115
5 PEMBAHASAN
Pembahasan akan difokuskan pada penanganan konflik pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung, pengembangan faktor internal-eksternal
menjadi sasaran pengelolaan perikanan tangkap, pengelolaan optimal sumber daya perikanan tangkap di Teluk Lampung, interaksi efisiensi stakeholders dalam
pengelolaan perikanan tangkap dan strategi prioritas dalam pengelolaan perikanan tangkap.
5.1 Penanganan Konflik Pengelolaan Perikanan Tangkap Di Teluk
Lampung
Konflik pengelolaan merupakan hal penting yang perlu dianalisis terlebih dahulu dalam penyusunan model pengelolaan dan interaksi yang tepat di Teluk
Lampung. Konflik yang terjadi di Teluk Lampung umumnya tidak bersifat linear karena dampaknya terkadang menjalar dan melibatkan pihak yang sebenarnya
tidak terlibat dalam konflik. Semakin tinggi intensitas konflik, maka semakin besar gangguan yang ditimbulkan terhadap aktivitas ekonomi, manusia, dan
lingkungan di wilayah pengelolaan perikanan tangkap. Konflik yang berkepanjangan dan belum terselesaikan dengan baik dapat menyebabkan
kegiatan pengelolaan perikanan tangkap tidak kondusif bahkan cenderung memicu timbulnya konflik baru. Dalam kaitan ini, maka potensi konflik dari
berbagai interaksi stakeholders dan upaya-upaya penyelesaiannya perlu dikaji selain untuk memudahkan desain model pengelolaan, juga penting untuk
pembelajaran penyelesaian konflik di masa datang. Bila melihat intensitas masing-masing maka interaksi nelayan tradisional
dengan nelayan besar merupakan interaksi yang paling sering terjadi dan sangat berpotensi menimbulkan konflik Gambar 10 . Hal ini sesuai dengan pendapat
Agardy 1989 dan White et al. 1994, interaksi di antara kelompok nelayan merupakan interaksi utama di kawasan perikanan sehingga akan lebih efektif bila
pengelolaan sumberdaya melibatkan secara aktif kelompok nelayan yang ada. Bila melihat lebih jauh, nelayan kecil dan nelayan besar mempunyai kepentingan
116 yang sama sehingga bila di antara mereka ada yang mencoba mencuri
kesempatan maka yang lainnya merasa dirugikan. Lemahnya diplomasi dan rendahnya tingkat pendidikan di kalangan nelayan cenderung mendorong mereka
melampiaskan kekesalannya dalam keputus-asaan secara anarkis yang meluas pada konflik massal. Kondisi tersebut sangat membahayakan, karena selain
lokasi aktivitasnya sama, juga dapat terjadi di lokasi yang jauh dari pengawasan konflik dominan terjadi di laut. Potensi konflik ini biasa muncul dalam
pemilihan fishing ground, jalur penangkapan, dan penjualan hasil tangkapan. Konflik ini umumnya terjadi di perairan pesisir terutama pada musim pacekelik
yang biasanya menyebabkan hasil tangkapan rendah. Bila interaksi tersebut diperbandingkan dengan lainnya, maka kondisi
yang terjadi cukup berlainan untuk interaksi nelayan tradisional dan nelayan pendatang. Meskipun mempunyai kepentingan yang sama, nelayan pendatang
lebih sering mengalah dengan nelayan tradisional sehingga interaksinya hanya berpotensi menimbulkan konflik 11,54 . Menurut Putra 2000, ego pemilikan
dan penguasaan sumberdaya perikanan merupakan penyebab utama konflik diantara kelompok nelayan. Pemilikan tersebut berdasarkan tipe terdiri dari tipe
milik pemerintah, milik komunal, milik quasi-pribadi. Perbedaan persepsi dari tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya perikanan tersebut memberikan
kontribusi timbulnya ego pemilikan dan pemanfaatan yang kemudian berujung pada konflik dalam penangkapan, pemilihan fishing ground dan lainnya di antara
kelompok nelayan, dimana nelayan pendatang cenderung menjadi pihak yang tersudutkan.
Interaksi Petugas Keamanan Laut dengan Nelayan merupakan interaksi kedua yang berpeluang menimbulkan konflik 22,12 atau dipilih oleh 23 dari
104 responden. Konflik kedua stakeholders ini biasa terjadi dalam patroli laut oleh Petugas dan pada lokasi tertentu sering terjadi intimidasi kepada nelayan.
