. Kelemahan itu di antaranya adalah:
a. MSY tidak bersifat stabil, karena bila perkiraan stok meleset meskipun tidak terlalu signifikan, rekomendasi yang dibangun dapat menyebabkan pada
kehancuran stok. b. Konsep ini tidak memperhitungkan nilai ekonomis stok jika penangkapan ikan
tidak dilakukan. c. Konsep ini sulit diterapkan pada perikanan yang memiliki ciri ragam jenis
multi-species. Namun demikian, menurut Ghofar 2003 konsep MSY juga mempunyai
kelebihan dari aspek ekonomis, karena diperlukan tidak banyak data dan cukup disiapkan dalam bentuk analisis sederhana, mudah pengerjaannya, dan gampang
dimengerti oleh siapa saja termasuk pengambil kebijakan. Dalam kaitan dengan peningkatan kesejahteraan manusia, menurut
Widodo dan Nurhakim 2002 pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan mempunyai tujuan utama, yaitu :
a. Menjaga kelestarian produksi atau pemanfaatan oleh manusia .
12 b. Meningkatnya kesejahteraan ekonomi dan sosial nelayan dan masyarakat
pesisir pada umumnya. c. Memenuhi kebutuhan industri yang memanfaatkan produksi dari perikanan
tangkap. Menurut Monintja et al. 2002, standar yang digunakan pada aspek
teknologi untuk kepentingan perikanan tangkap yang berkelanjutan harus memenuhi beberapa kriteria yaitu : 1 penerapan teknologi penangkapan ikan
yang ramah lingkungan, 2 jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan, 3 kegiatan usaha harus menguntungkan, 4
investasi rendah, 5 penggunaan bahan bakar minyak rendah dan 6 memenuhi ketentuan hukum dan perundangan-undangan yang berlaku.
2.1.2 Pemilihan alat tangkap yang ramah lingkungan
Menurut Monintja 2001, ada sembilan kriteria alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan, yaitu mempunyai selektivitas yang tinggi, tidak merusak
habitat, menghasilkan ikan berkualitas tinggi, tidak membahayakan nelayan, produksi tidak membahayakan konsumen, by-catch rendah, dampak terhadap
biodiversity rendah, tidak membahayakan ikan yang dilindungi, dan diterima secara sosial.
Suatu alat tangkap dikatakan mempunyai selektivitas yang tinggi bila alat tangkap tersebut dalam operasionalnya hanya menangkap ikan dengan jenis dan
ukuran yang sesuai. Sedangkan alat tangkap yang tidak merusak habitat adalah alat tangkap yang tidak merusak terumbu karang dan ekosistem lainnya sebagai
tempat hidup dan berkembang berbagai jenis ikan dasar. Terkait ini, maka penilaian tingkat kerusakan habitat yang terjadi akibat operasi alat tangkap, dapat
didasarkan pada tingkatan kerusakan : a. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang lebih luas.
b. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit. c. Menyebabkan kerusakan sebagian habitat pada wilayah yang sempit.
d. Aman bagi habitat.
13 Alat tangkap yang menghasilkan ikan berkualitas tinggi sangat disukai
karena dapat meningkatkan nilai jual. Adapun tingkatan penilaian terhadap ikan hasil tangkapan dari yang berkualitas tinggi ke yang berkualitas rendah adalah a
ikan hidup, b ikan mati namun segar, c ikan mati, segar, dan cacat fisik; dan d ikan mati dan busuk. Alat tangkap yang tidak membahayakan nelayan sangat
diharapkan sehingga nelayan selalu merasa aman baik terutama dalam pengoperasiannya. Produksinya tidak membahayakan konsumen juga merupakan
kriteria alat tangkap ramah lingkungan. Hal ini penting karena konsumen merupakan bagian dari lingkungan dan tujuan akhir dari kegiatan perikanan
tangkap komersial yang bila terganggu dapat membahayakan kegiatan perikanan tangkap secara keseluruhan. Tingkat bahaya yang mungkin dialami oleh
konsumen dari yang paling berbahaya ke yang aman adalah : a berpeluang menyebabkan kematian pada konsumen; b berpeluang besar menyebabkan
gangguan pada kesehatan manusia; c relatif aman bagai konsumen; dan d aman bagi konsumen.
Suatu alat tangkap dapat dikatakan mempunyai by-catch rendah bila hasil sampinganhasil bukan target penangkapan yang dihasilkannya rendah. Ada
beberapa kemungkinan by-catch yang didapat dalam penangkapan adalah : a by- catch ada beberapa spesies dan tidak laku dijual di pasar; b by-catch ada
beberapa spesies dan ada jenis yang laku dijual di pasar; c by-catch kurang dari tiga jenis dan laku dijual di pasar; d by-catch kurang dari tiga jenis dan
mempunyai harga yang tinggi. Sedangkan alat tangkap dikatakan mempunyai dampak terhadap biodoversity rendah bila pengoperasian alat tangkap tersebut
tidak merusak pertumbuhan dan kehidupan suatu jenis ikan tertentu. Serta tidak membahayakan ikan yang dilindungi bila alat tangkap tersebut dalam operasinya
tidak atau minimal dalam menangkap ikan-ikan yang dilindungi baik karena kelangkaannya maupun karena peran pentingnya dalam ekosistem perairan.
Alat tangkap dikatakan ramah lingkungan juga apabila bisa diterima secara sosial. Kriteria ini penting karena berkaitan dengan penerimaan kultur dan
logis yang ada pada msyarakat, yaitu kesesuaian alat tangkap tersebut dengan tata nilai lokal, kesesuaian alat tangkap tersebut dengan peraturan yang berlaku,
14 kemudahan alat tangkap tesebut disediakan oleh masyarakat, dan memberikan
keuntungan dalam penggunaannya.
2.2 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Perairan Pantai dan Teluk