Citra diri wanita tokoh utama dalam novel Revolusi di Nusa Damai karya K`tut Tantri : kajian sosiologi sastra.
CITRA DIRI WANITA TOKOH UTAMA DALAM NOVEL REVOLUSI DI NUSA DAMAI
KARYA K’TUT TANTRI: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Pipit Priya Atmaja NIM: 06 4114 013
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(2)
i
CITRA DIRI WANITA TOKOH UTAMA DALAM NOVEL REVOLUSI DI NUSA DAMAI
KARYA K’TUT TANTRI: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Pipit Priya Atmaja NIM: 06 4114 013
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala lindungan dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi
ini disusun untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian sarjana dan
memperoleh gelar S-1 Fakultas Sastra, Jurusan Santra Indonesia, Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa dukungan
dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin berterima kasih
terhadap pihak yang mendukung dan membantu terselesaikannya skripsi ini,
yaitu:
1. SE Peni Adji, S.S, M.Hum. sebagai dosen pembimbing I yang telah
membimbing, membantu, dan meluangkan waktunya untuk memberi
saran dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. sebagai dosen pembimbing II yang telah
membimbing dan memberi masukan kepada penulis sehingga skripsi
ini terselesaikan.
3. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia yang berbagi ilmu selama
penulis menempuh pendidikan di Sastra Indonesia, Universitas Sanata
Dharma.
4. Dra. Sugihastuti, M.S. yang berkenan meminjamkan buku sehingga
(8)
vii
5. Bapak-Ibu tercinta dan seluruh keluarga yang memberi dukungan
sepenuhnya sehingga penulis dapat menyeselaikan skripsi ini.
6. Margaretha Nuri Karisma yang telah mendukung dan memberi
semangat sehingga terselesaikannya skripsi ini.
7. Cindil, Doler, Parji, Domex, Bitbit, Gembes, Pak Ndut, Hedwiq, dan
teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu yang memberi
semangat dan masukan selama proses penyusunan skripsi.
8. Keluarga besar Bengkel Sastra yang menampung penulis selama
perkuliahan dan teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia 2006 atas
kebersamaan selama perkuliahan.
9. Seluruh karyawan Universitas Sanata Dharma yang telah memberi
pelayanan selama ini.
10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun
banyak memberi dukungan dari awal perkuliahan hingga tersusunya
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk itu, segala
saran dan kritik dari berbagai pihak akan penulis terima dengan segala kerendahan
hati dan harapan dapat lebih menyempurnakan penelitian ini. Penulis juga
berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, 26 November 2012
(9)
viii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Dalam dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia.
(Yohanes, 1:4)
Kehidupan tak akan lancer tanpa adanya usaha dan tanpa campur tangan Tuhan, usaha tidak akan pernah menuju keberhasilan.
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus
Bapak dan Ibu tercinta
(10)
ix DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
DAFTAR ISI ... ix
ABSTRAK ... xiii
ABSTRACT ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
(11)
x
1.6 Kerangka Teori... 6
1.6.1 Teori Struktur Alur ... 6
1.6.2 Sosiologi Sastra ... 8
1.6.3 Citra Diri Wanita ... 9
1.7 Metode Penelitian... 10
1.7.1 Metode Pengumpulan Data ... 10
1.7.2 Metode Analisis Data ... 11
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 11
1.7.4 Sumber Data ... 11
1.8 Sistematika Penyajian ... 12
BAB II ANALISIS STRUKTUR ALUR NOVEL REVOLUSI DI NUSA DAMAI KARYA K’TUT TANTRI ... 13
2.1 Alur ... 13
2.1.1 Tahap Penyituasian ... 14
2.1.2 Tahap Pemunculan Konflik... 18
2.1.3 Tahap Peningkatan Konflik... 23
2.1.4 Tahap Klimaks ... 64
(12)
xi
2.2 Rangkuman ... 70
BAB III CITRA DIRI WANITA TOKOH UTAMA DALAM NOVEL REVOLUSI DI NUSA DAMAI ... 73
3.1 Citra Diri Wanita ... 73
3.1.1 Citra Diri Wanita Tokoh K’tut Tantri dalam Aspek Fisik ... 74
3.1.2 Citra Diri Wanita Tokoh K’tut Tantri dalam Aspek Psikis ... 76
3.1.2.1 Merindukan Kedamaian ... 76
3.1.2.2 Memiliki Percaya Diri karena Prinsip dan Semangat yang besar ... 81
3.1.2.3 Memiliki Sikap Sopan-Santun ... 87
3.1.2.4 Berpikir Positif ... 89
3.1.2.5 Memiliki Ketakutan dan Kegelisahan ... 92
3.1.2.6 Mencintai Bali dan Indonesia ... 96
3.1.2.7 Memiliki Sikap Peduli dengan Sesama ... 99
3.1.2.8 Memegang Janji ... 103
(13)
xii
3.1.2.10 Haru dan Tabah ... 106
3.1.2.11 Pandai Menyiasati Situasi ... 108
3.2 Rangkuman ... 111
BAB IV PENUTUP ... 114
4.1 Kesimpulan ... 114
4.2 Saran ... 116
DAFTAR PUSTAKA ... 117
(14)
xiii ABSTRAK
Atmaja, Pipit Priya. 2012. Citra Diri Wanita Tokoh Utama dalam Novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri. (Kajian Sosiologi Sastra). Skripsi S-1. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji citra diri wanita dalam novel Revolusi di Nusa
Damai karya K’tut Tantri. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan unsur alur yang terdapat dalam novel Revolusi di Nusa Damai
karya K’tut Tantri dan menganalisis citra diri wanita yang terdapat di dalamnya. Penelitian ini menggunakan kajian sosiologi sastra yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi dan metode analisis isi. Tahap awal penelitian ini adalah melakukan analisis unsur alur dan hasilnya digunakan untuk menganalisis citra diri wanita dalam novel Revolusi di Nusa Damai.
Hasil dalam penelitian ini adalah analisis alur dalam bab II dan citra diri wanita dalam bab III. Alur dalam novel Revolusi di Nusa Damai adalah alur lurus atau maju. Peristiwa-peristiwa penting yang menyusun pergerakan alur dalam novel ini berjalan secara kronologis.
Dalam bab III, dianalisis citra diri wanita dalam aspek fisik dan aspek
psikis. Citra diri wanita tokoh K’tut Tantri dalam aspek fisik terdeskripsi sebagai
wanita bersuku Man (Amerika), berambut pirang, dan berkulit putih, mengecat rambur menjadi hitam karena tuntutan rakyat Bali. Citra diri wanita tokoh K’tut Tantri dalam aspek psikis terdeskripsi sebagai wanita yang merindukan kedamaian, percaya diri karena memiliki prinsip dan semangat yang besar, memiliki sikap sopan-santun, berfikir positif, mengalami kegelisahan dan ketakutan, cinta terhadap Bali dan Indonesia, peduli sesama, memegang janji, waspada, haru dan tabah, dan pandai mensiasati situasi.
(15)
xiv ABSTRACT
Atmaja, Pipit Priya. 2012. Women’s Portrait in the Novel Entitled Revolusi di Nusa Damai by K’tut Tantri. (The Research of Literature Sociology). Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Indonesian Literature Department, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.
The study carried out women’s portrait in the novel entitled Revolusi di Nusa
Damai by K’tut Tantri. It aimed to analyze and to describe the plot in Revolusi di Nusa Damai by K’tut Tantri and to analyze women’s portrait in the novel.
The research employed the research of literature sociology focusing on literature text. Data analysis method used in the study was descriptive and analysis method. The first step in the research was analyzing the plot and the result was used
to analyze women’s portrait in Revolusi di Nusa Damai by K’tut Tantri.
The result of the research was the plot analysis in chapter II and women’s portrait in chapter III. The plot in the novel was progressive plot. The crucial events
which arranged the movement of novel’s plot ran chronologically.
In chapter III, women’s portrait was analyzed in physics and psychic aspects.
K’tut Tantri as a main character in physics aspect was figured out as a blond and fair -skinned Man lady. Her portrait in psychic was figured out as a lady who yearned a peace, had self-confidence as she had the rules and enormous spirit, behaved well, taught positively, experienced discomfort and fear, loved Bali and Indonesia, cared about others, kept promises, was wary, touched and patient, and planned investigation well.
(16)
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sastra merupakan salah satu tempat untuk mencurahkan isi atau pikiran si
pengarang. Pengarang dapat membuat cerita berdasarkan imajinasi atau realitas
yang dihadapi pengarang. Karya sastra yang berdasarkan pada imajinasi atau
realitas mengandung struktur yang terdiri dari bagian-bagian yang bermakna.
Struktur karya sastra mengarah pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik)
yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi secara
bersamaan membentuk kesatuan yang utuh (Nurgiyantoro, 2007:36).
Karya sastra yang bercerita tentang realitas sosial di Indonesia memiliki
sudut pandang berbeda. Hal tersebut tergantung pada gender, pribumi dan non
pribumi. K’tut Tantri dalam novel Revolusi di Nusa Damai sebagai pelancong
yang non pribumi mencoba menggambarkan pengalaman hidup (biografinya)
selama berada di Indonesia.
K’tut Tantri adalah seorang perempuan berkebangsaan Amerika. K’tut Tantri merupakan nama yang diberikan oleh seorang Raja Bali. K’tut Tantri datang ke Bali pada tahun 1930-an. Ia juga diangkat anak oleh Raja Bali dan
tinggal di puri sebagai putri raja yang keempat.
Bermula ketika K’tut Tantri berteduh dari hujan di Hollywood Boulevard. Persis di depan bioskop, mata seorang gadis kelahiran Pulau Man (sebuah pulau
(17)
2
mempromosikan keindahan dan keeksotisan Bali pada 1930-an sehingga para
turis tertarik untuk datang.
Seperti orang-orang kulit putih umumnya pada masa itu, K’tut Tantri melihat "timur" merupakan tempat eksotis yang harus dikunjungi. Ia pun tertarik
datang. Maka, pada November, di tengah musim dingin yang menggigit,
berangkatlah nona Amerika ini dari New York menuju Timur Jauh dengan
menumpang kapal Batavia. Perjalanan ini di tempuhnya untuk mencari "surga
terakhir" dengan seperangkat alat lukis.
Setelah perjalanan yang panjang, K’tut Tantri akhirnya tiba di pulau Bali. Ia menyaksikan perempuan-perempuan Bali yang bertelanjang dada. Ini terlihat
dalam kutipan berikut:
(1) Aku melihat mereka di mana-mana. Di sepanjang jalan maupun di sawah, para wanita dengan polos memperagakan payudara yang sintal, sementara mereka berjalan beriringan satu-satu sambil menjunjung beban yang tidak kecil ukurannya di atas kepala (hal 28).
Selain itu, ia juga harus menghadapi keangkuhan si tuan putih Belanda
sebagai penguasa dengan berbagai aturan:
(2) Ini bukan Bali, melainkan Holland dalam ukuran kecil di mana setiap orang termasuk Anda wajib mematuhi undang-undang Belanda," ujar seorang aspirant controleur Distrik Denpasar di Bali Hotel. Ketika K’tut Tanri mengutarakan keinginannya untuk tinggal bersama orang Bali, pejabat Belanda melarangnya untuk tidak bergaul dengan si sawo matang. Ia pun menjawab: Saya di sini karena ingin melihat Bali, bukan untuk hidup di hotel Deluxe sambil menonton manusia-manusia kolonial minum-minum dan main tenis (hal 32).
Setelah menghadapi si tuan putih Belanda, K’tut Tantri melanjutkan perjalanannya. Ia berniat berhenti ketika bensin mobilnya habis. Ternyata,
(18)
3
dan keluarga. Putera Raja yang bernama Anak Agung Nura bertanya kepada K’tut Tantri “Anda kan turis Amerika? Bagaimana bisa sampai di sini? K’tut Tantri menjawab:
(3) Tidak, Anak Agung Nura. Saya bukan turis. Saya datang ke pulau Anda ini dengan maksud untuk menetap selama-lamanya di sini. Saya berharap bisa melukis di sini dan mengikuti cara hidup rakyat di sini yang damai dan tenteram. Saya sudah tidak tahan lagi tinggal di hotel Belanda yang penuh dengan turis, dan karenanya berangkat ke pedalaman dengan ikrar bahwa dengan bantuan dewata saya akan tinggal di mana mobil saya berhenti karena kehabisan bensin (hal 38).
Setelah mendengar percakapan K’tut Tantri dengan Anak Agung Nura, Raja berkata:
(4) Apa yang sudah tersurat di langit, harus menjadi kehendak Dewata kadang-kadang sulit penafsirannya. Tetapi begitu sudah dimengerti, bahkan orang tolol pun takkan berani menganggapnya sepi. Kursa kau tidak kebetulan saja tiba di sini. Ini sudah tersurat, lama sebelum kau dilahirkan. Selamat datang,anakku (hal 39).
K’tut Tantri menerima uluran tangan Raja. Raja tersenyum lebar mengetahui K’tut Tantri menerima tawarannya untuk tinggal di purinya. Tidak
berselang lama, Raja mengangkat K’tut Tantri sebagai anaknya yang keempat.
(5) Sekarang aku mempunyai seorang putera dan tiga putri. Kau kami namakan K’tut yang dalam bahasa Bali berarti anak keempat. Segera akan kupanggil pedanda. Menurut adat leluhur kami, kau akan kami beri nama lain, yang akan merupakan nama yang ditakdirkan untukmu (hal 40).
Peristiwa – peristiwa seperti diatas yang menarik penulis untuk mengangkat novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri sebagai objek penelitian. Dalam beberapa kutipan di atas, K’tut Tantri dihadirkan oleh
pengarang sebagai wanita yang memiliki karakter khas. K’tut Tantri dihadirkan
(19)
4
K’tut Tantri diceritakan sebagai wanita yang memiliki karakter kuat untuk mencapai tujuan. Hal inilah yang membuat penulis memilih topik Citra Diri
Wanita dalam Novel Revolusi di Nusa Damai.Penulis akan mengkaji struktur alur
dan citra diri wanita dalam novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri. Kajian ini akan diawali dengan kajian struktur alur. Dalam penelitian ini penulis
akan menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk mencari dan mengetahui
tentang citra diri wanita dalam novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang ada di atas, masalah yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana analisis struktur alur dalam novel Revolusi di Nusa Damai
karya K’tut Tantri?
1.2.2 Bagaimana citra diri wanita tokoh utama dalam novel Revolusi di
Nusa Damai karya K’tut Tantri?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Mendeskripsikan struktur alur dalam novel Revolusi di Nusa Damai karya
K’tut Tantri.
1.3.2 Mendeskripsikan citra diri wanita tokoh utama dalam novel Revolusi di
(20)
5
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka dapat disimpulkan manfaat
dari penelitian ini yaitu:
1.4.1 Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai studi
analisis terhadap karya sastra, terutama dalam bidang penelitian novel
yang memanfaatkan teori sosiologi sastra.
1.4.2 Hasil penelitian ini dapat menambah referensi penelitian karya sastra dan
menambah wawasan kepada pembaca tentang citra diri wanita dengan
tinjauan sosiologi sastra.
1.5 Tinjauan Pustaka
Novel ini pernah diresensi oleh Ratna Ariani di sebuah blog wordpress 17
Agustus 2008. Ratna Ariani menuliskan bahwa novel Revolusi di Nusa Damai
adalah novel biografi dari penulis, yaitu K’tut tantri. Ia juga memaparkan dengan singkat tentang isi dari novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri (synopsis). Selain itu, Ratna Ariani juga memaparkan pendapatnya mengenai
novel Revolusi di Nusa Damai. Menurutnya, novel ini cukup berharga sebagai
sebuah dokumentasi sejarah. Banyak hal yang tidak kita temui diversi sejarah
resmi kita. Tidak hanya sampai disitu, Ratna Ariani mengatakan bahwa bangsa
Indonesia tidak dapat memahami sisi humanisme.Humanisme dan idealisme kalau
terbentuknya dengan materialisme jadinya kalah atau menang manusia sekarang
harus tanpa hati
(21)
6
Sejauh pengamatan penulis belum ada yang menganalisis novel Revolusi
di Nusa Damai dengan topik citra diri wanita pada tokoh K’tut Tantri. Novel
Revolusi di Nusa Damai merupakan pengalaman hidup (biografi) pengarang. Hal
inilah yang menarik penulis untuk mengangkat novel Revolusi di Nusa Damai
dengan topik citra diri wanita pada tokoh K’tut Tantri.
1.6 Kerangka Teori
Dalam melakukan suatu penelitian, khususnya dalam bidang sastra,
diperlukan teori-teori atau pendekatan yang tepat sesuai dengan objeknya.
Pendekatan ini dapat digunakan sebagai cara analisis karya sastra yang diharapkan
mendukung keberhasilan sebuah penelitian.
1.6.1 Teori Struktur Alur
Alur adalah urut-urutan cerita dalam sebuah kaya sastra yang membangun
terjadinya kesinambungan isi sebuah karya sastra. Menurut Nurgiyantoro
(2007:149), tahapan alur dibedakan menjadi lima bagian tahapan, yaitu (1) tahap
situation atau tahap penyituasian, (2) tahap generating circumstances atau tahap
pemunculan konflik, (3) tahap rising action atau tahap peningkatan konflik, (4)
(22)
7
Tahap penyituasian adalah tahap yang berisi tentang pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembuka
cerita, pemberi informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk
melandasi cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro,
2007:149).
Tahap pemunculan konflik adalah tahap awal munculnya masalah dan
peristiwa yang menimbulkan terjadinya konflik. Konflik itu sendiri akan
berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.
Pemunculan konflik pada tahap ini akan berkesinambungan dengan
konflik-konflik pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro, 2007:149).
Tahap peningkatan konflik akan memicu terjadinya konflik-konflik yang
semakin menegangkan dan intensitasnya semakin ditingkatkan. Peristiwa
dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik
yang terjadi meliputi, internal, eksternal, ataupun keduanya (Nurgiyantoro,
2007:149).
Tahap klimaks adalah tahap ketika konflik atau pertentangan-pertentangan
ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks
sebuah cerita akan dialami tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan
terjadinya komflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih
(23)
8
Tahap penyelesaian muncul ketika konflik yang telah mencapai klimaks
diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik lain juga diberi
jalan keluar untuk penyelesaian (jika ada), seperti sub-sub konflik atau
konflik-konflik tambahan (Nurgiyantoro, 2007:150).
1.6.2 Sosiologi Sastra
Sosiologi mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya, bukan suatu
segi khusus masyarakat. Terutama berhubungan dengan studi tentang interaksi
dan interelasi antar manusia. Sosiologi sastra dengan sendirinya mempelajari
masyarakat dan mempelajari sifat hubungan antar anggota masyarakat sastra
(Sumarjo, 1979:11). Sosiologi sastra merupakan suatu ilmu interdisipliner antara
sosiologi dengan ilmu sastra (Wiyatmi, 2006:30). Sosiologi sastra mempelajari
kaya sastra dari aspek teori dan fenomena sastra dan sekitarnya. Aspek-aspeknya
meliputi norma-norma dan kecenderungan-kecenderungan dalam karya sastra,
sedangkan ruang lingkupnya adalah karya sastra dan kehidupan sosial.
Sosiologi sastra adalah studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam
masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial
(Swingewood via Faruk, 2005:1). Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya
sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan sejauh mana karya sastra itu
mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas,
yaitu segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya
sastra. Metode sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra merupakan
(24)
9
melingkungi penulis, sebab sebagai anggotanya penulis tidak dapat lepas darinya
(Pradopo, 2002:22).
Metode yang dipergunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks
untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih
dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra. Pendekatan ini mengutamakan teks
sastra sebagai bahan penelaahan (Damono, 1978:2).
1.6.3 Citra Diri Wanita
Citra adalah rupa, gambar, gambaran. Citra merupakan gambaran yang
dimliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk.
Citra juga disebut kesan mental atau bayangan visual yang ditimbukan oleh
subuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas di karya
prosa dan puisi (KBBI, 1990:169).
Citraan berarti cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran
sesuatu (Moeliono via Sugihastuti, 2000:44). Citraan adalah gambaran-gambaran
angan atau pikiran. Setiap gambaran pikiran disebut citra. Citra artinya rupa,
gambaran; dapat berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi,
atau kesan mental (bayangan) visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa,
atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi.
Yang dimaksud citra wanita adalah semua wujud gambaran mental spiritual dan
tingkah laku keseharian yang terekspresi oleh wanita (Sugihastuti, 2000:45).
Citra diri wanita terwujud sebagai sosok individu yang mempunyai
(25)
kebutuhan-10
kebutuhan pribadi maupun sosialnya. Wanita mempunyai kemampuan untuk
berkembang dan membangun dirinya. Berdasarkan pola pilihannya sendiri, wanita
bertanggung jawab atas potensi diri sendiri sebagai makhluk individu. Citra diri
wanita memperlihatkan bahwa apa yang dipandang sebagai prilaku wanita
bergantung pada bagaimana aspek fisik dan psikis diasosiasikan dengan nilai yang
berlaku dalam masyarakat (Sugihastuti, 2000:112-113).
1.7 Metode penelitian
Metode adalah suatu cara untuk mencapai suatu tujuan penelitian dalam
menyampaikan hasil analisis menggunakan metode deskripsi. Metode deskripsi
yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan
keadaan subjek atau objek penelitian. Metode deskripsi dilakukan
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna,
2008:53).
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode studi pustaka. Data-data yang penulis dapat melalui metode studi pustaka
dengan cara membaca buku-buku referensi yang mendukung penelitian. Dalam
metode ini digunakan metode catat, yaitu dengan mencatat hal-hal yang berkaitan
(26)
11
1.7.2 Metode Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini
adalah metode deskripsi dan metode analisis isi. Dalam metode ini penulis
membuat deskripsi dengan mencata, kemudian menganalisis dan
menginterpretasikan data yang diteliti. Untuk melakukan metode deskripsi penulis
sebelumnya membaca novel yang akan dianalisis dan mencari rumusan masalah
yang akan diteliti. Metode analisis isi digunakan untuk memaparkan gambaran
citra diri wanita dalam novel Revolusi di Nusa Damai (Ratna, 2008:53,48-49).
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Pasca menganalisis data, penulis menggunakan metode deskripsi untuk
menyajikan hasil analisis data. Dalam penelitian ini digunakan metode deskripsi
untuk memaparkan keseluruhan hasil penelitian.
1.7.4 Sumber Data
Judul buku : Revolusi di Nusa Damai
Pengarang : K’tut Tantri
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2006
(27)
12
1.8 Sistematika Penyajian
Untuk mempermudah pemahaman tentang penelitian ini, peneliti
menyusun ke dalam empat bab, yaitu : Bab I merupakan pendahuluan, yang berisi
uraian tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sumber data, dan
sistematika penyajian. Bab II merupakan pembahasan yang berisi analisis struktur
alur dalam novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri. Bab III merupakan pembahasan citra diri wanita pada tokoh K’tut Tantri dalam novel Revolusi di
Nusa Damai karya K’tut Tantri. Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
(28)
13
BAB II
ANALISIS STRUKTUR ALUR NOVEL REVOLUSI DI NUSA DAMAI KARYA K’TUT TANTRI
Untuk dapat mengetahui citra diri wanita, penulis terlebih dahulu
menganalisis struktur dari novel Revolusi di Nusa Damai. Karya sastra terbagi
dalam berbagai macam unsur yang terkandung dalam sebuah struktur novel. Pada
bab ini penulis hanya akan memaparkan analisis unsur alur dalam novel Revolusi
di Nusa Damai karya K’tut Tantri. Analisis unsur alur dilakukan agar dapat mendeskripsikan citra diri wanita yang terdapat dalam novel Revolusi di Nusa
damai. Alur merupakan kerangka dari karya sastra. Di dalam alur terkandung
semua unsur yang membentuk karya sastra. Misalnya, tokoh, alur, tema, latar, dan
sebagainya. Oleh karena itu, penulis menganalisis unsure alur dalam novel
Revolusi di Nuda Dalai karya K’tut Tantri.
2.1 Alur
Analisis unsur alur dibagi menjadi beberapa tahap. Menurut Nurgiyantoro
(2007:149), tahap analisis alur dibagi menjadi lima tahap, yaitu (1) tahap situation
atau tahap penyituasian, (2) tahap generating circumstances atau tahap
pemunculan konflik, (3) tahap rising action atau tahap peningkatan konflik, (4)
(29)
14
2.1.1 Tahap Situation (tahap penyituasian)
Novel Revolusi di Nusa Damai menggunakan sudut pandang orang
pertama atau “Aku-an”, dengan “aku” sebagai tokoh utama, yaitu K’tut Tantri. Tahap situation berisi gambaran mengenai keluarga dan nenek moyangnya K’tut Tantri. Ia menceritakan perihal nenek moyangnya, perempuan yang dimasukkan
ke dalam tong dan digulingkan ke dalam lereng Snaefell. Nenek moyangnya
dituduh atau diduga sebagai seorang penyihir. Hal ini terdeskripsikan dalam
kutipan berikut:
(6) Salah satu kisah yang pertama-tama kudengar dari ibuku semasa aku masih kanak-kanak, ialah tentang tong yang jatuh berguling-guling sampai ke dasar lereng Snaefell. Sisi dalam lorong itu penuh paku yang tertancap mengarah ke dalam. Tong itu tidak kosong. Moyangku yang perempuan meringkuk di dalamnya. Ia dimasukkan ke situ hidup-hidup, karena didakwa bahwa ia penyihir. Menurut kisah orang Man, di tempat tong itu berhenti berguling, dimana tanah gersang tak berair, tiba-tiba terjelma sebatang pohon yang indah sekali. Ketika masih kanak-kanak, aku merasa bisa melihat pohon itu. (hlm. 9).
Dalam kutipan di atas terdeskripsikan jika nenek moyang K’tut Tantri diduga sebagai seorang penyihir. Dalam kutipan di atas, terdeskripsikan juga
peristiwa dimasukkannya si nenek ke dalam tong. Dalam bercerita, penulis tidak
memaparkan nama asli tokoh utama. Setelah bercerita tentang keluarga dan nenek
moyangnya, K’tut Tantri bercerita tentang bagaimana ia bisa tertarik dengan Bali. Dalam novel, dideskripsikan jika suatu sore saat hujan pada tahun 1932,
K’tut Tantri berjalan di depan sebuah gedung bioskop kecil yang saat itu sedang memutar sebuah film luar negeri yang berjudul Bali, Surga Terakhir. Ia tertegun
dan tertarik untuk menonton. Setelah menonton, K’tut Tantri memberikan suatu komentar. Hal ini terdeskripsikan dalam kutipan berikut:
(30)
15
(7) Aku terpesona. Film itu penuh dengan kedamaian, kelegaan hati, keindahan, dan rasa kasih yang dipancarkan kehidupan petani di desa. Ya, saat itulah aku menemukan bentuk kehidupan yang kudambakan. Saat itu kukenali kehidupan yang kuidamkan. Keputusanku datang dengan tiba-tiba, tetapi tidak bisa diubah lagi. Saat itu aku merasa bahwa takdirku sudah menentukan demikian. Aku merasakan adanya suatu dorongan, yang sama sekali tak ingin kuelakkan (hlm. 11).
K’tut Tantri benar-benar tertarik untuk pergi ke Bali. Akhirnya ia berangkat menuju Bali. Dari New York ia berangkat dengan menumpang kapal
menuju Batavia. Kisah perjalanan dimulai dengan mengendarai mobil seorang diri
menyusuri jalan di Pulau Jawa yang gelap dan rawan dengan perampok yang
kapan saja siap merampok. Beruntung K’tut Tantri bertemu dengan seorang anak kecil yang bernama Pito, seorang anak yang menjadi penunjuk jalannya menuju
pulau dewata, Bali.
Namun, Pito tidak bisa menemani perjalanan K’tut Tantri sampai di Pulau Bali. Pito hanya mengantar sampai pelabuhan, ia merasa Bali bukan tempatnya
dan Bali tidak pantas untuknya. K’tut Tantri melanjutkan perjalanan menuju Bali
seorang diri dengan menumpang sebuah kapal.
K’tut Tantri melanjutkan perjalanan dengan mengendarai mobil.
Sepertinya kehidupan K’tut Tantri sudah ditentukan oleh dewa-dewa Bali ketika bahan bakar mobilnya habis dan berhenti di sebuah puri Kerajaan di Bali. Seperti
yang tergambar berikut:
(8) Akhirnya mobilku terbatuk-batuk sebentar, lalu berhenti meluncur. Saat itu aku berada di sebuah desa kuno yang indah, tinggal di atas daerah berbukit, di sisi luar tembok batu bata merah berukir-ukir, dengan gerbang tak berambang yang kedua sisinya dijaga empat patung dewa Bali yang terbuat dari batu. Di balik tembok batu bata itu tampak bangunan yang kelihatannya seperti pura misterius, terlindung di balik dedaunan rimbun. Sambil tersenyum aku berkata dalam hati, pasti aku sudah ditakdirkan hidup bersama dewa-dewa dalam swargaloka (hlm. 34-35).
(31)
16
Pengarang memaparkan kejadian saat tokoh utama memasuki puri dan
bertemu dengan seorang lelaki. Lelaki itu adalah Anak Agung Nura, putra raja
Bali. K’tut Tantri merasa heran jika ada seorang pribumi Bali yang bisa berbahasa Inggris. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut:
(10) Ah, Anda bisa berbahasa Inggris? Mata hitamnya yang besar berkilat jenaka. Yah, apanya yang aneh jika orang bias berbahasa Inggris? Katanya. Kami ada juga yang pernah bersekolah di luar negeri. Betul, kataku. Saya tadi hanya agak heran, mendengar orang berbahasa Inggris di desa yang begitu terpencil (hlm. 37).
K’tut Tantri ditawari untuk tinggal di puri ayahnya. Dengan malu dan
perasaan tidak enak, K’tut Tantri menolak tawaran Anak Agung Nura. K’tut Tantri merasa tidak enak kalau harus tinggal di puri dan tinggal bersama keluarga
raja Bali. Meskipun Anak Agung Nura sudah menjelaskan bahwa nasib K’tut
Tantri telah ditentukan oleh para dewa, K’tut Tantri tetap merasa tidak enak untuk menerima permintaan Anak Agung Nura dengan begitu saja. K’tut Tantri
mengutarakan keinginannya untuk tinggal di desa saja.
Dengan berbincang-bincang, K’tut Tantri dibimbing Anak Agung Nura ke pelataran tempat ayahnya duduk bersama para bangsawannya. Anak Agung Nura
bercerita dengan singkat kepada ayahnya mengenai percakapan singkatnya
dengan K’tut Tantri. Ia juga bercerita tentang pembangkangan K’tut Tantri terhadap birokrasi Belanda. Setelah mendengar cerita singkat dari anaknya, raja
(32)
17
(11) Apa yang sudah tersurat di langit, harus menjadi kehendak Dewata kadang-kadang sulit penafsirannya. Tetapi begitu sudah dimengerti, bahkan orang tolol pun takkan berani menganggapnya sepi. Kurasa kau tidak kebetulan saja tiba di puriku ini. Ini sudah tersurat, lama sebelum kau dilahirkan. Selamat datang, anakku (hlm. 39).
Setelah mendengar ucapan raja, K’tut Kantri tidak berani untuk menolak uluran tangan raja (bantuan Raja). Ia tidak berani karena akan menimbulkan
kemurkaan Dewata. K’tut Tantri merasa harus tinggal di puri raja selaku anak seorang raja Bali seperti yang tergambar berikut:
(12) Tawaran itu kuterima dengan ucapan terima kasih berkali-kali. Dengan segera aku dibawa raja serta putranya ke bagian lain dari pekarangan puri itu, di mana aku secara resmi diperkenalkan pada istrinya yang pertama. Wanita itu baik hati, tetapi sangat pemalu. Ia ditemani dua putrinya. Dua gadis belasan tahun yang manis-manis. Keduanya belum menikah dan sama pemalunya seperti ibu mereka (hlm. 40).
Setelah memperkenalkan K’tut Tantri secara resmi pada istrinya yang pertama, raja tersenyum lebar dan mengatakan:
(13) Sekarang aku mempunyai seorang putra dan tiga putri. Gaya bahasa laki-laki tua begitu riang, sehingga aku cenderung beranggapan bahwa ia hanya berkelakar. Tetapi kemudian suaranya menjadi serius. Kau kami namakan K’tut, yang dalam bahasa Bali berarti anak ke empat. Segera akan kupanggil pendana. Menurut adat leluhur kami, kau akan kami beri nama lain, yang akan merupakan nama yang ditakdirkan untukmu (hlm. 40).
Akhirnya K’tut Tantri menjadi anak ke empat raja Bali dan menjadi bagian
dari keluarga Anak Agung Nura. Ia benar-benar merasa bahwa takdirnya adalah
menjadi bagian dari keluarga raja seperti yang telah ditakdirkan oleh Dewata.
K’tut tantri tidak bisa memungkiri takdir yang telah diberikan oleh Dewata kepadanya.
(33)
18
Pada tahap penyituasian novel ini mendeskripsikan tentang memori K’tut Tantri mengenai nenek moyangnya. Selain itu, penulis mengisahkan tentang
tokoh utama yang tertarik dengan Pulau Bali. Ketertarikan tokoh utama dengan
Pulau Bali mengakibatkan keinginan tokoh utama pergi dan melakukan perjalanan
menuju Pulau Bali. Penulis memaparkan dengan jelas mengenai perjalanan tokoh
utama saat tiba di Pulau Bali dan tinggal di puri raja Bali.
2.1.2 Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik)
Tahap pemunculan konflik yang terdapat dalam novel Revolusi di Nusa
Damai berisi kisah K’tut Tantri ketika mendapat surat resmi dari Kontrolir
Klungkung. Kontrolir Klungkung telah mengetahui keberadaan K’tut Tantri di puri raja Bali seperti yang tergambar berikut:
(14) Pada hari kami akan berjalan-jalan di desa, seorang pesuruh datang mengantarkan sepucuk surat yang kelihatannya resmi. Surat itu disampaikan pada Nura, yang melihat alamat yang tertulis di situ sepintas lalu. Ini untukmu! Katanya dengan nada agak heran. Kubuka sampul surat itu. Isinya dalam bahasa Belanda. Coba tolong katakana maksudnya! Nura membaca surat itu, lalu menoleh ke arahku. Cepat sekali berita tersirat. Kontrolir klungkung sudah tahu bahwa kau ada di sini. Kau dimintanya selekas mungkin datang ke kantornya, dengan membawa paspor (hlm. 43-44).
K’tut Tantri menjelaskan kepada Nura bahwa K’tut sudah menunjukkan
paspornya pada kontrolir di Denpasar. Ia merasa jengkel dan merasa bahwa ini
adalah tindakan sewenang-wenang. K’tut tidak mau pergi ke Klungkung untuk menghadap kontrolir hanya untuk menunjukkan paspor.
Anak Agung Nura dan K’tut Tantri berdebat mempermasalahkan
(34)
19
menjelaskan bahwa Belanda yang menentukan segala seseuatu di sini, Bali. Ia
juga menjelaskan bahwa K’tut Tanti tidak boleh remeh mereka, Belanda. Seluruh masyarakat Bali dan keluarga raja sudah menyadari bahwa sebaiknya bersikap
diplomatis. Nura menjelaskan degan tegas, Belanda bisa merepotkan seluruh
masyarakat Bali, keluarga raja, maupun K’tut Tantri. Orang Belanda tidak suka jika ada wanita kulit putih bergaul akrab dengan orang Bali. K’tut Tantri mulai menyadari hal itu dan memutuskan untuk berangkat menghadap kontrolir
Klungkung seperti yang tergambar berikut:
(15) Aku bingung. Tetapi kusadari saat itu, tidak ada pilihan lain bagiku. aku mengisi bensin dari persediaan yang ada di puri, lalu berangkat dengan perasaan enggan ke Klungkung. Aku tidak tahu apa yang akan kudengar di situ. Mungkin kediamanku di puri hanya merupakan impian indah belaka (hlm. 44).
Setelah kedatangannya di Klungkung, K’tut Tantri tidak dibiarkan menunggu terlalu lama karena kontrolir ingin cepat-cepat berbicara dengan K’tut. Kontrolir berbicara dengan agak terbata-bata ketika menjelaskan alasan K’tut di panggil ke Klungkung.
Kontrolir Klungkung menjelaskan bahwa pemerintah kolonial Belanda
tidak suka jika ada orang kulit putih berbaur dengan masyarakat pribumi. Bangsa
Belanda memerintah masyarakat pribumi dan menentukan kedudukan mereka dan
membiarkan mereka sendiri. Penjelasan Kontrolir tersebut tergambar dalam
kutipan berikut:
(16) Anda diminta datang ke kantor ini atas perintah kontrolir Denpasar, katanya. Ia telah memberitahu Anda bahwa pemerintah kolonial Belanda akan menaggapi secara serius kepergian Anda dari Den Pasar, untuk hidup di kalangan penduduk pribumi di pedalaman pulau ini. Kami bangsa Belanda memerintah mereka
(35)
20
dengan jalan menentukan kedudukan mereka lalu membiarkan mereka sendiri. Apa yang akan terjadi menurut pendapat Anda, apabila mereka sampai beranggapan bahwa bangsa kulit putih memandang mereka sederajat? Anda,
seorang wanita kulit putih, mau menerima ajakan keluarga pribumi…” Ia terbata
-bata, seperti mobil kehabisan bensin (hlm. 45).
Perdebatan K’tut dengan kontrolir berjalan begitu panjang dan tetap pada pendirian masing-masing. Kontrolir juga menjelaskan, raja Bali identik dengan
istri banyak atau istri lebih dari satu. Ia berusaha menakuti K’tut dengan cara memberi wacana kepada K’tut tentang kebiasaan raja memiliki istri banyak atau lebih dari satu. Kontrolir memberikan contoh raja Karangasem yang memiliki istri
paling sedikit empat puluh.
Kontrolir juga menjelaskan apakah K’tut tidak takut jika santet karena kecemburuan dari perempuan pribumi. Dengan berlagak bijak, kontrolir berkata
bahwa pihak resmi berkewajiban untuk melindungi orang kulit putih dari hal
semacam itu. Menurut kontrolir, K’tut menempatkan diri dalam kedudukan yang sangat berbahaya, karena tinggal di dalam puri raja. Wanita di situ sangat pandai
bermain santet, apalagi K’tut tidak bisa memahami bahasa mereka.
Ucapan kontrolir dibantah oleh K’tut tantri. K’tut membalas ucapan
kontrolir dengan mengatakan kalau dengan berjalannya waktu bisa belajar bahasa
Bali. K’tut Tantri juga tidak akan pernah meninggalkan puri dan tidak takut dengan yang disampaikan kontrolir kepadanya. K’tut Tantri tetap pada pendiriannya dengan tinggal di puri. Hal ini terlihat pada kutipan berikut:
(36)
21
(17) Saya akan tetap menjadi tamu di puri. Dan percayalah, saya akan menjaga tutur bahasa saya sebaik-baiknya. Karena itu, Tuan kontrolir, saya anjurkan agar Anda tidak menyulitkan saya atau tuan rumah saya, karena apabila itu terjadi, saya akan menghadap konsul Amerika di Surabaya. Ia akan mengatakan pada Anda bahwa saya tidak bisa diusir tanpa alasan. Dan saya takkan membuat Anda mendapat alasan (hlm. 48).
Setelah mengatakan seperti itu kepada kontrolir, K’tut Tantri lalu
meninggalkan kantor kontrolir Klungkung. K’tut Tantri bergegas pulang ke puri. Ternyata raja dan putranya telah menunggu kedatangan K’tut Tantri dari kantor kontrolir Klungkung. Raja dan anaknya tidak sabar ingin mendengar cerita K’tut
Tantri. K’tut Tantri menceritakan semua percakapannya dengan kontrolir
Klungkung tanpa menambah dan menguranginya.
Mendengar cerita dari K’tut Tantri, raja mengutarakan keinginanya agar
K’tut tetap mau tinggal di puri. Seluruh keluarga raja berpikiran seperti itu, mereka berharap K’tut tetap mau tinggal di puri dan tidak perlu merasa takut. Jika
kontrolir mengusir K’tut dari puri, raja sendiri yang akan menghadapi dan akan menghadap Gubernur untuk membicarakan hal ini.
Raja juga menjelaskan bahwa seluruh masyarakat kulit putih akan
memperlakukan raja sebagai sesuatu yang hina. Bangsawan Bali sekali pun tidak
akan diterima sebagai tamu di rumah orang Belanda. Orang Bali tidak bergaul
dengan bangsa kulit putih, kecuali beberapa seniman asing.
Anak Agung Nura menambahkan ucapan ayahnya dengan mengatakan
K’tut nantinya akan merasa sepi, karena tidak bergaul dengan bangsa kulit putih lainnya. Namun, saat itu K’tut tahu, bahwa ia tidak akan pernah sepi. K’tut merasa
(37)
22
mempunyai teman-teman yang begitu baik seperti mereka, raja, Anak Agung
Nura, dan keluarganya.
Setelah kejadian di Klungkung, K’tut mulai mempelajari bahasa, adat istiadat, dan terutama agar K’tut bisa menerima cara hidup yang asing baginya.
Selain itu, Nura juga memaksa K’tut untuk mempelajari bahasa Kawi dan
kesusastraan kuno.
(18) Nura juga mendesak agar aku mempelajari bahasa Kawi sedikit-sedikit, serta kesusastraan kuno. Menurut pendapatnya, agar bisa memahami suatu bangsa, aku harus mengenal kebudayaan mereka. Ia menerjemahkan untukku catatan dan kisah-kisah yang tertulis pada daun lontar. Dengan segera aku sudah mendalami sejarah negeri itu, begitu pula buah karya pujangganya. Ternyata kisah-kisah rakyat Bali mirip sekali dengan dongeng-dongeng Barat (hlm. 52).
Ada pula tentang pakaian adat Bali. Semula K’tut ingin sekali memakainya, namun K’tut segan untuk mengatakan hal tersebut. Kedua adik Nura datang membawakan kain, setagen, serta sandal dan kebaya sesuai dengan
keinginan K’tut. PutriAra membantu K’tut memakai kain, menyusul setagen yang terbuat dari kain sutra tebal sepanjang empat atau lima meter. K’tut merasa sesak
nafas karena kencangnya lilitan kain sutra itu.
Kedua adik Nura mengatakan bahwa memang harus erat memakai kain
sutra, karena semuanya harus serba datar, tidak boleh ada yang menonjol. Selain
itu, bagian belakang K’tut tidak selurus kedua adik Nura. Dengan cepat Agung Ara mengatakan, “tetapi iti bagus,” masih kelihatan dan itu yang dikagumi kaum pria seperti tergambar berikut:
(38)
23
(19) “Tetapi itu bagus, kata Agung Ara cepat-cepat, dan masih tetap kelihatan, walau sudah dibalut erat-erat. Itu yang paling dikagumi kaum pria kami. Kalau kami berjalan, tidak ada yang bisa merangsang. Kalau wanita kulit putih, lain (hlm.
