130 JIH sekitar 129 unit, payang sekitar 44 unit dan bagan perahu sekitar 322 unit
untuk operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung dapat mengoptimalkan pemanfaatan perairan di atas 1 mil dari garis pantai, tanpa melebihi luasan yang
tersedia, yaitu sekitar 6314,34 mil
2
5.4.1 Interaksi efisien stakeholders dalam penanganan konflik perikanan
tangkap
. Terkait dengan ini, maka operasi penangkapan dari keempat unit penangkapan ikan tersebut tidak merusak
ekosistem perairan Teluk Lampung termasuk perairan di wilayah pantai. Secara umum, pengoperasian keempat unit penangkapan ikan hasil
optimalisasi ini dapat dilakukan di perairan Teluk Lampung meskipun ada sasaran optimalisasi yang tidak dapat dicapai, yaitu sasaran mengoptimalkan penyerapan
tenaga kerja perikanan tangkap. Tetapi enam dari tujuh sasaran optimalisasi tersebut dapat dipenuhi sesuai dengan yang diharapkan. Alokasi unit
penangkapan ikan dan berbagai sasaran optimalisasi yang dapat dicapai ataupun tidak dari hasil analisis kombinasi menggunakan LINDO ini merupakan model
optimalisasi terkait pengelolaan perikanan tangkap yang dapat dijadikan acuan dalam aplikasi nyata di lokasi. Sasaran optimalisasi yang tidak tercapai mungkin
belum dapat meredam konflik pengelolaan, tetapi enam dari tujuh sasaran optimalisasi tersebut dapat dicapai dengan baik dan diharapkan membantu
penyelesaian konflik dan harmonisasi interaksi stakeholders yang ada.
5.4 Interaksi Efisien Stakeholders dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap
Penyebab Konflik PK yang signifikan adalah dengan pemindahan PPI, penggunaan bom ikan, pungutan ilegal di laut, perebutan fishing ground, dan
perebutan kendali pengelolaan PPITPI. Sedangkan interaksi mengenai Penyebab Konflik dengan relokasi perumahan dan perselisihan tambat labuh dan harga jual
tidak bersifat signifikan Tabel 20. Penyebab konflik yang signifikan tersebut harus diantisipasi dengan baik. Hal ini karena setiap penyebabsumber konflik
tersebut bisa berkembang dan dapat mengganggu kegiatan perikanan tangkap yang ada, bila stakeholders terkait tetap lebih leluasa bertikai dan
mempertentangkan kepentingannya. Kelima penyebab konflik tersebut
131 sebaiknya diperhatikan dalam penyusunan rencana pengelolaan perikanan di
Teluk Lampung. Pemindahan PPI merupakan penyebab konflik yang berinteraksi paling
dominan untuk memperkeruh keadaan. Pemindahan PPI merupakan penyebab awal konflik pengelolaan perikanan tangkap di lokasi dan konflik dari
pemindahan PPI di Teluk Betung Selatan ke PPI Lempasing masih belum tuntas diselesaikan. Konflik tersebut melibatkan masyarakat secara massal yang
dampaknya tidak hanya menyangkut hilangnya pekerjaan masyarakat dari Teluk Betung, tetapi juga menyebabkan peningkatan biaya operasitransportasi ke
lokasi PPI yang baru. Akibatnya pendapatan keluarga nelayan menjadi tidak menentu dan kesejehteraan keluarganya semakin menurun. Melihat
implikasinya yang demikian, maka tidak aneh bila pemindahan PPI tersebut memakan korban jiwa dan harta benda. Upaya arbitasi yang telah dilakukan
cukup handal untuk menyelesaikan konflik tersebut, namun bila terjadi ekses negatif di kemudian hari maka berdasarkan hasil analisis SEM harus segera
diselesaikan karena sifatnya yang sangat serius. Penyebab konflik lainnya yang cukup dominan di lokasi penelitian adalah
pungutan ilegal di laut dan perebutan kendali pengelolaan PPITPI. Pungutan ilegal di laut merupakan penyebab konflik urutan kedua berpengaruh di lokasi.
Hal ini dapat disebabkan oleh keresahan yang dirasakan nelayan dari pungutan ilegal yang sering dilakukan petugas keamanan laut, dimana nelayan tidak berani
melapor dan pungutan terus berlanjut tanpa pernah ada penanganan. Sedangkan menurut Mantjoro 1997, nelayan umumnya mempunyai rasa takut yang tinggi
berurusan dengan masalah hukum, lemahnya diplomasi dan ketergantungan tinggi anak dan isteri kepada hasil tangkapan nelayan menjadi menghambat
mereka mengurus permaslahannya secara hukum. Perebutan kendali pengelolaan PPITPI menjadi penyebab konflik urutan ketiga yang berpengaruh di kawasan.
Pengaruh perebutan kendali PPITPI menjadi serius bisa jadi karena pihak yang berebut tersebut adalah Pemerintah Kota Bandar Lampung dengan Pemerintah
Propinsi Lampung yang tidak lain merupakan penentu kebijakan di kawasan. Seringnya konflik perebutan terjadi menyebabkan kebijakan pengelolaan
perikanan tangkap tidak jelas dan nelayan yang menjadi korban. Terkait dengan
132 ini, maka interaksi stakholders yang terkait di Teluk Lampung perlu diupayakan
sedemikian rupa sehingga dapat menyelesaikan konflik yang ada dengan melihat pengaruh yang diberikan.
Dalam kaitan dengan interaksi antar konstruk, Keterkaitan Stakeholders dengan Konflik KSdK mempunyai koefisien pengaruh cukup tinggi 0,065
dengan nilai p = 0,012 dalam interaksinya dengan Penyebab Konflik PK. Hal ini menunjukkan bahwa keterkaitan yang tinggi stakeholders dengan konflik
dapat lebih mempengaruhi status konflik tersebut di Teluk Lampung. Interaksi yang salah dari stakehoders berpeluang memperkeruh keadaan, sebaliknya
interaksi yang tepat dari stakeholders sangat membantu menciptakan kondisi kondusif di lokasi dan membantu meredam konflik yang sudah terjadi. Terkait
dengan ini, interaksi atau peran stakeholders dalam meredam konflik berbagai konflik yang ada harus tepat, sehingga tidak disibukkan oleh penyelesaian konflik
yang tidak perlu, sementara konflik yang serius dan signifikan pengaruhnya tidak diperhatikan.