Interaksi KUD Mina Jaya dengan KUD Lestari, dan interaksi Pemerintah Daerah dengan Nelayan merupakan interaksi yang paling rendah potensi konfliknya yaitu
berturut-turut 3,85 dan 4,81 . Sebagaimana disebut sebelumnya, konflik KUD dapat terjadi dalam perebutan anggota KUD, tetapi sifat konflik tersebut
biasanya tidak besar. Konflik Pemerintah Daerah dengan Nelayan meskipun
117 terkadang serius tetapi jarang terjadi dan Pemerintah Daerah perlu lebih bersifat
mengayomi. Menurut Dutton 1998, konflik dari suatu kelompok komunitas seperti koperasi dapat disebabkan oleh banyak hal, namun faktor yang cukup
dominan adalah adanya ego pemilikan komunal dan salah interpretasi kewenangan kelompok publik. Ego pemilikan komunal yang dimiliki oleh KUD
Mina Jaya dengan KUD Lestari di Teluk Lampung menyebabkan mereka tidak bisa berbagi dan menentukan siapa yang berhak untuk menarik nelayan,
pengolah, pedagang ikan, dan lainnya di wilayah tertentu di Teluk Lampung untuk menjadi anggota koperasi. Akibat dari kondisi ini timbul pertikaian baik
secara organisasi maupun secara individu dari pengurus koperasi yang kemduian mengganggu kegiatan perikanan tangkap di Teluk Lampung. Sedangkan salah
tafsir kewenangan kelompok menyebabkan koperasi tidak mengindahkan batas administrasi, batas hukum, dan kewilayahan yang telah digariskan di lokasi.
Disamping itu, setiap pengurus cenderung mengambil inisiatif apapun bagi koperasinya tanpa peduli siapa yang menjadi ketua, sekretaris, kepala bagian,
anggota, dan lainnya. Konflik pemindahan PPITPI dari Teluk Betung Selatan ke Lempasing
Tabel 15 termasuk konflik dari adanya interaksi Pemerintah Daerah dengan nelayan. Konflik ini terjadi pada tahun 1992 dan termasuk kategori konflik yang
berat karena sempat menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Penyelesaian konflik terselesaikan melalui jalur hukum yang dimenangkan oleh Pemerintah
Daerah. Bila melihat mekanisme penyelesaiannya, maka metode penyelesaian konflik ini termasuk arbitrasi. Arbitrasi merupakan metode penyelesian konflik
dengan menyerahkan kepada pihak ketiga yang netral untuk membuat keputusan setelah mendengar argumen pihak yang bertikai dan mempelajari bukti-bukti
yang ada. Metode penyelesaian ini sudah tepat sehingga tidak terjadi tuntutan hukum di kemudian hari mengingat pemindahan tersebut sangat terkait
pengalihan hak milik dan kesempatan kerja orang banyak. Metode ini sejalan dengan metode penyelesaian konflik terkait kebijakan reklamai pantai di pesisir
utara DKI Jakarta. Menurut Dahuri et al. 1996, konflik tersebut terutama menyangkut berbagai izin pembangunan, pengadaan, pengelolaan, relokasi
penduduk, pengembangan aktivitas ekonomi ditempat yang baru dan melalui
118 arbitrasi disepakati pembentukan lembaga netral yang mengurus administrasi
pembebasan dan relokasi penduduk ke tempat yang baru. Konflik relokasi penduduk pantai ke perumahan PPI Lempasing terjadi
tahun 1993. Relokasi didorong oleh keinginan Pemerintah Daerah untuk memperluas PPI Lempasing sekaligus memindahkan perumahan nelayan di
Teluk Betung sehingga lebih dekat, namun terdapat beberapa ketidakpuasan sehingga menjadi konflik. Konflik ini diselesaikan dengan dengan metode
negosiasi, dimana Pemerintah Daerah, nelayan, dan masyarakat sekitar pantai berupaya menyelesaikan perbedaan yang ada di antara mereka dan mencari titik
temu terbaik. Negosiasi sebenarnya belum terlalu bagus meskipun beberapa tuntutan nelayan dan penduduk pantai dipenuhi, seperti adanya puskesmas dan
sekolah. Hal ini karena Pemerintah dan nelayan mempunyai status sosial yang berbeda jauh sehingga memberi peluang terjadinya penekananpemaksaaan
