bbisa tinggal sekamar. Tetapi aku bisa saja membagi kamarku dengan para pejuang kemerdekaan yang sudah capek berperang itu. Akhirnya sebelum aku bisa berubah
pikiran atau bahkan merenungkan perbuatanku, kamar tidurku sudah terisi dengan sepuluh pejuang yang tidur pulas. Delapan di dua tempat tidur, dan dua lagi di atas
tikar hlm. 269.
Kutipan di atas mendeskripsikan bahwa, citra diri wanita tokoh K’tut Tantri dalam aspek psikis merupakan seorang yang peduli dengan sesama. Awalnya, ia tidak
rela jika harus menyerahkan kamarnya pada para pejuang. Namun, ia rela berbagi dengan para pejuang itu. Sikap yang seperti itu menunjukkan bahwa, K’tut Tantri
memiliki jiwa yang seutuhnya untuk Indonesia. Ia juga rela berkorban untuk Indonesia, mulai dari hal kecil hingga hal yang besar.
Dalam kemarahan yang menyelimuti K’tut Tantri, ia masih dapat berpikir jernih. K’tut Tantri juga dapat berpikir secara benar dalam keadaan apa saja. Dalam
keadaan sulit, ia masih bisa menasehati seseorang untuk mencari cara lain untuk pergi ke Jawa. Hal ini terdeskripsikan dalam kutipan berikut:
85 Kita kan mencari jalan lain, kataku membesarkan hatinya. Kita tidak boleh menyerah sekarang. Dalam hati aku berusaha menduga-duga alasan orang Indonesia yang
menipuku untuk kedua kalinya. Kenapa ia begitu dipercaya orang-orang yogya? Apakah karena pamannya tergolong salah satu tokoh Republik yang terpenting?
Semua indikasi yang ada menunjukkan ia berbohong tentang soal jual beli gula dulu. Dan kini kelihatan mencolok sekali bahwa ia hendak menggagalkan pengakuan
terhadap negaranya sendiri. Tetapi kenapa ia begitu? hlm. 339.
Citra diri wanita tokoh K’tut Tantri dalam aspek psikis terdeskripsi dalam kutipan di atas sebagai orang yang selalu ingin membesarkan hati seseorang. Ia tidak
ingin membuat orang lain kecewa. Kutipan di atas juga mendeskripsikan mengenai
K’tut Tantri yang merasa bingung tentang orang Indonesia yang berbohong padanya dan berusaha untuk menggagalkan pengakuan atas negaranya sendiri. Ia juga bingung
kenapa orang seperti itu dipercaya oleh orang di Yogya. K’tut Tantri sama sekali tidak bisa berpikir tentang kemungkinan itu.
3.1.2.8 Memegang janji
K ecintaan K’tut Tantri kepada bangsa Indonesia semakin besar ketika ia
ditawari untuk mengungsi ke Australia dan meninggalkan Surabaya. Citra diri wanita tokoh
K’tut Tantri dalam aspek psikis terdeskripsi memiliki sifat yang tidak akan mengingkari janji. Hal ini terdeskripsikan dalam kutipan berikut:
86 Sebetulnya melegakan juga, apabila bisa mengungsi ke Australia yang jauh dari relatif aman. Tetapi aku merasa tidak bisa meninggalkan pulau yang sedang kacau-
balau itu. Bagaimana nasib Agung Nura nanti, serta semua kawan-kawanku bangsa Indonesia? Bagaimana dengan cita-cita Nura, yang ingin membebaskan rakratnya
dari penindasan bangsa asing? Bagaimana dengan segala janjiku yang kuucapkan sewaktu di kebun kopinya dulu, untuk ikut berjuang sekuat tenaga demi
kemerdekaan Indonesia? Belanda sudah melepaskan tali kekang, mungkin untuk selama-lamanya. Mungkin saja Jepang nanti ternyata mau menyerahkan kekuasaan
pada bangsa Indonesia. Tindakan yang demikian pasti akan disambut hangat oleh seluruh bangsa Asia. Dan dengannya, Jepang akan bisa dengan bebas menggerakkan
tenaga untuk melakukan tugas di tempat lain, dalam wilayah kekuasaan mereka yang meluas dengan begitu cepat hlm. 130.
Dalam kutipan di atas terdeskripsi citra diri wanita dalam aspek psikis , K’tut
Tantri dideskripsikan sebagai wanita yang memiliki tanggungjawab begitu besar ketika telah mencintai sesuatu. Hal ini ditunjukkan dalam kisahnya yang tidak mau
meninggalkan kota Surabaya yang pada saat itu sedang kacau. K’tut Tantri juga
dideskripsikan sebagai wanita yang tidak mudah mengingkari janji. Hal ini
ditunjukkan pada saat ia mengingat janjinya pada Anak Agung Nura di kebun kopi. Ia berjanji akan membantu berjuang bagi bangsa Indonesia.
Demi memegang janjinya, K’tut Tantri rela mati untuk tetap bungkam dan tidak mengatakan sesuatu.
