TINGKAT PENERIMAAN SOSIAL TERHADAP KEBERADAAN SISWA DIFABEL DI MAN MAGUWOHARJO.

(1)

i

TINGKAT PENERIMAAN SOSIAL TERHADAP KEBERADAAN SISWA DIFABEL DI MAN MAGUWOHARJO

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Fenny Brilian Arsanti NIM 11104244041

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

i i. I

i

t

t

t r

t t t r i t t I t

I t I

PERSE,TUJT]A}I

Skripsi

yang

berjudul

"Tingkat

Penerimaan

Sosial

terhadap Keberadaari SiswaDifabel di i\,IAN'Maguwoharjo" yang disusrm oleh

Fenny Brilian Arsanti,

NIM

I ll@l244}41

ini

telatr disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.


(3)

SURAT PERI\TYATAAN

Dengan

ini

saya menyatakan bahwa slaipsi

ini

benar-benar karya saya

sendiri. Sepanjang pengetahuann saya tidak terdapat karya atau pendapat yarg ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim.

Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli,

jika

tidak asli saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berikutnya.

Yogyakarta, Noveniber 2015

Yangmenyat&an,

Fenny tsrilian Arsanti

:


(4)

PENGESAHAN

Skripsi yang

bdudul

*TINGKAT

PENERIMAAN SOSIAL TERHADAP

KEBERADAAN SISWA DIFABEL DI MAN MAGUWOHARIO" yang disusun oleh Fenny Brilian Arsanti, NIM

1ll}4244}4l

ini telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 12 November 2015 dan dinyatakan lulus.

Nama

Dr. Muh. Farozin, M. Pd..,

Isti Yuni Purwanti, M. Pd. Dr. Sari Rudiyati, M. Pd.

DEWAN PENGUJI

Jabatan

Ketua Penguji Sekretaris Penguji Penguji Utama

Tanggal ?!.::|.!?i

t9

1,r-zots

t'o1r,'Luf

M. Pd

19600902 t98702 t 001d8. Yogyakarta,.B

l lll

1!.,.5 /*o*t\oLoc,t,

/,\).r-'-*

(pa // {€{,,EGt

Q".1 ezzSs

,. Fttti".,A's rr I'lg ,:p

. ;ryriii

/-"9'JI,uX

$,(

tr,))ru

?N),S,V$ t1;;=gi;97


(5)

v MOTTO

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu

sendiri yang merubah apa-apa yang ada pada diri mereka”. (tejemahan Q.S. Ar-Ra’d ayat: 11)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Tugas akhir skripsi ini penulis persembahkan kepada: 1. Bapak dan ibuku

2. Program Studi Bimbingan dan Konseling yang kubanggakan 3. Agama, Nusa dan Bangsa


(7)

vii

TINGKAT PENERIMAAN SOSIAL TERHADAP KEBERADAAN SISWA DIFABEL DI MAN MAGUWOHARJO

Oleh

Fenny Brilian Arsanti NIM 11104244041

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan: (1) tingkat penerimaan sosial terhadap keberadaan siswa difabel, dan (2) variasi penerimaan sosial terhadap siswa difabel di MAN Maguwoharjo.

Penelitian ini menggunakan pendekatan mix method dengan jenis penelitian survey. Data tentang penerimaan sosial dikumpulkan dengan menggunakan angket terbuka. Subjek penelitian yaitu siswa kelas X dan XI MAN Maguwoharjo yang berjumlah70 siswa. Uji validitas instrumen menggunakan validitas isi dengan expert judgement dan uji validitas item menggunakan teknik indeks daya beda item dengan batas minimal sebesar 0,25. Reliabilitas instrumen diukur dengan alpha cronbach dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,909. Teknik analisis data kualitatif menggunakan pengkategorian dengan empat kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah, dan sangat rendah. Teknik analisis data kualitatif menggunakan langkah interactive model.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 7,1% siswa MAN Maguwoharjo terkategori tingkat penerimaan sosial sangat tinggi, 35,7% siswa MAN Maguwoharjo terkategori tingkat penerimaan sosial tinggi, 45,7% siswa MAN Maguwoharjo terkategori tingkat penerimaan sosial rendah, dan 7,1% siswa MAN Maguwoharjo terkategori tingkat penerimaan sosial sangat rendah. Dari data kualitatif disimpulkan bahwa pada umumnya siswa MAN Maguwoharjo tidak menerima apabila siswa difabel memiliki perilaku, sikap, atau kepribadian yang negatif, tetapi menerima ketunaan fisik siswa difabel.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala

rahmat dan karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Tingkat Penerimaan Sosial terhadap Keberadaan Siswa Difabel di MAN Maguwoharjo” dengan baik. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari

dukungan dan bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah berkenan memberikan

kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di Prodi BK UNY.

2. Dekan Fakultas Ilmu PendidikanUniversitas Negeri Yogyakarta yang telah

memberikan izin untuk melakukan penelitian.

3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan

persetujuan untuk melakukan penelitian.

4. Bapak Dr. Muh. Farozin, M.Pd selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, arahan, dan motivasi pada penulis selama penyusunan skripsi ini.

5. Bapak A. Ariyadi Warsito, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang

telah membantu dalam kegiatan akademik selama masa perkuliahan.

6. Kepala Sekolah MAN Maguwoharjo yang telah memberikan izin untuk

melakukan penelitian.

7. Siswa MAN Maguwoharjo yang telah bekerjasama dengan baik selama


(9)

Bapak, Ibu, Kakak, dan Adikku yang selalu memberikan bantuan dan semangat selama penelitian hingga penulisan laporan.

Sahabatku ken, Giza, Dita, Tiwi, Haga, Arifa, Resty, Duyo, Stevi, Natri,

Dinar, Agung dan seluruh teman-teman seperjuangan

BK

Angkatan

20tl

yang selalu memberikan dukungan dan semangat.

Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yangtelah membantu dalam penulisan tugas akhir ini.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan mengharapkan masukan konstruktif dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi

pembaia.

\'

Yogyakarta, Novemb er 201 5

Penulis,

Fenny Brilian Arsanti NrM. 1110424404r

tx


(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL……… i

PERSETUJUAN………... ii

SURAT PERNYATAAN………. iii

PENGESAHAN……… iv

MOTTO………. v

PERSEMBAHAN………. vi

ABSTRAK……… vii

KATA PENGANTAR……….. viii

DAFTAR ISI………. x

DAFTAR TABEL……… xii

DAFTAR GAMBAR………... xiii

DAFTAR LAMPIRAN……… xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... ……….. 1

B. Identifikasi Masalah ... … 11

C. Batasan Masalah ... … 12

D. Rumusan Masalah ... .. 12

E. Tujuan Penelitian ... .. 13

F. Manfaat Penelitian ... .. 13

BAB II KAJIAN TEORI A. Penerimaan Sosial 1. Pengertian Penerimaan Sosial ... 15

2. Faktor-faktor Penerimaan Sosial ... 17

3. Penerimaan dan penolakan Penerimaan Sosial ... 22

B. Pendidikan Inklusi 1. Pengertian Pendidikan Inklusi ... 26


(11)

xi

3. Fungsi Pendidikan Inklusi ... 34

4. Pengertian Difabel ... 38

5. Macam-macam Difabel ... 42

6. Karakteristik Remaja ... 62

C. Penerimaan Sosial dalam Konsep BK 1. Pengertian BK ... 66

2. Tujuan BK ... 69

3. Bidang Layanan BK ... 73

4. Penerimaan Sosial dalam Konsep BK ... 77

5. Penerimaan Sosial terhadap Siswa Difabel ... 79

D. Kerangka Berpikir ... 80

E. Kajian Hasil Penelitian Relevan ... 82

F. Hipotesis Penelitian ... 84

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 85

B. Subjek Penelitian ... 86

C. Setting Penelitian ... 87

D. Populasi Penelitian ... 87

E. Teknik Pengumpulan Data ... 88

F. Instrumen Penelitian ... 89

G. Uji Coba Instrumen ... 91

H. Teknik Analisis Data ... 93

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian 1. Lokasi Penelitian ... 96

2. Waktu Penelitan ... 96

3. Data Subjek Penelitian ... 97

B. Deskripsi Aspek yang Diteliti ... 97

C. Deskripsi Hasil Penelitian Kuantitatif ... 98

D. Deskripsi Hasil Penelitian Kualitatif ... 100


(12)

xii

F. Keterbatasan ... 177

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 178

B. Saran ... 179

DAFTAR PUSTAKA ... 180


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Klasifikasi Tunagrahita ... 53

Tabel 2. Kisi-Kisi Angket Penerimaan Sosial ... 90

Tabel 3. Rangkuman Item Gugur dan Item Valid ... 92

Tabel 4. Rincian Kegiatan Penelitian ... 96

Tabel 5. Hasil penghitungan penerimaan sosial ... 98


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

hal


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Masa peralihan tersebut ditandai dengan adanya perubahan dari beberapa aspek dalam diri seseorang, yaitu fisik, psikis dan psikososial (Agoes Dariyo, 2004:13). Rentang usia remaja yaitu antara usia 12/13 tahun-21 tahun. Pada masa remaja mereka akan mengalami krisis pencarian identitas (search for self-identity) agar dapat menjadi dewasa.

Thornburg (Agoes Dariyo, 2004: 14) menggolongkan remaja menjadi tiga tahapan, yaitu remaja awal (usia 13-14 tahun), remaja tengah (usia 15-17 tahun), dan remaja akhir (usia 18-21 tahun). Pada masa remaja awal hingga tengah umumnya individu memasuki jenjang pendidikan sekolah menengah yaitu sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Kemudian, pada masa remaja akhir biasanya individu mulai memasuki dunia perguruan tinggi ataupun bekerja. Pada masa remaja mereka banyak menghabiskan waktu mereka di sekolah. Remaja di sekolah tidak hanya menjalani pendidikan formal yang menyangkut dengan pelajaran, namun remaja juga mendapatkan pelajaran dan pengalaman lain yang didapat di luar kelas, misalnya hubungan sosial dengan lingkungan sekolah/ sosialnya yaitu dengan sesama peserta didik maupun dengan guru.

Siswa sebagai remaja memiliki tugas yang harus dilalui oleh setiap individu pada setiap rentang tahap perkembangan individu itu sendiri.


(16)

Tugas-2

tugas perkembangan tersebut sangat penting untuk dilaksanakan oleh setiap individu yang kemudian akan mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Individu yang berhasil dalam melaksanakan tugas perkembangan akan merasa percaya diri, berharga, timbulnya perasaan berharga dan optimis dalam menghadapi masa depannya. Sebaliknya, individu yang gagal dalam melaksakan tugas perkembangannya akan merasa tidak mampu, gagal, putus asa, rendah diri dan pesimis dalam menghadapi masa depannya.

Seorang siswa memiliki pencapaian yang tinggi apabila ia memiliki penyesuaian sosial yang baik. Kemampuan untuk menyesuaikan aspek sosial secara baik yaitu dapat memahami orang lain dengan baik. Kemampuan ini membantu siswa untuk menerima orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut fisik, sifat-sifat pribadi, pandangan dan lain sebagainya. Pemahaman yang baik tersebut mendorong siswa untuk menjalin hubungan sosial dengan sesama siswa dengan lebih akrab (Edi Purwanta, 2002: 4).

Siswa yang bersekolah tidak hanya siswa dengan keadaan fisik maupun mental yang normal saja, namun siswa dengan kebutuhan khusus pun memiliki kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan formal di sekolah. Anak dengan kebutuhan khusus (disabilities/ difabel) merupakan anak yang memiliki kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya, yaitu pada kondisi fisik, mental maupun karakteristik perilaku sosialnya. Selain itu dapat juga diartikan sebagai anak yang berbeda dari rata-rata anak pada umumnya.


(17)

3

Anak yang dikategorikan sebagai difabel sesuai dengan pengertian di atas yaitu anak yang memiliki kelainan dalam aspek fisik meliputi kelainan pada indra penglihatan (tunanetra), kelainan indra pendengaran (tunarungu), kelainan kemampuan bicara (tunawicara), dan kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa). Selain itu, anak yang memiliki kelainan dalam aspek mental meliputi anak dengan kemampuan mental yang lebih (supernormal) yang dikenal dengan anak yang berbakat, dan anak yang memiliki kemampuan mental sangat rendah (subnormal) yang dikenal dengan anak tunagrahita. Anak dengan kelainan dalam aspek sosial memiliki kesulitan dalam penyesuaian perilaku terhadap lingkungan sekitar, atau disebut dengan anak tunalaras.

Mohammad Efendi (2006: 18) mengemukakan bahwa penyesuaian sosial bagi anak dengan disabilitas merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan. Hal tersebut disebabkan oleh ketunaan yang dialami tidak lepas dari kesulitan yang mengikutinya. Penyesuaian pada anak dengan kebutuhan khusus ini lebih sulit dikarenakan kelainan yang dapat dipandang sebagai suatu ketunaan yang kurang menguntungkan, baik dari penilaian masyarakat atau lingkungan maupun dari penyandang kebutuhan khusus itu sendiri.

Problematika dalam meilihat anak dengan kebutuhan khusus di masyarakat adalah implikasi sosial pada keluarbiasaan yang cenderung negatif. Masyarakat pada umumnya menganggap anak dengan kebutuhan khusus sebagai anak berkelaianan yang tidak mampu belajar serta tidak


(18)

4

mampu untuk mandiri dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga mereka perlu untuk dibantu dan menjadi beban bagi keluarga atau masyarakat (Ellah Siti Chalidah, 2005: 17).

Anak luar biasa tidak hanya menempuh pendidikan dalam Sekolah Luar Biasa (SLB) saja, namun juga dapat mengikuti pendidikan dalam sekolah reguler. Sesuai dengan Amanat hak atas pendidikan bagi anak penyandang kelainan atau ketuaan yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 disebutkan

bahwa: “Pendidikan Khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan

bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, dan atau

memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Ketetapan dalam Undang -undang No. 20 tahun 2003 tersebut sangat penting bagi anak berkelainan bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan dengan anak normal lainnya.

Pendidikan inklusi merupakan perwujudan dari pendekatan inklusi yang diupayakan untuk memberikan layanan pendidikan kepada anak luar biasa secara integral dan manusiawi (Edi Purwanta, 2002: 3). Menurut Staub dan Peck (Edi Purwanta, 2002: 3) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak luar biasa tingkat ringan, sedang dan dan berat secara penuh dalam kelas biasa. Menurut pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan inklusi menempatkan anak luar biasa dalam kelas biasa.


(19)

5

Salamanca (Sue Stubbs, 2002: 37) menyatakan bahwa pendidikan inklusi merupakan perkembangan pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, dimana prinsip mendasar dari pendidikan inklusi, selama memungkinkan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.

Dalam pendidikan inklusi tersebut anak dengan kebutuhan khusus berada dalam kelas yang sama dengan anak normal lainnya. Salah satu tujuan utama pendidikan inklusi adalah mendidik anak dengan kebutuhan khusus akibat kecatatan yang dimilikinya di kelas reguler bersama-sama dengan anak-anak lain yang normal (non cacat), dengan dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya, baik dalam lingkungan sekolah maupun di dalam lingkungan keluarganya.

Salah satu alasan dari pendidikan inklusi ini adalah anak dengan kebutuhan khusus akan memiliki hasil yang lebih baik secara akademik maupun sosial apabila mereka ada dalam setting kebersamaan. Kemudian, anak dengan kebutuhan khusus juga belajar untuk hidup dengan lebih mandiri apabila mengikuti pendidikan bersama dengan anak normal lain yang sebaya dengannya, bukan dengan berada dalam sekolah khusus (Edi Purwanta, 2002: 4).

Dampak yang diharapkan dari adanya pendidikan inklusi ini adalah siswa lain dapat belajar dan mengenal tentang orang-orang yang berbeda dengan dirinya. Sehingga, mereka dapat menghargai orang-orang dengan


(20)

6

kondisi yang berbeda, baik dari cara belajar, fisik, dan emosional melalui berbagai pengalaman yang didapatkan dari sekolah inklusi. Selanjutnya, dampak lain yang dirasakan dari pendidikan inklusi adalah pandangan negatif dari pendidik ataupun siswa lain mulai berubah. Mereka yang sudah mulai bergaul anak dengan kebutuhan khusus mulai menerima dan mengenal mereka sebagai anggota kelas yang berharga.

Dalam pendidikan inklusi ini, anak dengan kebutuhan khusus memerlukan penerimaan dari kelompoknya. Penerimaan dari kelompok sangat penting bagi mereka, namun anak dengan kebutuhan khusus memiliki hambatan dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Hal tersebut dapat disebabkan karena kekurangan yang dimiliki maupun dikarenakan lingkungan yang masih kurang menerima kehadiran mereka dalam kelompok. Penerimaan yang kurang tersebut dapat disebabkan oleh stigma yang negatif atas perbedaan yang dimiliki, selain itu belum dipahaminya kebutuhan anak luar biasa.

Penerimaan sosial yang positif dapat memudahkan seseorang dalam pembentukan tingkah laku sosial yang diinginkan, reinforcement atau

modelling dan pelatihan secara langsung dapat meningkatkan keterampilan

sosial. Pemilihan seseorang atau teman untuk aktivitas tertentu di dalam kelompok dimana orang tersebut menjadi anggota juga disebut sebagai penerimaan sosial. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai indeks keberhasilan dari seseorang untuk berperan dalam kelompok sosial serta menunjukkan


(21)

7

derajat rasa suka dari anggota kelompok lain untuk bekerja sama dalam kelompok.

Sangat penting bagi seorang remaja untuk diterima oleh teman sebaya dalam kelompok sosialnya. Penolakan dari teman sebaya dalam kelompok sosialnya akan berpengaruh sangat besar bagi seorang remaja, hal tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial pada remaja itu sendiri. Apabila seorang remaja mengalami penolakan sosial dari kelompoknya akan menyebabkan remaja tersebut kesulitan dalam bersosialisasi sehingga menyebabkan interaksi sosial remaja tersebut menjadi sempit. Hal tersebut akan menyebabkan remaja tersebut menjadi pribadi yang tertutup, terutama apabila hal tersebut terjadi pada remaja dengan kebutuhan khusus akan menyebabkan remaja kurang percaya diri terlebih dengan kebutuhan khusus yang dimilikinya.

Kartini Kartono (2011: 46) menyatakan perasaan bahagia dan kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan oleh individu yang sosiopatik itu secara kualitatif bergantung pada sikap pribadinya terhadap Aku sendiri. Hal tersebut dipengaruhi oleh penerimaan sosial yang positif dari kelompok. Pendefinisian diri seseorang dipengaruhi oleh perimbangan antara pendifinisan sosial atau penentuan sosial dengan pendefinisian diri sendiri. Jadi, penerimaan diri seseorang tersebut dipengaruhi juga oleh penerimaan sosial dari kelompok sosial atau masyarakat.


(22)

8

Remaja yang memiliki penerimaan diri yang positif akan merasa lebih puas dan bahagia terhadap dirinya sendiri. Sebaliknya apabila seorang remaja merasa ditolak oleh kelompok sosial atau masyarakat, ia akan merasa tidak bahagia dan kurang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hal tersebut akan berdampak pada konflik sosial antar teman sebaya di sekolah. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan konflik sosial yang diakibatkan oleh penolakan sosial misalnya perbedaan fisik atas adanya anak dengan kebutuhan khusus yang berada dalam kelas yang sama dengan peserta didik normal yang lainnya.

Pada penelusuran awal yang dilakukan oleh peneliti pada hari Senin tanggal 23 Februari 2015 pada beberapa peserta didik di MAN Maguwoharjo dan dengan Bapak Nuryadi selaku waka kurikulum di MAN Maguwoharjo yaitu bahwa selama ini tidak pernah terjadi konflik antara siswa yang normal dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Beberapa siswa kelas XII menyampaikan bahwa mereka menerima dengan baik adanya difabel di MAN Maguwoharjo tersebut karena mereka memiliki keunikan sendiri.

