Tahap rising action tahap peningkatan konflik

Indonesia pasti tidak akan bisa berbuat apa- apa. Atas desakan Nura, K’tut mendatangi Daan untuk mengusulkan pengacara. Daan mengusulkan seorang pengacara hukum kenalannya. Dengan segera persyaratan formalitas dilengkapi. Pihak penguasa Belanda dibe ritahu bahwa kasus K’tut Tantri akan diajukan ke hadapan Gubernur Jenderal. Dan selama keputusan belum dijatuhkan, K’tut tidak bisa ditahan atau diusir dari Bali. Berminggu-minggu tanpa ada keputusan. Sementara itu, dari penjuru dunia mengalir surat-surat dari orang- orang yang pernah tinggal di hotel K’tut. Surat itu ditujukan ke Gubernur Jenderal, yang berisi memprotes perlakuan yang dialami K’tut. Seorang wanita Belanda yang akrab dengan Ratu Wilhelmina menulis, jika gadis K’tut Tantri dari Amerika sampai diusir dari Bali, kami akan mengundang K’tut ke Belanda dimana K’tut akan mendapatkan kesempatan untuk membuka mulut. Sementara surat-surat itu terus berdatangan, hotel K’tut dikosongkan. Pihak Belanda tidak mengizinkan seorang pun tinggal di hotel. Di sisi lain, pengacara yang membela K’tut dalam kasus ini menasehati. Pihak Belanda tidak akan menemukan kata sepakat untuk mengusir K’tut. Bergaul akrab dengan penduduk pribumi dan memakai pakaian adat bukan suatu tindakan kejahatan. Bahkan tinggal di tengah keluarga pribumi bukan sebagai kejahatan. Pengacara berusaha menenangkan K’tut seperti yang tergambar berikut: 22 Mereka tidak bisa menemukan kata sepakat untuk mengusir Anda. Kata pengacara menenangkan diriku. Bergaul akrab dengan penduduk pribumi, mengenakan pakaian seperti penduduk setempat, tidak merupakan kejahatan. Bahkan tinggal di tengah keluarga pribumi pun tidak Justru memburu-buru orang, sikap picik, dan prasangka rasiallah yang merupakan kejahatan hlm. 108. Suatu pag i, Agung Nura menemui K’tut. Nura menemui K’tut bermaksud untuk melamar K’tut agar menjadi istrinya yang kedua. Nura mengatakan kalau K’tut mau menjadi istrinya, ia akan selamat dan tenang tidak diganggu oleh pihak Belanda lagi. K’tut pun terkejut saat mendengarnya. Dengan alasan keselamatan dan tidak diganggu oleh pihak Belanda , K’tut tidak bisa menerima alasan itu. Walau Nura benar- benar sayang kepada K’tut. Banyak pertimbangan dan berbagai hal mengapa K’tut tidak mau menerima lamaran Nura. 23 Tidak, Nura. Itu tidak mungkin. Aku tidak bisa menerima pengorbanan yang sebegitu besar darimu. Belanda pasti takkan memaafkan dirimu. Kau akan terpaksa melepaskan segala cita-cita demi bangsamu. Tidak, perjuanganku harus kuselesaikan sendiri. Sekarang pu keadaanmu sudah lebih berbahaya daripada aku, apa pun yang terjadi nanti. Kau sahabat baikku. Saudaraku Aku tidak bisa menyebabkan dirimu terancam. Aku ini datang ke Bali karena ingin mendapat kebebasan untuk diriku sendiri. Bukan untuk merebut kebebasan orang-orang yang kusayangi hlm. 109. Dengan alasan apa pun dan bagaimana pun, K’tut tidak bisa menerima apa yang diutarakan oleh Anak Agung Nura. Percakapan terhenti karena datang kabar yang menyatakan bahwa Gubernur Jendral Hindia Belanda memerintahkan pembatalan perintah pengusiran terhadap K’tut. K’tut menang, tidak jadi diusir. Namun, K’tut tetap merasa tidak tenang. Ia merasa tertekan, kejadian yang baru saja dialami oleh K’tut tidak bisa dilupakan begitu saja. K’tut seperti mendapat firasat bahwa akan ada kejadian yang lebih besar lagi. Hotel yang dimiliki K’tut mulai dibuka kembali. Namun, keadaan sudah berubah. Saat itu musim hujan dan angin bertiup kencang. Saat itu bukan saat tamu berdatangan, hotel mulai sepi karena musim hujan dan angin kencang. Untuk mengisi waktu luang, K’tut mencoba membaca buku-buku dan mempelajari ilmu politik ekonomi. Ia membaca buku-buku tentang sistem k olonial, K’tut tidak menyukainya berdasarkan pengalamannya sendiri dengan sistem seperti itu. Beberapa saat kemudian perang pecah di Eropa. Balatentara Hitler menyerang Polandia. Kabar itu terdengar sampai Bali. Namun, kejadian itu sangat jauh dari Bali. Orang Bali merasa aman. Tetapi, orang Inggris yang ada di Bali dan di Jawa pulang ke negara asalnya. Orang Belanda yang ada di Indonesia seolah-olah sama sekali tak mengacuhkan kejadian itu, walau Belanda bersekutu dengan Inggris. Kemudian angkatan perang Hitler menyerbu negara Belanda. Rotterdam dihujani bom. Ratu Wilhelmina menyingkir ke Inggris bersama para anggota pemerintahan Belanda. Seketika saat itu, seorang jendral Inggris yang sudah tua datang ke hotel K’tut. Ia orang Skot, berasal dari pulau Skye. Kerjanya hanya duduk di teras yang menghadap ke laut sambil merajut. K’tut heran, ia baru pertama melihat laki-laki merajut. Lelaki tua itu berpendapat: 24 “Kesibukan ini menenangkan saraf dan membantu pemusatan pikiran.” Katanya pendapatku keliru, mengira kejadian di Eropa takkan ada pengaruhnya terhadap Indonesia. Kurasa lebih banyak yang kupelajari dari dia, dibandingkan dengan apa yang bisa kuperoleh dari buku-buku yang kubaca selama itu hlm. 111. Setelah negara Belanda diduduki, orang Belanda di Indonesia tidak bisa lagi tak bersikap netral terhadap peperangan. Tetapi mereka tetap kelihatan serba santai. Orang Indonesia tampak jauh lebih prihatin. Pimpinan politik terang- terangan bersikap pro-sekutu. Mereka meminta pada Belanda agar sebagian rakyat dipersenjatai dan dilatih. Namun, itu dianggap sepi oleh Belanda. Di kalangan Belanda ada suatu kelompok yang pro-Nazi. Mereka aktif di pulau Jawa, sedang di Bali masih tetap seperti biasa. Tamu- tamu mulai berdatangan lagi ke hotel K’tut. Saat itu musim mulai kembali normal. Kebanyakan tamu di hotel berasal dari pulau-pulau yang lain, atau dari Singapura. Begitu pula dengan seorang perwira Angkatan Laut Amerika yang sudah pensuin, Captain Kilkeny yang juga mendatangi hotel K’tut Tantri. Hotel K’tut semakin sering mendapat tamu militer. Keadaan keuangan mulai pulih kembali dan semakin bertambah. Beberapa waktu berlalu, K’tut menerima telegram dari Lord Norwich. Negarawan dari Inggris yang lebih terkenal dengan julukan Duff Cooper memberitahukan perjalanan menuju Australia bersama istrinya. Duff Cooper ingin singgah beberapa ha ri di hotel milik K’tut. Namun, lagi-lagi K’tut mengalami kesulitan dengan pihak kolonial Belanda. Pihak resmi Belanda memberitahu K’tut bahwa tamu yang kedudukannya tinggi wakil Mahkota Inggris, tidak bisa menginap di hotel milik K’tut. Duff Cooper dan istrinya harus menginap di Residen Bali dan di jemput perutusan resmi di pelabuhan udara. K’tut mengabaikan peringatan dari pihak kolonial Belanda dan tetap mempersiapkan untuk mmenyambut dan menjemput kedatangan Duff Cooper dengan istrinya, Lady Diana Manners. Nyoman dan Made menghias mobil untuk menjemput mereka, bendera Inggris dipasang di depan mobil. Persiapan sudah selesai. K’tut bersama kedua temannya, Wayan dan Nyoman berangkat ke pelabuhan udara. Di pelabuhan udara, para pejabat Belanda datang semuanya. Mereka datang dengan menggunakan mobil limusin hitam yang mengkilat. Orang-oarang Belanda yang ada di pelabuhan udara melongo melihat gaya jemputan K’tut. Sepuluh menit berlalu, pesawat akhirnya mendarat dan orang Belanda langsung mengerubungi menyambut. Salah seorang Belanda mengatakan bahwa Duff Cooper dan istri akan diantar ke Istana Gubernur. Namun, Doff Cooper menolak karena tidak sedang bertugas. 