Strategi Prioritas Dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap

149 ikan lebih jauh dari desanya, sehingga membutuhkan mesin perahu yang lebih baik. Para nelayan yang menggunakan perahu katengteng merasa susah untuk menemukan tempat penambatan perahunya, karena pantainya sudah di beton Katril, 1998. Terlepas dari ini semua, interaksi perlu diatur sedemikian rupa sehingga berlangsung harmonis. Dalam aplikasinya di lapangan, penjelasan efisiensi interaksi ini perlu menjadi acuan dalam mengatur interaksi yang ada di Teluk Lampung sehingga lebih bermakna dan bermanfaat nyata untuk pengelolaan perikanan tangkap yang ada. PEMDA harus benar-benar diperhatikan dalam interaksi diantara stakeholders karena PEMDA merupakan penentu dan pembuatan kebijakan pengembangan, nelayan yang merupakan pelaku langsung operasional kegiatan perikanan tangkap dan populasinya juga banyak, sedangkan pengelola PPI Lempasing menjadi pengatur kegiatan perikanan tangkap terutam bila dikembangkan dalam kapasitas yang lebih besar.

5.5. Strategi Prioritas Dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap

Strategi tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi HUKUM merupakan strategi pengelolaan yang dianggap paling baik prioritas pertama untuk mengelimir konflik perikanan tangkap di Teluk Lampung RK = 0,281 pada inconsistency terpercaya 0,07 Gambar 16. Terpilihnya tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi HUKUM ini menunjukkan bahwa penyelesaian konflik di Teluk Lampung perlu mengedepankan penegakan hukum tanpa pandang bulu dan setiap pelanggaran harus segera ditindak. Tanggapan sebagian besar stakeholders melalui analisis hierarki yang mementingkan masalah hukum ini memberi indikasi bahwa penegakan hukum yang terjadi selama ini sering tidak tuntas dan kalaupun dilakukan cenderung tidak adil sehingga menimbulkan ketidakpuasan pada pihak tertentu dan menjadi batu sandungan dalam interaksi mereka yang berikutnya. Konflik penggunaan bom ikan, tambat labuh dan harga jual merupakan dampak dari tindakan hukum tegas yang belum dilakukan dengan baik. Selama ini konflik ini belum selesai dan sering berulang. Pelaku penggunaan bom dalam 150 penangkapan ikan tidak jerah meskipun berulang kali mereka sering ditangkap. Menurut Pomeroy 1998, nelayan di asia umummnya sangat ahli pada alat tangkap tertentu, mereka terkadang sangat fanatik dengan alat tangkap tertentu apalagi selam ini menjadi andalan. Keahlian menangkap ikan dari nelayan pendatang ini memang memberikan hasil yang cukup signifikan terutama pada musim pacekelik. Sulitnya mendapatkan hasil tangkapan dan urgennya pemenuhan kebutuhan keluarga nelayan mendorong beberapa nelayan untuk menggunakan bom dalam penangkapan ikan, meskipun mereka pernah ditangkapditindak. Hal yang sama juga terjadi pada perebutan tambat labuh dan permainan harga jual, dimana mereka tidak begitu takut dengan sanksi yang diberikan. Kondisi ini terjadi dominan karena tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran tersebut tidak dilakukan dengan baik dan sebagian besar stakeholders mengganggap bahwa sanksi yang diberikan selama ini terkesan asalan. Mengingat kondisi ini, maka strategi pengelolaan yang menjadikan tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi sebagai prioritas pertama untuk mengeliminir konflik yang ada sangat tepat dan beralasan. Strategi pengaturan fishing ground bagi setiap unit penangkapan ikan F. GROUND mempunyai RK tertinggi kedua yaitu 0,255 pada inconsistency terpercaya 0,07. Selama ini, perebutan fishing ground menjadi salah satu dari tujuh konflik penting yang ada pada kegiatan perikanan Teluk Lampung. Konflik fishing ground ini umumnya terjadi antara nelayan tradisional dengan nelayan besar dan terjadi pada daerah-daerah pantai yang sumberdaya ikan banyak. Menurut Putra 2000, konflik fishing ground merupakan konflik yang sering muncul dewasa ini yang disebabkan oleh ego kepemilikan dan pengusaan