Nelayan, pengelola PPI Lempasing, PEMDA, petugas keamanan laut, dan investorpengusaha merupakan lima stakeholders yang berinteraksi signifikan
dengan hal-hal yang terkait dengan konflik Keterkaitan Stakeholders dengan KonflikKSdK, sedangkan pengelolapedagang dan konsumenmasyarakat tidak
berinteraksi signifikan Tabel 21. Kondisi ini memberi indikasi bahwa agar penanganan konflik lebih efektif dan efisien, maka konflik-konflik yang
ditimbulkan oleh interaksi nelayan, pengelola PPI Lempasing, PEMDA, petugas keamanan laut, dan investorpengusaha harus diperhatikan dengan serius dan
segera diambil tindakan penyelesaian sehingga pengaru negatif konflik tersebut tidak meluas.
Petugas keamanan laut merupakan stakeholders yang berinteraksi signifikan paling dominan dengan setiap konflik yang ditimbulkannnya. Hal ini
lebih disebabkan oleh posisi dan peran petugas keamanan laut sebagai pengontrol langsung kegiatan perikanan tangkap penangkapan ikan di laut sehingga setiap
aksinya dianggap efektif untuk menangani dan menyelesaikan konflik yang ada. Di sisi lain, praktek pungutan ilegal di laut yang sering dilakukan oleh oknum
petugas keamanan laut telah membawa pencitraan negatif terhadap setiap
133 kasuskonflik yang melibatkan petugas keamanan laut, meskipun konflik tersebut
tidak begitu serius. Terkait dengan ini, maka konflik yang berkaitan dengan petugas keamanan laut harus lebih diprioritaskan penyelesaiannya dibandingkan
konflik dari stakeholders yang berinteraksi signifikan lainnya. Bila tidak, maka nelayan tidak akan pernah merasa nyaman dan aman dalam melaut.
PEMDA merupakan stakeholders urutan kedua yang berinteraksi signifikan dengan setiap konflik yang melibatkannya. Hal ini dapat disebabkan
oleh peran penting PEMDA sebagai pembuat kebijakanPERDA terkait dengan perikanan tangkap, sehingga interaksi positif yang efisien yang dapat dilakukan
PEMDA sangat membantu penyelesaian konflik yang ada. Nelayan merupakan stakeholders urutan terakhir yang berinteraksi signifikan dengan setiap konflik
yang melibatkannya koefisien pengaruh = 0,015 dengan nilai p = 0,023. Hal ini diduga karena nelayan lebih bersifat obyek dalam penanganan konflik sehingga
dalam interaksinya lebih bersifat menerima.
5.4.2. Interaksi efisien stakeholders dalam pelaksanaan strategi pengelolaan
kegiatan perikanan tangkap di PPI Lempasing
1 Interaksi efisien nelayan dalam pelaksanaan strategi pengelolaan kegiatan perikanan tangkap
Pelaksanaan strategi pengaturan jenis dan jumlah unit penangkapan ikan yang beroperasi, strategi pengaturan fishing ground bagi setiap jenis unit
penangkapan ikan yang beroperasi, dan strategi tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi dapat melibatkan nelayan secara signifikan
dalam pengembangan perikanan tangkap di Teluk Lampung, sedangkan untuk strategi pembakuan batas kewenangan Pemerintah Propinsi dengan Pemerintah
Kota di PPI Lempasing, keterlibatan nelayan tidak memberikan hasil yang nyata atau serius untuk membantu pengembangan perikanan tangkap di lokasi Tabel
22. Untuk meningkatkan peran nelayan dalam mendukung strategi
pengembangan yang ada, maka perhatian nelayan dapat dicurahkan kepada tiga opsi strategi dengan pengaruh signifikan tadi. Namun di antara ketiga opsi
134 strategi tersebut, strategi tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang
terjadi merupakan strategi yang paling dominan dapat didukung oleh nelayan. Hal ini karena dalam pengelolaan perikanan perikanan tangkap, nelayan lebih
dapat berbuat untuk membantu penegakan hukum minimal pada diri nelayan itu sendiri dalam bentuk tidak menggunakan bahan peledak, tidak menangkap biota
yang dilindungi dan lainnya. Sedangkan untuk strategi pengaturan unit penangkapan ikan dan fishing ground terkadang tidak mudah karena bisa jadi ada
alat tangkap nelayan dan lokasi penangkapan yang biasa digunakan tidak boleh lagi.
Nelayan sangat potensial untuk mendukung kelestarian eksositem dan pengelolaan yang berkelanjutan. Selama ini penangkapan destruktif
menggunakan bahan peledak dan penangkapan ikan yang dilindungi menjadi penyebab utama kerusakan ekosistem di perairan. Menurut Mumby et al. 1999
ekosistem di laut terumbu terutama terumbu karang dan padang lamun memiliki berbagai fungsi penting dan kegunaan. Ekosistem terumbu karang dan padang
lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki rantai makanan di laut dan menjadi sumber utama produktivitas primer serta sumber
makanan penting bagi berbagai ikan laut yang di tangkap nelayan. Terumbu karang dan padang lamun juga berfungsi sebagai daerah asuhan nursery ground
dan daerah perlindungan bagi berbagai jenis udang dan ikan serta biota laut lainnya.
Dalam aplikasinya, peran nelayan dalam mendukung penegakan hukum ini harus didasarkan pada faktor kesadaran sehingga tidak bersifat sesaat. Terkait
dengan ini, maka pihak terkait seperti PEMDA, HSNI harus bekerja dan bahu membahu dalam melakukan pembinaan dan penyadaran kepada kelompok
nelayan yang ada di Teluk Lampung. Bila dicermati dari segi hukum, maka peran ini mendukung sasaran pengelolaan lingkungan hidup seperti yang dinyatakan
dalam UU No. 231997, yaitu : 1 tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup; 2 terkendalinya
pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana, dimana hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat tersalurkan dengan baik.