Kemudian pada observasi kedua yang dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 25 Februari 2015 pada Ibu Nur selaku guru BK di MAN Maguwoharjo didapatkan data bahwa terdapat delapan peserta didik dengan kebutuhan khusus di MAN Maguwoharjo. Siswa dengan kebutuhan khusus tersebut terbagi pada jenjang kelas X, XI dan XII. Pada kelas X hanya terdapat satu siswa dengan kebutuhan khusus, yaitu tunanetra. Pada kelas XI terdapat lima siswa dengan kebutuhan khusus, yaitu satu siswa dengan


(23)

9

kondisi tunadaksa dan empat siswa dengan kondisi tunanetra. Sedangkan pada kelas XII terdapat dua siswa dengan kondisi low vision dan tunanetra.

Menurut penuturan dari guru BK, siswa dengan kebutuhan khusus diberi perhatian khusus oleh guru di kelas. Difabel pun dibantu oleh peserta didik lain di kelasnya. Pada siswa kelas XI dan XII, siswa dengan kebutuhan khusus dibantu oleh teman yang memang sudah dekat dengannya. Namun pada siswa kelas X dijadwal oleh wali kelas yang bersangkutan. Hal tersebut dikarenakan siswa dengan kondisi yang normal belum bisa beradaptasi dengan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus. Siswa tersebut masih merasa asing dengan siswa yang berkebutuhan khusus. Sehingga mereka belum dapat dengan sukarela untuk membantu siswa dengan kebutuhan khusus. Hal tersebut yang menyebabkan guru wali kelas memberi pengertian kepada mereka tentang siswa dengan kebutuhan khusus dan menjadwal mereka untuk memberikan bantuan saat pelajaran.

Peserta didik dengan kebutuhan khusus memiliki Guru Pendamping Khusus (GPK) untuk memberikan bantuan kepada mereka apabila memiliki masalah terkait dengan ketunaannya. GPK tersebut merupakan guru dari Sekolah Luar Biasa (SLB). Namun apabila difabel memiliki masalah terkait dengan pribadi, sosial, belajar atau karir biasanya mendatangi guru BK untuk meminta bantuan. Pada saat ujian, siswa dengan kebutuhan khusus tersebut didampingi oleh dua guru, salah satu guru membacakan soal sedangkan guru lainnya menuliskan jawaban, untuk jawaban essaysiswa dengan kebutuhan khusus menuliskan dalam huruf braille (pada siswatunanetra).


(24)

10

Dari penelusuran awal di atas pada sekolah inklusi di Yogyakarta, dapat diketahui bahwa di dalam kenyataan pada awalnya tidak mudah bagi siswa untuk menerima dengan baik adanya difabel pada kelas mereka. Siswa yang baru mengenal difabel pada umumnya masih takut untuk beradaptasi dengan mereka karena ketunaan yang dimiliki. Untuk itu diperlukan pengalaman yang cukup untuk dapat menerima difabel sebagai anggota kelas seperti siswa normal yang lainnya.

Dapat diketahui bahwa terdapat permasalahan kurangnya penerimaan sosial oleh siswa terutama pada siswa kelas X terhadap siswa difabel di MAN Maguwoharjo. Padahal idealnya sesama siswa sebaiknya siswa memiliki penerimaan sosial yang tinggi, dengan penerimaan sosial yang tinggi siswa dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap kelompok teman sebaya di dalam sekolah, terutama bagi siswa difabel yang memiliki kekurangan pada fisiknya. Apabila siswa memiliki penerimaan sosial yang tinggi dari teman sebayanya dan dapat menyesuaikan diri dengan baik maka akan lebih mudah dalam melaksanakan kegiatan akademik dan non akademik di sekolah.

Perkembangan remaja masih rentan terhadap berbagai masalah. Hal tersebut mendorong peneliti untuk mengetahui penerimaan sosial terhadap keberadaan difabel pada siswa lain di sekolah inklusi. Alasan peneliti untuk melakukan penelitian di MAN Maguwoharjo adalah sekolah tersebut merupakan madrasah aliyah inklusi pertama di Indonesia. Terdapat delapan anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di MAN Maguwoharjo pada tahun ajaran 2015/2016, dengan kebutuhan khusus yang dimiliki antara lain


(25)

11

tunanetra, low vision, tunagrahita dan tunadaksa. Dengan adanya anak berkebutuhan khusus di sekolah tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan sosial di sekolah, salah satu diantaranya yaitu penerimaan sosial terhadap difabel.

Berdasarkan pengamatan dan teori di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa lingkungan sosial terutama sekolah dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan remaja. Penerimaan sosial yang positif oleh teman sebaya terhadap difabel di sekolah dapat memberikan pengaruh yang positif pula terhadap penerimaan diri remaja. Tetapi pada kenyataan di lapangan belum semua siswa memiliki penerimaan sosial yang tinggi terhadap siswa difabel di MAN Maguwoharjo, hal tersebut menunjukkan kesenjangan antara harapan ideal dan keadaan di lapangan.Penerimaan sosial yang kurang baik oleh teman sebaya terhadap difabel di sekolah akan mempengaruhi penerimaan diri pada remaja yang negatif. Maka dari itu menarik untuk diteliti untuk dilakukan penelitian mengenai penerimaan sosial terhadap difabel pada siswa di sekolah inklusi.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, masalah-masalah yang dapat diidentifikasi antara lain:

1. Masyarakat pada umumnya masih menganggap siswa difabel tidak mampu mandiri dalam kehidupan sehari-hari.


(26)

12

2. Tidak mudah bagi siswa normal untuk menerima secara terbuka adanya difabel dalam sekolah inklusi.

3. Adanya variasi tentang penerimaan sosial di sekolah inklusi. 4. Perkembangan remaja terhambat akibat dari kurangnya

penerimaan sosial dari lingkungan.

5. Akibat dari penerimaan sosial yang buruk, siswa difabel memiliki penerimaan diri yang rendah.

C. Batasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas permasalahan permasalahan sosial sangat kompleks, oleh karena itu maka pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu tingkat penerimaan sosial terhadap keberadaan difabel pada siswa di sekolah inklusi. Penelitian dibatasi pada tingkat penerimaan sosial siswa terhadap obyek yang diteliti, obyek yang diteliti dalam penelitian ini adalah siswa difabel yang berada di dalam pendidikan inklusi.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah:Bagaimana tingkat penerimaan sosial terhadap keberadaan siswa difabel pada siswa di MAN Maguwoharjo?


(27)

13 E. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan tingkat penerimaan sosial terhadap keberadaan difabel pada siswa di MAN Maguwoharjo.

F. Manfaat

Adapun manfaat penelitian adalah: 1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian terhadap penerimaan sosial terhadap keberadaan difabel pada siswa diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu bidang Bimbingan dan Konseling sosial terutama pada penerimaan sosial terhadap keberadaan siswa difabel.

2. Manfaat praktis

a. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling

Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi Guru Bimbingan dan Konseling dalam memberikan layanan informasi dan konseling mengenai pentingnya penerimaan sosial bagi remaja.

b. Bagi Kepala Sekolah

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam pengambilan kebijakan untuk penerimaan sosial terhadap keberadaan siswa difabel dalam penyelenggaraan


(28)

14

pendidikan inklusi selanjutnya. Salah satu alasan dari pendidikan inklusi ini adalah anak dengan kebutuhan khusus akan memiliki hasil yang lebih baik secara akademik maupun sosial apabila mereka ada dalam setting kebersamaan. Kemudian, anak dengan kebutuhan khusus juga belajar untuk hidup dengan lebih mandiri apabila mengikuti pendidikan bersama dengan anak normal lain yang sebaya dengannya, bukan dengan berada dalam sekolah khusus.

c. Bagi Siswa

Siswa memahami dan memiliki pengetahuan mengenai pentingnya penerimaan sosial terhadap teman sebaya di sekolah, terutama terhadap siswa dengan kebutuhan khusus.


(29)

15 BAB II KAJIAN TEORI

A. Penerimaan Sosial

1. Pengertian Penerimaan Sosial

Hurlock (1978: 293) mengemukakan bahwa penerimaan sosial berarti dipilih oleh teman dalam kelompok untuk suatu aktivitas dimana seseorang menjadi anggota. Hal tersebut menjadi indeks keberhasilan yang dipakai untuk berperan dalam kelompok sosial dan menunjukkan derajat rasa suka dari anggota kelompok yang lain untuk bekerja atau bermain dengannya.

Hurlock juga mengartikan bahwa penerimaan sosial sebagai suatu keadaan dimana keberadaan orang tersebut ditanggapi secara positif oleh orang lain dalam suatu hubungan yang dekat dan hangat dalam suatu kelompok. Dalam penyesuaian sosial, kemampuan untuk memahami status seseorang dalam kelompok merupakan suatu hal yang penting. Penyesuaian sosial yang baik akan mempengaruhi bagaimana seseorang akan berperilaku dalam situasi sosial. Sehingga, anak dengan penerimaan sosial yang baik dan memahami bahwa ia diterima akan memiliki penyesuaian sosial yang baik pula.

Penerimaan sosial menurut Hurlock tersebut dapat ditegaskan bahwa seseorang tersebut diterima dan ditanggapi secara positif oleh kelompoknya, dengan begitu sesorang sengan penerimaan sosial yang baik memiliki hubungan yang dekat dan hangat dalam kelompoknya.


(30)

16

Hal tersebut menjadi indeks dalam keberhasilan dalam perannya di kelompok sosialnya, berarti orang tersebut disukai oleh anggota kelompoknya. Seorang yang diterima dan memahmi bahwa ia diterima oleh kelompoknya akan memiliki penyesuaian yang baik pula.

Menurut Berk (Dady Aji Prawiro Sutarjo, 2014: 21) penerimaan sosial merupakan kemampuan seseorang sehingga ia dihormati oleh anggota yang kelompok lainnya sebagai partner sosial yang berguna. Leary (Septalia Meta Karina& Suryanto, 2012: 3) menyatakan bahwa penerimaan sosial berarti adanya sinyal dari orang lain yang ingin menyertakan seseorang untuk tergabung dalam suatu relasi atau kelompok sosial. Leary juga menyatakan bahwa penerimaan sosial terjadi pada kontinum yang berkisar dari menoleransi kehadiran orang lain hingga secara aktif menginginkan seseorang untuk dijadikan partner dalam suatu hubungan.

Berk dan Leary menekankan penerimaan sosial sebagai diterimanya seseorang untuk menjadi partner sosial yang aktif dalam kelompoknya. Penerimaan sosial menjadi sinyal bahwa anggota kelompok lain menghormati dan menginginkan orang tersebut untuk bergabung dalam kelompok sosialnya.

Miller (Septalia Meta Karina & Suryanto, 2012: 3) hubungan interpersonal ditandai oleh penerimaan sosial yang dilihat sebagai aspek yang fundamental bagi keberlangsungan hidup manusia.


(31)

17

Sedangkan menurut Chaplin (Kamus Lengkap Psikologi, 1995) mengemukakan penerimaan sosial sebagai pengakuan dan penghargaan terhadap nilai-nilai individu. Individu yang mendapatkan penerimaan sosial akan merasa mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari individu lain maupun dari kelompok secara utuh.

Miller menyatakan penerimaan sosial sebagai aspek dasar atau fundamental dalam hidup manusia, hal tersebut didukung oleh Chaplin bahwa individu dengan penerimaan sosial yang baik akan merasa diakui dan dihargai oleh kelompok sosialnya, pengakuan dan penghargaan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial seseorang.

Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat ditegaskan bahwa penerimaan sosial didefinisikan sebagai diterima dan diakuinya individu di dalam suatu kelompok sosial, individu tersebut dipandang secar positif oleh anggota kelompok. Sehingga individu tersebut dapat berperan aktif dalam kelompok sosialnya, dan dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap kelompok tersebut.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Sosial

Rika Eka Izzaty dkk (2008: 138) penerimaan sosial (social

acceptance) dalam kelompok remaja sangat tergantung pada beberapa


(32)

18

partisipasi sosial, (d) perasaan humor yang dimiliki, (e) keterampilan berbicara, dan (f) kecerdasan.

Sementara itu menurut Hurlock dalam Rita Eka Izzaty (2008: 142) faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan sosial remaja yaitu:

a. Kesan pertama yang menyenangkan, kesan pertama tersebut dilihat dari penampilan yang menarik perhatian, sikap yang tenang dan gembira.

b. Memiliki reputasi yang baik sebagai orang yang sportif dan menyenangkan.

c. Penampilan diri yang sesuai dengan penampilan yang dimiliki oleh teman-teman sebaya.

d. Perilaku sosial yang ditandai oleh beberapa hal yaitu kerjasama, tanggung jawab, panjang akal, kesenangan bersama orang lain, bijaksana dan berlaku sopan.

e. Matang dalam hal pengendalian emosi serta kemauan untuk mengikuti peraturan kelompok.

f. Memiliki sifat kepribadian yang menimbulkan penyesuaian sosial yang baik seperti misalnya sifat-sifat yang jujur, setia serta tidak mementingkan diri sendiri dan terbuka.

g. Status sosial ekonomi yang sama atau sedikit di atas anggota-anggota lainnya dalam kelompoknya, serta memiliki hubungan dengan anggota-anggota keluarga yang baik.

h. Tempat tinggal yang dekat dengan kelompok sehingga akan mempermudah hubungan dan partisipasi dalam berbagai kegiatan dalam kelompok.

Berdasarkan pendapat terssebut, faktor-faktor penerimaan sosial yang dikemukakan oleh Rita Eka Izzaty dkk di atas yaitu terdapat enam faktor utama untuk seseorang dapat diterima dalam kelompok sosialnya. Faktor paling penting yang pertama kali dilihat oleh seseorang adalah kesan pertama, kesan pertama yang baik dapat menimbulkan penerimaan sosial yang positif. Penampilan yang


(33)

19

menarik juga penting bagi seseorang untuk diterima dalam kelompok sosial, namun hal tersenut juga didukung oleh partisipasi sosial, perasaan humor yang dimiliki dan keterampilan berbicara yang paling. Hal-hal tersebut sangat penting bagi seseorang untuk berinteraksi dalam suatu kelompok, interaksi yang baik akan menimbulkan penerimaan sosial yang positif. Selain itu, kecerdasan juga dianggap penting untuk seseorang dapat diterima dalam sebuah kelompok. Hurlock menambahkan dua faktor yang juga penting bagi seseorang untuk diterima dalam kelompok sosial, yaitu status ekonomi dan tempat tinggal.

Hurlock (1978: 296) menyatakan beberapa hal yang menyebabkan seseorang diterima oleh kelompoknya memiliki beberapa ciri tertentu yang bersifat universal, yaitu:

a. Bersifat ramah dan kooperatif, mereka dapat menyesuaikan diri tanpa menimbulkan kekacauan, mengikuti peraturan, menerima dengan senang apa yang terjadi, dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain.

b. Mengutamakan orang lain (tidak egosentris), mereka mengutamakan orang lain dan tidak membangun egonya sendiri untuk melambungkannya.

c. Bersikap sebagaimana adanya, maksudnya tidak menyesuaikan diri secara berlebihan, tetapi menyesuaikan diri terhadap pola kelompok secara luas, dengan mematuhi peraturan, kebiasaan dan adat istiadatnya.

Berdasarkan pendapat tersebut, Hurlock menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang untuk diterima dalam kelompok sosial adalah memiliki sikap yang ramah dan kooperatif, seseorang yang ramah dan kooperatif akan lebih disukai oleh orang lain sehingga


(34)

20

akan memiliki penerimaan sosial yang baik pula. Faktor lain yang mempengaruhi adalah individu yang tidak egosentris dan bersikap sebagaimana adanya, dengan beberapa faktor di atas maka seseorang dapat diterima secara positif oleh orang lain atau anggota kelompok sosial.

W.A Gerungan (Psikologi Sosial, 2004: 39) menyebutkan beberapa faktor yang mendasari seseorang diterima oleh kelompoknya adalah, (a) faktor sugesti dan (b) faktor empati, lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut:

a. Faktor Sugesti

Sugesti merupakan keadaan individu atau kelompok, baik datangnya dari diri sendiri maupun orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya daya tarik. Sugesti merupakan suatu proses dimana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu, dan dikatakan pula seseorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya yang lalu diterima oleh orang lain di luarnya.

b. Faktor Simpati

Simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis, melainkan berdasarkan penilaian perasaan, bahkan orang dapat tiba-tiba merasa dirinya tertarik kepada orang lain seakan-akan dengan


(35)

21

sendirinya, dan tertariknya itu bukan karena salah satu ciri tertentu, melainkan karena keseluruhan cara-cara bertingkah laku orang tersebut.

Terdapat dua faktor yang mendasari seseorang untuk diterima oleh kelompoknya menurut W.A Gerungan, yaitu faktor sugesti dan faktor simpati. Faktor sugesti dimaksudkan sebagai individu diterima oleh orang lain atau kelompok tanpa adanya kritik maupun daya tarik sebelumnya, namun seseorang diterima secara apa adanya berdasarkan sugesti oleh seseorang. Faktor simpati merupakan sikap seseorang yang tertarik kepada individu yang didasarkan pada perasaan tertariknya pada orang lain karena keseluruhan cara-cara bertingkah laku orang tersebut.

Leary (Dady Aji Prawiro Sutarjo, 2014: 23) mengusulkan beberapa faktor utama yang mempengaruhi seseorang mendapatkan faktor-faktor sosial, yaitu meliputi kompetensi sosial, penampilan fisik, pelanggaran aturan interaksi antar individu, dan sejauh mana individu tersebut membosankan atau tidak menarik sebagai mitra dalam interaksi sosial.

Faktor utama yang mempengaruhi seseorang untuk diterima oleh kelompok sosialnya menurut Leary adalah kompetensi sosial, penampilan fisik yang ada pada orang tersebut, patuh atau tidaknya seseorang pada aturan kelompok, dan daya tarik sosial orang tersebut.


(36)

22

Dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang untuk diterima dalam kelompok sosial adalah kesan pertama, memiliki reputasi yang baik, penampilan diri yang menarik, perilaku sosial yang baik, matang dalam pengendalian emosi, status ekonomi, dan tempat tinggal yang dekat.

3. Penerimaan dan Penolakan Sosial terhadap Difabel

Jenis penyesuaian pribadi dan sosial yang dilakukan oleh seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat penerimaan yang diberikan oleh teman sebaya kepada mereka. Oleh karena itu, dampak dari penerimaan sosial cukup besar. Indeks keberhasilan sosial dipengaruhi oleh tingginya nilai seseorang diterima oleh orang tua, guru ataupun teman sebayanya. Sehingga, seseorang akan menggunakan indeks keberhasilan tersebut sebagai sudut pandang apakah ia berhasil atau gagal dalam kelompok sosialnya. Hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap konsep diri seseorang.

Menurut Hurlock (1978: 297) terdapat beberapa dampak apabila seseorang diterima oleh kelompok sosialnya, yaitu:

a. Memiliki konsep diri yang positif.

b. Anak yang diterima dengan baik akan memiliki peluang yang lebih banyak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok teman sebaya. c. Secara sosial, anak yang diterima akan memiliki kecakapan sosial yang

lebih baik karena lebih sering mempelajari keterampilan sosial dalam kelompok.


(37)

23

Berdasarkan pendapat Hurlock di atas dapat ditegaskan bahwa dampak yang diperoleh apabila seorang individu diterima oleh kelompok sosialnya yaitu memiliki konsep diri yang positif, seseorang dengan penerimaan sosial yang baik dapat memiliki peluang yang lebih banyak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok teman sebayanya, selain itu seseorang dengan penerimaan sosial yang tinggi akan memiliki kecapakan sosial yang tinggi, karena dengan penerimaan sosial yang tinggi seseorang dapat melatih keterampilan sosial dalam kelompoknya, sehingga dapat menjalin persahabatan dengan kelompok teman sebaya dengan lebih baik.

Sedangkan, dampak yang terjadi pada anak yang mengalami penolakan oleh kelompok sosialnya yaitu:

a. Mendapatkan efek yang buruk pada konsep diri mereka.

b. Kurang aktif dalam kelompok dikarenakan memiliki peluang yang sedikit dalam kegiatan kelompok teman sebaya.

c. Kecakapan sosial yang dimiliki lebih rendah sebagai akibat dari kurangnya mempelajari keterampilan sosial dalam kelompok.