kepada nelayan dan masyarakat pantai. Penekanan bisa dihindari bila penyelesaian dilakukan dengan cara mediasi dimana pihak yang bertikai memilih
pihak ketiga yang netral untuk merancang dan mencari penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Menurut Berkes 1994, mediasi dapat
menjamin pemenuhan hak-hak pihak yang bertikai secara lebih adil karena mereka dapat menjelaskan secara gamblang tanpa tekanan apa yang menjadi hak
dan kepentingan, dan mediator akan mencari titik temu terbaik. Penangkapan menggunakan bahan peledak bom ikan mencapai klimaks
pada tahun 2003. Konflik penangkapan ilegal selalu terjadi setiap tahun terutama pada musim paceklik. Konflik ini telah meresahkan banyak pihak karena
berdampak terhadap kerusakan ekosistem dan lingkungan laut secara luas hingga ke lokasi lainnya di Lampung Selatan dan Selat Sunda. Selama ini penyelesaian
belum ada yang maksimal meskipun berbagai fasilitasi penyelesaian telah dilakukan dan dampak negatif penggunaan bom terlihat secara jelas. Hal ini
dapat dipahami karena penggunaan bom tersebut merupakan suatu cara yang terpaksa dilakukan pada kondisi hasil tangkapan sangat rendah di musim
pacekelik sementara kebutuhan hidup tetap harus dipenuhi. Terlepas dari ini, agar tidak merugikan nelayan lainnya dan kerusakan terhadap sumberdaya ikan
119 dan terumbu karang dapat dihentikan, maka berbagai upaya penyelesaian yang
dilakukan harus disertai dengan penegakan hukum yang tegas. Menurut Wilson 1999, setiap konflik yang mengarah pada kerusakan
sumberdaya dan habitat perlu diselesaikan dengan baik karena setiap kerusakan pada satu komponen habitat tertentu akan menjalar pada kerusakan komponen
bergantung padanya. Bila penyelesaian tidak dilakukan, maka terjadi peningkatan kepincangan dan ketidakseimbangan dalam komposisi ekosistem
berakibat pada kemusnahan massal. Terkait dengan ini, maka konflik terkait dengan penggunaan bahan pedakan tidak boleh dibiarkan berlarut. Upaya
fasilitasi dan negosiasi perlu dilakukan secara intensif dengan melibatkan pihak- pihak yang mempunyai posisi strategis di Teluk Lampung, misalnya PEMDA dan
DPRD sehingga implikasi hukum dan formal dalam bentuk peraturan daerah lebih mudah diterbitkan.
Konflik pungutan ilegal oleh oknum petugas keamanan laut POL AIR kepada nelayan terjadi sejak pada tahun 2001 belum ada penyelesaian Tabel 16.
Hal ini terjadi karena tidak ada bukti yang jelas dan nelayan yang menjadi korban tidak mau melaporkan kepada pihak yang berwajib. Konflik ini bisa diselesaikan
dengan pendekatan arbitrasi, dimana berbagai bukti, keterangan dari korban dan sanksi, serta klarifikasi dari oknum petugas keamanan laut yang diduga menakut-
nakuti nelayan dan telah melakukan pungutan liar. Menurut Murby et al., 1995, validasi bukti dan interaksi yang terjadi di laut dapat dilakukan melalui scenario
survey yang dilakukan oleh pihak-pihak yang membutuhkan. Untuk itu, maka harus disiapkan field survey cost khusus sehingga kegiatan pengumpulan dan
validasi tersebut berhasil baik. Pengumpulan bukti terkait konflik pungutan illegal di laut dapat dilakukan dengan cara tersebut, dengan memantau dalam
kurun waktu tertentu interaksi antara petugas keamanan laut dengan nelayan di laut. Alat bantu pantauan dapat dilakukan melalui kamera atau recorder yang
dipasang pada beberapa armada nelayan yang akan melalut. Kegiatan ini harus dilakukan secara diam-diam dengan melibatkan aparat hukum. Bila bukti sudah
cukup, maka dapat dillakukan tindakan lanjut, misalnya proses hukum melalui pengadilan.