atas sumberdaya alam tertentu. Oleh karena terjadi antar nelayan, maka konflik tersebut termasuk tipologi konflik alokasi internal dan seharusnya lebih mudah diselesaikan. Namun kondisi yang ada menunjukkan bahwa konflik ini berstatus belum terselesaikan. Sikap keras kepala nelayan kapal besar yang terkadang menangkap ikan di daerah pantai dan protes keras nelayan kecil menjadikan konflik ini sering berulang. Strategi pengaturan fishing ground bagi setiap unit penangkapan ikan dapat menjadi back- up penyelesaian konflik mendampingi strategi penegakan hukum terhadap setiap 151 pelanggarannya strategi prioritas pertama. Ketentuan PERDA yang mengharuskan kapal besar melakukan penangkapan pada fishing ground di atas 3 mil harus disosialisasikan terus menerus sehingga menjadi dasar pelaksanaan strategi penegakan hukum. Terlepas dari itu, strategi pengaturan fishing ground bagi setiap unit penangkapan ikan dapat dipermanenkan menjadi strategi utama bila kondisi di lokasi sudah tidak memungkinkan lagi dilakukannya tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi. Kondisi ini misalnya meningkatnya intervensi Petugas Keamanan Laut di Teluk Lampung KMN LAUT. Bila karena intervensi tersebut, pengaruh petugas keamanan laut meningkat dari 12,3 RK= 0,123 pada inconsistency terpercaya 0,07 menjadi 22,7 atau lebih RK 0,272 pada inconsistency terpercaya 0,07 seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 28, maka strategi pengaturan fishing ground dapat menggantikan strategi tindakan hukum sebagai andalan dalam mengeliminir konflik perikanan tangkap yang ada. Di lapangan, intervensi tersebut dapat berupa meningkatnya aktivitas pengawasan dan patroli di laut yang dilakukan petugas keamanan laut sehingga nelayan tidak berpeluang melanggar fishing ground. Bila kondisi ini benar-benar terjadi, maka petugas keamanan laut akan dianggap sebagai pahlawan dan tindakan hukum mungkin tidak berperan banyak lagi karena tidak ada pelanggaran dalam pennagkapan. Pengawasan yang ekstra ketat tentunya akan kondusif bagi kegiatan pengaturan fishing ground dapat lebih ditertibkan. Selanjutnya, pembakuan batas kewenangan PEMDA Kota dan PEMDA Propinsi WEWENANG, dan pengaturan jenis dan jumlah unit penangkapan ikan yang beroperasi UNIT TKP menjadi strategi pengelolaan perikanan tangkap prioritas ketiga dan keempat terkait dengan upaya mengeliminir konflik perikanan tangkap. Strategi pembakuan batas kewenangan PEMDA kota dan PEMDA Propinsi WEWENANG mempunyai rasio kepentingan 0,236 pada inconsistency terpercaya 0,07 dan strategi pengaturan jenis dan jumlah unit penangkapan ikan yang beroperasi UNIT TKP mempunyai rasio kepentingan 0,227 pada inconsistency terpercaya 0,07. Terkait dengan ini, maka kedua strategi ini merupakan strategi alternatif berikutnya yang dapat dilakukan bila tindakan 152 hukum yang tegas dan pengaturan fishing ground bagi setiap unit penangkapan ikan mengalami hambatan dalam implementasinya. Untuk mengetahui tingkat kestabilan strategi tindakan hukum yang tegas ini terhadap pelanggaran yang terjadi HUKUM sebagai strategi prioritas terhadap berbagai intervensi dan perubahan interaksi yang terjadi diantara stakeholders dalam pengelolaan perikanan tangkap, maka perlu dicek sensitifitasnya. Bila mencermati hasil uji sensitifitas pada Tabel 28, diketahui bahwa strategi tersebut stabil terhadap intervensi atau pengaruh apapun yang dilakukan nelayan. Bila pengaruh nelayan dilakukan misal dalam bentuk demo yang terus menerus, maka pengaruh tersebut tidak mengubah strategi tindakan hukum sebagai prioritas pertama, meskipun pengaruh meningkat perhatian publik terhadap nelayan hingga menjadi 100 . Hal yang sama juga tidak akan berubah meskipun peran nelayan dibatasi atau dihilangkan sama sekali di lokasi. Kondisi sesuai dengan perilaku nelayan yang umumnya menghindari urusan hukum seperti yang dinyatakan oleh Mantjoro 1997. Nelayan termasuk di Teluk Lampung umumnya takut untuk berurusan dengan masalah hukum yang dapat mengintervensi urusan orang lain, kecuali terhadap diri sendiri. Hal ini karena lemahnya diplomasi dan fokus mereka pada pemenuhan kebutuhan keluarga. Range RK stabil tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi HUKUM terkait interaksipengaruh pengelola PPI berada kisaran 0 - 0,503. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa jika jika pengaruh pengelola PPI dalam pengelolaan perikanan tangkap dikurangi hingga menjadi 0 RK = 0,00 atau ditingkatkan hingga mendekati 50,3 RK = 0,503, maka tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi tetap menjadi strategi pengelolaan terbaik. Sedangkan bila peningkatannya menjadi 50,3 atau lebih, maka tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi tidak lagi menjadi strategi pengelolaan terbaik. Perberlakuan aturan pendaratan ikan yang terlalu ketat, pelibatan diri pengelola PPI dalam operasional bisnis, kepengurusan organisasi nelayan HSNI, Koperasi, dan lainnya dapat menyebabkan pengaruh pengelola PPI di lokasi meningkat tajam dan pada level tertentu menyebabkan tindakan hukum tidak bisa dilakukan karena dilindungi oleh pengelola PPI. 153 Terkait dengan ini, maka berbagai peran pengelola PPI Lempasing perlu dilakukan secara hati-hati sehingga tidak kebablasan dan dapat menimbulkan konflik baru. Dalam kaitan dengan intervensipengaruh PEMDA, strategi tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi HUKUM dapat ditegakkan selama intervensi tersebut tidak terlalu ekstrim hingga 38,3 atau lebih. Berlapisnya peraturan dari PEMDA untuk perijinan usaha perikanan tangkap, banyaknya jenis retribusi, dan konflik internal PEMDA yang terus-menerus mengganggu kegiatan perikanan tangkap dapat meningkatkn perhatian dan protes publik terutama di kalangan nelayan sehingga tindakan hukum yang tegas tidak dapaty dilakuakn secara efektif. Menurut Sheppard 1998, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh aparat terkait terutama menyangkut pemetaan dan zonasi wilayah perairan seperti di kawasan terumbu karang dan lainnya sangat mudah mengundang protes dari berbagai pihak. Hal ini karena wilayah tersebut termasuk produktif sehingga pemetaannya akan menganggu kepentingan banyak pihak. Namun kondisi ini harus diantisipasi dengan cara PEMDA mengambil peran yang kooperatif dan bersahabat di lokasi. Sedangkan intervensi petugas keamanan laut, tidak akan mengganggu kegiatan pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap selama konflik-konflik di lokasi terutama terkait pungutan ilegal di laut tidak berkembang hingga mempenagruhi 27,3 atau lebih dari interaksi yang ada. Pada kondisi ini, strategi tindakan hukum yang teas terhadap setiap pelanggaran tetap menjadi menjadi prioritas pertama untuk pengembangan. Berbeda dengan tiga stakeholders sebelumnya, intervensi atau peran dari investorpengusaha dapat ditingkatkan tanpa batas Range RK stabil berada pada kisaran 0,084 - 1. Hal ini dapat dipahami mengingat investor merupakan pelaku utama investasipengembangan kegiatan perikanan tangkap, dan bila investor tidak terlibat maka pengembangan tidak dapat dilakukan dan tindakan hukum tentu tidak berguna. Investor perlu diberi peran seluas-luasnya untuk berkreasi membantu pengembangan kegiatan perikanan tangkap dan aktivitas bisnis secara keseluruhan di Teluk Lampung. Peran investor dalam mengembangkan kegiatan perikanan tangkap dengan kapal besar atau modern 154 perlu didukung, namun pada waktu yang sama hak-hak nelayan kecil juga harus dilindungi, sehingga konflik perebutan fishing ground, tambat labuh dan lainnya yang melibatkan nelayan besar lokal atau pendatang dengan nelayan keciltradisional tidak berkembang. Bila hal ini dapat dilakukan, maka setiap konflik selalu dapat dieliminir, interaksi stakeholders menjadi lebih berguna dan efisien, pengembangan kegiatan perikanan tangkap dapat terus dilakukan.

5.6. Strategi Pengelolaan Konflik oleh Pemerintah Daerah