Namun demikian, menurut Pinkerton dan Evelyn 1989, suatu penegakan
135 hukum harus memperhatikan tata nilai lokal dan budaya yang berkembang di
lokasi. Dalam kaitan ini, maka strategi hukum yang mengharapkan peran nelayan tersebut harus mengakomodir dan memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat
dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hal ini supaya masayarakat nelayan di Teluk Lampung dapat membantukan penegakan hukum tersebut secara
maksimal dan tidak setengah hati. Bila nelayan di perairan Teluk Lampung telah dapat mengikuti atau
membantu penegakan peraturanketentuan hukum yang ada terkait dengan penangkapan, maka dampak positifnya akan sangat nyata bagi pengembangan
perikanan tangkap di lokasi. Bila melihat intensitas dan rasio interaksi nelayan di kawasan, maka dampak positif tersebut bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.
Di sisi lain, peran untuk mendukung penengakan hukum ini cukup realistis, mengingat hampir semua konflik dan pelanggaran di lokasi selalu terkait dengan
nelayan dan kepentingannya, sementara menjadikan hukum sebagai ujung tombak perlindungan dari berbagai konflik yang melibatkannya.
Strategi pengaturan fishing ground bagi setiap jenis unit penangkapan ikan yang beroperasi merupakan strategi signifikan urutan kedua yang dapat
dilakukan nelayan di lokasi koefisien pengaruh urutan kedua = 0,093 dengan nilai p = 0,000. Dalam prakteknya, nelayan dapat dapat membantu penertiban
wilayah penangkapan fishing ground dalam bentuk kesediaan nelayan untuk saling berbagi wilayah penangkapan dan membuang jauh-jauh keinginan untuk
memonopoli lokasiwilayah penangkapan tertentu di luar kesepakatan yang dibuat. Sedangkan menurut Kuperan 1995 pembagian wilayah penangkapan
dapat mencegah terjadi illegal fishing. Pembagian wilayah penangkapan tersebut dapat dilakukan berdasarkan jenis alat tangkap, ukuran armada penangkapan, dan
lainnya. Terkait dengan ini, maka upaya fasilitasi yang lebih intensif dari pihak ketiga, misalnya pengelola PPI, Pemerintah Kota atau lainnya perlu dilakukan.
Bila hal ini berjalan baik dan ada tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggar, maka lambat-laun masalah fishing ground dapat terselesaikan. Dengan itikad
baik yang dimiliki, nelayan dapat mengambil peran nyata ini. Strategi pengaturan jenis dan jumlah unit penangkapan ikan yang
beroperasi merupakan strategi pengembangan perikanan tangkap ketiga yang
136 dapat dilakukan nelayan di lokasi dengan hasil signifikan. Meskipun terkadang
sulit, hal ini dapat dilakukan nelayan, karena secara adaministrasi pengaturan tersebut dikendalikan oleh Pemerintah Daerah. Menurut Rossiter 1997 faktor
kesadaran merupakan penyebab utama tidak berjalan program konservasi perikanan di Indonesia. Terkait dengan ini, maka kesadaran nelayan untuk
mendaftarkan armada penangkapannya dan tidak mengusahakan unit penangkapan ikan yang dilarang juga merupakan upaya cukup realistis dan
efisien yang diharapkan dapat dilakukan oleh nelayan dalam mendukung pengembangan perikanan tangkap di Teluk Lampung.
2 Interaksi efisien pengelola PPI Lempasing dalam pelaksanaan strategi pengelolaan kegiatan perikanan tangkap
Tiga dari empat opsi strategi pengelolaan yang ada dapat dilakukan oleh Pengelola PPI Lempasing dengan hasil nyatasignifikan, yaitu pengaturan jenis
dan jumlah unit penangkapan ikan yang beroperasi, pembakuan batas kewenangan Pemerintah Propinsi dengan Pemerintah Kota di PPI Lempasing, dan tindakan
hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi Tabel 23. Sedangkan strategi pengaturan fishing ground bagi setiap jenis unit penangkapan ikan yang
beroperasi tidak dapat dilakukan dengan hasil nyata dalam interaksi Pengelola PPI lempasing di Teluk lampung. Hal ini memberikan indikasi bahwa pengelola PPI
Lempasing dapat berperan dalam mewujudkan interaksi antar stakeholder yang efisien.
Diantara ketiga strategi tersebut, strategi tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi merupakan strategi yang dapat dilakukan
Pengelola PPI Lempasing dengan hasil yang nyata koefisien pengaruh = 1,000 dengan nilai p = 0,037. Hal ini karena dalam pengelolaan perikanan perikanan
tangkap di lokasi, Pengelola PPI Lempasing menjadi pengatur kegiatan pendaratan ikan yang berbasis di PPI Lempasing sehinga dapat berbuat banyak
untuk membantu penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran yang terjadi. Bantuan penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan PPI dan
asetnya merupakan hal realistis yang dapat dilakukan oleh pengelola PPI Lempasing di Teluk Lampung.
137 Peran Pengelola PPI terkait strategi hukum tersebut merupakan upaya
yang baik di bidang pengendalian terkait kegiatan perikanan tangkap. Menurut Kompas 2001, peran petugas pelabuhan dan pendaratan ikan tersebut banyak
dilakukan di negara-negara maju seperti Inggris maupun Perancis. Di negara tersebut, hal ini dilakuakn dengan menempatkan beberapa petugas atau perangkat
elektronik di beberapa lokasi yang dianggap rawan atau kritis di pelabuhan sehingga setiap pelanggar hukum misal membawa hasil tangkapn ilegal, ikan
yang lindungi dan lainnya dapat langsung diketahui. Namun demikian, dalam pelaksanaan mungkin akan menimbulkan rekasi pelaku perikanan seperti jurangan
dan pengusaha perikanan, mungkin ada yang pro dan ada yang kontra. Tentunya mereka yang tidak suka sistem pengendalian adalah orang yang biasanya
merupakan bagian dari mafia perikanan, dari perusahaan yang ternyata punya kepentingan supaya kegiatan yang semacam ini tidak akan pernah dikendalikan,
tapi pengusaha yang baik itu sangat antusias menyambut rencana ini. Opsi Strategi pengaturan jenis dan jumlah unit penangkapan ikan yang
beroperasi merupakan strategi urutan kedua yang dapat dibantu oleh pengelola PPI Lempasing dengan hasil yang nyata. Hal ini dapat dilakukan oleh pengelola
PPI Lempasing karena mereka mempunyai data atau cacatan yang lengkap terhadap semua unit penangkapan ikan yang berbasis di PPI Lempasing. PPI
Lempasing dapat menggunakan data tersebut untuk memantau dan mengevaluasi kegiatan perikanan tangkap di Teluk Lampung. Bila terjadi penyimpangan, maka
pengelola PPI dapat mengkoordinasinya terutama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan dan dengan pihak penegak hukum. Sedangkan menurut Hanna
1995, kerjasama dan koordinasi yang baik diantara pihak-pihak terkait sangat penting pengembangan aktivitas perikanan suatu kawasan.
Pelaksanaan strategi tersebut memang tidak bisa dilepaskan tugas pokok dan fungsi tupoksi pengelola PPI. Menurut Dutton 1998 tupoksi sering
diinterpretasikan secara berbeda-beda tergantung kemampuan pihak yang berkepentingan. Justifikasi tersebut didasarkan dari berbagai peraturan
perundang-undangan yang mendukung tugas pokok dan fungsi instansinya. Ironisnya undang-undang dan peraturan pendukungnya sering tumpang tindih,
atau mempunyai celah-celah yang bisa diinterpretasikan secara berbeda-beda.
138 Penerapan dengan interpretasi yang salah, tanpa ada koordinasi, transparansi dan
sosialisasi terhadap berbagai pihak terkait akan dapat memperkeruh konflik yang ada.
Terkait dengan itu, maka pembakuan kewenangan di PPI Lempasing perlu segera dilakukan sehingga tidak berdampak kepada operasional yang menjadi
tanggung jawab Pengelolan PPI dan lainnya. Sedangkan menurut Ruddle et al.1992, kewenangan aparat terkait perlu dibakukan terlebih dahulu sebelum
kebijakan pengelolaan dilakukan, karena bila tidak maka pengelolaan hanya akan menjadi sumber konflik. Namun demikian, dari hasil analisis SEM, strategi
pembakuan batas kewenangan Pemerintah Propinsi dengan Pemerintah Kota di PPI Lempasing merupakan strategi urutan ketiga yang dapat dilakukan pengelola
PPI Lempasing dengan nyatasignifikan. Urutan ketiga ini wajar karena Pengelola PPI tidak bisa mengatur kewenangan institusi di atasnya, tetapi hanya
dapat membantu menegakkannya. Bila melihat jalur koordinasi yang ada, pengelola PPI Lempasing dapat membantu pembakuan kewenangan tersebut
minimal dalam bentuk usulan dari pengalaman lapang karena karena pengelola PPI Lempasing merupakan pegawai PEMDA. Bila pengelola PPI Lempasing
benar-benar bisa membantu pengembangan perikanan tangkap di Teluk Lampung, maka ketiga opsi strategi tadi perlu menjadi perhatian serius, dan sebaiknya tidak
mencari bentuk peran baru yang justru dapat menyebabkan dukungan pengelola PPI Lempasing menjadi sia-sia.
3 Interaksi efisien PEMDA dalam pelaksanaan strategi pengelolaan kegiatan perikanan tangkap
Semua opsi strategi pengelolaan perikanan tangkap yang ada dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah PEMDA dengan hasil yang nyata Tabel 24.
Dari empat strategi tersebut, opsi strategi tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi merupakan strategi yang dominan dapat dilakukan oleh
Pemerintah Daerah PEMDA. Hal ini karena PEMDA merupakan pembuat dan pengendali berbagai peraturan dan kebijakan yang ada sehingga bila terjadi
pelanggaran, maka Pemerintah Daerah PEMDA akan sangat mudah melakukan penengakkan melalui aparatnya yang ditunjuk. Terlepas dari kewenangan
139 tersebut, Pemerintah Daerah PEMDA juga mempunyai kewajiban untuk
menjamin kepastian hukum di wilayah masing-masing karena hal ini merupakan pemaju perkembangan kegiatan perikanan tangkap yang lebih baik.
Menurut Yusran et al. 2001, penegakan hukum yang tegas oleh PEMDA dapat mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah termasuk di bidang perikanan
melalui peningkatan pemberdayaan masyarakat pesisir, meningkatkan peran Swasta Nasional dalam berbagai bisnis bidang perikanan, dan meningkatkan
peran serta nelayan dalam berbagai program pesisir. Bila dikaitkan dengan realita di Teluk Lampung, maka konsep yang diterapkan DKP 2002 tentang pola
pemberdayaan melalui penggiatan aktivitas usaha kecil dan koperasi cukup tetap. PPI Lempasing terdapat dua KUD dan lebih dari 20 kelompok usaha kecil yang
sasaran pemerintah dalam pemberdayaan dan peningkatan peran swasta di bidang perikanan tangkap. Bersamaan dengan ini, PEMDA perlu memberikan
perlindungan hukum terhadap usaha-usaha yang banyak menaungi masyarakat dan kegiatan bisnis yang ada. Bila hal ini terlaksana, maka akan terjadi
pemerataan kemakmuran dan kesempatan berusaha bagi masyarakat pesisir, konflik dapat diminimalisir dan strategi pengelolaan yang diterapkan tentunya
menjadi lebih efisien dan bermanfaat. Pembakuan batas kewenangan Pemerintah Propinsi dengan Pemerintah
Kota di PPI Lempasing dapat menjadi alternatif bila strategi terkait hukum tidak berjalan dengan baik. Kewenangan yang jelas dari PEMDA akan membantu
penciptaan bisnis perikanan tangkap yang kondusif karena pelaku bisnis akan lebih mudah membuat perencanaan. Sedangkan menurut Kompas 2001,
kewenangan yang jelas tersebut akan menjadikan usaha pengelolaan sumberdaya perikanan lebih stabil dimana harga-harga tidak gampang berubah, suplai bahan
baku lancar, dan ekonomi masyarakat lebih baik, dan konflik sosial dapat diminimalisir. Kewenangan yang jelas tersebut juga mendorong kinerja PEMDA
untuk menciptakan produk-produk hukum yang lebih efektif dan memihak kepada masyarakat banyak. Pendapat lain menaruh harapan lebih jauh tentang
peran PEMDA terkait dengan kewenangannya tersebut, misalnya Dahuri et al. 1996 dan Griffin dan Ronald 1991 mengharapkan supaya aparat daerah dapat
meciptakan iklim usaha yang kondusif dan mampu meningkatkan daya saing
140 usaha, hubungan antar daerah, pusat maupun internasional, sehingga dapat
diperoleh efisiensi dan produktifitas yang tinggi pada usaha-usaha bisnis termasuk perikanan tangkap yang dilakukan masyarakat. Terkait dengan ini,
PEMDA Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kota sebaiknya segera membakukan batas kewenangan masing-masing di PPI Lempasing. Hal ini
karena perselisihan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kota dalam hal kewenangan tersebut sangat merugikan nelayan dan pelaku bisnis perikanan
tangkap di Teluk Lampung, padahal baik Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Kota mempunyai otoritas untuk membakukan batas kewenangan
tersebut. Strategi pengaturan jenis dan jumlah unit penangkapan ikan yang
beroperasi merupakan strategi urutan ketiga yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah PEMDA untuk memajukan kegiatan perikanan tangkap di Teluk
Lampung. Menurut Putra 2000, pemerintah perlu mengambil peran yang lebih banyak dapat pengaturan kegiatan perikanan tangkap terutama jenis-jenis alat
tangkap dan lokasi fishing ground-nya karena akar konflik pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan umumnya berasal dari kelangkaan hasil
tangkapan yang dapat menghidupkan keluarga nelayan secara wajar. Bila melihat koefisien pengaruhnya, PEMDA dapat merealisasikan pengembangan
kegiatan perikanan tangkap melalui pengaturan optimal jenis dan jumlah unit penangkapan ikan yang beroperasi ini setelah penegakan hukum dan pembakuan
batas kewenangan tidak berjalan dengan baik. Realisasi hal ini dapat dilakukan PEMDA melalui penerbitan PERDA tentang jenis dan jumlah unit penangkapan
ikan. Namun tentunya perlu diawali dengan melakukan estimasi potensi sumberdaya perikanan untuk mengetahui secara pasti daya dukungnya di perairan
Teluk Lampung. Hal ini bukan sesuai yang sulit mengingat PEMDA punya otoritas dalam kebijakan dan anggaran.
Mengacu hasil analisis SEM yang didapat, strategi pengaturan fishing ground bagi setiap jenis unit penangkapan ikan yang beroperasi tidak begitu
populer untuk dilakukan Pemerintah Daerah PEMDA, meskipun hasilnya juga termasuk nyata bila dilakukan. Dibandingkan dengan tiga strategi sebelumnya,
PEMDA memang cukup kesulitan merealisasikan strategi tersebut karena
141 PEMDA tidak dapat mengontrol secara langsung fishing ground. Namun paling
tidak pengaturan tersebut akan membantu kelangsungan hidup semua nelayan dan kegiatan perikanan tangkap di lokasi.
Oleh karena semua strategi tersebut dapat memberikan hasil nyata bila dilakukan oleh PEMDA, namun PEMDA juga perlu menjalankan keempat
strategi tersebut di kalangan internalnya mengacu kepada urutan-urutan yang ada. Bila demikian, maka efisien peran atau interaksi yang dilakukan PEMDA
meningkat.
4 Interaksi efisien petugas keamanan laut dalam pelaksanaan strategi pengelolaan kegiatan perikanan tangkap
Bila mencermati hasil analisis SEM pada Tabel 25, maka ada dua strategi pengelolaan yang ada dapat dilakukan oleh petugas keamanan laut dengan hasil
nyata bagi pengembangan perikanan tangkap di Teluk Lampung, yaitu strategi pengaturan fishing ground bagi setiap jenis unit penangkapan ikan yang
beroperasi dan strategi tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi. Sedangkan strategi pengaturan jenis dan jumlah unit penangkapan ikan
yang beroperasi dan strategi pembakuan batas kewenangan Pemerintah Propinsi dengan Pemerintah Kota di PPI Lempasing tidak nyata hasilnya bila dilakukan
oleh petugas keamanan laut. Untuk efisiensi interaksinya, maka petugas keamanan laut dapat membantu pelaksanaan strategi terkait fisihing ground dan
hukum tersebut. Di antara dua strategi yang signifikan tersebut, strategi tindakan hukum
yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi merupakan strategi yang dominan dapat memberikan hasil nyata bila dilakukan oleh petugas keamanan laut. Hal ini
karena petugas keamanan laut merupakan pengontrol kegiatan perikanan tangkap di laut sehingga setiap pelanggaran hukum yang ada, mereka mempunyai
kewenangan untuk menindaknya. Bila hal ini dilakukan secara konsisten tanpa mudah terpengaruh untuk mendapatkan pungutan illegal, maka dipastikan
keberadaan petugas keamanan laut memberi manfaat nyata dalam pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung. Terhadap konflik pungutan illegal yang
terjadi selama ini, petugas kemanan laut sebaiknya lebih membenahi diri
142 sehingga tidak ada oknum anggotanya yang meresahkan nelayan. Bila pencitraan
ini berhasil dibangun, maka petugas keamanan laut semakin disegani dan perannya dalam pelaksanaan strategi hukum menjadi lebih efisien.
Strategi pengaturan fishing ground bagi setiap jenis unit penangkapan ikan yang beroperasi merupakan strategi urutan kedua yang dapat dilakukan
petugas keamanan laut dengan hasil nyata. Secara operasional, strategi ini dapat dilakukan petugas keamanan laut misalnya dengan mengawasi dan memastikan
kegiatan penangkapan oleh suatu jenis unit penangkapan ikan telah dilakukan pada fishing ground yang tepat. Hal cukup realistis, meskipun tidak setiap saat
bisa dilakukan dan tidak terhadap semua unit penangkapan ikan yang menangkap ikan karena terbatasnya dana dan jumlah kapal patroli yang ada.
Sedangkan menurut Putra 2000, secara operasioanl upaya penegakan hukum dan pengaturan lainnya tidak akan berjalan efektif bila pelakunya tidak
diberi kewenangan sebagaimana mestinya. Kewenangan terkadang sulit diberikan atau didelegasikan karena adanya kerancuan pemilikan dan hak penguasaan
sumberdaya serta kerancuan kewenangan di antara beberapa instansi yang mempunyai hak mengeluarkan izin dan pengawasan. Sampai saat ini penetapan
tupoksi petugas keamanan laut belum diatur dengan baik dan mana-mana kekayaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang termasuk kategori milik
masyarakat commons, tanpa pemilik open access, milik pemerintah atau quasi- swasta. Tupoksi yang tidak jelas tersebut berimplikasi kepada pelaksanaan
pengawasan di lapangan, seperti mana lokasi penangkapan yang tidak dibolehkan, seperti tindakansanksi yang bisa diberikan dan diterima secara sosial bila terjadi
pelanggaran, dan lainnya. Sering pemilikan dan hak pemanfaatan ini dikaitkan dengan kewenangan masyarakat lokal menangkap dan memanfaatkan sumberdaya
perikanan secara penuh absolut meskipun cara dan alat tangkap termasuk destruktif.
Kondisi tersebut dapat dipahami karena menurut Dahuri 2000, masyarakat nelayan di pesisir umumnya mempunyai persepsi yang berbeda
dengan pemerintah dan masyarakat lainnya yang bisa jadi karena kepentingannya sedikit berbeda, dimana nelayan menjadikan laut sebagai tumpuan hidup dan
kehidupan. Nelayan cenderung merasa terancam bila ada kebijakan di peraiaran
143 yang terkesan membatasi ruang gerak mereka. Dalam kaitan ini, maka petugas
keamanan laut harus lebih diperjelaskan tugas dan fungsinya sehingga tidak terjadi penyimpangan, salah tafsir, protes dari pihak lain, serta perannya untuk
mendukung strategi hukum dan pengaturan fishing ground dapat berjalan sebagaimana mestinya.
5 Interaksi efisien investorpengusaha dalam pelaksanaan strategi pengelolaan kegiatan perikanan tangkap
Bila mencermati hasil analisis pada Tabel 26, maka ada tiga strategi nyata dapat dilakukan oleh investorpengusaha dalam interaksinya pada kegiatan
perikanan tangkap di Teluk Lampung. Ketiga strategi tersebut adalah strategi pengaturan jenis dan jumlah unit penangkapan ikan yang beroperasi, strategi
pembakuan batas kewenangan Pemerintah Propinsi dengan Pemerintah Kota di PPI Lempasing, dan strategi tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran
yang terjadi. Strategi tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi
merupakan strategi yang dominan dapat dilakukan investorpengusaha dengan hasil signifikan bagi pengembangan perikanan tangkap. Strategi ini dapat
dilakukan oleh investorpengusaha minimal dalam bentuk pemenuhan semua ijin usaha dan pajak secara tepat waktu serta berlaku adil kepada pekerjaburuh yang
bekerja pada usaha perikanan tangkap milik investor. Di samping itu, menurut Martin dan Tony 1996, pengendalian pencemaran ke laut dari usaha perikanan
yang dimiliki oleh investor juga merupakan upaya penegakan hukum yang mendukung kelestarian ekologi dan ekosisiem pada perairan laut. Bila melihat
lebih jauh maka usaha perikanan tangkap yang dilakukan investor telah mendorong peningkatan populasi penduduk di pesisir sehingga semakin sulit
dikontrol, juga mendorong pembebasan beberapa lahankawasan lindung untuk dikonversi menjadi lokasi aktivitas usaha perikanan tangkap dan lainnya. Bila
investor dapat memajukan usaha perikanan tangkap yang dilakukannya sehingga dapat menyediakan lapangan kerja bagi penduduk dan menjadikan kawasan yang
dibebaskan lebih produktif, maka hal ini tentu sangat membantu meminimalisir pelanggaran baik yang dilakukan investor secara langsung maupun dampak dari
144 usaha perikanan yang dilakukannya misalnya kesenjangan, ketidakadilan, dan
daya beli rendah. Bila upaya ini dapat terlaksana dengan baik, maka berbagai konflik yang
melibatkan investor dengan petugas, atau investor dengan pekerja dan masyarakat akan dapat diminimalisir. Di sisi lain, investorpengusaha juga
berkepentingan dengan penegakan hukum yang konsisten sehingga mereka selalu merasa aman dan mendapat keadilan dari berbagai pelanggaran hukum yang
dilihat atau dialami dalam usahanya di bidang perikanan tangkap di Teluk Lampung. Strategi pembakuan batas kewenangan Pemerintah Propinsi dengan
Pemerintah Kota di PPI Lempasing merupakan strategi urutan kedua yang dapat dilakukan investorpengusaha dengan pengaruh yang signifikan. Realisasi hal ini
dapat dilakukan dengan cara investorpengusaha melaksanakan secara konsisten ketentuan dan peraturan yang menjadi kewenangan Pemerintah Propinsi dan
tidak mempertentangkannya dengan yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota, atau sebaliknya. Operasi armada penangkapan besar yang diatur oleh Pemerintah
Propinsi Lampung harus mematuhi dan memperhatikan ketentuan operasi untuk armada penangkapan kecil yang diatur oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung,
meskipun terkesan tidak menguntungkan menurut investor. Bila dalam interaksinya di lokasi, investor dapat memahami hal ini, berbagai pertentangan
kepentingan tidak akan muncul dan potensi konflik baru dapat diredam. Namun upaya tersebut terkadang sulit dilakukan karena adanya sifat
serakah pelaku usaha perikanan tangkap yang menginginkan keuntungan besar dan mengikuti prosedur yang ringin dan dianggap murah. Kondisi ini semakian
diperkeruh oleh masih tumpang tindihnya hak dan kewenangan di antara instansi pemerintah dalam mengelola sumberdaya perikanan baik di pusat, sebaliknya
instansi terkait di daerah juga terkesan berebut kewenangan Dahuri et al. 1996. Strategi pengaturan jenis dan jumlah unit penangkapan ikan yang
beroperasi merupakan
strategi urutan ketiga yang dapat dilakukan investorpengusaha dengan dampak yang nyata bagi pengembangan perikanan
tangkap di Teluk Lampung. Kesadaran investorpengusaha untuk mendaftarkan armada penangkapannya dan tidak mengusahakan unit penangkapan ikan yang
dilarang merupakan upaya cukup realistis yang dapat dilakukan untuk
145 mendukung maksud tersebut. Dalam aplikasinya di Teluk Lampung, strategi ini
dapat dilakukan kapan saja oleh investorpengusaha pada kondisi-kondisi yang dianggap tepat. Supaya interaksinya lebih efisien, investorpengusaha tidak perlu
mengambil peran dalam pelaksanaan strategi lainnya misalnya dengan membantu pengaturan fishing ground di perairan Teluk Lampung dan sekitarnya. Hal ini
karena setiap stakeholders punya kepentingan dan lingkup interaksi yang berbeda-beda.
6 Interaksi efisien diantara stakeholders pengelolaan perikanan tangkap di
Teluk Lampung
Bila mencermati hasil analisis SEM pada Tabel 27, maka peran diantara stakeholders dalam mendukung pelaksanaan strategi pengelolaan perikanan
tangkap dapat diperbandingkan satu sama lain. Bila melihat significancy of probablity-nya, maka pelaksanaan strategi pengelolaan oleh nelayan, pengelola
PPI Lempasing, PEMDA, dan investorpengusaha dapat memberikan kontribusi atau hasil yang lebih nyata yang dibutuhkan di lokasi bagi pengelolaan dan
pengembangan perikanan tangkap. Hal ini bisa terjadi karena keempat stakeholders tersebut termasuk aktor utama dan penting bagi berlangsungnya
kegiatan perikanan tangkap di Teluk Lampung Bila interaksi keempat stakeholders tersebut dicermati lebih jauh, PEMDA
menjadi stakeholders yang interaksinya paling berkontribusi dan penting saat ini bagi kelangsungan pengembangan perikanan tangkap di Teluk Lampung. Hal ini
terjadi karena pola pengembangan dan perluasan wilayah aktivitas perikanan tangkap yang menjadi isu utama konflik selama ini di Teluk Lampung sangat
bergantung pada kebijakan yang diambil oleh PEMDA. Bila kebijakan tersebut dianggap mendukung, maka orang akan berlomba-lomba untuk berinvestasi dan
berusaha pada kegiatan perikanan tangkap Teluk Lampung. Bila sebaliknya, maka usaha perikanan yang adapun bisa ditutup dan konflik menjadi meluas.
Menurut Musick et al. 2008, masalah kebijakan dari Pemerintah memegang peranan penting dalam mendukung kegiatan bisnis dan industri di
suatu wilayah termasuk usaha perikanan tangkap. The American Fisheries Society AFS yang merupakan lembaga yang menaungi nelayan, tetapi
146 mengajukan protes kepada Pemerintah Amerika Serikat karena dianggap lambat
mengatur regulasi tentang eksplorasi dan pemasaran produk perikanan laut, sehingga memperlambat ekspansi bisnis. Kelambatan penetapan stok atau potensi
sumberdaya ikan laut yang dapat dimanfaatkan di sekitar perairan laut Amerika Serikat telah mengganggu kegiatan eksplorasi sumberdaya ikan yang ada. .
Pada Tabel 28, nelayan dianggap sebagai stakeholders urutan kedua yang interaksinya paling berkontribusi dalam mendukung pengelolaan perikanan
tangkap di Teluk Lampung. Nelayan merupakan pelaku langsung dan utama operasioanl kegiatan perikanan tangkap, sehingga maju mundur kegiatan
pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung sangat bergantung pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh nelayan dan menurut Alfred 1998
nelayan merupakan jantung penggerak aktivitas perikanan tangkap yang terdapat di suatu lokasi. Di samping itu, nelayan merupakan stakeholders dengan
jumlahnya paling banyak dalam kegiatan perikanan tangkap, sehingga interaksinya sangat terasa di Teluk Lampung. Namun tentunya, aktivitas nelayan
pada bidang perikanan tangkap sangat tergantung pada pola pengembangan yang dibuat oleh PEMDA. Pengelola PPI Lempasing menjadi stakeholders dengan
kontribusi signifikan ketiga dalam pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung. Hal ini terjadi karena pengelola PPI Lempasing bersama dengan
nelayan dan PEMDA merupakan pelaku dan pengendali kegiatan perikanan tangkap di Teluk Lampung. Kontribusi pengelola PPI Lempasing dapat terlihat
dalam bentuk pengaturan bongkar muat, tambat labuh, dan pelelangan ikan di PPI Lempasing pusat kegiatan perikanan tangkap Teluk Lampung. Pengaruh seperti
ini mungkin tidak akan terlalu besar untuk daerah lainnya yang tidak mempunyai pelabuhan perikanan, namun bagi PPI Lempasing Teluk Lampung termasuk urgen
apalagi untuk pengembangan perikanan tangkap yang lebi besar dan modern. Bila melihat interaksi diantara stakeholders dan kontribusinya, maka
pengelolaan perikanan yang terdapat di Teluk Lampung pada dasarnya bertumpu pada model pengelolaan yang berbasis society. Menurut Ruddle et al.1992
Indonesia memiliki model pengelolaan berbasis society yang sangat kaya untuk pemanfaatan sumber daya kelautan yang bersifat komunal dengan penerapan hak-
hak ulayat dan sanksi dari masyarakat. Pengelolaan ini telah lebih dari seratus
147 tahun diterapkan di Indonesia Bagian Timur, seperti sasi di Maluku dan Ondoafi
di Irian Jaya. Kelompok pemiliknya bervariasi mulai dari desa, marga, klan sampai suku adat. Sedangkan hak dan akses untuk memanfaatkan sumber daya
tersebut menurut Adhuri 1998 sangat bervariasi tergantung status sosial seseorang di masyarakat dan posisinya dalam menentukan dan mengarahkan
kegiatan ekploitasi sumber daya tersebut. Terkait dengan, semua stakeholders dan pilar terkait harus diberi ruang yang layak dalam interaksinya, termasuk juga
kepada investorpengusaha meskipun umumnya berasal dari luar kawasan Teluk Lampung.
Investorpengusaha juga merupakan stakeholders penting dalam pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung dan mempunyai kontribusi
signifikan urutan keempat Tabel 28. Peran investorpengusaha memang selalu ada dalam kegiatan usaha yang berskala cukup besar termasuk kegiatan perikanan
tangkap di Teluk Lampung. Hal ini karena uang yang diputarkan pada usaha skala besar tersebut berasal dari investorpengusaha meskipun mereka terkadang
tidak terjun secara langsung. Sedangkan menurut Putra 2000, pengusaha merupakan stakeholders dalam memajukan kegiatan perikanan tangkap di suatu
kawasan, namun terkadang menjadi sumber konflik di kawasan tersebut. Terkait dengan ini, maka ruang peran pengusaha perlu diberikan secara cukup dan
proporsional sehingga tidak mengganggu aktivitas ekonomi lainnya terutama yang dilakukan nelayan, pengolah dan pedagang ikan lokal. Petugas kemanan laut
merupakan stakeholders yang kontribusinya dianggap tidak terlalu dibutuhkan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Lampung, meskipun ada strategi
dengan hasil nyata yang dapat dilakukannya. Hal ini kemungkinan karena di lapangan, petugas keamanan laut lebih terlibat pada kegiatan pengontrolan atau
keamanan, dan bukan pada aktivitas langsung usaha perikanan tangkap. Terkait dengan ini, maka kegiatan pengembangan perikanan tangkap terutama yang
menggunakan anggaran khusus tidak perlu dirisaukan oleh keharusan untuk melibatkan peran petugas keamanan laut. Pengembangan terkait yang dimaksud,
misalnya perluasan kapasitas perikanan tangkap yang mengharuskan penambahan armada patroli atau rambu-rambu penangkapan, dan lainnya. Bila ada keberanian
148 dari korban untuk memberikan bukti, maka pendekatan arbitrasi seperti yang
dijelaskan sebelumnya menjadi upaya penyelesaian terbaik. Namun demikian, interaksi petugas keamanan laut pada kondisi tertentu
tidak boleh diabaikan begitu saja, karena hasil analisis konflik menunjukkan bahwa mereka mempunyai pengaruh dominan terhadap konflik-konflik perikanan
tangkap yang terjadi di Teluk Lampung. Konflik pungutan ilegal misalnya, oleh oknum petugas keamanan laut POL AIR kepada nelayan telah terjadi sejak
tahun 2001 hingga saat ini belum selasai. Resolusi konflik sudah dilakukan, namun tidak membuahkan hasil karena tidak ada bukti yang jelas dan nelayan
yang menjadi korban tidak mau melaporkan kepada pihak yang berwajib. Menurut Crawford 1998, konflik pengelolaan perikanan tangkap yang
melibatkan banyak stakeholders tersebut umumnya terjadi dalam dua tipe, yaitu konflik dari benturan dalam pemanfaatan dan konflik dari benturan dalam
kewenangan. Konflik pemanfaatan timbul karena beberapa pengguna sumberdaya berkompetisi untuk menggunakan sumberdaya yang sama dalam ruang laut yang
sama, dan menerapkan kegiatan-kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya tersebut yang tidak sesuai satu dengan yang lain. Sedangkan konflik kewenangan
timbul karena PEMDA Kota dan Propinsi, serta petugas keamanan laut sama- sama berhak mengatur dan mengendalikan kegiatan perikanan tangkap yang
terjadi pada lokasi laut tertentu, bergitu nelayan tradional dan modern pengusaha merasa sama-sama berhak memetakan bagian mana saja dari wilayah laut untuk
memudahkan pennagkapan yang dilakukannnya. Lebih lanjut, Dutton, 1998 mencontohkan kondisi yang sama pada
pengelolaan Taman Nasional Bunaken dimana konflik pemanfaatan muncul antara turis dan nelayan melawan para pencinta lingkungan; dan antara pengguna
jet ski atau perahu catamaran, melawan orang-orang yang melakukan snorkeling atau scuba diving. Konflik pemanfaatan berkembang di daerah reklamasi desa
Malalayang - Manado antara nelayan tradisional dan pengembang dan antara pengembang dan pemilik tanah yang menghadap ke laut. Para nelayan tepi yang
tidak punya keterampilan lain kehilangan tempat untuk menangkap ikan, karena tempatnya telah direklamasi dan ikan-ikan pelagis tepi ini menjauh dari dinding
bangunan reklamasi Alfred, 1998. Sekarang para nelayan tepi harus mencari
149 ikan lebih jauh dari desanya, sehingga membutuhkan mesin perahu yang lebih
baik. Para nelayan yang menggunakan perahu katengteng merasa susah untuk menemukan tempat penambatan perahunya, karena pantainya sudah di beton
Katril, 1998. Terlepas dari ini semua, interaksi perlu diatur sedemikian rupa sehingga berlangsung harmonis.
Dalam aplikasinya di lapangan, penjelasan efisiensi interaksi ini perlu menjadi acuan dalam mengatur interaksi yang ada di Teluk Lampung sehingga
lebih bermakna dan bermanfaat nyata untuk pengelolaan perikanan tangkap yang ada. PEMDA harus benar-benar diperhatikan dalam interaksi diantara
stakeholders karena PEMDA merupakan penentu dan pembuatan kebijakan pengembangan, nelayan yang merupakan pelaku langsung operasional kegiatan
perikanan tangkap dan populasinya juga banyak, sedangkan pengelola PPI Lempasing menjadi pengatur kegiatan perikanan tangkap terutam bila
dikembangkan dalam kapasitas yang lebih besar.
5.5. Strategi Prioritas Dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap