Macam-macam Difabel Pendidikan Inklusi

46 kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan alat bantu dengar hearing aids maupun tanpa menggunakannya. Tunawicara merupakan suatu kelainan baik dalam pengucapan artikulasi bahasa maupun suara dari bicara normal, sehingga hal tersebut akan mengganggu dan menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi secara lisan dalam lingkungan. Gangguan bicara atau tunawicara merupakan suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dan bunyi bicara ataupun kelancaran bicara. 2 Klasifikasi Samuel A. Kirk Haenudin, 2013: 57 menyebutkan klasifikasi anak tunarungu sebagai berikut: a 0 dB : menunjukkan pendengaran optimal. b 0-28 dB : menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal. c 27-40 dB : mempunyai kesulitan mendengar bunyi- bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya, dan memerlukan terapi bicara tergolong tunarungu ringan. d 41-45 dB : mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara. e 56-70 dB : hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar dengan cara khusus tergolong tunarungu agak berat. f 71-90 dB : hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang-kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan khusus yang intensif, membutuhkan alat bantu dengar, dan latihan bicara secara khusus tergolong tunarungu berat. 47 g 91 dB ke atas : mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara, dan getaran, banyak tergantung pada penglihatan daripada pendengaran untuk proses menerima informasi, dan yang bersangkutan dianggap tuli tergolong tunarungu sangat berat. Klasifikasi menurut taraf tunarungu menurut Andreas Dwijosumarto T. Sutjihati Somantri, 2006: 95 adalah: a Tingkat I : Kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB, penderita tunarungu tingkat I hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus. b Tingkat II : Kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB, penderita tunarungu tingkat II kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus, dalam kebiasaan sehari-hari mereka memerlukan latihan berbicara dan bantuan latihan berbahasa secara khusus. c Tingkat III : Kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB. d Tingkat IV : Kehilangan kemapuan mendengar di atas 90 dB. c. Tunadaksa 1 Pengertian Mohammad Effendi 2006: 114 menyatakan gambaran seseorang dapat diidentifikasikan sebagai tunadaksa apabila 48 seseorang mengalami kesulitan dalam mengoptimalkan fungsi anggota tubuhnya sebagai akibat dari luka, penyakit atau pertumbuhan yang salah bentuk, akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan. Kelainan fungsi anggota tubuh tersebut merupakan ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya yang disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal, sehingga untuk kepentingan pembelajarannya memerlukan layanan secara khusus. T. Sutjihati Somantri 2006: 121 menyatakan tunadaksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu akibat dari gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi tunadaksa dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Misbach D. 2012: 15 mendefinisikan tunadaksa sebagai keadaan dimana seseorang atau anak yang memiliki cacat fisik, tubuh, dan cacat orthopedi. Istilah tunadaksa dalam bahasa asing sering disebut sebagai crippled, physically disabled, physically handicapped, tunadaksa merupakan istilah lain dari cacat tubuh atau tunafisik yaitu berbagai kelainan bentuk tubuh 49 yang mengakibatkan kelainan fungsi dari tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan yang dibutuhkan. Frieda Mangungsong 2011: 25 mengemukakan pengertian anak tunadaksa sebagai anak yang menderita hambatan akibat polio myelitis, akibat kecelakaan, akibat keturunan, cacat sejak lahir, kelayuan otot-otot, akibat peradangan otak, dan kelainan motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada pusat syaraf cerebrum. Sementara hambatan fisik menurut bidang kesehatan adalah anak atau seseorang yang menderita kekurangan yang sifatnya menetap pada alat gerak tulang, otot, dan sendi sedemikian rupa sehingga untuk keberhasilan pendidikannya memerlukan perlakuan khusus. 2 Klasifikasi a Anak tunadaksa ortopedi Merupakan anak tunadaksa dengan kelainan, kecacatan, ketunaan tetentu pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun pada bagian persendian. Penyebab tunadaksa dapat dibawa sejak lahir congenital maupun dapat disebabkan penyakit ataupun kecelakaan yang pada akhirnya menyebabkan terganggunya fungsi tubuh secara normal. Contoh kelainan tunadaksa pada kateori ortopedi ini adalah poliomyelitis, tuberculosis tulang, osteomyelitis, arthritis, paraplegia, hemiplegia, muscledystrophia, kelainan 50 pertumbuhan pada anggota maupun anggota badan yang tidak sempurna, cacat punggung, amputasi tangan, lengan, kaki dan lain sebagainya. b Anak tunadaksa saraf neurologically handicapped Merupakan anak tunadaksa yang mengalami kelainan yang diakibatkan oleh gangguan pada susunan saraf di otak. Otak yang berfungsi sebagai pengontrol tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh, sehingga apabila otak mengalami kelainan akan mengakibatkan terjadinya sesuatu pada organisme fisik, emosi atau mental. Luka pada bagian otak tertentu akan memberikan efek pada gangguan dalam perkembangan, yang mungkin akan mengakibatkan ketidakmampuan dalam melaksanakan berbagai bentuk kegiatan. Salah satu bentuk kelaianan dapat dilihat pada anak celebral palsy CP. Celebral palsy berarti gangguan pada aspek motorik yang disebabkan oleh disfungsi otak. Klasifikasi tunadaksa menurut Misbach D. 2012: 16 dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu: 51 a Kelainan pada sistem selebral celebral system disorders Penggolongan anak tunadaksa dalam kelainan sistem selebral disebabkan pada letak penyeab kelahiran yang terletak di dalam sistem syaraf pusat otak dan sumsum tulang belakang. Kerusakan pada sistem syaraf pusat tersebut mengakibatkan bentuk kelainan yang krusial, karena otak dan sumsum tulang belakang merupakan pusat dari aktivitas hidup manusia. b Kelainan pada sistem otot dan rangka musculus scelatel system Klasifikasi anak tunadaksa ke dalam kelompok sistem otot dan rangka disebabkan pada letak penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami kelainan yaitu kaku, tangan serta sendi, dan tulang belakang. d. Tunagrahita 1 Pengertian Endang Rochyadi Zaenal Alimin 2005: 10 mengemukakan istilah tunagrahita intellectual disability atau dalam perkembangannya sekarang disebut dengan istilah developmental disability adalah kesenjangan antara kemampuan berpikir mental age dengan perkembangan usia kronological age, sehingga anak dengan kondisi tunagrahita tidak berperilaku sesuai dengan umurnya. American 52 Association on Mental Deficiency AAMD merumuskan definisi tunagrahita sebagai kondisi yang menunjukkan kemampuan intelektual yang rendah serta mengalami hambatan dalam perilaku adaptifnya. Seseorang dapat dikategorikan sebagai tunagrahita apabila ia memiliki kedua hal tersebut. Istilah perilaku adaptif tersebut mengacu kepada kemampuan seseorang memikul tanggung jawab sosial menurut ukuran norma sosial tertentu. T. Sutjihati Somantri 2006: 103 mendefinisikan tunagrahita sebagai istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata- rata. Kondisi tersebut adalah kondisi dimana anak memiliki tingkat kecerdasan jauh dibawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Lee Willerman Tin Suharmini, 2009: 42 mendefinisikan anak tunagrahita sebagai anak yang memiliki fungsi intelektual di bawah normal, sehingga mengakibatkan gangguan dan keterbelakangan pada perkembangan dan penyesuaian. 2 Klasifikasi Seseorang dikatakan sebagai tunagrahita apabila kemampuan kecerdasannya menyimpang 2-3 standar deviasi dari kemampuan kecerdasan rata-rata Endang Rochyadi 53 Zaenal Alimin, 2005: 11. Klasifikasi anak tunagrahita berdasarkan skor IQ baik dari tes Standford-Binet maupun David Wechsler adalah sebagai berikut: Tabel 1. Klasifikasi Tunagrahita Klasifikasi IQ Skala Binet SD-15 IQ Skala Wechsler SD=16 Ringan mild 68-52 69-55 Sedang moderate 51-36 54-40 Berat severe 35-20 39-25 Sangat berat profound 19 24 Dalam klasifikasi pendidikan educators classify dikenal dengan istilah mampu didik educable bagi anak tunagrahita kategori ringan, mampu latih trainable bagi anak tunagrahita kategori sedang, dan mampu rawat severely and profoundly bagi anak tinagrahita kategori berat dan sangat berat. Tunagrahita pada umumnya diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yang pengelompokkannya berdasarkan pada taraf intelegensinya T. Sutjihati Somantri, 2006: 106. Kemampuan anak tunagrahita pada umumnya diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler WISC, yaitu: 1 Tunagrahita Ringan Tunagrahita ringan disebut juga dengan moron atau debil. Kelompok tunagrahita ringan memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler WISC memiliki IQ 69-55. Kelompok ini masih dapat belajar 54 membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, mereka dapat dilatih agar nantinya mereka dapat hidup secara mandiri dan memiliki penghasilan sendiri. 2 Tunagrahita Sedang Anak tunagrahita sedang disebut juga dengan imbesil. Kelompok anak tunagrahita sedang memiliki IQ 51-36 pada Skala Bienet dan 54-40 pada Skala Weschler WISC. Kelompok ini dapat dididik untuk mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya, dan sebagainya. Anak tunagrahita sedang tergolong sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik, misalnya belajar menulis, membaca, dan berhitung. Mereka dapat dididik untuk mengurus diri seperti mandi, berpakaian, makan dan minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga sederhana seperti menyapu. Dalam kehidupan sehari-hari, anak tunagrahita sedang memerlukan pengawasan secara terus menerus. Mereka juga dapat bekerja di tempat yang terlindung sheltered workshop. 3 Tunagrahita Berat Kelompok anak tunarahita berat disebut juga dengan idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi menjadi anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat 55 severe memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-25 menurut Skala Weschler WISC. Tunagrahita sangat berat profound memiliki IQ di bawah 19 menurut Skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut Skala Weschler WISC. Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka juga memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya. e. Anak lamban belajar Slow learner 1 Pengertian Anak lamban belajar atau slow learner merupakan anak yang memiliki prestasi belajar rendah atau sedikit di bawah rata-rata dari anak pada umumnya, pada salah satu bidang akademik atau seluruh area akademik Nani Triani Amir 2013: 3. 2 Karakteristik Anak Lamban Belajar Slow Learner Anak dengan kondisi lamban belajar belajar memiliki beberapa karakteristik dalam hal intelegensi, bahasa, emosi, sosial, dan moral. Dari segi intelegensi anak dengan kondisi lamban belajar berada pada kisaran di bawah rata-rata yaitu 70- 90 berdasarkan skala WISC. Dari segi bahasa, anak ini mengalami masalah dalam berkomunikasi baik dalam bahasa 56 ekspresif atau menyampaikan ide atau gagasan maupun memahami percakapan orang lain atau bahasa reseptif. Emosi anak dengan keadaan slow learner kurang stabil, mereka cepat marah dan meledak-ledak serta sensitif. Dalam bersosialisasi juga mereka kurang baik, lebih sering pasif dan memiliki teman, bahkan cenderung menarik diri. Sedangkan dilihat dari segi moral biasanya berkembang sesuai dengan kemampuan kognitifnya, sehingga anak-anak slow learner nampak tidak patuh atau melanggar aturan karena mereka sebenarnya tahu mengenai suatu peraturan, tetapi tidak tahu atau paham mengapa peraturan tersebut dibuat. f. Anak berbakat 1 Pengertian Martison Utami Munandar: 1982:7 mendefinisikan anak berbakat sebagai anak-anak yang oleh orang profesional telah diidentifikasi sebagai anak yang mampu mencapai prestasi tinggi karena mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul. Anak-anak berbakat membutuhkan program pendidikan yang berdiferensiasi dan atau pelayanan di luar jangkauan program sekolah biasa agar dapat merealisasikan sumbangan mereka terhadap masyarakat maupun pengemangan diri sendiri. Kemampuan-kemampuan tersebut baik secara 57 potensial maupun yang telah nyata meliputi kemampuan intelektual umum, kemampuan akademik khusus, kemampuan berpikir kreatif, kemampuan memimpin, kemampuan dalam salah satu bidang seni, dan kemampuan psiko-motor Sunardi, 2008:5. Anak berbakat, selain memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, ia juga menunjukkan kemampuan yang menonjol dalam kecakapan khusus dalam bidang yang berbeda antara anak yang stau dengan anak yang lainnya. Konsep anak berbakat dari United States Office of Education USOE Tin Suharmini, 2009: 51 adalah anak yang diidentifikasi oleh ahli orang profesional bahwa ia memiliki kemampuan yang menonjol dan prestasi yang tinggi, anak berbakat membutuhkan pelayanan dan pendidikan khusus yang terdeferensiasi agar dapat merealisasi kemampuannya. Rezulli Tin Suharmini, 2009: 51 mengemukakan untuk mengidentifikasi anak berbakat perlu memperhatikan interaksi dari tiga aspek, yaitu intelegensi kemampuan di atas rata- rata, kreativitas, dan pengikatan diri atau tanggung jawab terhadap tugas task commitment. 2 Klasifikasi Anak berbakat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu: a Genius 58 Genius merupakan anak yang memiliki kecerdasan luar biasa, Intelligence Quotien IQ anak luar biasa berkisar antara 140 sampai 200. Anak berbakat memiliki sifat-sifat seperti daya abstraksinya baik, memiliki banyak ide, sangat kritis, kratif, suka menganalisis dan lain sebagainya. b Gifted Anak yang disebut gifted and talented memiliki tingkat Intelligence Quotien IQ antara 125 sampai 140. Anak tersebut memiliki bakat yang menonjol dalam bidang tertentu, misalnya bidang musik, ahli dalam memimpin dan lain sebagainya. Anak gifted memiliki karakteristik mempunyai perhatian terhadap sains, imajinasinya kuat, senang membaca dan lain sebagainya. c Superior Anak superior memiliki tingkat kecerdasan atau Intelligence Quotien IQ yang berkisar antara 110 sampai 125, sehingga ia memiliki tingkat belajar cukup tinggi. Anak superior memiliki karakteristik dapat berbicara lebih dini, dapat membaca lebih awal, dapat mengerjakan pekerjaan sekolah lebih mudah dan lain sebagainya. g. Tunalaras 1 Pengertian 59 Tunalaras merupakan individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Eli M Bower mendefinisikan tunalaras sebagai anak dengan hambatan emosional atau kelainan perilaku, anak dengan kondisi tunalaras akan menunjukkan satu atau beberapa komponen seperti tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensori atau kesehatan; tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru; bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara umum mereka selalu dalam keadaan tidak gembira atau depresi; dan bertendensi ke arah simptom fisik seperti merasa sakit atau ketakutan yang berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah. Smith Frieda Mangungsong, 2011: 55 menyatakan bahwa istilah tunalaras mengandung pengertian bahwa seseorang yang memperhatikan satu atau lebih kondisi yang sesuai dengan karakteristik dalam rentang waktu yang lama, kondisi tersebut mempengaruhi pada prestasi atau penampilan akademis. Istilah tunalaras juga mencakup individu yang juga terkena skizoprenia autistik, tetapi tidak mencakup individu yang menderita social maladjusted. Seseorang yang mengalami tunalaras memiliki gangguan emosi dan tingkah laku, ketidakmampuan tersebut dicirikan dengan respon emosi dan 60 tingkah laku di sekolah yang sangat berbeda dari segi umur, budaya atau norma etik yang seharusnya, sehingga mempengaruhi prestasi akademik. T. Sutjihati Somantri 2006: 139 mengemukakan anak tunalaras mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik tehadap lingkungan, hal ini dapat menggangu situasi belajarnya. Situasi belajar yang dihadapi oleh mereka secara monoton biasanya akan mengubah perilaku bermasalahnya menjadi semakin berat. Deden Saeful Hidayat Wawan 2013: 11 mengemukakan anak tunalaras sebagai anak yang bertingkah laku kurang sesuai dengan lingkungannya. Perilakunya sering bertentangan dengan norma-norma yang terdapat di lingkungan masyarakat tempat ia berada. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1991 menyatakan bahwa tunalaras adalah gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. 2 Klasifikasi Klasifikasi anak tunalaras menurut Rusli Ibrahim dilihat dari gejala gangguan tingkah laku dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: 61 a Socially Maladjusted Children Merupakan anak yang terganggu aspek sosialnya, kelompok anak tersebut menunjukkan tingkah laku dimana mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik menurut ukuran norma-norma masyarakat dan kebudayaan setempat, baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat luas. b Emotionally Disturbed Children Merupakan kelompok anak-anak yang terganggu perkembangan emosinya, kelompok anak-anak tersebut menunjukkan adanya ketegangan batin, menunjukkan kecemasan, penderita neorotis atau bertingkah laku psikotis. Sedangkan menurut Samuel A. Kirk klasifikasi kelainan anak tunalaras adalah sebagai berikut: a Anak yang mengalami gangguan perilaku yang kacau conduct disorder yang mengacu pada tipe anak yang melawan kekuasaan, seperti misalnya bermusuhan dengan guru atau polisi. Anak tersebut juga cenderung suka menyerang, kejam dan hiperaktif. b Anak yang cemas menarik diri anxious-withdrawl merupakan anak yang pemalu, takut-takut, suka menyendiri, peka, lebih suka menurut dan tertekan batinnya. 62 c Dimensi ketidakmatangan immaturity mengacu kepada anak yang tidak perhatian, lambat, ia tidak berminat ke sekolah, pemalas, suka melamun serta pendiam. d Anak agresi sosialisasi socializ aggresive yang mempunyai ciri-ciri masalah perilaku yang sama dengan gangguan perilaku yang bers osialisasi dengan “geng” tertentu.

6. Karakteristik Remaja

Siswa sekolah menengah umum sebagai remaja berada pada rentang usia 15-17 tahun yang tergolong sebagai remaja tengah dan pada usia 18 tahun yang tergolong sebagai remaja akhir. Dalam perkembangan remaja, faktor genetik, biologis, lingkungan dan sosial saling berinteraksi. Pada awal masa remaja, mereka menghadapi perubahan biologis yang cukup pesat, remaja juga mendapatkan pengalaman serta tugas perkembangan yang baru. Pada masa remaja, hubungan dengan orang tua menjadi berbedadan remaja memiliki waktu dengan teman sebaya yang menjadi lebih intim. G. Stanley Hall Santrock, 2011: 297 menyatakan pandangan mengenai remaja yaitu “badai dan stress” yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang membingungkan, masa tersebut ditandai dengan konflik serta perubahan mood. 63 Perubahan penting yang terjadi pada masa remaja ke masa dewasa ditentukan oleh standar budaya dan pengalaman yang dianut oleh remaja itu sendiri. Arnett Santrock, 2011: 300 menyatakan transisi dari masa remaja ke masa dewasa disebut dengan emerging adulthood Rentang usia untuk emerging adulthood adalah sekitar 18-25 tahun. Pada masa perkembangan tersebut, banyak remaja yang masih mengeksplorasi jalur karir yang ingin diikuti atau diminati, remaja ingin memiliki identitas seperti apa, dan gaya hidup seperti apa yang ingin diikuti. Terdapat lima karakteristik utama yang mencerminkan emerging adulthood, yaitu: a. Mengeksplorasi identitas, terutama dalam cinta dan pekerjaan. Emerging adulthood adalah masa ketika perubahan-perubahan penting dalam identitas terjadi pada banyak individu. b. Mengalami ketidakstabilan. Perubahan tempat tinggal mencapai puncaknya selama masa dewasa awal, masa ketika juga sering terjadi ketidakstabilan dalam cinta, pekerjaan, dan pendidikan. c. Menjadi terfokus pada diri sendiri, yaitu mereka memiliki sedikit kewajiban sosial, sedikit tanggung jawab dan komitmen terhadap orang lain yang memberikan banyak kemandirian dalam menjalankan kehidupan mereka sendiri. d. Merasa diantara. Banyak individu pada masa emerging adulthood tidak menyadari bahwa mereka adalah seorang remaja atau orang dewasa yang matang. e. Mengalami usia kemungkinan, suatu periode ketika individu memiliki kesempatan untuk mengubah hidup mereka. Karakteristik emerging adulthood berdasarkan pendapat Arnett di atas dapat ditegaskan yaitu masa remaja sebagai masa untuk mengeksplorasi identitas, sebagai masa dimana remaja mengalami ketidakstabilan dan remaja menjadi terfokus pada diri sendiri. Pada 64 masa tersebut juga remaja merasa di antara masa remaja atau pada masa dewasa asal, pada masa remaja juga merupakan masa dimana remaja mengalami masa kemungkinan, yaitu masa dimana remaja memiliki kesempatan mengubah hidupnya. Karakteristik nilai-nilai, moral, pendidikan, dan agama pada remaja Santrock, 2011: 357, yaitu: a. Nilai Remaja memiliki satu set nilai-nilai yang memenuhi pikiran, perasaan, dan tindakan. Nilai value merupakan keyakinan dan sikap mengenai bagaimana hal-hal yang seharusnya, nilai juga melibatkan sesuatu yang penting bagi kita. b. Pendidikan moral Pendidikan moral hangat diperdebatkan dikalangan pendidikan, pendidikan moral kognitif merupakan konsep yang didasarkan pada keyakinan bahwa siswa harus belajar untuk menghargai aspek-aspek kehidupan. c. Agama Isu mengenai agama sangat penting bagi remaja, agama memiliki peran positif dalam perkembangan remaja. Dalam sebuah penelitian, remaja melihat agama sebagai bagian yang berarti dari kehidupan mereka dan cara mengatasi masalah Benson Roehlkepartain, Santrock, 2011: 362. Berdasarkan pendapat Santrock di atas remaja memiliki karakteristik sendiri dalam hal nilai, pendidikan moral dan agama. Remaja memiliki nilai-nilai sendiri yang menjadi landasan bagi mereka untuk meyakini serta bersikap bagaimana hal-hal yang seharusnya. Pada masa remaja pendidikan moral penting agar remaja dapat menghargai aspek-aspek dalam kehidupan. Agama bagi remaja memiliki peran yang positif dalam perkembangan remaja karena dapat membantu remaja untuk mengatasi masalah yang sedang mereka hadapi. 65 Masa remaja dapat disebut juga dengan masa pencarian jati diri, oleh Erickson Mohammad Ali Mohammad Asrori, 2004: 16 disebut juga dengan identitas ego ego identity. Hal tersebut dikarenakan masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak menuju masa kehidupan orang dewasa. Oleh karena itu, terdapat beberapa karakteristik umum yang sering ditunjukkan oleh remaja, yaitu: a. Kegelisahan Sesuai dengan fase perkembangannya, remaja memiliki banyak idealisme yang hendak diwujudkan di masa depan, tetapi pada kenyataannya remaja belum memiliki kemampuan yang memadai untuk mewujudkan semua itu. Remaja juga ingin mendapatkan pengalaman sebanyak-banyaknya untuk menambah pengetahuan, namun belum mampu untuk melakukan berbagai hal dengan baik. Tarik menarik antara idealisme remaja yang tinggi dengan kemampuan yang masih belum memadai mengakibatkan mereka diliputi oleh perasaan gelisah. b. Pertentangan Sebagai seorang individu yang sedang mencari jati diri, remaja berada pada situasi psikologis antara ingin melepaskan diri dari orang tua dan perasaan masih belum mampu untuk mandiri. Oleh sebab itu, pada umumnya remaja sering mengalami kebingungan karena sering mengalami pertentangan dengan orang tua. Pertentangan yang sering terjadi membuat remaja ingin melepaskan diri dari orang tua tetapi ditentangnya sendiri dikarenakan dalam diri remaja masih ingin memperoleh rasa aman. Akibat dari pertentangan tersebut menimbulkan kebingunan dalam diri remaja. c. Mengkhayal Keinginan remaja untuk menjelajah dan bertualang tidak semuanya tersalurkan, akibatnya remaja mengkhayal, mencari kepuasan, bahkan menyaluran khayalannya melalui dunia fantasi. Khayalan ini dapat bersifat positif dikarenakan terkadang dapat menghasilkan sesuatu yang bersifat konstruktif, misalnya timbul ide-ide tertentu untuk direalisasikan. d. Aktivitas Berkelompok Pada umumnya remaja menemukan jalan kelura dari kesulitan yang dihadapinya setelah mereka berkumpul dengan teman sebaya untuk melakukan kegiatan bersama. Remaja melakukan 66 suatu kegiatan secara berkelompok sehingga berbagai kendala dapat diatasi bersama-sama. e. Keinginan Mencoba Segala Sesuatu Pada umumnya remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, oleh karea itu remaja cenderung ingin bertualang dan menjelajah segala sesuatu. Pada umumnya remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga remaja seringkali ingin mencoba-coba, mengkhayal, dan merasa gelisah. Remaja juga berani untuk melakukan pertentangan apabila dirinya merasa tidak dianggap oleh lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, remaja memerlukam keteladanan, konsistensi, serta komunikasi yang empatik dari orang dewasa disekitarnya.

C. Penerimaan Sosial dalam Konsep Bimbingan dan Konseling

1. Pengertian Bimbingan dan Konseling

Bimbingan menurut Smith Prayitno Erman Amti, 1999: 94 adalah proses layanan yang diberikan kepada individu untuk membantu mereka memperoleh pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam membuat pilihan-pilihan, rencana-rencana, dan interprestasi-interprestasi yang diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan baik. Prayitno Erman Amti 1999: 99 mengemukakan yang dimaksud dengan bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa individu, baik anak-anak, remaja, maupun orang dewasa dengan tujuan orang yang dibimbing dapat