120 Sedangkan menurut ICOFE 2000, penyelesaian sengketa pada kegiatan
perikanan tangkap sebaiknya dilakukan melalui fasilitasi untuk mencapai kesepakatan bersama. Hal ini karena supaya dapat meminimalisir dendam dan
ketidakpuasan pihak tertentu sehingga berpeluang untuk melakukan tindakan anarkis. Terkait dengan ini, maka pada tahap awal konflik ini, sebaiknya
penyelesaian dilakukan dengan cara tersebut hingga dicapai kesepakatan bersama. Kemudian kesepakatan dijalankan, dan bila ada oknum petugas keamanan yang
nantinya terbukti melakukan pungutan lagi maupun nelayan melakukan pelanggaran kembali dalam penangkapan ikan maka penegakan hukum yang lebih
tinggi dan formal misal melalui pengadilan dapat dilakukan. Secara umum, pelaku konflik pungutan ilegal dan penggunaan bom ikan tidak sama dan cenderung
terkesan menjadi tradisi yang diwariskan kepada penerusnya. Konflik perebutan fishing ground nelayan tradisional dengan nelayan
besar merupakan konflik yang sangat sering terjadi di samping konflik penangkapan menggunakan bom ikan. Konflik ini terjadi sejak tahun 1999 sejak
beroperasinya kapal ikan besar yang lebih banyak pada perairan pantai kurang dari 3 mil. Upaya penyelesaian yang telah dilakukan selama ini umumnya
melalui fasilitasi yang melibatkan pihak ketiga, seperti tokoh masyarakat dan pengelola TPIPPI. Beberapa alternatif penyelesaian yang dihasilkan di
antaranya adalah penggantian bubu nelayan tradisional dayung yang hilang akibat tertarik dalam operasi oleh nelayan kapal besar, pembayaran sejumlah uang
kepada nelayan tradisional yang jaring dan perangkapnya dirusak oleh nelayan kapal besar. Selain fasilitasi, metode penyelesaian juga dapat dilakukan dengan
negosiasi yang melibatkan Dinas Kelautan dan Perikanan dan Petugas Keamaan Laut. Hal ini penting untuk mempertegasmenetapkan jalur penangkapan bagi
setiap jenis alat tangkap yang dapat diterima bersama, petugas keamanan laut akan melakukan pengawasan dalam pelaksanaan.
Konflik perebutan kendali pengelolaan PPITPI Tabel 16 terjadi antara Pemerintah Kota dengan Pemerintah Propinsi bermula sejak diperluasnya PPI
Lempasing tahun 2000 dan statusnya meningkat menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai PPP. Berlakunya Undang-Undang OTDA menyebabkan posisi
Pemerintah Kota semakin kuat dan konfliknya dengan Pemerintah Propinsi
121 pernah mencapai taraf sangat serius berkaitan dengan pemanfaatan TPI yang
dimiliki masing-masing dan bentuk realisasi PAD yang didapat keduanya dari PPI Lempasing. Konflik ini selesai melalui negosiasi dalam bentuk beberapa
pertemuan Pemerintah Kota dan Pemerintah Propinsi difasilitasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Dari pengalaman yang ada, negosiasi yang melibat
pihak ketiga memang dianggap jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah besar dimana kedua belah sama-sama bertahan dengan pendiriannya. Proses negosiasi
terhadap konflik tersebut cukup baik karena setiap tahapan menghasilkan beberapa kesepakatan yang mengarahkan pada perdamaian. Sedangkan menurut
Liana et al,. 2001, konflik kewenangan yang terjadi pada wilayah pesisir dapat melibatkan instansi di atas sebagai penengah atau pembuatan kebijakan yang
kemudian sama-sama dijalankan oleh instansi di bawahnya yang berinetraksi langsung di lokasi. Terkait dengan ini, negosiasi antara Pemerintah Kota dengan
Pemerintah Propinsi terkait kendali pengelolaan PPITPI Lempasing dapat melibatkan Pemerintah Pusat.
Bila mengacu kepada peraturan yang ada, maka dalam pengelolaan PPITPI Lempasing terjadi tumpang tindih kewenangan, dimana lokasi PPITPI
Lempasing berada dalam wilayah administrasi Pemerintah Kota dan ini sesuai dengan Undang-Undang OTDA. Namun dari segi skala, maka pengelolaan
PPITPI Lempasing telah masuk masuk dalam otoritas Pemerintah Propinsi. Terkait dengan ini, maka pembagian kewenangan melalui beberapa tahapan
negosiasi merupakan upaya terbaik sehingga kedua belah pihak tetap dapat menjalan peran masing-masing di lokasi. Hasil akhir dari penyelesaian ini adalah
Kesepakatan Bersama MoU yang berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor B.340MEN-KPVIII2002 Tanggal 21 Agustus 2002; Surat
Kadis Perikanan dan Kelautan Kota Bandar Lampung Nomor 03039402.22005 tanggal 31 Mei 2005.
5.2 Pengembangan Pengelolaan Perikanan Tangkap