Pengelolaan Optimal Sumberdaya Perikanan Tangkap di Teluk Lampung

125 keempat jenis unit penangkapan ikan tersebut seyogyanya menjadi obyek pengembangan dalam model pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung. Selanjutnya , upaya pengembangan tersebut harus memperhatikan hak-hak perikanan tradisional traditional fishing rights seperti yang dinyatakan dalam Konvensi Hukum Laut International UNCLOS, 1982 Pasal 51 ayat 1 tentang negara kepulauan. Hal ini penting upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap benar-banar dapat membawa manfaat bagai masyarakat nelayan di Teluk Lampung dan benih-benih konflik yang ada tidak berkembang. Menurut Djalal 2002, kategori “hak perikanan tradisional” harus diperhatikan tersebut dapat mengacu kepada ketentuan : 1. Nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan di suatu perairan tertentu. 2. Nelayan-nelayan tersebut telah mempergunakan secara tradisional alat-alat tertentu. 3. Hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu. 4. Nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan- nelayan yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut.

5.3. Pengelolaan Optimal Sumberdaya Perikanan Tangkap di Teluk Lampung

Hasil optimalisasi pengelolaan perikanan tangkap yang dinyatakan pada Bab 4 dapat dikembangkan lebih rinci untuk menjelaskan tingkat capaian dari setiap sasaran pengelolaan yang ingin dicapai. Tingkat capaian setiap sasaran ini dikombinasikan satu sama lainnya sebagai bagian dari kegiatan optimalisasi sumberdaya terkait pengelolaan perikanan tangkap. Model optimalisasi ini mengakomodir berbagai formula optimalisasi produksi perikanan sesuai MSY, formula optimalisasi penyerapan tenaga kerja perikanan tangkap, formula optimalisasi penggunaan BBM, formula optimalisasi penggunaan es, formula optimalisasi penggunaan air dari kapasitas instalasi PDAM, dan formula optimalisasi pemanfaatan luasan perairan yang layak untuk kegiatan penangkapan ikan. Model optimalisasi ini sangat membantu untuk menempatkan porsi dan 126 perhatian yang tepat dalam aplikasi pengelolaan sehingga tidak terjadi ketimpangan. Sasaran pengelolaan perikanan tangkap dengan tingkat capaiannya tidak optimal atau tidak terlalu optimal dapat diberi perhatian lebih dibanding sasaran lainnya. Bila alokasi unit penangkapan ikan hasil optimalisasi Bagian 4.4. diperbandingkan dengan alokasi unit penangkapan ikan tersebut saat ini, maka akan ada penambahan 233 unit sero dari 165 unit menjadi 398 unit, penambahan 79 unit bagan perahu dari 243 unit menjadi 322 unit, serta pengurangan 207 unit jaring insang hanyut JIH dari 336 unit menjadi 129 unit dan pengurangan 206 unit dan payang dari 240 unit menjadi 44 unit. Bila dihubungkan dengan kendala ke-7, maka hasil optimalisasi ini kurang disukai, karena anjuran pengurangan aloksi jaring insang hanyut JIH dan payang dapat menimbulkan keresahan dan konflik baru di kalangan nelayan. Namun bagaimanapun juga, hal ini harus dilakukan karena daya dukung lokasi terutama sumberdaya ikannya sudah tidak sesuai dengan intensitas aktivitas penangkapan yang ada. Pengurangan kedua jenis alat tangkap tersebut dapat dilakukan secara bertahap dan alamiah, misalnya melarang penambahan unit penangkapan ikan yang baru, dan tidak ada perubahan alat-alat. Hal ini dapat dilakukan jika penangkapan ikan di daftar dan ijin penggunaannya diatur secara ketat. Bila kelestarian sumberdaya ikan dapat dikendalikan dengan baik, maka ke depan perebutan fishing ground dan penggunaan bom ikan tidak akan menjadi pilihan bagai nelayan dalam penangkapan ikan, meskipun di musim pacekelik. Secara jangka panjang ekonomi masyarakat Teluk Lampung juga dapat ditingkatkan. Oakerson 1992 menyatakan bahwa salah satu kunci kelestarian ekonomi masyarakat di suatu kawasan adalah penetapan laju pemanfaatan sumberdaya oleh setiap individu pada batas-batas yang lestari dan penghargaan yang tinggi terhadap usaha ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat. Terkait dengan ini, maka berbagai upaya pengelolaan yang lebih baik perlu didukung oleh semua pihak meskipun terkadang kurang populer dan dapat merugikan pihak tertentu, seperti nelayan dan pelaku langsung perikanan tangkap lainnya di Teluk Lampung. Konflik perikanan tangkap memang terkadang mudah dipicu oleh suatu upaya pengembangan pada aspek tertentu sementara aspek lainnya dicegah. 127 Terkait dengan ini, beberapa altenatif yang bisa dilakukan untuk meminimalisir konflik baru bila dilakukan pencegahan dan pengurangan alokasi sero dan JIH tersebut di Teluk Lampung : a. Pemerintah Daerah PEMDA perlu mencari pekerjaan alternatif bagi nelayan atau kelompok nelayan jaring insang hanyut dan payang yang menjadi sasaran pengurangan unit penangkapan ikan. Bila melihat peluang yang ada, maka ada dua hal yang dapat dikembangkan yaitu kegiatan distribusi dan pengolahan hasil perikanan. Dengan modal awal dari PEMDA, nelayan JIH dan payang yang punya bakat dagang dapat menjadi pedagangdistributor hasil tangkapan yang selama ini banyak ditangani oleh pendatang. Untuk kegiatan pengolahan, PEMDA dapat membina nelayan tadi secara berkelompok untuk melalukan usaha pengolahan hasil tangkapan skala kecil dan menengah. Selama ini, usaha pengolahan hasil tangkapan belum berkembang baik di Teluk Lampung. b. Pengurangan retribusi kegiatan penangkapan dan penertiban pungutan lainnya. Retribusi kegiatan penangkapan baik berupa biaya tambat labuh, biaya lelang, dan penggunaan jasa PPI lainnya terkadang dirasakan berat oleh nelayan terutama bila hasil tangkapan kecil. Hal yang sama juga untuk pungutan illegal yang dilakukan oleh oknum POLAIR di laut. Bila hal ini bisa dikurangi, maka hasil tangkapan kecilpun tak akan merisaukan nelayan dan beberapa nelayan JIH dan payang dapat dialihkan ke unit penangkapan yang masih bertahan. c. Segera menyelesaikan konflik masa lalu yang belum terselesaikan. Upaya ini termasuk paling penting di lokasi, karena nelayan terus menerus dipusingkan dan dibuat resah oleh berbagai konflik masa lalu yang cenderung mengucilkan dan merugikan nelayan sebagai pelaku utama kegiatan perikanan tangkap di Teluk Lampung. Konflik tersebut memang terkadang sulit diselesaikan karena interaksi kepentingan berbagai stakeholders yang ada. Dalam aktivitas perikanan tangkap di Teluk Lampung, ada stakeholders yang interaksinya sedikit namun menimbulkan konflik yang serius, dan ada juga yang interaksinya banyak namun tidak mengundang atau memperkeruh konflik yang ada. Upaya penyelesaian 128 dan penanganan konflik harus dapat mencermati hal ini dengan baik sehingga upaya tersebut efisien dan berhasil maksimal. Bila ketiga alternatif tersebut ada yang bersesuaian dengan strategi pengelolaan perikanan tangkap yang dipilih stakeholders, maka dapat dipadukan implementasinya dalam pelaksanaan strategi tersebut dan interaksi efisien stakeholders dalam penanganan konflik yang akan dibahas pada Bagian 5.4 dan 5.5. Selanjutnya pencapaian setiap sasaran optimalisasi dari alokasi baru keempat unit penangkapan ikan yang dianalisis menggunakan LGP dijelaskan pada bagian berikut. Analisis LINDO juga menghasilkan nilai DB2 = 2494.820. DB2 ini merupakan penyimpangan atau deviasi dalam optimalisasi penyerapan tenaga kerja pada usaha perikanan tangkap di Teluk Lampung. Nilai DB2 = 2494.820 ini menunjukkan bahwa alokasi sero sekitar 398 unit, jaring insang hanyut JIH sekitar 129 unit, payang sekitar 44 unit dan bagan perahu sekitar 322 unit untuk operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung tidak dapat mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja hingga sama atau melebihi persyaratan yang ditetapkan 8.500 orang, tetapi masih kurang 2.495 orang atau hanya mampu menyerapkan tenaga kerja sekitar 6.005 orang. Hal ini mungkin kurang menggembirakan bagi masyarakat pesisir dan keluarga nelayan yang masih membutuhkan pekerjaan dengan mudah pada kegiatan perikanan tangkap. Untuk sasaran mengoptimalkan penggunaan BBM, analisis LINDO menghasilkan nilai DA3 = 0. DA4 ini merupakan penyimpangan atau deviasi atas dalam optimalisasi penggunaan BBM dalam operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung. Nilai D3 = 0 ini menunjukkan bahwa alokasi sero sekitar 398 unit, jaring insang hanyut JIH sekitar 129 unit, payang sekitar 44 unit dan bagan perahu sekitar 322 unit untuk operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung dapat mengoptimalkan penggunaan BBM tanpa melebihi kapasitas penyediaan BBM di lokasi yaitu sekitar 30.000 liter per hari. Kondisi ini tentu tidak membuat pengelola SPBU dan distributor eceran yang tersebar di sekitar keteteran dan juga tidak menyebabkan kepanikan pada nelayan dan stakheholders terkait lainnya akibat kelangkaan BBM. 129 Analisis LINDO juga menghasilkan nilai DA4 = 0. DA4 ini merupakan penyimpangan atau deviasi atas dalam optimalisasi penggunaan es dalam operasi penangkapan ikan Teluk Lampung. Nilai D4 = 0 ini menunjukkan bahwa alokasi sero sekitar 398 unit, jaring insang hanyut JIH sekitar 129 unit, payang sekitar 44 unit dan bagan perahu sekitar 322 unit untuk operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung dapat mengoptimalkan penggunaan es tanpa melebihi kapasitas penyediaannya di lokasi yaitu sekitar 9.000 balok per hari. Kondisi ini tentu tidak membuat pabrik es yang ada keteteran dan juga tidak menyebabkan kepanikan pada nelayan dan stakheholders terkait lainnya akibat kelangkaan es balok untuk operasi. Dalam kaitan dengan sasaran mengoptimalkan penggunaan air tawar, hasil analisis LINDO Bagian 4.4 menunjukkan nilai DA5 = 0. DA5 merupakan penyimpangan atau deviasi atas untuk penggunaan air tawar dalam operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung. Nilai DA5 = 0 ini menunjukkan bahwa alokasi sero sekitar 398 unit, jaring insang hanyut JIH sekitar 129 unit, payang sekitar 44 unit dan bagan perahu sekitar 322 unit untuk operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung dapat mengoptimalkan penggunaan air tawar tanpa melebihi kapasitas yang tersedia sekitar 23.000 liter per hari. Kondisi ini tentu tidak membuat kepanikan bagi pihak PDAM, nelayan, dan lainnya yang terkait dengan pengelolaan dan penggunaan air tawar dalam menjalankan kegiatannya. Untuk sasaran pemanfaatan luasan perairan pantai yang layak untuk sero, analisis LINDO menghasilkan nilai DA6 = 0. DA6 merupakan penyimpangan atau deviasi atas untuk interaksi dengan perairan pantai dalam operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung. Nilai DA6 = 0 ini menunjukkan bahwa alokasi sero sekitar 398 unit dapat mengoptimalkan pemanfaatan perairan pantai 0 -1 mil dari garis pantai tanpa melebihi luasan yang tersedia, yaitu sekitar 99.38 mil 2 panjang garis pantai Teluk Lampung 160 km. Untuk sasaran pemanfaatan luasan perairan Teluk Lampung non pantai yang layak untuk JIH, payang, dan bagan perahu, analisis LINDO menghasilkan nilai DA7 = 0. DA7 merupakan penyimpangan atau deviasi atas untuk interaksi dengan perairan yang bukan wilayah pantai 1 mil dari garis pantai dalam operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung. Nilai DA7 = 0 ini menunjukkan bahwa jaring insang hanyut 130 JIH sekitar 129 unit, payang sekitar 44 unit dan bagan perahu sekitar 322 unit untuk operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung dapat mengoptimalkan pemanfaatan perairan di atas 1 mil dari garis pantai, tanpa melebihi luasan yang tersedia, yaitu sekitar 6314,34 mil 2

5.4.1 Interaksi efisien stakeholders dalam penanganan konflik perikanan

tangkap . Terkait dengan ini, maka operasi penangkapan dari keempat unit penangkapan ikan tersebut tidak merusak ekosistem perairan Teluk Lampung termasuk perairan di wilayah pantai. Secara umum, pengoperasian keempat unit penangkapan ikan hasil optimalisasi ini dapat dilakukan di perairan Teluk Lampung meskipun ada sasaran optimalisasi yang tidak dapat dicapai, yaitu sasaran mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja perikanan tangkap. Tetapi enam dari tujuh sasaran optimalisasi tersebut dapat dipenuhi sesuai dengan yang diharapkan. Alokasi unit penangkapan ikan dan berbagai sasaran optimalisasi yang dapat dicapai ataupun tidak dari hasil analisis kombinasi menggunakan LINDO ini merupakan model optimalisasi terkait pengelolaan perikanan tangkap yang dapat dijadikan acuan dalam aplikasi nyata di lokasi. Sasaran optimalisasi yang tidak tercapai mungkin belum dapat meredam konflik pengelolaan, tetapi enam dari tujuh sasaran optimalisasi tersebut dapat dicapai dengan baik dan diharapkan membantu penyelesaian konflik dan harmonisasi interaksi stakeholders yang ada.

5.4 Interaksi Efisien Stakeholders dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap