11 Apa yang sudah tersurat di langit, harus menjadi kehendak Dewata kadang- kadang sulit penafsirannya. Tetapi begitu sudah dimengerti, bahkan orang tolol
pun takkan berani menganggapnya sepi. Kurasa kau tidak kebetulan saja tiba di puriku ini. Ini sudah tersurat, lama sebelum kau dilahirkan. Selamat datang,
anakku hlm. 39.
Setelah mendengar ucapan raja, K’tut Kantri tidak berani untuk menolak uluran tangan raja bantuan Raja. Ia tidak berani karena akan menimbulkan
kemurkaan Dewata. K’tut Tantri merasa harus tinggal di puri raja selaku anak
seorang raja Bali seperti yang tergambar berikut:
12 Tawaran itu kuterima dengan ucapan terima kasih berkali-kali. Dengan segera aku dibawa raja serta putranya ke bagian lain dari pekarangan puri itu, di mana
aku secara resmi diperkenalkan pada istrinya yang pertama. Wanita itu baik hati, tetapi sangat pemalu. Ia ditemani dua putrinya. Dua gadis belasan tahun yang
manis-manis. Keduanya belum menikah dan sama pemalunya seperti ibu mereka hlm. 40.
Sete lah memperkenalkan K’tut Tantri secara resmi pada istrinya yang
pertama, raja tersenyum lebar dan mengatakan:
13 Sekarang aku mempunyai seorang putra dan tiga putri. Gaya bahasa laki-laki tua begitu riang, sehingga aku cenderung beranggapan bahwa ia hanya berkelakar.
Tetapi kemudian suaranya menjadi serius. Kau kami namakan K’tut, yang dalam
bahasa Bali berarti anak ke empat. Segera akan kupanggil pendana. Menurut adat leluhur kami, kau akan kami beri nama lain, yang akan merupakan nama yang
ditakdirkan untukmu hlm. 40.
Akhirnya K’tut Tantri menjadi anak ke empat raja Bali dan menjadi bagian dari keluarga Anak Agung Nura. Ia benar-benar merasa bahwa takdirnya adalah
menjadi bagian dari keluarga raja seperti yang telah ditakdirkan oleh Dewata. K’tut tantri tidak bisa memungkiri takdir yang telah diberikan oleh Dewata
kepadanya.
Pada tahap penyituasian novel ini mendeskripsikan tentang memori K’tut
Tantri mengenai nenek moyangnya. Selain itu, penulis mengisahkan tentang tokoh utama yang tertarik dengan Pulau Bali. Ketertarikan tokoh utama dengan
Pulau Bali mengakibatkan keinginan tokoh utama pergi dan melakukan perjalanan menuju Pulau Bali. Penulis memaparkan dengan jelas mengenai perjalanan tokoh
utama saat tiba di Pulau Bali dan tinggal di puri raja Bali.
2.1.2 Tahap generating circumstances tahap pemunculan konflik
Tahap pemunculan konflik yang terdapat dalam novel Revolusi di Nusa Damai
berisi kisah K’tut Tantri ketika mendapat surat resmi dari Kontrolir Klungkung. Kontrolir Klungkung tel
ah mengetahui keberadaan K’tut Tantri di puri raja Bali seperti yang tergambar berikut:
14 Pada hari kami akan berjalan-jalan di desa, seorang pesuruh datang mengantarkan sepucuk surat yang kelihatannya resmi. Surat itu disampaikan pada Nura, yang
melihat alamat yang tertulis di situ sepintas lalu. Ini untukmu Katanya dengan nada agak heran. Kubuka sampul surat itu. Isinya dalam bahasa Belanda. Coba
tolong katakana maksudnya Nura membaca surat itu, lalu menoleh ke arahku. Cepat sekali berita tersirat. Kontrolir klungkung sudah tahu bahwa kau ada di
sini. Kau dimintanya selekas mungkin datang ke kantornya, dengan membawa paspor hlm. 43-44.
K’tut Tantri menjelaskan kepada Nura bahwa K’tut sudah menunjukkan paspornya pada kontrolir di Denpasar. Ia merasa jengkel dan merasa bahwa ini
adalah tindakan sewenang- wenang. K’tut tidak mau pergi ke Klungkung untuk
menghadap kontrolir hanya untuk menunjukkan paspor. Anak Agung Nura dan K’tut Tantri berdebat mempermasalahkan
keputusan K’tut yang tidak mau menghadap kontrolir klungkung. Nura
menjelaskan bahwa Belanda yang menentukan segala seseuatu di sini, Bali. Ia juga menjelaskan bahwa
K’tut Tanti tidak boleh remeh mereka, Belanda. Seluruh masyarakat Bali dan keluarga raja sudah menyadari bahwa sebaiknya bersikap
diplomatis. Nura menjelaskan degan tegas, Belanda bisa merepotkan seluruh masyarakat Bali, keluarga raja, maupun
K’tut Tantri. Orang Belanda tidak suka jika ada wanita kuli
t putih bergaul akrab dengan orang Bali. K’tut Tantri mulai menyadari hal itu dan memutuskan untuk berangkat menghadap kontrolir
Klungkung seperti yang tergambar berikut:
15 Aku bingung. Tetapi kusadari saat itu, tidak ada pilihan lain bagiku. aku mengisi bensin dari persediaan yang ada di puri, lalu berangkat dengan perasaan enggan
ke Klungkung. Aku tidak tahu apa yang akan kudengar di situ. Mungkin kediamanku di puri hanya merupakan impian indah belaka hlm. 44.
Setelah kedatangannya di Klungkung, K’tut Tantri tidak dibiarkan menunggu terlalu lama karena kontrolir ingin cepat-
cepat berbicara dengan K’tut. Kontrolir berbicara dengan agak terbata-bata ketika menjelaskan alasan
K’tut di panggil ke Klungkung.
Kontrolir Klungkung menjelaskan bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak suka jika ada orang kulit putih berbaur dengan masyarakat pribumi. Bangsa
Belanda memerintah masyarakat pribumi dan menentukan kedudukan mereka dan membiarkan mereka sendiri. Penjelasan Kontrolir tersebut tergambar dalam
kutipan berikut:
16 Anda diminta datang ke kantor ini atas perintah kontrolir Denpasar, katanya. Ia telah memberitahu Anda bahwa pemerintah kolonial Belanda akan menaggapi
secara serius kepergian Anda dari Den Pasar, untuk hidup di kalangan penduduk pribumi di pedalaman pulau ini. Kami bangsa Belanda memerintah mereka
dengan jalan menentukan kedudukan mereka lalu membiarkan mereka sendiri. Apa yang akan terjadi menurut pendapat Anda, apabila mereka sampai
beranggapan bahwa bangsa kulit putih memandang mereka sederajat? Anda, seorang wanita kulit putih, mau menerima ajakan keluarga pribumi…” Ia terbata-
bata, seperti mobil kehabisan bensin hlm. 45.
Perdebata n K’tut dengan kontrolir berjalan begitu panjang dan tetap pada
pendirian masing-masing. Kontrolir juga menjelaskan, raja Bali identik dengan istri banyak atau istri lebih dari satu. Ia berusaha menakuti K’tut dengan cara
memberi wacana kepada K’tut tentang kebiasaan raja memiliki istri banyak atau lebih dari satu. Kontrolir memberikan contoh raja Karangasem yang memiliki istri
paling sedikit empat puluh. Kontrolir juga menjelaskan apaka
h K’tut tidak takut jika santet karena kecemburuan dari perempuan pribumi. Dengan berlagak bijak, kontrolir berkata
bahwa pihak resmi berkewajiban untuk melindungi orang kulit putih dari hal semacam itu.
Menurut kontrolir, K’tut menempatkan diri dalam kedudukan yang sangat berbahaya, karena tinggal di dalam puri raja. Wanita di situ sangat pandai
bermain santet , apalagi K’tut tidak bisa memahami bahasa mereka.
Ucapan kontrolir dibantah oleh K’tut tantri. K’tut membalas ucapan kontrolir dengan mengatakan kalau dengan berjalannya waktu bisa belajar bahasa
Bali. K’tut Tantri juga tidak akan pernah meninggalkan puri dan tidak takut
dengan yang disampaikan kontrolir kepadanya. K’tut Tantri tetap pada
pendiriannya dengan tinggal di puri. Hal ini terlihat pada kutipan berikut:
17 Saya akan tetap menjadi tamu di puri. Dan percayalah, saya akan menjaga tutur bahasa saya sebaik-baiknya. Karena itu, Tuan kontrolir, saya anjurkan agar Anda
tidak menyulitkan saya atau tuan rumah saya, karena apabila itu terjadi, saya akan menghadap konsul Amerika di Surabaya. Ia akan mengatakan pada Anda
bahwa saya tidak bisa diusir tanpa alasan. Dan saya takkan membuat Anda mendapat alasan hlm. 48.
Setelah mengatakan seperti itu kepada kon trolir, K’tut Tantri lalu
meninggalkan kantor kontrolir Klungkung. K’tut Tantri bergegas pulang ke puri. Ternyata raja dan putranya telah menunggu kedatangan K’tut Tantri dari kantor
kontrolir Klungkung. Raja dan anaknya tidak sabar ingin mendengar cerita K’tut
Tantri. K’tut Tantri menceritakan semua percakapannya dengan kontrolir Klungkung tanpa menambah dan menguranginya.
Mendengar cerita dari K’tut Tantri, raja mengutarakan keinginanya agar K’tut tetap mau tinggal di puri. Seluruh keluarga raja berpikiran seperti itu,
mereka berharap K’tut tetap mau tinggal di puri dan tidak perlu merasa takut. Jika kontrolir mengusir
K’tut dari puri, raja sendiri yang akan menghadapi dan akan menghadap Gubernur untuk membicarakan hal ini.
Raja juga menjelaskan bahwa seluruh masyarakat kulit putih akan memperlakukan raja sebagai sesuatu yang hina. Bangsawan Bali sekali pun tidak
akan diterima sebagai tamu di rumah orang Belanda. Orang Bali tidak bergaul dengan bangsa kulit putih, kecuali beberapa seniman asing.
Anak Agung Nura menambahkan ucapan ayahnya dengan mengatakan K’tut nantinya akan merasa sepi, karena tidak bergaul dengan bangsa kulit putih
lainnya. Namun, saat itu K’tut tahu, bahwa ia tidak akan pernah sepi. K’tut merasa