Citra diri wanita tokoh K’tut Tantri dalam aspek psikis terdeskripsi merasa tidak ingin hidup lagi. Keadaan yang semakin parah dan daya
tahan tubuh berkurang drastis membuat K’tut Tantri putus harapan. Keinginannya untuk tetap hidup sudah sangat kecil. Hal ini terdeskripsikan dalam kutipan berikut:
87 Aku tidak langsung menangkap maksud kata-kata itu. Tetapi aku juga tidak begitu peduli lagi. Sudah begitu banyak penderitaan yang kualami, sehingga pernyataan
bahwa kesengsaraanku akan diakhiri itu kuanggap sesuatu yang menyenagkan. Apalah gunanya aku hidup terus, kalau tidak ada sama sekali harapan akan terbebas
dari siksaan yang tidak henti-hentinya merongrong diriku. Rasa sakit selalu menhantui kesadaranku. Saat itu aku sudah tidak tahan lagi menahas pemukulan serta
penggantungan. Sudah tiga kali aku mengalami keadaan tergantung dengan lengan ditarik ke atas, dan setiap kali aku sudah jatuh pingsan terlebih dulu, sebelum
mulutku melontarkan kata-kata yang ingin didengar Jepang-Jepang penyiksaku. Aku sadar, pengakuanku mengenai urusan dengan kawan-kawanku takkan bisa
menyelamatkan diriku dari hukuman mati, sedang kawan-kawanku akan mengalami penyiksaan dan kematian karenanya. Jadi jika aku yang harus mati, lebih baik aku
sendiri saja yang mati, tampa membuka rahasia. Aneh, tetapi kini aku tahu bahwa jika kita bisa bertahan terhadap pemeriksaan pada saat awal tanpa mengaku, kita
kemudian akan dikebalkan rasa benci, dan penyiksaan yang menyusul setelah itu akan lebih kecil kemungkinannya bisa berhasil memaksa kita mengaku. Awalnyalah
yang paling berat. Sementara aku sudah sampai pada titik akhir. Kematian hanya akan berarti pembebasan diri dari Jepang-Jepang itu hlm. 177.
Kutipan di atas mendeskripsikan citra diri wanita tokoh K’tut Tantri dalam aspek psikis yang telah mengalami penyiksaan yang sangat berat. Ketegaran dan
keteguhan hati yang dimiliki K’tut Tantri membuatnya mampu bertahan dan tidak membongkar rahasia yang
disepakatinya dulu. K’tut Tantri lebih memilih mati
daripada harus memberitahukan segalanya terhadap Jepang, hal ini terlihat jelas pada kutipan di atas. Ia berpendapat bahwa kematian yang hanya akan membebaskannya
dari siksaan Jepang. Hal ini mendeskripsi kan citra diri wanita tokoh K’tut Tantri
dalam aspek psikis mulai jenuh dan merasakan tekanan batin yang cukup berat.
3.1.2.9 Memiliki sikap waspada
Ketakutan K’tut Tantri muncul ketika mendapat undangan pesta dari komandan Angkatan Laut Jepang di Bali. Hal ini terdeskripsikan dalam kutipan
berikut:
88 Saat itu aku sudah ketakutan sekali. Aku berusaha keras menyembunyikan ketakutanku dalam pesta. Kupaksakan diri mengobrol dengan kawan-kawanku, para
penari. Komandan yang mengundangku kelihatannya ramah-ramah. Tetapi ada sesuatu yang menyuruhku bersikap waspada hlm. 152.
Citra diri wanita tokoh K’tut Tantri dalam aspek psikis terdeskripsikan dalam kutipan di atas memiliki ketakutan yang sangat besar. Ia berusaha menyembunyikan
ketakutan yang dirasakannya agar tidak dicurigai. Sikap waspada selalu dilakukan K’tut Tantri dalam setiap tindakkannya. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan di atas
yang mengisahkan mengenai cara K’tut Tantri agar tidak terlihat ketakutan. Tindakan waspada itu dilakukan K’tut Tantri karena ia merasa ada sesuatu yang membuatnya
bersikap waspada. Semangat K’tut Tantri membuatnya mempunyai kekuatan. Ia menggabukkan
diri menjadi staf Radio Pemberontakan. Berita pertama yang akan disiarkan K’tut
Tantri tidak langsung disiarkannya. Ia sangat berhati-hati, karena berita yang diterimanya tidak masuk akal. Hal ini terdeskripsikan dalam kutipan berikut:
89 Awalnya dimulai dengan suatu berita luar biasa yang disampaikan padaku di stasiun pemancar. Berita itu tidak masuk akal, sehingga aku tidak mau menyampaikannya
sebelum bisa memastikan paslu tidaknya. Aku menerima kabar bahwa tentara Inggris yang sebagian besar terdiri dari pasukan-pasukan Gurkha, menyelundupkan pasukan-
pasukan Belanda ke darat di pelabuhan Surabaya. Begitu turun, pasukan-pasukan itu langsung menuju berbagai tempat dalam kota yang saat itu tidak bersenjata dan tidak
diawasi. Ditempat itu mereka diam-diam membangun kekuatan, sementara tentara Inggris sendiri tetap berada di atas kapal dan di pelabuhan. Mereka menunjukkan
sikap pura-pura tidak tahu apa-apa hlm. 225.
Citra diri wanita tokoh K’tut Tantri dalam aspek psikis terdeskripsikan bahwa, ia sangat berhati-hati ketika akan menyampaikan berita. Jika berita itu tidak masuk
akal, K’tut Tantri harus membuktikan berita itu benar atau tidaknya. Hal ini terdeskripsikan sangat jelas pada kutipan di atas. Sikap K’tut Tantri itu sangat
berhati-hati, ia tidak ingin menimbulkan salah paham antara Inggris dan Indonesia. Jika berita itu tidak benar keadaannya, K’tut Tantri tidak akan menyiarkannya di
radio.
3.1.2.10 Haru dan tabah
K’tut Tantri mendapatkan sanjungan yang luar biasa dari presiden Sukarno dalam pidato kepresidenan. Ia mendapatkan sanjungan itu karena telah rela berkorban
dan membela kemerdekaan Indonesia tanpa memperdulikan keselamatan sendiri. K’tut Tantri merasa tersanjung dan sampai meneteskan air mata haru. Hal ini
terdeskripsikan dalam kutipan berikut: