KESIMPULAN DAN SARAN TINGKAT PENERIMAAN SOSIAL TERHADAP KEBERADAAN SISWA DIFABEL DI MAN MAGUWOHARJO.
2
tugas perkembangan tersebut sangat penting untuk dilaksanakan oleh setiap individu yang kemudian akan mempengaruhi perkembangan kepribadiannya.
Individu yang berhasil dalam melaksanakan tugas perkembangan akan merasa percaya diri, berharga, timbulnya perasaan berharga dan optimis
dalam menghadapi masa depannya. Sebaliknya, individu yang gagal dalam melaksakan tugas perkembangannya akan merasa tidak mampu, gagal, putus
asa, rendah diri dan pesimis dalam menghadapi masa depannya. Seorang siswa memiliki pencapaian yang tinggi apabila ia memiliki
penyesuaian sosial yang baik. Kemampuan untuk menyesuaikan aspek sosial secara baik yaitu dapat memahami orang lain dengan baik. Kemampuan ini
membantu siswa untuk menerima orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut fisik, sifat-sifat pribadi, pandangan dan lain sebagainya.
Pemahaman yang baik tersebut mendorong siswa untuk menjalin hubungan sosial dengan sesama siswa dengan lebih akrab Edi Purwanta, 2002: 4.
Siswa yang bersekolah tidak hanya siswa dengan keadaan fisik maupun mental yang normal saja, namun siswa dengan kebutuhan khusus pun
memiliki kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan formal di sekolah. Anak dengan kebutuhan khusus disabilities difabel merupakan
anak yang memiliki kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya, yaitu pada kondisi fisik, mental maupun karakteristik
perilaku sosialnya. Selain itu dapat juga diartikan sebagai anak yang berbeda dari rata-rata anak pada umumnya.
3
Anak yang dikategorikan sebagai difabel sesuai dengan pengertian di atas yaitu anak yang memiliki kelainan dalam aspek fisik meliputi kelainan
pada indra penglihatan tunanetra, kelainan indra pendengaran tunarungu, kelainan kemampuan bicara tunawicara, dan kelainan fungsi anggota tubuh
tunadaksa. Selain itu, anak yang memiliki kelainan dalam aspek mental meliputi anak dengan kemampuan mental yang lebih supernormal yang
dikenal dengan anak yang berbakat, dan anak yang memiliki kemampuan mental sangat rendah subnormal yang dikenal dengan anak tunagrahita.
Anak dengan kelainan dalam aspek sosial memiliki kesulitan dalam penyesuaian perilaku terhadap lingkungan sekitar, atau disebut dengan anak
tunalaras. Mohammad Efendi 2006: 18 mengemukakan bahwa penyesuaian
sosial bagi anak dengan disabilitas merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan. Hal tersebut disebabkan oleh ketunaan yang dialami tidak
lepas dari kesulitan yang mengikutinya. Penyesuaian pada anak dengan kebutuhan khusus ini lebih sulit dikarenakan kelainan yang dapat dipandang
sebagai suatu ketunaan yang kurang menguntungkan, baik dari penilaian masyarakat atau lingkungan maupun dari penyandang kebutuhan khusus itu
sendiri. Problematika dalam meilihat anak dengan kebutuhan khusus di
masyarakat adalah implikasi sosial pada keluarbiasaan yang cenderung negatif. Masyarakat pada umumnya menganggap anak dengan kebutuhan
khusus sebagai anak berkelaianan yang tidak mampu belajar serta tidak
4
mampu untuk mandiri dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga mereka perlu untuk dibantu dan menjadi beban bagi keluarga atau masyarakat Ellah
Siti Chalidah, 2005: 17. Anak luar biasa tidak hanya menempuh pendidikan dalam Sekolah
Luar Biasa SLB saja, namun juga dapat mengikuti pendidikan dalam sekolah reguler. Sesuai dengan Amanat hak atas pendidikan bagi anak
penyandang kelainan atau ketuaan yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 disebutkan
bahwa: “Pendidikan Khusus pendidikan luar biasa merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Ketetapan dalam Undang-
undang No. 20 tahun 2003 tersebut sangat penting bagi anak berkelainan bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan
pendidikan dengan anak normal lainnya. Pendidikan inklusi merupakan perwujudan dari pendekatan inklusi
yang diupayakan untuk memberikan layanan pendidikan kepada anak luar biasa secara integral dan manusiawi Edi Purwanta, 2002: 3. Menurut Staub
dan Peck Edi Purwanta, 2002: 3 mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak luar biasa tingkat ringan, sedang dan dan berat
secara penuh dalam kelas biasa. Menurut pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan inklusi menempatkan anak luar biasa
dalam kelas biasa.
5
Salamanca Sue Stubbs, 2002: 37 menyatakan bahwa pendidikan inklusi merupakan perkembangan pelayanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus, dimana prinsip mendasar dari pendidikan inklusi, selama memungkinkan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar
bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Dalam pendidikan inklusi tersebut anak dengan kebutuhan khusus berada dalam kelas yang sama dengan anak normal lainnya. Salah satu tujuan
utama pendidikan inklusi adalah mendidik anak dengan kebutuhan khusus akibat kecatatan yang dimilikinya di kelas reguler bersama-sama dengan
anak-anak lain yang normal non cacat, dengan dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya, baik dalam lingkungan sekolah maupun di dalam
lingkungan keluarganya. Salah satu alasan dari pendidikan inklusi ini adalah anak dengan
kebutuhan khusus akan memiliki hasil yang lebih baik secara akademik maupun sosial apabila mereka ada dalam setting kebersamaan. Kemudian,
anak dengan kebutuhan khusus juga belajar untuk hidup dengan lebih mandiri apabila mengikuti pendidikan bersama dengan anak normal lain yang sebaya
dengannya, bukan dengan berada dalam sekolah khusus Edi Purwanta, 2002: 4.
Dampak yang diharapkan dari adanya pendidikan inklusi ini adalah siswa lain dapat belajar dan mengenal tentang orang-orang yang berbeda
dengan dirinya. Sehingga, mereka dapat menghargai orang-orang dengan