Dapat ditegaskan dari pendapat Hurlock di atas seseorang yang mengalami penolakan sosial dari kelompok sosialnya dapat berpengaruh terhadap konsep diri yang buruk terhadap individu tersebut. Seseorang yang mengalami penolakan sosial biasanya kurang aktif dalam kelompok teman sebayanya, sehingga dapat berpengaruh terhadap kecakapan sosial yang rendah karena tidak mempelajari keterampilan sosial dalam kelompok sosialnya.

Santrock (2003: 219) mengemukakan beberapa hal akibat dari pengabaian atau penolakan dari teman sebaya, remaja yang dikucilkan


(38)

24

cenderung mudah stress, frustasi dan sedih. Isolasi dari teman sebaya dan ketidakmampuan seorang remaja untuk masuk dalam suatu kelompok sosial akan mengakibatkan hal-hal negatif terkait dengan berbagai bentuk masalah dan masalah seperti kenakalan dan depresi. Selain itu, penolakan dapat menimbulkan rasa kesepian serta timbulnya rasa permusuhan. Selanjutnya, penolakan dan pengabaian tersebut berhubungan dengan kesehatan mental individu dan masalah kriminal.

Sullivan (Santrock, 2011: 403) menyatakan disamping peranan orang tua, peranan teman sebaya dalam perkembangan pada remaja sangat penting. Setiap individu memiliki kebutuhan sosial dasar, seperti kebutuhan akan kelembutan (kelekatan yang aman), teman bermain, penerimaan sosial, keintiman, dan lain lain. Kebutuhan-kebutuhan tersebut sangat penting untuk terpenuhi, dengan terpenuhinya kebutuhan tersebut dapat menentukan kesejahteraan emosional seseorang. Apabila penerimaan sosial seorang remaja tidak terpenuhi, maka ia akan mengalami rasa penghargaan terhadap diri yang rendah.

Berdasarkan pendapat tersebut, Hurlock (1990: 298) menambahkan beberapa manfaat dari diterimanya seseorang dalam kelompok sosial. Penerimaan sosial dari anggota dan kelompok akan berpengaruh positif dalam perkembangan sosial seseorang, manfaat tersebut yaitu:

a. Merasa senang dan aman.

b. Mengembangkan konsep diri yang positif, dikarenakan diterima atau diakuinya ia oleh orang lain.

c. Memiliki kesempatan untuk mempelajari berbagai pola perilaku yang diterima secara sosial dan juga keterampilan sosial yang membantu kesinambungan mereka dalam suatu situasi sosial.


(39)

25

d. Secara mental mereka bebas untuk mengalihkan perhatian mereka keluar, dan untuk menaruh minat pada orang atau sesuatu di luar diri mereka.

e. Menyesuaikan diri terhadap harapan kelompok, serta tidak mencemooh tradisi sosial.

Berdasarkan pendapat di atas, Hurlock berpendapat bahwa apabila seseorang mengalami penerimaan sosial dalam kelompok sosialnya maka seseorang tersebut akan merasa lebih senang dan bahagia, sehingga dapat mempengaruhi konsep diri yang positif pada orang tersebut. Seseorang dengan penerimaan sosial yang baik juga lebih cakap dalam menjalin hubungan dengan kelompok teman sebayanya, dikarenakan memiliki kesempatan yang lebih banyak berlatih dalam kelompok sosialnya. Sehingga individu tersebut dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik dalam kelompok sosialnya.

Yudrik Jahja (2011: 49) menyatakan penerimaan sosial selama masa remaja dapat menambahkan gengsi dari kelompok besar yang diidentifikasikannya, penerimaan sosial pada kelompok remaja tergantung pada sekumpulan sifat dan pola perilaku pada remaja.

Dari pendapat para ahli di atas dapat diketahui bahwa penerimaan sosial bagi remaja atau individu sangat penting. Dengan diterima atau diakuinya seseorang oleh anggota atau kelompok sosialnya maka akan berdampak positif pada dirinya, seperti memiliki konsep diri yang positif, dapat lebih aktif/ berperan dalam kelompok, memiliki kecakapan sosial yang lebih baik, merasa senag dan aman serta dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sebaliknya, apabila remaja atau seorang individu ditolak atau


(40)

26

diabaikan oleh anggota dan kelompok sosialnya maka ia akan berpengaruh pada konsep diri yang negatif, kurang aktif dalam kelompok, kecakapan sosialnya rendah, lebih stress dan depresi, serta berdampak pada hal-hal yang negatif seperti kenakalan atau permusuhan.

B. Pendidikan Inklusi

1. Pengertian Pendidikan Inklusi

Mohammad Takdir Ilahi (2013: 24) menyatakan bahwa pendidikan inklusi merupakan sebuah konsep dalam pendidikan yang menampung anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus maupun memiliki kesulitan dalam membaca dan menulis. Pendidikan inklusi menjamin akses dan kualitas anak sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimiliki serta menjamin kebutuhan mereka dapat terpenuhi dengan baik. Konsep dari pendidikan ini mencerminkan pendidikan untuk semua anak tanpa terkecuali, baik anak dengan kebutuhan khusus maupun anak yang tidak memiliki kemampuan dalam finansial.

Direktorat PSLB (2004) mendefinisikan pendidikan inklusif di Indonesia sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian, baik dari segi kurikulum, sarana dan


(41)

27

prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.

Hildegun Oslen (Tarmansyah, 2007: 82) menyatakan bahwa pendidikan inklusi berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik maupun kondisi yang lainnya. Termasuk di dalamnya anak dengan kebutuhan khusus/ penyandang cacat dan anak berbakat serta anak dengan kemampuan finansial yang kurang mencukupi seperti anak jalanan dan lain sebagainya.

Staub dan Peck (Tarmansyah, 2007: 82) mengemukakan pendidikan inklusi merupakan penempatan anak berkelainan ringan, sedang, dan penuh di kelas. Hal tersebut menunjukkan kelas reguler sebagai kelas yang relevan untuk belajar bagi anak yang berkelainan, apapun jenis kelainannya.

Freiberg (Tarmansyah, 2007: 82) mengemukakan dalam pendidikan inklusi anak-anak dengan kebutuhan khusus dididik bersama dengan anak-anak normal yang lainnya, hal tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan potensi yang mereka miliki. Landasan dari konsep tersebut adalah kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak-anak normal dan anak-anak dengan kebutuhan khusus, yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagai suatu komunitas manusia dan sebagai makhluk sosial.


(42)

28

Pendidikan inklusi ini memandang bahwa semua anak memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosio-emosional, linguistik yang mencakup anak dengan kebutuhan khusus dan anak berbakat, anak jalanan dan lain sebagainya.

Pendidikan inklusi dapat diartikan sebagai pendidikan yang memberikan layanan terbuka bagi siapa saja yang memiliki keinginan untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Kesempatan belajar yang sama tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang normal saja, namun juga bagi anak dengan kebutuhan khusus yang dididik secara bersama-sama dalam kelas reguler.

Di dalam pendidikan inklusi ini, semua anak memiliki akses yang sama pada seluruh sumber-sumber belajar serta sarana yang tersedia. Maka dari itu, sekolah reguler dalam orientasi pendidikan inklusi merupakan alat yang efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang

inklusif dan mencapai “pendidikan bagi semua” (education for all). Sehingga dapat mengoptimalkan potensi-potensi yang dimiliki oleh semua anak tanpa terkecuali.

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi merupakan konsep pendidikan dimana semua anak, baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus serta anak dengan kemampuan finansial yang kurang mencukupi, memiliki akses yang sama untuk mendapat


(43)

29

sumber-sumber dan sarana pendidikan yang sama. Mereka ada di dalam satu kelas yang sama, mendapatkan pendidikan untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki.

Perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia mengalami perkembangan peningkatan yang cukup pesat. Tetapi dampak dari pendidikan inklusi belum dirasakan sepenuhya oleh anak didik yang memiliki kebutuhan khusus, sehingga membutuhkan pelayanan yang lebih intensif dari pihak-pihak terkait yang ikut serta menentukan masa depan mereka nantinya (Muhammad Takdir Ilahi, 2013: 52-55).

Keberadaan lembaga-lembaga sekolah yang menampung anak dengan kebutuhan khusus atau yang disebut juga dengan different

ability (difabel) menjadi sangat penting keberadaannya untuk

menopang aktivitas belajar mereka agar semakin berkembang menjadi anak yang lebih mandiri dan terampil. Selama ini anak dengan kebutuhan khusus disediakan fasilitas pendidikan khusus yang disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB).

Perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia sudah menunjukkan peningkatan yang cukup baik, tetapi masih perlu membutuhkan penanganan yang serius dari pemerintah. Pada saat ini peran lembaga pendidikan sangat menunjang pertumbuhan anak dalam memperoleh pendidikan serta cara bergaul dengan orang lain. Selain itu, lembaga pendidikan tidak hanya sebagai tempat untuk memperoleh ilmu dan


(44)

30

pengetahuan, namun juga sebagai lembaga yang dapat memberi keterampilan yang diharapkan dapat bermanfaat di dalam masyarakat. Perkembangan pendidikan inklusif dapat dilihat dari beberapa sekolah yang telah dibuka bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan keadaan siswa menjadi salah satu keunggulan dari sekolah inklusif. Keberadaan sekolah inklusif penting untuk mengembangkan potensi dan keterampilan peserta didiknya, baik yang berkebutuhan khsusus maupun normal, sekolah inklusif dapat juga sebagai tempat untuk melatih agar dapat hidup dengan mandiri dan tidak selalu bergantung pada bantuan orang lain.

2. Tujuan Pendidikan Inklusi

Tujuan dari pendidikan inklusi adalah pendidikan yang ditujukan pada semua kelompok yang termaginalisasi, tetapi praktik dan kebijakan inklusi anak penyandang cacat telah menjadi katalisator utama untuk mengembangkan pendidikan inklusif yang efektif, fleksibel, dan tanggap terhadap keanekaragaman gaya dan kecepatan belajar.

Sujarwanto (Mohammad Takdir Ilahi, 2013: 39) mengemukakan beberapa hal yang perlu dicermati lebih lanjut mengenai tujuan pendidikan inklusi, yaitu:

a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk


(45)

31

memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

b. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, selain itu juga tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

Berdasarkan pendapat Sujarwanto di atas, tujuan dalam pendidikan inklusi yaitu mewujudkan penyelenggaraan pendidikan tanpa diskriminasi yang menghargai keanekaragaman yang dimiliki oleh siswa. Pendidikan inklusi memiliki tujuan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh siswa untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, termasuk di dalamnya siswa dengan kebutuhan khusus.

UNESCO (Tarmansyah, 2007: 111) mengemukakan tujuan praktis yang ingin dicapai dalam pendidikan inklusi yang meliputi beberapa hal, yaitu: tujuan yang dapat dirasakan langsung oleh anak, oleh guru, oleh orang tua dan masyarakat. Tujuan yang dapat dicapai oleh anak dalam mengikuti kegiatan belajar dalam setting inklusi adalah:

a. Berkembangnya kepercayaan diri pada anak, merasa bangga pada dirinya sendiri atas prestasi yang diperolehnya.

b. Anak dapat belajar secara mandiri dengan mencoba memahami dan menerapkan pelajaran yang diperoleh di sekolah ke dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan mereka.

c. Anak mampu berinteraksi secara aktif bersama dengan teman-temannya serta guru-guru yang ada di lingkungan sekolah dan masyarakat.

d. Anak dapat belajar untuk menerima adanya perbedaan, dan mampu beradaptasi dalam mengatasi perbedaan tersebut, sehingga secara keseluruhan anak menjadi kreatif dalam pembelajaran. Berdasarkan pendapat di atas, tujuan yang dapat dicapai pendidikan inklusi bagi siswa adalah dapat mengembangkan


(46)

32

kepercayan diri siswa karena dalam setting pendidikan inklusi siswa dapat belajar secara mandiri di sekolah dan dapat berinteraksi secara aktif dengan teman dan guru di lingkungan sekolahnya. Dengan pendidikan inklusi juga siswa dapat menghargai adanya perbedaan dengan orang lain.

Tujuan yang dapat dicapai oleh guru-guru dalam pelaksanaan pendidikan inklusif antara lain:

a. Guru akan memperoleh kesempatan belajar dari cara mengajar dalam setting inklusif.

b. Terampil dalam melakukan pembelajaran kepada peserta didik yang memiliki latar belakang beragam.

c. Mampu mengatasi berbagai tantangan dalam memberikan layanan kepada semua anak.

d. Bersikap positif terhadap orang tua, masyarakat, dan anak dalam situasi yang beragam.

e. Mempunyai peluang untuk menggali dan mengembangkan serta mengaplikasikan berbagai gagasan baru melalui komunikasi dengan anak di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat secara pro aktif, kreatif dan kritis. Dari pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa tujuan dari pendidikan inklusi yang dapat dicapai oleh guru di sekolah adalah dapat memperoleh kesempatan belajar dari cara mengajar dalam

setting inklusif, dapat lebih terampil dan mampu mengatasi berbagai

tantangan dalam memberikan layanan kepada semua siswa, serta memiliki peluang yang lebih untuk mengembangkan gagasan baru dalam memberikan pengajaran dalam setting inklusif.

Tujuan yang akan dicapai bagi orang tua antara lain:

a. Para orang tua dapat belajar lebih banyak tentang bagaimana cara-cara mendidik anaknya, cara membimbing anaknya lebih


(47)

33

baik di rumah, dengan menggunakan teknik yang digunakan guru di sekolah.

b. Mereka secara pribadi terlibat, dan akan merasakan keberadaannya menjadi lebih penting dalam membantu anak untuk belajar.

c. Orang tua akan merasa dihargai, mereka merasa dirinya sebagai mitra sejajar dalam memberikan kesempatan belajar yang berkualitas kepada anaknya.

d. Orang tua mengetahui bahwa anaknya dan semua anak yang ada di sekolah, menerima pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kemampuan masing-masing individu anak.

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa tujuan dari pendidikan inklusif yang dapat dicapai oleh orang tua adalah orang tua dapat belajar lebih banyak dalam mendidik anak dengan kebutuhan khusus, dengan pendidikan inklusi orang tua akan merasa lebih dihargai karena merasa dirinya sebagai mitra yang sejajar dalam memberikan kesempatan belajar kepada anaknya. Orang tua juga akan mengetahui bahwa anaknya mendapatkan pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kemampuan masing-masing individu anak.

Tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan inklusif antara lain adalah:

a. Masyarakat akan merasakan suatu kebanggaan karena banyak anak mengikuti pendidikan di sekolah yang ada di lingkungannya. Masyarakat dapat melihat bahwa masalah yang menyebabkan penyimpangan sosial yang menjadi penyakit masyarakat akan dikurangi dengan adanya layanan pendidikan untuk semua.

b. Semua anak yang ada di masyarakat akan terangkat dan menjadi sumber daya yang potensial, yang lebih penting adalah bahwa masyarakat akan lebih terlibat di sekolah dalam rangka menciptakan hubungan yang lebih baik antara sekolah dan masyarakat.


(48)

34

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa tujuan yang dapat dicapai oleh masyarakat dalam pendidikan inklusi ialah semua anak yang ada di dalam lingkungan masyarakat dapat menjadi sumber daya yang potensial, karena semua anak di lingkungan masyarakat dapat mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas maka dapat ditegaskan tujuan dari pendidikan inklusi adalah peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah inklusi dapat belajar lebih mandiri dalam kehidupan sehari-harinya, dapat belajar bersosialisasi dengan anak-anak normal lainnya di kelas, serta dapat menyesuaikan diri berinteraksi secara aktif dengan teman-teman sebayanya. Selain itu, bagi anak-anak lainnya dan guru serta masyarakat dapat memahami perbedaan yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus.

3. Fungsi Pendidikan Inklusi

Staub dan Peck (Tarmansyah, 2007: 131) mengidentifikasikan beberapa kelebihan dalam penerapan pendidikan inklusi yaitu:

a. Berkurangnya rasa takut akan perbedaan individual dan semakin besarnya rasa percaya dan peduli pada anak berkebutuhan khusus. b. Peningkatan konsep diri (self concept) baik pada anak berkebutuhan

khusus, maupun pada anak normal lainnya. Hal ini disebabkan oleh pergaulan anak berkebutuhan khusus dan anak normal yang terjadi sehingga menjadikan keduanya saling bertoleransi.

c. Pertumbuhan kognisi sosial yang makin berkembang pada anak berkebutuhan khusus dan anak normal. Mereka dapat saling membantu antara satu sama lain, sehingga akan mendorong pertumbuhan sikap sosial, yang selanjutnya akan menumbuhkan kognisi sosial.

d. Pertumbuhan prinsip-prinsip pribadi yang menjadi lebih baik, terutama di dalam komitmen moral pribadi dan etika. Anak berkebutuhan


(49)

35

khusus dan anak normal tidak saling curiga dan merasa saling membutuhkan.

e. Persahabatan erat dan akan saling membutuhkan di antara anak berkebutuhan khusus dan anak normal. Mereka merasa saling membutuhkan untuk sharing dalam berbagai hal.

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa fungsi dari pendidikan inklusi ialah dapat mengurangi rasa takut akibat dari perbedaan individual dan dapat meningkatkan rasa percaya diri bagi anak berkebutuhan khusus. Dengan setting pendidikan inklusif siswa berkebutuhan khusus dan siswa normal dapat bergaul dan menjalin persahabatan, sehingga dapat meningkatkan konsep diri baik pada siswa berkebutuhan khusus maupun siswa normal. Apabila siswa berkebutuhan khusus dan siswa normal menjalin persabatan maka dapat menumbuhkan kognisi sosial dan prinsip-prinsip pribadi yang lebih baik.

Mohamad Sugiarmin (2009: 11) menyatakan beberapa keuntungan dari program pendidikan inklusi, yaitu:

a. Bagi anak berkebutuhan khusus

1) Anak dengan kebutuhan khusus akan terhindar dari label negatif. 2) Anak berkebutuhan khusus akan memiliki kepercayaan diri yang

lebih.

3) Anak berkebutuhan khusus memiliki kesempatan untuk menyesuaikan diri.

4) Anak memiliki kesiapan untuk menghadapi dunia nyata. b. Bagi anak tanpa kebutuhan khusus

1) Anak-anak mempelajari mengenai keterbatasan tertentu. 2) Mengetahui adanya keterbatasan atau keunikan temannya. 3) Memiliki kepedulian terhadap keterbatasan temannya. 4) Mereka dapat mengembangkan keterampilan sosial. 5) Berempati terhadap permasalahan temannya.

6) Dapat membantu temannya yang memiliki kesulitan. c. Bagi guru

1) Meningkatkan wawasan guru mengenai karakter peserta didik yang berbeda-beda.


(50)

36

2) Guru dapat mengenali peta kekuatan dan kelemahan peserta didiknya.

3) Menambah kompetensi guru.

4) Guru dapat lebih kreatif dan terampil dalam mengajar dan mendidik.

d. Bagi keluarga

1) Mengingkatkan penghargaan keluarga terhadap anak dengan kebutuhan khusus.

2) Orang tua senang apabila anaknya yang dengan kebutuhan khusus berada di kelas yang sama dengan anak-anak lainnya tanpa adanya diskriminasi.

3) Orang tua lebih senang karena anaknya memiliki keterampilan sosial yang lebih baik.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditegaskan bahwa pendidikan inklusi dapat memberikan keuntungan bagi anak berkebutuhan khusus, anak tanpa berkebutuhan khusus, guru dan keluarga. Fungsi pendidikan inklusi bagi siswa berkebutuhan khusus ialah dapat mendapatkan kesempatan untuk menyesuaikan diri dan dapat meningkatkan kepercayaan diri. Dampak positif bagi siswa normal ialah dapat mempelajari perbedaan atau keterbatasan yang dimiliki oleh temannya, hal tersebut dapat berdampak siswa normal dapat memiliki kepedulian yang lebih tinggi dan dapat mengembangkan keterampilan sosial serta empatinya terhadap orang lain. Dampak positif bagi guru ialah dapat meningkatkan wawasan guru mengenai perbedaan pada karakter masing-masing siswa dan menambah kompetensi bagi guru tersebut. Dampak positif bagi keluarga yaitu dapat meningkatkan penghargaan bagi anak berkebutuhan khusus.

Rasche & Bronson (Lay Kekeh Marthan, 2007: 188) mengemukakan beberapa keuntungan dari pendidikan inklusi, yaitu:


(51)

37 a. Bagi anak berkebutuhan khusus

1) Anak akan merasa menjadi bagian dari masyarakat pada umumya. 2) Anak memperoleh lebih banyak sumber untuk belajar dan tumbuh. 3) Memungkinkan anak untuk memiliki kesempatan dalam menjalin

persahabatan dengan anak pada umumnya. 4) Harga diri anak berkebutuhan khusus meningkat.

5) Anak memiliki kesempatan untuk belajar bersama dengan teman sebaya lainnya.

b. Bagi pihak sekolah

1) Sekolah memiliki pengalaman untuk mengelola berbagai perbedaan dalam satu kelas.

2) Dapat mengembangkan apresiasi bahwa setiap individu memiliki keunikan serta kemampuan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.

3) Meningkatkan kepekaan terhadap kekurangan atau keterbatasan yang dimiliki oleh orang lain.

4) Meningkatkan kemampuan untuk menolong serta mengajar semua anak dalam kelas.

5) Meningkatkan rasa empati terhadap keterbatasan anak. c. Bagi guru

1) Membantu guru untuk lebih menghargai perbedaan yang dimiliki pada setiap anak.

2) Guru dapat mengakui bahwa anak dengan kebutuhan khusus juga memiliki kemampuan seperti anak normal lainnya.

3) Guru merasa lebih tertantang untuk menciptakan metode-metode baru dalam pembelajaran.

4) Mengembangakan kerjasama antar guru untuk memecahkan permasalahan dalam pembelajaran.

5) Meredam kejenuhan guru dalam mengajar. d. Bagi masyarakat

1) Meningkatkan kesetaraan sosial di dalam masyarakat. 2) Mengajarkan kerjasama kepada masyarakat.

3) Membangun rasa saling mendukung dan saling membutuhkan antar anggota masyarakat.

4) Meningkatkan kedamaian dalam masyarakat.

5) Mengajarkan kepada setiap anggota masyarakat tentang proses demokrasi.

Dari pendapat Rasche dan Bronson di atas dapat ditegaskan bahwa fungsi pendidikan inklusi dapat berdampak pada siswa berkebutuhan khusus, pihak sekolah, guru dan masyarakat. Bagi anak berkebutuhan khusus dampak positif yang dapat diperoleh ialah memiliki sumber belajar


(52)

38

yang lebih banyak dan memiliki kesempatan yang lebih luas untuk bergaul dengan teman sebayanya. Bagi pihak sekolah dan guru dapat berdampak pada memiliki pengalaman yang lebih luas untuk mengelola perbedaan siswa dalam satu kelas serta dapat meningkatkan kemampuan dalam mengajar semua anak dalam satu kelas. Bagi masyarakat dampak yang diperoleh yaitu dapat membangun rasa saling mendukung dan membutuhkan antar anggota masyarakat.

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa fungsi dari pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus dan anak nomal adalah dapat meningkatkan konsep diri, hal ini disebabkan oleh pergaulan antara anak berkebutuhan khusus dan anak normal terjadi sehingga keduanya saling bertoleransi. Mereka dapat membantu satu sama lain, sehingga dapat mendorong pertumbuhan sikap sosial yang nantinya akan menumbuhkan ognisi sosial. Selain itu dapat menghargai adanya perbedaan. Bagi sekolah dan guru, pendidikan inklusi dapat memberikan pengalaman dalam mendidik anak-anak yang berbeda dalam satu kelas yang sama.

4. Pengertian Different Ability (Difabel)

Different Ability (difabel) atau anak dengan kebutuhan khusus

dimaknai sebagai anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus sementara maupun permanen, sehingga mereka membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens, kebutuhan tersebut dapat disebabkan oleh kelainan yang


(53)

39

dimiliki (Mohammad Takdir Ilahi, 2013: 138). Mereka disebut dengan anak berkebutuhan khusus dikarenakan anak-anak tersebut memiliki kelainan atau keberbedaan dengan anak normal pada umumnya. Dengan kata lain, anak berkebutuhan khusus diartikan sebagai anak yang membutuhkan pendidikan yang disesuaikan dengan segala hambatan belajar serta kebutuhan masing-masing individu.

Anak berkebutuhan khusus atau dapat disebut dengan difabel menurut Mohammdad Takdir Ilahi merupakan anak yang memiliki kelainan tertentu dengan anak normal pada umumnya sehingga mereka membutuhkan layanan pendidikan yang lebih intens, layanan pendidikan tersebut disesuaikan dengan hambatan belajar yang dimiliki oleh masing-masing anak dengan kebutuhan khusus. Anak dengan kebutuhan khusus tersebut dapat memiliki kelainan yang bersifat sementara maupun permanen.

Samuel A. Kirk (Edi Purwanta, 2012: 53) mengemukakan anak dengan kebutuhan khusus merupakan anak yang menyimpang atau berbeda dengan anak normal (average child) terkait dengan karakteristik mental, fisik ataupun sosial, sehingga mereka membutuhkan modifikasi dalam pelaksanaan persekolahan atau layanan sesuai dengan kekhususannya dengan tujuan mereka dapat berkembang sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Difabel atau anak dengan kebutuhan khusus dimaknai dengan anak-anak yang menyandang ketunaan, selain itu dapat juga anak yang potensial atau berbakat (Mulyono, 2003: 26).


(54)

40

Samuel A. Kirk mengemukakan anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang menyimpang atau berbeda dengan anak normal yang lainnya, kelainan tersebut dapat berupa kelainan pada mental, fisik maupun sosial. Kelainan yang dimiliki tersebut membutuhkan layanan yang sesuai dengan kebutuhan khusus yang dimiliki, tujuan dari pemberian layanan yang sesuai adalah dapat mengoptimalkan dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Mulyono menambahkan anak berkebutuhan khusus tidak hanya anak yang menyandang ketunaan tertentu, tetapi juga termasuk di dalamnya anak yang potensial atau berbakat.

Anak berkebutuhan khusus (children with special needs) menurut Dedy Kustawan (2012: 23) adalah mereka yang karena suatu hal tertentu (baik yang berkebutuhan permanen ataupun yang berkebutuhan khusus temporer) membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus, hal tersebut ditujukan agar potensinya dapat berkembang secara optimal. Anak berkebutuhan khusus memiliki hambatan dalam belajar dan hambatan perkembangan (barier to learning and development).

Anak berkebutuhan khusus menurut Dedy Kustawan adalah anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus dikarenakan mereka memiliki kelainan tertentu yang dapat bersifat permanen ataupun temporer. Sama dengan Samuel A. Kirk, tujuan dari pendidikan khusus tersebut adalah agar anak berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan dalam belajar dan berkembang dapat mengoptimalkan dan mengembangkan potensi yang dimiliki.


(55)

41

Disabled (anak dengan kebutuhan khusus) merujuk kepada seseorang

yang mengalami penurunan ataupun gangguan fungsi sebagai akibat dari adanya cacat fisik dan masalah dalam belajar atau penyesuaian sosial. Mega Iswari (2007: 43) menambahkan istilah bagi anak berkebutuhan khusus ditujukan kepada anak dengan kelainan atau memiliki perbedaan dengan anak rata-rata normal dalam segi fisik, mental, emosi, sosial ataupun gabungan dari ciri-ciri tersebut dan menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam mencapai perkembangan yang optimal, sehingga mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal.

Sesuai dengan pendapat dari beberapa ahli di atas, Mega Iswari juga mendifinisikan anak dengan kebutuhan khusus sebagai anak yang memiliki perbedaan dari segi fisik, mental, sosial atau gabungan dari ciri-ciri tersbeut dari anak-anak normal pada umumnya sehingga mereka memiliki hambatan dalam mencapai perkembangan mereka dengan lebih optimal. Maka dari itu, mereka membutuhkan layanan pendidikan secara khusus.

Pendefinisian makna disability juga dikemukakan oleh J. David Smith (2006: 32) bahwa disability adalah keadaan aktual fisik, mental, dan emosi yang dalam kondisi ketunaan, misalnya orang dengan keadaan tunanetra atau tunarungu, mereka memiliki disability, yaitu ketidakmampuan dimana orang tersebut tidak dapat melihat atau mendengar. J. David Smith mengemukakan anak berkebutuhan khusus (disability) sebagai anak yang memiliki ketunaan pada fisik, mental maupun emosi.


(56)

42

Dari beberapa pengertian oleh para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa different ability (difabel) atau anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki karakteristik fisik, mental maupun sosialnya berbeda dari kebanyakan rata-rata anak pada umumnya, perbedaan tersebut dapat bersifat permanen atau sementara.

5. Macam-macam Difabel a. Tunanetra

1) Pengertian

Sari Rudiyati (2002: 22) mengemukakan tunanetra pada hakekatnya adalah kondisi mata (dria) atau penglihatan yang karena sesuatu hal tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hal tersebut menyebabkan kondisi mata mengalami keterbatasan atau ketidakmampuan dalam melihat. Tunanetra sendiri didefinisikan sebagai keadaan atau kondisi dimana mata mengalami luka atau rusak, sehingga mengakibatkan kurang atau tidak memiliki kemmampuan persepsi penglihatan.

Jadi, anak tunanetra dimaksud sebagai anak yang karena suatu hal mata penglihatannya mengalami luka atau kerusakan, baik struktural maupun fungsional, sehingga penglihatannya mengalami kondisi tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

T. Sutjihati Somantri (2006: 65) mengemukakan anak tunanetra sebagai individu yang kedua indera penglihatannya


(57)

43

tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang yang awas. Tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi juga mencakup mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar.

Dodo Sudrajat & Lilis Rosida (2013: 9) menyakatan anak tunanetra sebagai anak yang memiliki gangguan atau kurang berfungsinya indera penglihatan mulai dari jarak enam meter untuk melihat sampai tidak dapat melihat cahaya.

2) Klasifikasi

Menurut tingkat fungsi penglihatan, penyandang tunanetra dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Penyandang kurang-lihat (low vision)

Penyandang kurang lihat atau low vision

didefinisikan sebagai orang dengan kondisi penglihatannya yang sudah dikoreksi normal namun tetap tidak berfungsi normal (Sari Rudiyati, 2002: 28). Orang dengan kondisi

low vision ini ketunanetraannya berhubungan dengan

kemampuannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam belajar, ia dibantu oleh alat bantu penglihatan, baik yang direkomendasikan oleh dokter maupun bukan (Haenudin, 2013: 10). Media huruf yang digunakan sangat bervariasi,


(58)

44

tergantung kepada sisa penglihatan dan alat bantu yang digunakan olehnya. Dodo Sudarajat & Lilis Rosida menambahkan low vision (kurang awas) sebagai seseorang yang mengalami penurunan fungsi penglihatan atau ia memiliki penglihatan yang lemah.

b) Penyandang buta

Sari Rudiyati (2002: 29) menyatakan penyandang buta ini meliputi penyandang buta yang tinggal memiliki kemampuan sumber cahaya, penyandang buta yang tinggal memiliki kemampuan persepsi cahaya, penyandang buta yang hampir tidak atau tidak memiliki kemampuan persepsi cahaya. Haenudin (2013: 10) menyatakan seseorang dikatakan buta apabila ia menggunakan kemampuan perabaan dan pendengarannya sebagai saluran utama dalam belajar. Mereka mungkin saja memiliki sedikit persepsi cahaya, atau mereka sama sekali tidak dapat melihat.

b. Tunarungu dan tunawicara 1) Pengertian

Haenudin (2013: 53) mengemukakan istilah tunarungu sebagai anak yang mengalami kehilangan atau kekurangmampuannya dalam mendengar, sehingga ia mengalami gangguan dalam melaksanakan kehidupannya


(59)

45

sehari-hari. Van Uden menyatakan bahwa seseorang dikatakan tuli jika ia kehilangan tingkat 70 ISO dB atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau menggunakan alat bantu untuk mendengar. Sedangkan seseorang dikatakan kurang dengar apabila ia kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 35dB sampai 69 dB ISO, sehingga ia mengalami kesulitan untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan alat bantu mendengar (ABM).

T. Sutjihati Somantri (2006: 93) mengemukakan tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya. Andreas Dwidjosumarto (T. Sutjihati Somantri, 2006: 93) mengemukakan bahwa apabila seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu, ketunarunguan dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu tuli (deaf) dan kurang mendengar (low of

hearing). Tuli merupakan keadaan dimana seseorang yang

indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi, sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami


(60)

46

kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan alat bantu dengar (hearing aids) maupun tanpa menggunakannya.

Tunawicara merupakan suatu kelainan baik dalam pengucapan (artikulasi) bahasa maupun suara dari bicara normal, sehingga hal tersebut akan mengganggu dan menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi secara lisan dalam lingkungan. Gangguan bicara atau tunawicara merupakan suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dan bunyi bicara ataupun kelancaran bicara.

2) Klasifikasi

Samuel A. Kirk (Haenudin, 2013: 57) menyebutkan klasifikasi anak tunarungu sebagai berikut:

a) 0 dB : menunjukkan pendengaran optimal.

b) 0-28 dB : menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal.

c) 27-40 dB : mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya, dan memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu ringan).

d) 41-45 dB : mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara.

e) 56-70 dB : hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar dengan cara khusus (tergolong tunarungu agak berat). f) 71-90 dB : hanya bisa mendengar bunyi yang sangat

dekat, kadang-kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan khusus yang intensif, membutuhkan alat bantu dengar, dan latihan bicara secara khusus (tergolong tunarungu berat).


(61)

47

g) 91 dB ke atas : mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara, dan getaran, banyak tergantung pada penglihatan daripada pendengaran untuk proses menerima informasi, dan yang bersangkutan dianggap tuli (tergolong tunarungu sangat berat).

Klasifikasi menurut taraf tunarungu menurut Andreas Dwijosumarto (T. Sutjihati Somantri, 2006: 95) adalah:

a) Tingkat I : Kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB, penderita tunarungu tingkat I hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus.

b) Tingkat II : Kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB, penderita tunarungu tingkat II kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus, dalam kebiasaan sehari-hari mereka memerlukan latihan berbicara dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.

c) Tingkat III : Kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB.

d) Tingkat IV : Kehilangan kemapuan mendengar di atas 90 dB.

c. Tunadaksa 1) Pengertian

Mohammad Effendi (2006: 114) menyatakan gambaran seseorang dapat diidentifikasikan sebagai tunadaksa apabila


(62)

48

seseorang mengalami kesulitan dalam mengoptimalkan fungsi anggota tubuhnya sebagai akibat dari luka, penyakit atau pertumbuhan yang salah bentuk, akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan. Kelainan fungsi anggota tubuh tersebut merupakan ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya yang disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal, sehingga untuk kepentingan pembelajarannya memerlukan layanan secara khusus.

T. Sutjihati Somantri (2006: 121) menyatakan tunadaksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu akibat dari gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi tunadaksa dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.

Misbach D. (2012: 15) mendefinisikan tunadaksa sebagai keadaan dimana seseorang atau anak yang memiliki cacat fisik, tubuh, dan cacat orthopedi. Istilah tunadaksa dalam bahasa asing sering disebut sebagai crippled, physically disabled,

physically handicapped, tunadaksa merupakan istilah lain dari


(63)

49

yang mengakibatkan kelainan fungsi dari tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan yang dibutuhkan.

Frieda Mangungsong (2011: 25) mengemukakan pengertian anak tunadaksa sebagai anak yang menderita hambatan akibat polio myelitis, akibat kecelakaan, akibat keturunan, cacat sejak lahir, kelayuan otot-otot, akibat peradangan otak, dan kelainan motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada pusat syaraf/ cerebrum. Sementara hambatan fisik menurut bidang kesehatan adalah anak atau seseorang yang menderita kekurangan yang sifatnya menetap pada alat gerak (tulang, otot, dan sendi) sedemikian rupa sehingga untuk keberhasilan pendidikannya memerlukan perlakuan khusus.

2) Klasifikasi

a) Anak tunadaksa ortopedi

Merupakan anak tunadaksa dengan kelainan, kecacatan, ketunaan tetentu pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun pada bagian persendian. Penyebab tunadaksa dapat dibawa sejak lahir (congenital) maupun dapat disebabkan penyakit ataupun kecelakaan yang pada akhirnya menyebabkan terganggunya fungsi tubuh secara normal. Contoh kelainan tunadaksa pada kateori ortopedi ini adalah

poliomyelitis, tuberculosis tulang, osteomyelitis, arthritis,


(64)

50

pertumbuhan pada anggota maupun anggota badan yang tidak sempurna, cacat punggung, amputasi tangan, lengan, kaki dan lain sebagainya.

b) Anak tunadaksa saraf (neurologically handicapped)

Merupakan anak tunadaksa yang mengalami kelainan yang diakibatkan oleh gangguan pada susunan saraf di otak. Otak yang berfungsi sebagai pengontrol tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh, sehingga apabila otak mengalami kelainan akan mengakibatkan terjadinya sesuatu pada organisme fisik, emosi atau mental. Luka pada bagian otak tertentu akan memberikan efek pada gangguan dalam perkembangan, yang mungkin akan mengakibatkan ketidakmampuan dalam melaksanakan berbagai bentuk kegiatan. Salah satu bentuk kelaianan dapat dilihat pada anak celebral palsy (CP). Celebral palsy berarti gangguan pada aspek motorik yang disebabkan oleh disfungsi otak. Klasifikasi tunadaksa menurut Misbach D. (2012: 16) dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:


(65)

51

a) Kelainan pada sistem selebral (celebral system disorders) Penggolongan anak tunadaksa dalam kelainan sistem selebral disebabkan pada letak penyeab kelahiran yang terletak di dalam sistem syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Kerusakan pada sistem syaraf pusat tersebut mengakibatkan bentuk kelainan yang krusial, karena otak dan sumsum tulang belakang merupakan pusat dari aktivitas hidup manusia.

b) Kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus scelatel

system)

Klasifikasi anak tunadaksa ke dalam kelompok sistem otot dan rangka disebabkan pada letak penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami kelainan yaitu kaku, tangan serta sendi, dan tulang belakang.

d. Tunagrahita 1) Pengertian

Endang Rochyadi & Zaenal Alimin (2005: 10) mengemukakan istilah tunagrahita (intellectual disability) atau dalam perkembangannya sekarang disebut dengan istilah

developmental disability adalah kesenjangan antara

kemampuan berpikir (mental age) dengan perkembangan usia

(kronological age), sehingga anak dengan kondisi tunagrahita


(1)

274

Item33 143.33 167.702 .412 .907

Item34 143.40 167.084 .488 .906

Item35 143.24 167.259 .575 .906

Item36 143.10 169.309 .409 .907

Item37 143.31 168.740 .487 .907

Item38 143.44 168.192 .443 .907

Item39 143.41 169.203 .372 .908

Item40 143.40 167.171 .464 .907

Item41 143.51 166.949 .500 .906

Item42 143.21 168.142 .391 .908

Item43 143.94 169.736 .248 .910

Item44 143.37 167.802 .440 .907


(2)

Lampiran 5. Hasil Deskripsi Data

275

Statistics

PS

N Valid 70

Missing 0

Mean 134.40

Std. Deviation 12.741

Minimum 109

Maximum 163


(3)

276

Jumlah Item

: 45

Rentang Skor

: 1-4

Skor Tertinggi

: 45 x 4 = 180

Skor Terendah

: 45 x 1 = 45

Mi

= 1/2 (180 + 45) = 112,5

SD

= 1/6 (180

45) = 22,5

Variabel

Penerimaan Sosial

Skor

Skor

Minimal

Skor

Maksimal

Mean

SD

109

163

134,40

12,741

Batasan Distribusi Frekuensi Penerimaan Sosial

Kategori

Rumus

Sangat Tinggi

Mi + (1,5 Sdi)

X

Tinggi

Mi

X < Mi + (1,5 Sdi)

Rendah

Mi - (1,5 Sdi)

X < Mi

Sangat Rendah

X < Mi

(1,5 Sdi)

KATEGORISASI PENERIMAAN SOSIAL

PenerimaanSosial

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(4)

277

2 25 35.7 37.3 44.8

3 32 45.7 47.8 92.5

4 5 7.1 7.5 100.0

Total 67 95.7 100.0

Missing System 3 4.3


(5)

(6)