Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

5 Salamanca Sue Stubbs, 2002: 37 menyatakan bahwa pendidikan inklusi merupakan perkembangan pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, dimana prinsip mendasar dari pendidikan inklusi, selama memungkinkan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Dalam pendidikan inklusi tersebut anak dengan kebutuhan khusus berada dalam kelas yang sama dengan anak normal lainnya. Salah satu tujuan utama pendidikan inklusi adalah mendidik anak dengan kebutuhan khusus akibat kecatatan yang dimilikinya di kelas reguler bersama-sama dengan anak-anak lain yang normal non cacat, dengan dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya, baik dalam lingkungan sekolah maupun di dalam lingkungan keluarganya. Salah satu alasan dari pendidikan inklusi ini adalah anak dengan kebutuhan khusus akan memiliki hasil yang lebih baik secara akademik maupun sosial apabila mereka ada dalam setting kebersamaan. Kemudian, anak dengan kebutuhan khusus juga belajar untuk hidup dengan lebih mandiri apabila mengikuti pendidikan bersama dengan anak normal lain yang sebaya dengannya, bukan dengan berada dalam sekolah khusus Edi Purwanta, 2002: 4. Dampak yang diharapkan dari adanya pendidikan inklusi ini adalah siswa lain dapat belajar dan mengenal tentang orang-orang yang berbeda dengan dirinya. Sehingga, mereka dapat menghargai orang-orang dengan 6 kondisi yang berbeda, baik dari cara belajar, fisik, dan emosional melalui berbagai pengalaman yang didapatkan dari sekolah inklusi. Selanjutnya, dampak lain yang dirasakan dari pendidikan inklusi adalah pandangan negatif dari pendidik ataupun siswa lain mulai berubah. Mereka yang sudah mulai bergaul anak dengan kebutuhan khusus mulai menerima dan mengenal mereka sebagai anggota kelas yang berharga. Dalam pendidikan inklusi ini, anak dengan kebutuhan khusus memerlukan penerimaan dari kelompoknya. Penerimaan dari kelompok sangat penting bagi mereka, namun anak dengan kebutuhan khusus memiliki hambatan dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Hal tersebut dapat disebabkan karena kekurangan yang dimiliki maupun dikarenakan lingkungan yang masih kurang menerima kehadiran mereka dalam kelompok. Penerimaan yang kurang tersebut dapat disebabkan oleh stigma yang negatif atas perbedaan yang dimiliki, selain itu belum dipahaminya kebutuhan anak luar biasa. Penerimaan sosial yang positif dapat memudahkan seseorang dalam pembentukan tingkah laku sosial yang diinginkan, reinforcement atau modelling dan pelatihan secara langsung dapat meningkatkan keterampilan sosial. Pemilihan seseorang atau teman untuk aktivitas tertentu di dalam kelompok dimana orang tersebut menjadi anggota juga disebut sebagai penerimaan sosial. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai indeks keberhasilan dari seseorang untuk berperan dalam kelompok sosial serta menunjukkan 7 derajat rasa suka dari anggota kelompok lain untuk bekerja sama dalam kelompok. Sangat penting bagi seorang remaja untuk diterima oleh teman sebaya dalam kelompok sosialnya. Penolakan dari teman sebaya dalam kelompok sosialnya akan berpengaruh sangat besar bagi seorang remaja, hal tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial pada remaja itu sendiri. Apabila seorang remaja mengalami penolakan sosial dari kelompoknya akan menyebabkan remaja tersebut kesulitan dalam bersosialisasi sehingga menyebabkan interaksi sosial remaja tersebut menjadi sempit. Hal tersebut akan menyebabkan remaja tersebut menjadi pribadi yang tertutup, terutama apabila hal tersebut terjadi pada remaja dengan kebutuhan khusus akan menyebabkan remaja kurang percaya diri terlebih dengan kebutuhan khusus yang dimilikinya. Kartini Kartono 2011: 46 menyatakan perasaan bahagia dan kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan oleh individu yang sosiopatik itu secara kualitatif bergantung pada sikap pribadinya terhadap Aku sendiri. Hal tersebut dipengaruhi oleh penerimaan sosial yang positif dari kelompok. Pendefinisian diri seseorang dipengaruhi oleh perimbangan antara pendifinisan sosial atau penentuan sosial dengan pendefinisian diri sendiri. Jadi, penerimaan diri seseorang tersebut dipengaruhi juga oleh penerimaan sosial dari kelompok sosial atau masyarakat. 8 Remaja yang memiliki penerimaan diri yang positif akan merasa lebih puas dan bahagia terhadap dirinya sendiri. Sebaliknya apabila seorang remaja merasa ditolak oleh kelompok sosial atau masyarakat, ia akan merasa tidak bahagia dan kurang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hal tersebut akan berdampak pada konflik sosial antar teman sebaya di sekolah. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan konflik sosial yang diakibatkan oleh penolakan sosial misalnya perbedaan fisik atas adanya anak dengan kebutuhan khusus yang berada dalam kelas yang sama dengan peserta didik normal yang lainnya. Pada penelusuran awal yang dilakukan oleh peneliti pada hari Senin tanggal 23 Februari 2015 pada beberapa peserta didik di MAN Maguwoharjo dan dengan Bapak Nuryadi selaku waka kurikulum di MAN Maguwoharjo yaitu bahwa selama ini tidak pernah terjadi konflik antara siswa yang normal dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Beberapa siswa kelas XII menyampaikan bahwa mereka menerima dengan baik adanya difabel di MAN Maguwoharjo tersebut karena mereka memiliki keunikan sendiri. Kemudian pada observasi kedua yang dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 25 Februari 2015 pada Ibu Nur selaku guru BK di MAN Maguwoharjo didapatkan data bahwa terdapat delapan peserta didik dengan kebutuhan khusus di MAN Maguwoharjo. Siswa dengan kebutuhan khusus tersebut terbagi pada jenjang kelas X, XI dan XII. Pada kelas X hanya terdapat satu siswa dengan kebutuhan khusus, yaitu tunanetra. Pada kelas XI terdapat lima siswa dengan kebutuhan khusus, yaitu satu siswa dengan 9 kondisi tunadaksa dan empat siswa dengan kondisi tunanetra. Sedangkan pada kelas XII terdapat dua siswa dengan kondisi low vision dan tunanetra. Menurut penuturan dari guru BK, siswa dengan kebutuhan khusus diberi perhatian khusus oleh guru di kelas. Difabel pun dibantu oleh peserta didik lain di kelasnya. Pada siswa kelas XI dan XII, siswa dengan kebutuhan khusus dibantu oleh teman yang memang sudah dekat dengannya. Namun pada siswa kelas X dijadwal oleh wali kelas yang bersangkutan. Hal tersebut dikarenakan siswa dengan kondisi yang normal belum bisa beradaptasi dengan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus. Siswa tersebut masih merasa asing dengan siswa yang berkebutuhan khusus. Sehingga mereka belum dapat dengan sukarela untuk membantu siswa dengan kebutuhan khusus. Hal tersebut yang menyebabkan guru wali kelas memberi pengertian kepada mereka tentang siswa dengan kebutuhan khusus dan menjadwal mereka untuk memberikan bantuan saat pelajaran. Peserta didik dengan kebutuhan khusus memiliki Guru Pendamping Khusus GPK untuk memberikan bantuan kepada mereka apabila memiliki masalah terkait dengan ketunaannya. GPK tersebut merupakan guru dari Sekolah Luar Biasa SLB. Namun apabila difabel memiliki masalah terkait dengan pribadi, sosial, belajar atau karir biasanya mendatangi guru BK untuk meminta bantuan. Pada saat ujian, siswa dengan kebutuhan khusus tersebut didampingi oleh dua guru, salah satu guru membacakan soal sedangkan guru lainnya menuliskan jawaban, untuk jawaban essaysiswa dengan kebutuhan khusus menuliskan dalam huruf braille pada siswatunanetra. 10 Dari penelusuran awal di atas pada sekolah inklusi di Yogyakarta, dapat diketahui bahwa di dalam kenyataan pada awalnya tidak mudah bagi siswa untuk menerima dengan baik adanya difabel pada kelas mereka. Siswa yang baru mengenal difabel pada umumnya masih takut untuk beradaptasi dengan mereka karena ketunaan yang dimiliki. Untuk itu diperlukan pengalaman yang cukup untuk dapat menerima difabel sebagai anggota kelas seperti siswa normal yang lainnya. Dapat diketahui bahwa terdapat permasalahan kurangnya penerimaan sosial oleh siswa terutama pada siswa kelas X terhadap siswa difabel di MAN Maguwoharjo. Padahal idealnya sesama siswa sebaiknya siswa memiliki penerimaan sosial yang tinggi, dengan penerimaan sosial yang tinggi siswa dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap kelompok teman sebaya di dalam sekolah, terutama bagi siswa difabel yang memiliki kekurangan pada fisiknya. Apabila siswa memiliki penerimaan sosial yang tinggi dari teman sebayanya dan dapat menyesuaikan diri dengan baik maka akan lebih mudah dalam melaksanakan kegiatan akademik dan non akademik di sekolah. Perkembangan remaja masih rentan terhadap berbagai masalah. Hal tersebut mendorong peneliti untuk mengetahui penerimaan sosial terhadap keberadaan difabel pada siswa lain di sekolah inklusi. Alasan peneliti untuk melakukan penelitian di MAN Maguwoharjo adalah sekolah tersebut merupakan madrasah aliyah inklusi pertama di Indonesia. Terdapat delapan anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di MAN Maguwoharjo pada tahun ajaran 20152016, dengan kebutuhan khusus yang dimiliki antara lain 11 tunanetra, low vision, tunagrahita dan tunadaksa. Dengan adanya anak berkebutuhan khusus di sekolah tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan sosial di sekolah, salah satu diantaranya yaitu penerimaan sosial terhadap difabel. Berdasarkan pengamatan dan teori di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa lingkungan sosial terutama sekolah dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan remaja. Penerimaan sosial yang positif oleh teman sebaya terhadap difabel di sekolah dapat memberikan pengaruh yang positif pula terhadap penerimaan diri remaja. Tetapi pada kenyataan di lapangan belum semua siswa memiliki penerimaan sosial yang tinggi terhadap siswa difabel di MAN Maguwoharjo, hal tersebut menunjukkan kesenjangan antara harapan ideal dan keadaan di lapangan.Penerimaan sosial yang kurang baik oleh teman sebaya terhadap difabel di sekolah akan mempengaruhi penerimaan diri pada remaja yang negatif. Maka dari itu menarik untuk diteliti untuk dilakukan penelitian mengenai penerimaan sosial terhadap difabel pada siswa di sekolah inklusi.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, masalah-masalah yang dapat diidentifikasi antara lain: 1. Masyarakat pada umumnya masih menganggap siswa difabel tidak mampu mandiri dalam kehidupan sehari-hari. 12 2. Tidak mudah bagi siswa normal untuk menerima secara terbuka adanya difabel dalam sekolah inklusi. 3. Adanya variasi tentang penerimaan sosial di sekolah inklusi. 4. Perkembangan remaja terhambat akibat dari kurangnya penerimaan sosial dari lingkungan. 5. Akibat dari penerimaan sosial yang buruk, siswa difabel memiliki penerimaan diri yang rendah.

C. Batasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas permasalahan permasalahan sosial sangat kompleks, oleh karena itu maka pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu tingkat penerimaan sosial terhadap keberadaan difabel pada siswa di sekolah inklusi. Penelitian dibatasi pada tingkat penerimaan sosial siswa terhadap obyek yang diteliti, obyek yang diteliti dalam penelitian ini adalah siswa difabel yang berada di dalam pendidikan inklusi.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah:Bagaimana tingkat penerimaan sosial terhadap keberadaan siswa difabel pada siswa di MAN Maguwoharjo? 13

E. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan tingkat penerimaan sosial terhadap keberadaan difabel pada siswa di MAN Maguwoharjo.

F. Manfaat

Adapun manfaat penelitian adalah: 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian terhadap penerimaan sosial terhadap keberadaan difabel pada siswa diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu bidang Bimbingan dan Konseling sosial terutama pada penerimaan sosial terhadap keberadaan siswa difabel. 2. Manfaat praktis a. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi Guru Bimbingan dan Konseling dalam memberikan layanan informasi dan konseling mengenai pentingnya penerimaan sosial bagi remaja. b. Bagi Kepala Sekolah Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam pengambilan kebijakan untuk penerimaan sosial terhadap keberadaan siswa difabel dalam penyelenggaraan 14 pendidikan inklusi selanjutnya. Salah satu alasan dari pendidikan inklusi ini adalah anak dengan kebutuhan khusus akan memiliki hasil yang lebih baik secara akademik maupun sosial apabila mereka ada dalam setting kebersamaan. Kemudian, anak dengan kebutuhan khusus juga belajar untuk hidup dengan lebih mandiri apabila mengikuti pendidikan bersama dengan anak normal lain yang sebaya dengannya, bukan dengan berada dalam sekolah khusus. c. Bagi Siswa Siswa memahami dan memiliki pengetahuan mengenai pentingnya penerimaan sosial terhadap teman sebaya di sekolah, terutama terhadap siswa dengan kebutuhan khusus. 15

BAB II KAJIAN TEORI

A. Penerimaan Sosial

1. Pengertian Penerimaan Sosial

Hurlock 1978: 293 mengemukakan bahwa penerimaan sosial berarti dipilih oleh teman dalam kelompok untuk suatu aktivitas dimana seseorang menjadi anggota. Hal tersebut menjadi indeks keberhasilan yang dipakai untuk berperan dalam kelompok sosial dan menunjukkan derajat rasa suka dari anggota kelompok yang lain untuk bekerja atau bermain dengannya. Hurlock juga mengartikan bahwa penerimaan sosial sebagai suatu keadaan dimana keberadaan orang tersebut ditanggapi secara positif oleh orang lain dalam suatu hubungan yang dekat dan hangat dalam suatu kelompok. Dalam penyesuaian sosial, kemampuan untuk memahami status seseorang dalam kelompok merupakan suatu hal yang penting. Penyesuaian sosial yang baik akan mempengaruhi bagaimana seseorang akan berperilaku dalam situasi sosial. Sehingga, anak dengan penerimaan sosial yang baik dan memahami bahwa ia diterima akan memiliki penyesuaian sosial yang baik pula. Penerimaan sosial menurut Hurlock tersebut dapat ditegaskan bahwa seseorang tersebut diterima dan ditanggapi secara positif oleh kelompoknya, dengan begitu sesorang sengan penerimaan sosial yang baik memiliki hubungan yang dekat dan hangat dalam kelompoknya.