25 Terimakasih atas segala kehormatan ini, katanya, tetapi saat ini saya sedang cuti, dan saya telah mengatur rencana sendiri. Saya dan Lady Diana akan menjadi tamu Miss K’tut Tantri di Pantai Kuta. Harap tunjukkan orangnya pada saya. Yang Mulia, hotel itu hotel rakyat. Yang Mulia takkan merasa senang di situ. Seorang belanda menyela. Dari apayang saya dengar tentang hotelnya, saya tentu akan merasa nyaman dan senang di situ. Duff Cooper tersenyum. Disamping itu, saya memang ingin merasakan hidup seperti pribumi hlm. 113. Akhirnya seorang wakil perusahaan penerbangan menga mati agar K’tut mendekat. Duff C ooper serta istrinya ramah sekali pada K’tut. Wayan dan Nyoman membukakan pintu mempersilahkan mereka masuk mobil. Mereka bergegas menuju hotel. Setelah sampai di hotel, mereka berbincang asik. Perbincangan itu terputus karena ada pemuda dari kampung tempat para penari datang memberi kabar buruk. Para penari diancam oleh manajer Bali Hotel dan wakil perusahaan perkapalan Belanda. Para penari diancam kalau mereka menari di tempat K’tut, mereka tidak akan pernah dipanggil menari di Denpasar. Sesaat setelah laporan pemuda itu, K’tut langsung pergi mendatangi Asisten Residen yang kedudukannya di atas kontrolir. K’tutu mengancam jika ancamam kepada para penari tidak dicabut, ia akan membeberkan kejadian itu pada para pers di Inggris. Belanda pasti akan merasakan pembalasan yang datang dari pemerintah I nggris. K’tut juga mengancam akan mengirim surat pada Gubernur Jendral Belanda di Batavia. Siang harinya, saat K’tut duduk-duduk di bar bersama suami-istri Pol, seorang pejabat Belanda masuk dan mengajak K’tut berbicara. Ia menjelaskan bahwa penari akan datang. Residen tidak tahu mengenai ancaman dari pihak Bali Hotel dan perwakilan perusahaan perkapalan. Setelah kabar itu, pesta berlangsung malam harinya tanpa kendala. Suatu hari K’tut terbangun pagi-pagi karena ada yang menggedor-gedor pintu. Seorang penerbang membawa kabar bahwa Armada Amerika di Pearl Harbor ditenggelamkan Jepang. Jika Meneer Daan dan Captai Kilkenny ada, sebaiknya K’tut juga menyampaikan kabar ini pada mereka. Malam harinya Daan kembali ke Jawa, ia harus melapor. Ia seorang perwira cadangan. Sedangkan Captain Kilkenny berangkat ke Amerika keesokan harinya. Saat itu K’tut ditawari untuk pulang, namun Ktut tidak bisa menerima ajakan itu. K’tut tidak bisa membayangkan jika ajakan itu diterimanya, bagaimana Captain Kilkenny akan mengusahakannya. Salah seorang penerbang kenalan K’tut yang biasa terbang bolak-balik ke Jawa datang membawa surat. Surat itu dari Anak Agung Nura yang berisi, K’tut harus segera menutup hotel dan capat-cepat pergi ke puri ayahnya. Nura mengkawatirkan jika Jepang akan segera sampai di Bali. K’tut dinasehati semua kenalannya. Namun, K’tut tetap tidak mau pergi dari Bali. K’tut berpendapat, Belanda saja tidak bisa mengusir. Jepang juga tidak akan bisa seperti yang tergambar berikut: 26 Semua menasehati aku agar dengan segera pergi meninggalkan bali, walau bermacam-macam yang ada mengenai kapan Jepang akan sampai di Jawa. Teteapi aku sudah bertahun-tahun tinggal di Bali. Pulau itu sudah menjadi tanah airku yang kedua. Jika Belanda tidak berhasil memaksaku pergi, masa Jepang akan bisa? Aku datang ke Bali, karena memdambakan kedamaian dan kebebasan. Mingkin kebebasan yang sebenarnya akan kucapai dengan jalan menempatkan diri di garis depan perjuangan hlm. 116. Pelabuhan udara sangat dekat dengan hotel K’tut. Setiap minggu ada satu skuadron penerbang yang datang ke Jawa. Sebelumnya, h otel K’tut sangat terbuka untuk mereka. Sekarang K’tut membukanya lebar-lebar, k’tut tahu para penerbang nantinya akan memikul tanggungjawab yang sangat besar. K’tut juga tahu bahwa Swara Segara terancam bahaya, karena di seluruh Bali hanya pelabuhan udara itu saja yang menarik bagi Jepang untuk diserang dan dibom. K’tut membuatkan bendera khusus untuk para penerbang. Bendera itu berbentuk persegi tig a berwarna oranye. Di setiap sudut tertulis huruf “D” berwarna hitam. Huruf itu singkatan dari Darling, Daring Devils, yang berarti “Setan-setan tersayang yang pemberani”. Bendera ciptaan K’tut terkenal di Bali dan Jawa, para penerbang muda itu gembira memakai bendera itu. Bahkan ada juga yang memadang pada mobilnya. Pejabat kolonial Belanda kemudian menyebarkan desas- desua bahwa K’tut mungkin mata-mata musuh. Sebagai akibatnya, para penerbang dilarang mampir ke hotel milik K’tut. Para penerbang muda memprotes keras larangan itu. Kalangan tinggi Angkatan Udara kerajaan Belanda datang ke hotel K’tut untuk pemeriksaan. K’tut menyelenggarakan pesta untuk menyambut kedatangan mereka. Para perwira tinggi sangat menikmatinya, sedang K’tut sibuk menjelaskan. 27 Saya menjadi mata-mata itu untuk siapa? Tanyaku. Dan apalah yang bisa saya selidiki. Semuanyakan sudah menjadi rahasia umum. Para penerbang itu terbang ke Darwin di Australia, lalu kembali membawa oleh-oleh untuk istri mereka dengan nama took tempat mereka brebelanja masih tertempel, begitu pula kotak- kotak korek api dengan nama hotel di mana mereka menginap. Betapa dirahasiakan sekalipun kepergian mereka, tetapi masih kelihatan. Saya sama sekali tidak punya kenalan orang Jepang. Saya warga Negara Amerika kelahiran Inggris. Sudah bertahun-tahun saya tinggal di Bali. Saya mempunyai simpanan sekadarnya, dari hasil usaha hotel. Saya ingin mempergunakan untuk menghibur anak buah Anda, sebagai tanda terimakasih pada mereka yang mungkin nanti akan mengorbankan jiwa dalam mempertahankan Pulau Bali. Janganlag sumbangan saya yang sedikit itu dilarang hlm. 117. Sebagai hasilnya, larangan dicabut. Para perwira yang mampir malam itu di hotel milik K’tut, mengirim buah arbei dari Bandung. Sementara itu, bala tentara Jepang semakin dekat ke Jawa. Para penerbang masih sering datang ke hotel milik K’tut. Bendera yang dibuat oleh K’tut masih berkibar. Tidak banyak dari mereka yang masih hidup. Namun, K’tut tak pernah menyesal bahwa sebelum tirai turun K’tut masih sempat membuat mereka merasa bahagia. Jepang semakin dekat, kini Jepang menduduki Singapura. Belanda kaget mendengar Singapura telah diduduki Jepang. Daerah jajahan Belanda kini terancam. Di pantai Sanur dan Kuta dipasang pagar kawat berduri sampai tiga lapis. Di mana-mana bermunculan kubu-kubu pertahanan dan meriam-meriam. Hotel milik K’tut dipasang juga pagar kawat berduri dan di belakang hotel dibuat lubang perlindungan. Namun, pekerjaan membuat lubang perlindungan dihentikan karena dirasa kurang aman. Hanya sebuah lubang pasir dan berdinding papan. Seorang perwira Belanda meminta dengan sangat agar K’tut mau pergi dari hotel. Namun, saat itu K’tut merasa bahwa ia sudah benar-benar menjadi orang Bali. Masyarakat tidak pergi meninggalkan pulau. Mereka tidak bisa pergi, lagi pula, tidak ada yang tahu apakah Jepang datang sebagai penyelamat atau penindas baru. Lagi- lagi K’tut mendapat surat dari Anak Agung Nura. Surat itu masih sama isinya dengan isi surat sebelumnya, Nura ingin K’tut pergi ke Puri ayahnya untuk menyelamatkan diri. Namun, K’tut tetap ingin tinggal di hotel miliknya. Ia bahkan menambah paviliu n lagi. K’tut beranggapan bahwa hotel miliknya merupakan tempat perlindungan yang aman. Ia tidak mau melepasnya. Suatu hari Wayan datang membawa kabar bahwa Jepang sudah di pantai Sanur. Wayang menyarankan agar K’tut cepat pergi berlindung. Orang Belanda sudah berlarian dan mengganti pakaian mereka dengan pakaian pribumi. Kulit mereka dipoles sehingga terlihat cokelat. Akhirnya K’tut menyadari bahwa ia harus pergi. K’tut pergi ke puri Raja. Namun, ia ke puri bukan untuk berlindung. K’tut hanya berpamitan ingin pergi. Ternyata Nura sudah menitipkan sura t untuk K’tut yang dialamatkan di puri. Nura ingin K’tut pergi ke Jawa melalui Gilimanuk. K’tut pergi diantar oleh pelayan puri menuju hotel. Di hotel K’tut menemui hotelnya masih utuh. Di hotel, ia hanya berpesan pada Wayan agar menjaga hotelnya. Jika nanti Jepang sampai di Kuta, pasti hotel dipakai untuk beristirahat oleh pasukan perang Jepang. Layanilah mereka dengan baik, pesan K’tut terhadap Wayan. Awalnya, K’tut ingin pergi ke Gilimanuk sendiri dengan menaiki mobil. Namun, Wayan memaksa untuk menga ntar K’tut. Sesampainya mereka di Gilimanuk, Wayan menagis ter sedu melepas K’tut. K’tut menyebrang dengan menumpang nelayan ikan. Di kapal, K’tut disembunyikan di bawah jala. Selama perjalanan menuju Jawa, banyak pesawat perang Jepang melintas di atas kapal nelayan. Sesampainya di pulau Jawa, K’tut masih harus menunggu kedatangan Nura. Tidak lama kemudian, Nura datang. Mereka hanya duduk menghadap ke pantai dan memandangi asap yang memerah dari seberang pantai, itu Bali. Nura mengatakan bahwa tidak ada yang menyangka kalau Jepang akan mendarat di Bali bukan di Jawa. K’tut dan Nura menunggu mobil milik K’tut yang disusulkan menggunakan perahu dari Gilimanuk. Setelah mobil datang mereka langsung menuju Surabaya dengan melewati jalan kampung menghindari jalur-jalur lalu lintas utama. Setibanya di Surabaya, semua sudah kacau-balau. Jalanan ramai, kereta yang biasa melintas penuh dengan orang-orang Belanda yang hendak mengungsi. Begitu pula dengan penduduk lokal, mereka bergegas pergi mengungsi ke kampung-kampung. Ternyata, Surabaya telah beberapa kali dibom oleh pesawat tempur Jepang. Kata orang, Sumatera dan Borneo sudah dikuasai Jepang. Tidak lama lagi pasti Jepang akan mendarat di Jawa. Anak Agun g Nura merasa cemas akan K’tut Tantri, K’tut pasti akan menjadi bulan-bulanan Jepang. Oleh karena itu, Nura pergi ke Solo untuk melihat kemungkinan K’tut tinggal di Keraton Solo. Sementara itu, K’tut ditinggal di Surabaya. Ia tinggal di hotel Oranje, salah satu hotel yang terkemuka di Surabaya. Untu k sementara, keadaan K’tut nyaman, namun tidak tenang. Orang-orang yang sehotel dengan K’tut kebanyakan orang Jerman dan orang Belanda. Konsulat Amerika sudah ditutup, para personelnya sudah diungsikan. Namun suatu komisi militer Amerika masih ditempatkan di Surabaya. Sambil menunggu Nura datang dari Solo, K’tut menawarkan diri untuk membantu di komisi militer Amerika. Ia dijadikan sopir oleh kolonel yang bernama Yankee Cekakakan. Nama Cekakakan diambil dari kebiasaan kolonel itu yang selalu tertawa terbahak-bahak. Kolonel Yankee berhasil membesarkan hati penduduk yang ketakutan, dengan cara tidak ikut bersembunyi dalam lubang perlindungan apabila ada serangan udara. 28 “Bidikan setan-setan kuning itu payah. Bahkan sisi lumbung Ratu Wilhelmina pun t akkan bisa mereka kenai,” serunya mencemooh. Rakyat mengagumi semangatnya. Ke mana pun ia pergi, selalu ada yang mengikuti hlm. 128. Dari ketabahan hati k olonel Amerika itu, K’tut belajar untuk bersikap ulet, tawakal menghadapi bahaya yang mengancam. Ko lonel itu menasehati K’tut untuk tidak takut. Kemana pun perginya bersembunyi menghindari serangan bom, jika sudah ditakdirkan mati, pasti akan mati juga kena bom. Beberapa hari kemudian setelah nasehat itu, sebuah lubang persembunyian terkena bom. Semua yang ada di dalam lubang persembunyian itu mati. Sejak itu, K’tut tidak mau repot-repot memikirkan keselamatan dirinya. Tugas-tugas kolonel itu berkaitan dengan dua kapal yang berlabuh did ok Surabaya. Kapal-kapal itu berisi makanan, mesiu, dan obat kina. Suatu hari, pesawat tempur Jepang menjatuhkan bom di dekat kapal-kapal itu berlabuh. Untung saja tidak tepat pada sasaran. Kolonel berpikiran bahwa kapal-kapal itu harus segera diberangkatkan sebelum Jepang benar-benar menjatuhkan bom tepat di kapal-kapal itu. Kolonel mengambil sebuah peta, ditunjukannya sebuah teluk kecil dekat Pasuruhan pada K’tut. Ia mengatakan bahwa malam ini kapal-kapal itu akan berangkat menuju teluk kecil itu. Sebelum fajar seharusnya kapal sudah sampai di teluk kecil itu. Ia meminta agar K’tut berangkat menjemput dengan menggunakan mobil. Rencana itu berjalan lancar. Tidak lama setelah pindahnya kapal-kapal itu ke teluk kecil dekat Pasuruhan. Pesawat tempur Jepang menjatuhkan bom tepat di setiap dermaga Surabaya. Dalam hitungan menit, dermaga-dermaga itu telah hancur. Tanggal satu Maret 1942, Jepang akhirnya mendarat di Jawa. Semua anggota militer Belanda, Amerika, Australia, maupun Inggris diperintahkan dengan segera meninggalkan kota. Kebanyakan dari mereka diinstruksikan untuk men uju Australia. K’tut didesak Kolonel agar ikut dengannya terbang ke Sydney. 29 “Di pesawat masih ada tempat untuk Anda,” katanya. “Keselamatan Anda akan sangat terancam jika tetap tinggal di sini, mengingat Anda warga Negara Amerika. Anda kan sudah mendengar di radio, apa yang mereka lakukan dengan tawanan mereka, terutama orang-orang Amerika. Jepang berperang tanpa mengenal t ata aturan sama sekali” hlm. 129. Namun, K’tut tidak ingin meninggalkan tanah airnya yang kedua itu. K’tut bersikeras untuk tetap tinggal di Indonesia. Ia sadar akan bahaya yang akan dat ang, namun K’tut telah mempertimbangkan baik-baik keputusannya itu. Banyak hal yang tidak bisa ditinggalkan oleh K’tut. K’tut mengucapkan selamat tinggal pada kolonel yang terbang ke Australia bersama beberapa orang. Setelah itu, K’tut tinggal di sebuah bungalo yang tidak jauh dati hotel Oranje. Ia menunggu kedatangan Nura dari Solo sambil memperhatikan tentara Jepang masuk ke kota Surabaya. Tentara Jepang masuk dengan tertib dan rapi, mereka langsung menempati gedung-gedung kosong yang dulunya ditempati oleh Belanda. K’tut sama sekali tidak mendengar tentang kekerasan yang dilakukan oleh tentara Jepang. Kalau ada perampokan, pemerkosaan, dan tindak kekerasan, jumlahnya pasti sedikit. Mendengar kabar yang seperti itu, orang Indonesia gembira menyambutnya. Bendera merah putih yang dulu dilarang Belanda, kini berdampingan dengan bendera Jepang. Orang Indonesia beranggapan bahwa Jepang datang bukan sebagai penjajah baru, melainkan penyelamat dari jajahan Belanda. Banyak orang yang beranggapan bahwa penyerangan itu sebagai kenyataan ramalan Jayabaya. Jayabaya mengatakan bahwa pulau Jawa akan dijadikan merdeka oleh bangsa kate berkulit kuning yang dating dari utara. Anak Agung Nura datang dari Solo, ia membawa kabar bahwa Jawa bagian barat sangat kacau. Seminggu setelah Surabaya jatuh tanpa pertumpahan darah, lewat radio K’tut mendengar kabar bahwa peperangan di Jawa diakhiri. Panglima pasuka Sekutu, Letnan Jenderal Ter Poorten, dan Angkatan Bersenjata Kerajaan Belanda menyatakan diri takluk. Ternyata tindakan itu diambil tanpa berunding dengan petinggi yang lain. Bangsa Indonesia kaget dan tidak menyangka Belanda akan cepat menyerah. Komandan bala tentara Jepang di Surabaya memerintahkan agar orang Eropa data ng mendaftarkan diri mereka ke markas besar. Nura menemani K’tut menghadap komandan itu. Nura meminta agar K’tut diberikan ijin khusus yang membebaskan dari interniran orang yang diasingkan. Nura juga menjelaskan bahwa K’tut adalah adik angkatnya yang pernah tinggal lama di puri ayah Agung Nura. Ditambahkannya penjelasan bahwa K’tut tidak ada sangkut pautnya dengan peperangan, K’tut hanya seorang seniman. Komandan itu terkesima dengan cara berpakaian K’tut yang seperti penduduk setempat, begitu pula dengan kakinya yang hanya menggunakan sandal, rambut yang dicat hitam. Apalagi dengan kemampuan K’tut berbahasa Bali dan Melayu. Dengan baik hati dituliskannya perintah pembebasan dari interniran orang yang diasingkan serta surat jalan. “Nippon tidak berperang melawan seniman,” kata komandan itu. “Kapan- kapan kau harus memperlihatkan hasil lukisanmu padaku. Nanti kuperlihatkan koleksiku, lukisan-lukisan Nippon .” Komandan itu ternyata baik hati dan tidak bersikap angkuh serta kasar. Komandan itu peramah dan simpatik hlm. 132. Hubungan normal Bali dengan Surabaya terputus saat itu. Bali diduduki pasukan Angkatan Laut Jepang, sedangkan Surabaya diduduki pasukan Angkatan Darat Jepang. Keduanya memiliki sikap yang berbeda, dengan segera tampak jelas bahwa keduanya saling cemburu-mencemburui. Agung Nura memutuskan untuk pergi ke Bali sendirian untuk melihat keadaan ayahnya. Sekaligus untuk melihat keadaan apakah mungkin K’tut berada di Bali tinggal di puri ayahnya. K’tut disuruh tetap tinggal di Surabaya, menunggu perkembangan selanjutnya. Setidaknya, komandan tentara Jepang di Surabaya tidak bersikap memusihi. Agung Nura mewanti-wanti agar tidak terlalu berani. Sedapat mungkin harus menghindar dari orang Jepang. Saat itu ada sejumlah orang Australia dan Inggris dari kalangan sipil yang satu demi satu ditangkapi. Mereka bersembunyi di gunung-gunung, mungkin ada yang membocorkan hal itu kepada Jepang. Jepang memberikan imbalan yang besar pada siapa saja yang memberikan informasi tentang pelarian. Suatu hari, ada yang mengetuk pintu tempat tingggal K’tut. Sorang inggris kenalan lama K’tut datang meminta bantuan. Ia mendengar bahwa K’tut memiliki izin untuk bepergian. Kenalan lama K’tut menjelaskan bahwa ia mewakili perusahaan Inggris menitipkan sejumlah mobil dan dokumen penting. Kenalan lama K’tut Tantri meminta agar ia membantu membawa barang- barang seludupan ke Bali. Dengan surat izin, proses pembawaan barang-barang seludupan dipastikan aman. Namun, K’tut menjelaskan bahwa surat izin yang dimilikinya bukan untuk melintas pulau dengan membawa mobil, itu akan menjadi masalah nantinya. Tetapi, teman lama K’tut memiliki taktik untuk mengelabuhi jika ada pemerikaan di jalan. Ia akan membuatkan surat izin palsu lengkap dengan tanda tangan komandan. K’tut menerima tawaran itu. Ia bermaksud untuk menjenguk Raja dan Agung Nura nantinya di Bali. Selain itu, K’tut juga tidak akan terkungkung di Surabaya. Perjalanan itu sama sekali tidak dianggap bahaya. Kemungkinan hanya akan ada pemeriksaan prajurit Jepang sepanjang perjalanan. Itu benar terjadi ketika K’tut berangkat menuju Bali dengan membawa mobil. Selama perjalanan, K’tut dihentikan prajurt Jepang. Namun, dengan surat jalan palsu itu K’tut bisa lolos dan melanjutkan perjalanan. K’tut menyeberangi selat Bali dengan cara biasa. Sesampainya di Bali, K’tut langsung menuju ke tempat kenalan baiknya, saudara Raja yang menikah dengan wanita Prancis. Ia menitipkan barang bawaannya di situ. Setelah itu, K’tut nenyusuri bukit untuk menuju kediaman raja dan Nura. Sesampainya di puri, Raja dan Nura kaget melihat kedatangannya. Raja meminta agar K’tut menghentikan tindakan yang menantang nasib. Nam un, K’tut harus kembali lagi ke Jawa. Ada janji yang harus ditepati. K’tut merasa bahwa keberaniannya bertambah ketika tiba di Surabaya. Kepercayaan diri dan keberaniannya sangat besar. K’tut merencanakan untuk melakukan perjalanan yang kedua. Ia merasa bahwa akan gampang untuk melakukannya. Oran g Inggris yang kawan lama K’tut menyetujui untuk melakukan perjalanan yang kedua itu. Namun, ia juga memperingatkan jangan sampai tiga kali, itu namanya nekat. K’tut akhirnya melakukan perjalanan menuju Bali yang kedua. Namun, perjalanan yang kedua itu agak lebih berbahaya dari yang pertama. Setibanya di Bali dan telah menyembunyikan barang- barang bawaanya, K’tut pergi ke puri. Raja dan Nura sangat lega ketika melihat K’tut selamat sampai di Bali. Saat itu juga, K’tut berjanji tidak akan lagi berbuat yang akan mengakibatkan keresahan dan kekawatiran Raja dan Nura. Dalam perjalanan, K’tut juga mendengar kabar bahwa hotel miliknya telah hancur. Pelayannya juga telah mengungsi ke kampung mereka. 30 Perjalananku yang kedua ke Bali, agak lebih berbahaya. Setelah menyembunyikan barang-barang bawaanku, aku pergi ke puri. Raja maupun puteranya kelihatan sangat lega. Aku lantas berjanji pada diriku, takkan berbuat apa-apa yang semakin menggelisahkan perasaan mereka. Dalam perjalanan sekali itu kudengar hotelku di Pantai Kuta telah musnah sama sekali, sedang Wayan, Nyoman, dan Made bersembunyi ddi kampung mereka masing-masing hlm. 134. Suatu pagi ketika sedang asik ngobrol, K’tut dikagetkan dengan pembicaraan Raja yang menyarankan agar ia menikah dengan Nura. Selain itu, pernikahan bisa menyelamatkannya dari ancaman behaya dari Jepang. Namun, K’tut dengan sikap rendah menolak permintaan Raja. Walau telah dijelaskan oleh Raja bahwa di Bali seorang laki-laki boleh beristri sebanyak yang seorang laki- laki itu mampu, K’tut tetap menolak. K’tut tidak akan mengecewakan dan mempermalukan Ratri, istri Nura. Selain itu, ia juga telah menganggap Nura sebagai abangnya. Dengan desakan yang demikian, K’tut mengatakan bahwa akan memikirkan permintaan ini. Namun, K’tut harus kembali ke Surabaya. Setibanya di Surabaya, K’tut mendengar kabar bahwa temannya yang orang Inggris itu telah ditangkap oleh Jepang dan dibawa ke kamp tawanan dekat Bandung. Mendengar kabar itu, K’tut bergegas untuk memusnahkan surat-surat palsu dengan cara dibakar dan abunya dimasukkan ke WC. K’tut merasa apabila surat-surat itu sampai ketahuan, orang Inggris itu pasti dihukum mati. Sementara, Jepang mengumumkan bahwa orang Belanda Indo tidak akan ditawan. Namun, mereka harus membuktikan bahwa mereka benar-benar memiliki darah campuran. Berbondong-bondong orang Belanda yang mulanya tidak mau mengakui bahwa mereka Indo, pergi untuk mendaftarkan diri pada Jepang dan menyatakan bahwa mereka memiliki darah campuran. Setelah Jawa jatuh, Jepang mengajak orang Belanda sipil untuk membantu mengurus negara. Jepang menawarkan apabila orang Belanda sipil yang mau membantu tidak akan dipenjarakan. Namun, sikap seperti itu tidak berlangsung lama. Jepang hanya ingin melihat sistem kerja dan segera mengambil alih. Orang Belanda sipil yang membantu mengurus negara akhirnya dijebloskan ke penjara tahanan Jepang. Sementara Belanda merasakan tekanan dari pihak Jepang, orang Indonesia merasakan kekecewaan yang sangat besar terhadap Jepang. Jepang memaksa setiap orang yang berpapasan dengan Jepang harus membungkuk dalam-dalam dan melepas kopiah yang dikenakan. Jika itu tidak dilakukan atau dilakukan dengan lambat, mereka akan dipukul oleh tentara Jepang. Jepang juga mulai merampasi makanan dan hasil perkebunan dengan alasan untuk peperangan yang mendesak. Dahulu semasa Jepang menduduki Sumatera, mereka membebaskan tawanan orang Indonesia yang ditawan oleh Belanda. Diantaranya adalah Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta serta Sutan Syahrir. Jepang menyadari kepopuleran Soekarno, sehingga Soekarno diberi kedudukan sebagai pemimpin pemerintahan sipil dengan wakil Hatta. Suara Soekarno sering terdengar di radio berpidato mendukung Jepang. Namun, sebenarnya Soekarno menyokong gerakan bawah tanan yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin. Gerakan bawah tanah itu bertujuan untuk menyiapkan Indonesia ke pemerintahan yang dipimpin sendiri oleh bangsa Indonesia. Anak Agung Nura ternyata juga bergerak dalam gerakan bawah tanah. Gerakan bawah tanah berpusat di Jakarta. Untuk komunikasi, mereka mengandalkan kurir. Sementara itu, Nura mengatakan bahwa, ia akan pergi ke Jakarta dan Bandung untuk rapat rahasia. Setelah rapat, ia juga akan mampir ke Jogja dan Solo. Sementara Nura pergi, K’tut berjanji tidak akan pergi jauh-jauh sampai Nura kembali. Beberapa hari setelah Nura berangkat, datang seorang Jepang dengan pakaian sipil. Orang Jepang itu bertanya dengan menggunakan bahasa Inggris, padahal Jepang melarang siapa saja menggunakan nahasa Inggris. K’tut merasa curiga dan waspa da. Dengan sikap waspada, K’tut mempersilahkan orang Jepang itu masuk. Orang Jepang itu mengaku sebagai orang yang kelahiran Amerika dari San Fransisco, katanya ia masih warga negara Amerika. Walau ia orang Jepang, ia menolok kelakuan Jepang dan sedang membentuk suatu kelompok kecil yang akan melakukan perlawanan terhadap Jepang. K’tut tidak bisa langsung percaya, ia masih curiga. Orang Jepang itu bermaksud untuk mengajak bergabung dengan kelompok kecilnya. K’tut menolak ajakan itu, ia juga menjelaskan bahwa sebenarnya mendukung Jepang. Namun, orang Jepang itu tidak percaya, ia mengatakan kenal baik dengan Anak Agung Nura dan ia juga tahu siapa K’tut tantri. Dengan penolakan yang dilakukan K’tut, orang Jepang itu pergi sambil tertawa dan berkata bahwa akan kembali lagi. Kemudian, K’tut melihat seorang Cina mondar-mandir di samping jalan sambil menawarkan sarung dagangannya. Suatu pagi, pedagang Cina itu mengetuk pintu rumah K’tut. Ia menawarkan sarung. K’tut yang saat itu bersama pelayannya, merasa tidak enak jika tidak mempersilahkan untuk memamerkan barang dagangannya. Pelayan K’tut pun memilih dan akhirnya membeli dua sarung. Pedagang Cina itu menjual barang dagangannya dengan sangat murah. K’tut merasa curiga, biasanya tidak ada pedagang Cina yang menjual dengan harga murah. Sambil membungkus barang dagangan, orang Cina itu mengatakan bahwa meminta maaf atas segala tipu dayannya terhadap K’tut. Ia ditugaskan mengantar surat dari Anak Agung Nura. K’tut membaca surat itu, dengan segera ia mengetahui gaya tulisan itu. Isi dari surat itu adalah untuk memperkenalkan orang Cina yang mengantar surat. Ternyata, orang Cina itu adalah guru besar bahasa Jepang di sebuah Universitas di daratan Cina. Orang Cina itu juga anggota gerakan bawah tanah dan bisa dipercaya. Dalam surat itu, Nura juga menambahkan bahwa ia akan segera kembali dan berharap akan adanya perubahan pikiran mengenai permintaanya untuk menikah. K’tut berterimakasih kepada mahaguru yang bersedia mengantarkan surat itu, K’tut juga bercerita tentang orang Jepang yang menemuinya. Mahaguru hanya tertawa dan menjelaskan bahwa orang Jepang itu adalah anggota gerakan bawah tahah. Ia juga menambahkan bahwa mahaguru bekerja di bawah orang Jepang itu. Nama orang Jepang itu adalah Frisco Flip. Anak Agung Nura kembali dari Jawa bagian Barat. Ia membawa berbagai berita megenai perkembangan gerakan bawah tanah yang semakin rapi di bawah pimpinan Amir Syarifuddin. Dengan dorongan Soekarno dan Hatta secara sembunyi-sembunyi, gerakan bawah tanah semakin meluas. Bukan hanya di Jawa, gerakan bawah tanah juga meluas ke pulau-pulau luar Jawa. Jika cengkraman Jepang mulai mengendor, para pemimpin yang berpengalaman luas di bidang politik dan memiliki mutu kepemimpinan akan siap sedia untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia. Sang professor, Ktut, Frisco Flip, dan Agung Nura mengadakan diskusi untuk mengatur rencana. Sang Profesor akan tetap menjadi pedagang kain, itu akan mempermudah gerak-gerik untuk mencari informasi mengenai tindakan Jepang. Frisco Flip akan bertugas untuk mengusahakan dana. Nura akan berangkat ke Bali untuk membentuk kelompok perlawanan. K’tut akan bertugas sebagai pacar Frisco Flip dan akan tetap melukis gadis-gadis Bali dan akan menjualnya dengan harga murah pada orang Jepang. Mereka menyepakati kata sandi tertentu. Mereka juga bersumpah bahwa jika ada salah satu tertangkap, lebih baik mati dari pada harus melibatkan yang lain atau membocorkannya. Di saat itu, K’tut menyadari bahwa dirinya telah terlibat dalam peperangan yang sesungguhnya. Sejak perencanaan itu, K’tut sibuk membuat lukisan yang akan dijual pada Orang Jepang. Malam harinya, K’tut menjadi wanita yang haus akan hiburan. Ia pergi mendatangi tempat-tempat hiburan terkenal yang ada di Surabaya. Di tempat hiburan itu, tidak hanya orang Jepang. Orang Jerman, Swiss, Swedia, dan tentunya orang-orang Belanda golongan pro-Nazi. Bagi kebanyakan orang berkulit putih yang ada di hiburan malam itu, termasuk K’tut dimasukkan golongan orang yang mau bekerja sama dengan Jepang. Saat awal pendudukan Jepang di Jawa, para wanita Belanda yang ditawan di Surabaya diizinkan untuk keluar selama dua jam untuk membeli perbekalan. Saat itu Jepang belum mengatur penyediaan pangan untuk para tawanan yang jumlahnya mencapai ribuan, kelaparan merajalela. Suatu hari, K’tut didatangi dua wanita Belanda yang ditawan Jepang. Mereka adalah orang- orang yang dulu sempat dikenal baik oleh K’tut selama di Bali. Saat itu K’tut merasa gembira, namun juga merasa kaget ketika mendengar tuturan dari kedua wanita Belanda tentang keadaan di kamp tawanan Jepang. Mereka kelaparan, terutama anak-anak. Mereka membutuhkan uang untuk membeli bahan pangan. Kedua wanita Belanda itu meminta bantuan agar bisa diusahakan mendapat uang. Mereka juga merencanakan akan merajut kaos kaki serta pembungkus pinggang yang sering dipakai orang Jepang. Hasil kerajinan akan dujual dan hasilnya dibelikan bahan makanan. Mendengar tuturan dari kedua wanita Belanda itu, K’tut menyerahkan seluruh uang yang ia miliki. K’tut juga berpesan agar mereka tidak datang lagi ke rumahnya. Itu akan menyulitkan semua. K’tut juga berjanji akan mengusahakan cara agar dapat mengirim uang ke kamp tawanan Jepang. Berminggu-minggu telah berlalu, K’tut tidak mendengar kabar dari Agung Nura. Perasaannya mulai cemas. Kemudian datang seorang kurir yang mengantarkan surat dari Bali. K’tut merasa pernah bertemu dengan kurir pengantar surat itu. Ia pun menanyakan apakah mereka pernah bertemu. Ternyata kurir itu Pito, anak kecil yang dulu menjadi penunjuk jalan semasa K’tut pertamakali melintas di Jawa menuju Bali. Mereka berbincang-bincang, K ’tut menanyakan tentang ayah Pito yang dulu ditawan di Tanah Merah. Pito menjelaskan bahwa ayahnya dibebaskan setelah Jepang datang. Pito berjanji akan selalu mampir jika melewati Surabaya. Isi surat dari Nura mengatakan bahwa, Nura meminta Flip untuk mengirimkan uang dan persenjataan. Karena di Bali bank sudah dibekukan pihak Jepang dan senjata suli t didapat. K’tut langsung menyampaikan kabar itu pada Flip. Flip menyetujui permintaan itu. Rencana disusun untuk mengirim uang dan senjata. Uang dan senjata dimasukkan ke dalam peti dan diatasnya diisi buku- buku untuk menut upi uang dan senjata. K’tut menawarkan untuk mengantarkannya dengan mengendarai mobil. Namun, Flip tidak menyetujui gagasan itu. Flip mengatakan bahwa semua mobil telah disita Jepang dan mobil telah menjadi langka. Beberapa hari setelah penyusunan rencana, ada kabar bahwa akan ada rombongan teater dan geisha yang akan menuju Bali untuk menghibur Angkatan Laut Jepang. Rencana disusun, akhirnya K’tut berangkat ke Bali dengan cara menumpang rombongan itu. Stelah sampai di Bali, K’tut langsung menuju tempat yang telah disepakati dengan Nura. Ketika sampai tujuan, ternyata Nura sudah menunggu dan kaget melihat yang mengantar uang dan senjata itu adalah K’tut. Nura sedikit marah mengapa Flip membiarkan K’tut yang mengantar itu. Namun, kemarahan Nura reda ketika mendengar penjelasan dari K’tut bahwa, ia aman selama di perjalanan menuju Bali. Nura menginginkan, K’tut untuk tinggal di puri. Ia merasa cemas, jika K’tut tetap tinggal di rumah orang Swiss itu. Karena tahu pasti permintaannya ditolak, Nura mengatakan bahwa hanya beberapa hari saja tinggal di puri. 31 “Kau harus ke puri ayahku, lalu tinggal di situ,” Kata Agung Nura. Karena sudah menduga aku akan menolak, ia cepat- cepat menambahkan, “setidak-tidaknya untuk beberapa hari. Aku merasa cemas. Tinggallah dulu di puri, sampai aku sudah tahu apakah Jepang meras a curiga padamu atau tidak” hlm. 148. Namun, K’tut menolak ajakan itu untuk tinggal di puri. K’tut tetap ingin tinggal di rumah temannya yang orang Swiss itu. K’tut sangat berhati-hati, jika ia tinggal di puri pasti akan meninggalkan jejak dan akan membahayakan Raja dan Nura. Dengan pertimbangan yang seperti itu, K’tut menolak ajakan dari Nura. Akhirnya, Nura mengalah dan membiarkannya tetap tinggal di rumah orang Swiss itu. Menjelang malam, K’tut merasa gelisah. Ia ingin tahu keadaan yang sebenarnya di Bali dan apa yang dilakukan Jepang pada Bali. Akhirnya, K’tut memutuskan untuk pergi ke restoran orang Cina kenalannya untuk mencari informasi. Setibanya di restoran kenalannya, pemilik restoran itu kaget melihat K’tut berada di Bali. Menurut kabar yang beredar di Bali, K’tut telah tewas dibunuh Jepang pada saat di pulau Jawa . Tidak lama K’tut dipersilahkan masuk. K’tut langsung mengutarakan beberapa pertanyaan yang membuatnya gelisah. Kenalannya itu pun menuturkan bahwa keadaan di Bali sangat kacau. Jepang menyita semua bahan pangan dan memaksa penduduk baik pria dan wanita untuk kerja paksa atau romusha. Tidak berhenti di situ, Jepang juga menutup semua hotel dan para golongan orang yang berpangkat diperlakukan seperti kacung. Akibatnya, gerakan pemberontak meluas dan semakin kokoh. Menurut kabar, ribuan orang Indonesia golongan cerdik-cendekia ditangkap dan ditembak mati oleh Jepang. Setelah mendengar cerita dari kenalannya, K’tut berniat untuk menginap di restoran itu. Namun, K’tut dilarang karena nanti akan menimbulkan bahaya dan kecurigaan bagi Jepang. Saat itu pikiran K’tut langsung tertuju pada hotel dan para pelayan sahabatnya. Ia kepikiran pada Wayan, Nyoman, dan Made. Keesokan harinya, K’tut berangkat untuk melihat keadaan hotel yang didirikannya di dekat pantai Kuta dengan m enumpang dokar. Namun, K’tut merasa sedih ketika mendapati di sana tidak ada satupun bangunan yang berdiri. Hotelnya telah hancur dan rata dengan tanah. Tidak ada satu pun barang miliknya yang tersisa. Menurut kusir dokar, yang tersisa hanyalah lukisan. Tetapi lukisan itu diangkut di sebuah kapal Jepang. Sore harinya, rumah orang Swiss didatangi dua orang perwira Jepang. Ternyata J epang mengetahui kedatangan K’tut. Mereka ingin memeriksa barang bawaan dan mereka juga tahu mengenai peti. K’tut mempersilahkan kedua perwira Jepang itu untuk memeriksa. Namun, yang mereka temui hanya peti yang berisi dengan buku-buku. Mereka malu karena telah melakukan peggeledahan, lalu mereka meminta diri untuk pergi. Saat itu, K’tut langsung merasa cemas karena perbuatannya telah dic ium Jepang. Dengan perasaan gelisah, K’tut langsung pergi ke puri untuk menemui Nura. Ia bermaksud untuk memberitahukan keinginannya agar segera meninggalkan Bali. Seti banya di puri, K’tut merasa heran melihat Nura santai dan seolah tidak terjadi apa- apa. Nura menenangkan hati K’tut, ia berkata bahwa semua beres karena senjata dan uang itu tidak ada pada K’tut. Ia menyuruh K’tut untuk tinggal beberapa hari lagi di Bali. Akhirnya, K’tut kembali lagi ke rumah temannya. Sesaat setelah datang dari puri, ada seorang kurir pengantar surat. Surat itu d itujukan kepada K’tut. Isi dari surat itu adalah undangan pesta dari komandan Angkatan Laut Jepang. K’tut menolak datang ke pesta itu dengan alasan sakit kepala. Namun, penolakan itu tidak berhasil, karena ada seorang ajudan menje mputnya. K’tut tidak bisa menolak dan akhirnya berangkat ke pesta yang diadakan oleh komandan Angkatan Laut Jepang. Dipesta itu, K’tut ditawari untuk mengurus hotel yang dikelola oleh Jepang. Mereka mengetahui bahwa, K’tut berpengalaman dalam mengurus hotel. Dengan sikap kewaspadaan yang dimiliki K’tut, ia menolak permintaan itu dengan alasan bahwa ia harus segera kembali ke Jawa. Selama pesta, K’tut merasa cemas dan takut. Ia merasa lega ketika pesta telah usai dan kembali ke rumah temannya. Keesokan harinya, datang lagi surat yang berisi bahwa K’tut harus menghadap komandan Angkatan Laut Jepang di kantor. K’tut melangkah pergi untuk menghadap komandan. Sesampainya di kantor komandan, tanpa basa-nasi komandan lagsung menawarkan perlindungan dengan cara tinggal dirumahnya. Sekali lagi K’tut menolak dengan sopan dan dengan alasan bahwa ia harus segera kembali ke Jawa. Sesaat sikap yang ramah menjadi kasar, komandan sangat marah mendengar permintaannya ditolak. Ia juga mengatakan bahwa di Ja wa K’tut tidak akan mendapat perlindungan lagi karena komandan Jepang yang di Jawa akan segera dipindah ke Makasar. Dengan marah dan heran, komandan bertanya apa hubangan K’tut dengan komandan yang di Jawa. K’tut menjelaskan bahwa tidak ada hubungan apa-apa dengan komandan yang di Jawa. Hubungannya hanya sebatas teman dan sama-sama menyukai lukisan. Komandan Angkatan Laut Jepang langsung marah dan mengeluarkan ancaman bagi K’tut seperti gambaran berikut: 32 “Omong kosong” bentaknya. “Lagi pula, kau tidak bisa meninggalkan Bali tanpa izin dari Angkatan Laut. Akan kukeluarkan instruksi melarang pemberian izin itu bagimu. Selajutnya, kau juga tidak boleh berjumpa atau bahkan berhubungan dengan Raja serta anaknya” hlm. 152-153. K’tut mulai menggigil ketakutan dengan kemarahan komandan. Ia sampai tidak bisa menjawab pertanyaan yang bertubi-tubi. Akhirnya, komandan itu menyilahkan pulang dengan ucapan terakhir yang mengatakan bahwa suatu saat K’tut pasti akan senang tinggal dirumah komandan. Beberapa saat setelah kejadian penolakan itu, K’tut mendengar kabar bahwa komanda sangat marah. Komandan mengetahui bahwa ia bisa bertahan hidup tanpa bantuan dari komandan. Mendengar kabar yang seperti itu, K’tut memutuskan untuk bergegas pergi meninggalkan Bali. Kebetulan saat itu ada kawan K’tut yang menikah dan akan mengadakan perjalanan bulan madu. K’tut menumpang bus mereka sampai di Gilimanuk. Dari Gilimanuk menyeberang ke Jawa. Setibanya K’tut di Jawa, tepatnya di Surabaya. Ia langsung menuju rumah. Namun, ia baru bisa masuk rumah ketika hari mulai gelap. Ia tidak bisa masuk rumah dengan keadaan siang hari, rasa takut masih menyelimutinya. Saat itu juga, K’tut langsung menghubungi Frisco Flip dan sang professor untuk datang ke tempatnya. Tak lama kemudian, mereka datang. Flip dan sang professor kaget melihat K’tut yang sangat ketakutan dan sangat kaget ketika mendengar kisahnya tentang pemaksaan komandan Angkatan Laut Jepang. Flip dan sang profesor merasa senang melihat K’tut kembali ke Surabaya dengan selamat. Flip mengatakan mudah-mudahan Agung Nura bisa memanfaatkan apa yang telah mereka kirim. Ia juga mengatakan bahwa komandan Jepang yang teman baik K’tut benar-benar dipindahtugaskan ke Makasar. Komandan itu dianggap terlalu lemah dalam menghadapi situasi dan kurang tegas. Dengan keadaan seperti itu, Flip, sang professor, dan K’tut harus diam dulu dan tidak melakukan apa-apa sebelum mengetahui bagaimana komandan yang baru. Namun, sang professor akan pergi ke Jakarta untuk melihat keadaan di Jakarta. Setelah beberapa minggu keberangkatan sang professor ke Jakarta, Flip membawa kabar bahwa sang professor tertangkap oleh tentara Jepang dengan tuduhan mata-mata musuh. Tidak lama lagi pasti akan ada yang datang untuk meng angkat. Oleh karena itu, Flip menyuruh K’tut untuk pergi berlindung. K’tut memutuskan untuk pergi ke Solo. Bersembunyi di keraton, disana ada kenalan Nura. Namun, keberangkatan ditunda karena malam itu sudah tidak ada kereta menuju Solo. Keesokan paginya, K’tut terbangun karena ada orang yang mengetuk pintu. K’tut kaget dan cemas, ia langsung bangun dan menyembunyikan surat- surat ke bawah kasur. Setelah itu, K’tut langsung menuju pintu, ternyata yang datang adalah dua orang perwira Jepang. K’tut merasa akan mudah menghadapi mereka jika berganti pakaian. Tidak ada satu menit, salah seorang dari perwira itu masuk ke kamar K’tut. Perwira itu langsung menuju kasur dan mengambil semua surat- surat yang disembunyikan oleh K’tut. Dua perwira Jepang itu tanpa basa-b asi langsung menyuruh K’tut untuk ikut dengan mereka. K’tut pergi dibawa dengan mobil. Setelah perjalanan yang lama, K’tut baru sadar bahwa ternyata saat itu telah tiba di Kediri. Di sebuah penjara milik Jepang. K’tut dibawa masuk ke dalam sel tahanan. Beb erapa minggu, K’tut hanya di dalam sel tanpa ada pemeriksaan. Penyiksaan pihak Jepang tidak secara langsung disiksa. Makanan hanya datang dua kali sehari, itu hanya nasi dengan garam. Para tahanan di suruh berlutu dengan tangan didepan perut. Itu akan mudah dilakukan jika hanya beberapa menit. Namun, perlakuan itu dilakukan dari pagi hingga malam hari. Jika tidak berlutut atau telat berlutut, penjaga tidak segan-segan untuk memukul dengan tongkat yang mereka bawa. Suatu pagi, tiba saatnya K’tut keluar dari sel tahanan. Ia dibawa masuk ke tempat pemeriksaan. Ditempat pemeriksaan, ada beberapa orang yang siap memeriksa dengan tampang yang seram. K’tut dihujani beberapa pertanyaan berdasarkan surat- surat yang mereka sita pada saat penangkapan. K’tut dituduh sebagai mata- mata Amerika. Namun, K’tut menolak tuduhan itu. Para pemeriksa tidak puas dengan jawaban itu. Pemimpin pemeriksaan itu langsung marah dan menyuruh ketut untuk membuka baju dan berdiri dengan satu kaki. Namun, K’tut tidak langsung melakukan itu. Salah seorang pemeriksa mendatanginya dan langsung merobek pakaian. K’tut mendapat pukulan karena telat membuka baju. Pada awalnya, K’tut merasa malu untuk membuka baju. Namun, keadaan itu menjadi ringan ketika ia menjadi kebal dengan perlakuan para pemeriksa. Saat pemeriksaan yang selanjutnya, K’tut langsung membuka baju ketika pintu ruang pemeriksaan ditutup. Semua perintah dipatuhi oleh K’tut. K’tut merasa tersiksa batinnya dan merasa terhina dengan keadaan seperti itu. 33 Kupatuhi perintahnya, sambil menangis karena merasa terhina. Lama-kelamaan aku menjadi kebal, sehingga lagsung membuka pakaian begitu pintu kamar pemeriksaan ditutup setelah aku digiring masuk ke dalamnya. Tetapi pagi hari pertama itu, siksaan batin yang kualami terasa lebih berat daripada pukulan atau siksaan badan yang mana pun juga hlm. 161. Siksaan seperti itu datang hampir setiap hari. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan dengan diiringi pukulan dari tongkat yang dibawa pemeriksa. K’tut sama sekali tidak pernah merasakan perlakuann yang istimewa, yang ada hanya pukulan dan siksaan. Dari sekian banyak orang Jepang yang jahat, ada juga yang baik hati. Suatu malam, K’tut didatangi seorang penjaga yang berniat menghibur dengan menyanyikan sebuah lagu. Keberanian penjaga itu dikarenakan, semua perwira sedang pergi menghadiri pesta. K’tut merasa senang dengan hiburan dari penjaga. Kesenangannya bertambah ketika keesokan harinya, K’tut ditawari untuk mandi. Pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak Jepang tidak menghasilkan sesuatu. Akhirnya, mereka melepaskan K’tut tanpa alasan. K’tut diantarkan oleh seorang perwira yang masih muda. Mereka berangkat menggunakan kereta. Diperjalanan, perwira muda itu mengatakan bahwa perang tidak ada gunanya. Hanya akan menimbulkan permasalah an baru. K’tut merasa senang mendengar ungkapan dari perwira itu. Perwira itu berpikir menggunakan akal sehat. Sesampainya dirumah K’tut, perwira itu mengatakan hal yang tidak dipikirkan dan disangka oleh K’tut. Perwira merasa bahwa, ia dan K’tut berteman. K’tut mengatakan hal yang sama. Saat itu, K’tut merasa senang sekali karena telah bebas dari penjara dan kembali ke rumah. Namun, kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Selang tiga hari dari pembebasan, K’tut dipanggil lagi oleh pihak Jepang. Tetapi, kali ini yang memanggil bukan kempetai. Dinas intelejen kepolisian Jepang yang menanggil dengan mengutus dua orang perwira untuk menjemput. Setibanya K’tut di gedung tempat dinas intelejen kepolisian, ia langsung dibawa masuk ke sebuah ruangan yang didalamnya telah menunggu seorang kepala polisi. Kepala polisi mengatakan bahwa K’tut adalah mata-mata Yankee. Tidak selang lama, para perwira masuk. Mereka masuk dengan mata melotot sambil menyenggol dan menjentikkan abu rokok kea rah muka K’tut. Sebelum pertanyaan-pertanyaan melayang, sebuah sirene meraung-raung tanda bahaya muncul. Seketika, kepala polisi dan para perwira berlarian keluar. Tinggal K’tut dan satu orang perwira. K’tut disuruh berlutul dengan ditodong senapan yang mengarah tepat dikepala. Sekitar satu jam suara bom berjatuhan, akhirnya bom-bom itu berhenti. Kepala polisi dan para perwira kembali lagi. Kepala polisi masuk sambil menampar dan mengatakan kepada K’tut dengan nada membentak. “Kau senang ya?”sergahnya. “Kau tahu, itu tadi pesawat-pesawat terbang Amerika” hal 169. K’tut membantah yang dikatakan kepala polisi itu. K’tut mengatakan, tidak mungkin merasa senang melihat orang-orang tidak bersalah mati terkena bom. Setelah mereka tidak mendapatkan apa- apa, K’tut langsung digiring menuju mobil yang akan berangkat ke sel penjara kempetai Surabaya. K’tut dimasukkan ke dalam tahanan lagi. Beberapa hari baru ada pemeriksaan, K’tut dijemput seorang perwira menuju ruang pemeriksaan atau tepatnya ruang penyiksaan. Di dalam ruangan itu, pertanyaan-pertanyaan mulai dilontarkan dari pemeriksa. Setiap pertanyaan diiringi tempelengan. Karena terlalu banyak mendapat tempelengan, tubuh K’tut mulai lemas. Tidak ada jawaban yang membikin puas para pemeriksa. Akhirnya, K’tut merasakan penyiksaan yang sangat keras. Kedua tangannya diikat dan dikaitkan dilangit-langit ruangan itu, K’tut digantung sampai pingsan dan dibawa ke dalam sel tahanan lagi. Suatu hari, ada seorang wanita yang dibawa dan dimasukkan ke dalam sel jadi satu bersama K’tut. Wanita itu adalah wanita Polandia, seorang dokter di rumah sakit Surabaya. Ia ditangkap karena mendengarkan siaran radio BBC dan meneruskan kabar yang didengarnya kepada kawan-kawannya sesama dokter. Wanita itu ditangkap di rumahnya, ia disiksa dan dibawa ke penjara. Ke dua anaknya yang masih kecil dibawa pergi orang Jepang. Ia gelisah memikirkan keadaan anaknya itu. Siksaan yang dialami oleh K’tut berlangsung terus-menerus. K’tut ditangani oleh penyiksa yang baru. Oleh K’tut, penyiksa itu dijuluki Monyet Hijau. Ia gemar memelihara burung, sambil memeriksa selalu bermain dengan burung miliknya. Penyiksa itu suka sekali memukul sambil menyulutkan api rokok ke kulit. Namun, kata-katanya tidak kasar seperti pemeriksa yang lain. Ketika ia tidak mendapat jawaban yang puas atau tidak ada jawaban, ia langsung memukul dan menyulutkan api rokok ke kulit. Larut malam disel, K’tut didatangi beberapa orang perwira. Mereka mengatakan bahwa pemeriksaan ini tidak akan berjalan lancar. Mereka juga mengatakan bahwa tahu persis, kalau K’tut adalah mata-mata. Oleh karena itu, K’tut akan dijatuhi hukuman mati keesokan harinya. 34 Larut malam aku didatangi beberapa perwira Jepang, uang dengan nada pelan dan serius mengatakan,”Kami sudah memutuskan bahwa tak ada gunanya begini terus-menerus. Penyelidikan kami tidak bisa maju,karena kau tidak mau berterus terang. Kami tahu pasti bahwa kau mata-mata. Besok subuh kau akan ditembak mati” hlm. 177. Pagi-pagi sekali, penjaga datang untuk menjemput dan membawanya ke tempat hukuman mati akan dilaksanakan. K’tut diikat disebuah pohon beringin dengan mata ditutup. Sebelum hukuman dilaksanakan, seorang perwira yang bertugas membisikkan sesuatu. Jika mau berterus terang, hukuman tidak akan lanjutkan. K’tut akan dibebaskan dan dikirim ke Bali di tempat Raja. Namun, K’tut tetap dalam pendiriannya. Para penembak bersiap dengan hitungan mereka, suara ledakan dari senjata terdengar diiringi lontaran yang mengenai dada. K’tut tidak mati, ia hanya pingsan. K’tut dibawa lagi ke dalam sel. Di sel,, wanita Polandia yang dokter berhasil meyakinkan penjaga. Kalau tidak segera dibawa ke rumah sakit, K’tut akan mati. Usaha itu berhasil, K’tut dibawa ke rumah sakit simpang Surabaya. Ternyata, Jepang tidak benar-benar melakukan hukuman mati. Mereka hanya menenbakkan senapan ke udara dan diiringi lemparan batu menggunakan ketapel yang mengenai dada. Beberapa hari dirawat, K’tut mulai sadar. Ia merasa senang karena bisa melihat orang Indonesia. Para perawat dan dokter di rumah sakit itu ramah-ramah, mereka orang Indonesia. Dokter berus aha menguatkan hati K’tut, ia mengatakan bahwa harus ada semangat jika mau sembuh. Dokter juga menambahkan kabar seperti gambaran berikut: 35 “Anda kurang berusaha agar bisa sembuh kembali,” kata dokter Indonesia yang merawatku suatu hari. “Anda harus berjuang Harus ada kemauan hidup. Mungkin semangat Anda bisa pulih sedikit mendengar kabar-kabar yang saya dengar. Amerika memenangkan beberapa pertempuran sengit di darat dan di laut, dekat New Guinea dan di kawasan Pasifik tengah. Sedang di Eropa, Jerman terus-menerus dipukul mundur diberbagai front melawan Inggris. Rusia berhasil mempertahankan kedudukan mereka. Melihat gelagatnya, pihak Sekutu kini mempunyai harapan baik akan bisa memenagkan peperangan” hlm. 179. Namun, kabar itu kurang bisa menggembirakan hati K’tut. Ia masih harus berurusan dengan Jepang. Statusnya, K’tut masih tawanan Jepang yang dirawat di rumah sakit. Beberapa hari setelah perawatan di rumah sakit, K’tut dijemput pihak Jepang untuk kembali lagi ke sel. Namun kali ini bukan di sel penjara kempetai Surabaya, melainkan di sel penjara Surabaya. K’tut dikurung seorang diri di sebuah sel. Selama dua tahun, K’tut meringkuk di dalam sel penjara Surabaya. Ia merasa senang karena tidak ada lagi kekerasan yang dialaminya. K’tut juga diizinkan keluar dari sel selama sepuluh menit. Hal itu bisa menenangkan hati seorang K’tut. Di dalam sel, K’tut membuat sebuah kartu yang digunakan untuk meramalkan nasipnya sendiri. Kartu itu terbuat daun palem yang menjadi alas tikarnya, cat terbuat dari batu bata yang ditumbuk sampai halus dicampur dengan minyak. Suatu ketika, ada seorang perwira yang datang ke sel. Ia langsung membawa K’tut pergi dengan mengggunakan mobil. Saat itu, K’tut merasa ketakutan. Tidak tahu mau dibawa kemana oleh perwira. Ternyata, perwira itu bermaksud baik, ia membawa K’tut ke rumahnya. Di rumah perwira, K’tut dipersilahkan mandi. Selesai K’tut mandi, mereka bercakap-cakap. Ternyata, perwira itu bersimpatik terhadap K’tut. Ternyata, saat itu semua perwira sedang berpesta. Setelah bercakap- cakap lama, K’tut dibawa kembali ke sel tahanan. K’tut sangat berterimakasih terhadapnya. Selama dua tahun tidak mendapatkan siksaan, tiba saatnya akibat dari siksaan masa lalu muncur. K’tut jatuh sakit parah, dokter Jepang yang datang mem eriksa dua kali sehari. Suatu saat, K’tut dinyatakan mati oleh dokter Jepang. Rencana penguburan telah disiapkan. Pagi harinya, beberapa penjaga datang siap untuk menguburkan. Namun, seorang dari penjaga melihat bahwa Ktut masih hidup, matanya terbuka. Semua penjaga dan perwira kaget mendengar kabar itu. Jepang sangat percaya akan tahyul. Mereka mengira, K’tut bangkit lagi dari kematian. Sebenarnya, K’tut sama sekali tidak mati. K’tut hanya pingsan selama dua puluh empat jam. Jepang menganggap bahwa K’tut bangkit dari kematian. Oleh karena itu, K’tut mendapat perlakuan istimewa. Seorang perwira memberikan kasur, dan juga menyuruh untuk memberikan makanan yang enak, t elur dan susu untuk K’tut. Keadaan K’tut yang pingsan setengah mati setengah hidup membuat para perwira memutuskan untuk membawa ke rumah sakit di Ambarawa. Selain itu, Jepang sudah hampir dipukul mundur. Mereka tidak mau ketahuan ada seorang Amerika ditahan dan disiksa. Pada tahap peningkatan konflik, penulis mengawali dengan mengisahkan tokoh utama memiliki hotel dengan nama Swara Segara. Pihak Belanda merasa tidak senang dan merasa sudah waktunya bertindak tegas. Penulis juga mengisahkan tentang tokoh utama yang menghadapi pemerintah Belanda. Belanda memerintahkan supaya tokoh utama pergi dari Pulau Bali. Selain itu, mengisahkan tentang Anak Agung Nura yang berniat menikahi tokoh utama dan kedatangan Duff Cooper beserta istri. Penulis mengisahkan tentang tokoh utama pergi ke Pulau Jawa karena Jepang mendarat di Bali. Pada tahap ini, penulis mengisahkan tentang kekejaman Jepang terhadap masyarakat pribumi dan Jepang menyarankan supaya warga Eropa datang mendaftar. Penulis juga mengisahkan tentang bergabungnya tokoh utama dengan gerakan bawah tanah dan tentang perjalanan tokoh utama menuju Bali dengan misi penyelundupan barang. Di Bali, tokoh utama diminta oleh komandan Angkatan Laut Jepang untuk tetap tinggal bersamanya. Tokoh utama menolak permintaan itu dan mengakibatkan kemarahan komandan Angkatan Laut Jepang. Selain itu, penulis mengisahkan tentang tokoh utama yang menghadapi penyiksaan Jepang saat dipenjara. Tokoh utama jatuh sakit karena penyiksaan dan dianggap mati oleh seorang dokter Jepang. Mengetahui tokoh utama tidak mati, Jepang membawa tokoh utama ke rumah sakit Ambarawa.

2.1.4 Tahap climax tahap klimaks

Pada tahap ini diawali dengan kisah menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945. Semua rakyat Indonesia bergembira. Semua bersorak-sorak menyuarakan Jepang menyerah. Keadaan di rumah sakit Ambarawa ramai dan diselimuti rasa bahagia. Tepatnya tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah. Saat yang ditunggu seluruh rakyat Indonesia tiba. Soekarno dan Hatta didesak untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Para petinggi Indonesia takut jika tidak segera diproklamasikan, Belanda akan masuk menguasai Indonesia lagi. Namun, Soekarno mempunyai pertimbangan sendiri. Soekarno akan memproklamasikan kemerdekaan beberapa hari lagi seperti yang tergambar berikut: 36 “Jika kita menunggu lebih lama lagi,” demikian pertimbangan yang diajukan, “kesempatan baik ini mungkin akan lenyap.” Tetapi Soekarno tidak mau bertindak tergesa-gesa. Ia menyarankan untuk menunggu beberapa hari, untuk melihat keadaan. Ia masih ingin mengetahui sikap pihak Sekutu, yang dalam bernagai berita yang disiarkan menyebut dirinya kaki tangan Jepang, serta pada umumnya memberi gambaran yang keliru mengenai keadaan di Indonesia. Soekarno yang menghendaki revolusi tanpa pertumpahan darah, bersikap tegas menghadapi tekanan-tekanan yang datang hlm. 202. Dengan sikap seperti itu, tanggal 16 Agustus 1945 Soekarno dan Hatta diculik oleh sekelompok mahasiswa. Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok. Sekelompok mahasiswa itu mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera menyatakan kemerdekaan. Atas desakan itu, tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno menyatakan kemerdekan. Masyarakat sangat gembira mendengar proklamasi kemerdekaan itu. Namun, Hubertus van Mook, letnan gubernur Belanda yang melarikan diri ke Australia ketika Jepang menduduki Jawa mengirimkan pesan rahasia kepada panglima pasukan Sekutu di Asia Tenggara. 37 Hubertus van Mook, letnan gubernur Belanda yang melarikan diri ke Australia ketika Jepang menduduki Jawa, mengirim pesan rahasia pada panglima pasukan- pasukan Sekutu di Asia Tenggara,Laksamana Louis Mountbatten. Isi pesan itu mengatakan bahwa para pemimpin Indonesia hanya merupakan para pemberontak ekstrimis yang tidak didukun rakyat Indonesia, begitu pula bahwa republik yang baru lahir tidak perlu ditanggapi secara serius dan hendaknya jangan sampai mendapat pengakuan dari pihak Sekutu. Van Mook mendesak Mountbatten agar mau menbantu melenyapkannya secepat mungkin hlm. 204. Pesan rahasia itu ditanggapi, pasukan Inggris dikirim ke Jawa dengan perintah melucuti senjata Jepang dan mengembalikan republik yang dulu dirampas Jepang kepada Belanda. Namun, mereka tidak sadar bahwa Belanda menipu. Itu mengakibatkan pihak Inggris serba salah. Ketika pasukan Inggris mendarat di Jawa, mereka kaget karena senjata Jepang telah dilucuti oleh pejuang Indonesia. Tindakan itu sangat dikecam dan mendapat banyak kritikan dari banyak pihak. Tahap klimaks diawali penulis yang mengisahkan tentang menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Penulis juga mengisahkan tentang Hubertus van Mook yang mengirim pesan rahasia kepada panglima sekutu. Surat rahasia itu ditanggapi dan pasukan Inggris dikirim ke Jawa untuk melucuti Jepang. Sekutu tidak sadar bahwa Belanda menipu. Pasukan Inggris terkejut karena senjata Jepang telah dilucuti oleh pejuang Indonesia. Tindakan itu dikecam dan mendapat banyak kritikan dari banyak pihak.

2.1.5 Tahap denouement tahap penyelesaian

Tahap denouement atau tahap penyelesaian dalam novel Revolusi di Nusa damai ini, diawali tentang kisah K’tut yang akan pergi ke Australia untuk menyuarakan keadaan Indonesia. Saat itu, keadaan Indonesia masih dalam pengaruh Belanda. Sejak Indonesia menyatakan merdeka dari Jepang pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda berusaha untuk mengambil alih kepemimpinan. Sambutan di Australia sangat baik. Terbukti ketika K’tut mengadakan ceramah tentang Indonesia di Sydney University. Para mahasiswa sangat antusias dan sangat peduli terhadap Indonesia. Kenyataan itu diiringi dengan beberapa pertanyaan, para mahasiswa bertanya bagaimana mereka sebagai mahasiswa Australia bisa membantu Indonesia seperti yang tergambar berikut: “Bagaimana caranya supaya kami bisa membantu?” Tanya seorang mahasiswa. “Kami mengakui hak setiap bangsa untuk hidup merdeka. Kami mau membantu, jik a Anda menunjukkan caranya” hlm. 351. K’tut Tantri menyetujui usulan itu dan memberikan cara supaya para mahasiswa bisa membantu. Ia menyarankan supara para mahasiswa mengadakan pawai protes ke konsulat Belanda dan juga mengajukan protes terhadap agresi Belanda di Indonesia. K’tut juga menyarankan agar para mahasiswa mengirim telegram kepada Perdana Menteri Australia yang isinya agar Perdana Menteri Australia mengajukan persoalan Indonesia ke depan sidang Perserikatan Bangsa- Bangsa. Cara yang diusulkan oleh K’tut disetujui oleh para mahasiswa. Pawai protes itu berlangsung. Namun, campur tangan polisi yang datang karena dipanggil oleh pihak konsulat Belanda mengakibatkan huru-hara. Peristiwa itu ternyata membawa akibat yang merugikan Belanda. Pers Australia dengan tajam mengutuk tindakan keras yang dilancarkan polisi. Orangtua para mahasiswa marah besar. Di antara mereka ada beberapa tokoh penting Australia. Mereka mendukung tuntutan agar Australia mengajukan masalah Indonesia ke depan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dari India, Nehru megajukan seruan senada. Tidak lama setelah itu Belanda diminta oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa agar menghentikan aksi bersenjatanya di Indonesia, dan seluruh persoalan Indonesia diajukan ke hadapan mejelis Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk dibahas. Suatu hari setelah pawai protes itu berlangs ung, K’tut didatangi seorang Belanda kolonialis reaksioner. Ia mengatakan bahwa, K’tut harus segera meninggalkan Australia dan pergi ke Amerika atau Inggris. Orang Belanda itu juga menegaskan, K’tut tidak diizinkan lagi untuk ikut dalam urusan Indonesia. K ’tut ditawari upah seratus ribu gulden jika mau menuruti. 38 Anda harus sadar bahwa Anda hanya diperalat saja oleh orang-orang Indonesia itu. Begitu mereka sudah merdeka, Anda pasti akan mereka lupakan. Kalau sudah begitu, bagaimana dengan Anda? Tetapi mereka takkan lama memperoleh kemerdekaan yang mereka teriak-teriakkan. Sebentar lagi kami orang Belanda akan berkuasa lagi di sana. Anda boleh yakin bahwa kami takkan mengizinkan Anda tinggal di Indonesia nanti hlm. 355. Namun, K’tut sama sekali tidak menghiraukan yang diutarakan oleh orang Belanda itu. Semula, K’tut hanya diam saja ketika orang Belanda itu menggebu- gebu dengan pembicaraannya. K’tut merasa bahwa orang Belanda itu hanya menggeretak saja dan akhirnya K’tut mengusir orang Belanda itu.