52).”
Tahap pemunculan konflik diceritakan penulis mengenai tokoh utama
yang menghadapi kontrolir Belanda. Konflik cerita ini dimulai ketika pemerintah
Belanda yang tidak menyetujui tokoh utama berbaur dengan masyarakat pribumi.
Selai itu, penulis mengisahkan tokoh utama yang tetap ingin tinggal di puri raja
Bali.
2.1.3 Tahap rising action (tahap peningkatan konflik)
Impian K’tut Tantri mulai terlaksana untuk memiliki hotelnya sendiri. Ia dibantu tiga temannya, yaitu Wayan, Nyoman, dan Made. Dana untuk
membangun hotel diperoleh dari sumbangan masyarakat Bali yang sangat
mengenal K’tut Tantri. Dalam pembangunan hotel, K’tut juga dibantu oleh seorang yang paling pintar di Bali, yaitu Bagus. K’tut dan Wayan mendatangi
Bagus untuk meminta bantuan membangun hotel. Wayan yang sudah mengenal
Bagus mengatakan tanpa basa-basi seperti yang tergambar berikut:
(20) Kami sangat memerlukan bantuanmu, Bagus. Terus terang saja, aku tak tahu apa yang harus kami lakukan, apabila kau tidak ada. Wayan pandai sekali membujuk orang. Kami tidak memintamu agar merencanakan bangunan hotel yang biasa, seperti kepunyaan Belanda di Denpasar, melainkan bangunan istimewa yang akan bisa memamerkan bakatmu yang sesungguhnya (hlm. 100).
Setelah pengerjaan hotel yang dibantu oleh Bagus selesai, hotel itu
(39)
tamu-24
tamu bebas berkeliaran di mana saja. Di dapur, tamu dapat belajar masak masakan
Bali.
Pihak Belanda merasa tidak senang dan sudah waktunya bertindak tegas.
Suatu hari ketika hotel sedang penuh, polisi Belanda datang untuk menangkapi
para pelayan tanpa terkecuali. Dengan segera K’tut mengirimi surat ke konsul Amerika berharap bantuan. Pihak Belanda selalu ingin memulangkan K’tut ke negara asalnya dan selalu bertindak apa saja agar K’tut tidak betah di Bali.
Konsul Amerika menaggapi surat yang dikirim oleh K’tut. Tidak sampai 24 jam, para pelayan sudah dipulangkan. Para pelayan mengatakan bahwa mereka
dipaksa oleh polisi Belanda agar mengaku bahwa hotel milik K’tut adalah tempat
percabulan.
Segala usaha dilakukan Belanda, pihak Belanda kemudian memutuskan
untuk melancarkan berbagai tindakan. Langkah awal yang dilakukan adalah untuk
pembersihan kaum homo yang diperintah oleh Gubernur Jendral Belanda di
seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda. Semua orang diperiksa tanpa terkecuali.
Dengan segera pemeriksaan sampai di Bali, beberapa orang lari meninggalkan
pulau. K’tut bersama kawan-kawannya dan para tamu hotel diperiksa, tetapi iklim moral di hotel tanpa cacat cela. Polisi tidak dapat menemukan sesuatu yang tidak
beres. Akhirnya untuk sementara Belanda tidak mengganggu lagi.
Untuk sementara waktu semua berjalan lancar. K’tut tidak diganggu lagi dan kepercayaan dirinya pulih. Namun, suatu hari seorang polisi Belanda Indo
(40)
25
K’tut mengira ada kontrolir yang memintanya menghadap, tetapi itu keliru. Surat
itu berisi perintah pengusiran K’tut. Jika dalam batas waktu satu minggu tidak meninggalkan Bali, K’tut akan ditangkap dan ditaruh di atas kapal pertama yang
berangkat ke Amerika Serikat. Surat pengusiran itu sama sekali tidak disertai
penjelasan.
Dengan segera K’tut mendatangi kantor kontralir di Denpasar. Ia menanyakan, alasan pengusiran K’tut. Kontrolir tidak dapat menjelaskan alas an pengusiran. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut:
(21) “Pemerintah Belanda tidak berkewajiban untuk mengemukakan alasan. Anda
orang asing di sini, dan kami pasti berhasil mengusir Anda dari pulau ini.” K’tut
menjawab, Silahkan mencobanya. Sama-sama tidak akan berniat pergi, kalau tidak ada alasan sama sekali. Ini namanya tindakan sewenang-wenang. Coba saja menaikkan diri saya ke kapal dengan jalan paksa. Anda pasti menyesal, lihat saja nanti (hlm. 107).
Keesokan harinya, K’tut terbang ke Jawa untuk menemui konsul Amerika
di Surabaya. Di sana dijelaskan bahwa K’tut tidak mungkin bisa diusir begitu saja tanpa alasan. Kecuali memang di hotel K’tut terbukti biasa terjadi hal-hal yang melanggar tindakan tata susila atau ketahuan menyebarkan paham komunisme. Di
akhir nasehatnya, konsul Amerika mengatakan bahwa K’tut harus mengusahakan pembela dan persoalan ini harus segera diajukan pada Gubernur Jenderal di
Batavia.
Awalnya, K’tut ingin memakai pengacara bangsa Indonesia. Namun, ketika ditanyakan ke Agung Nura tentang pengacara yang akan dipakai K’tut,
(41)
26
Indonesia pasti tidak akan bisa berbuat apa-apa. Atas desakan Nura, K’tut mendatangi Daan untuk mengusulkan pengacara. Daan mengusulkan seorang
pengacara hukum kenalannya. Dengan segera persyaratan formalitas dilengkapi.
Pihak penguasa Belanda diberitahu bahwa kasus K’tut Tantri akan diajukan ke hadapan Gubernur Jenderal. Dan selama keputusan belum dijatuhkan,
K’tut tidak bisa ditahan atau diusir dari Bali.
Berminggu-minggu tanpa ada keputusan. Sementara itu, dari penjuru
dunia mengalir surat-surat dari orang-orang yang pernah tinggal di hotel K’tut. Surat itu ditujukan ke Gubernur Jenderal, yang berisi memprotes perlakuan yang
dialami K’tut. Seorang wanita Belanda yang akrab dengan Ratu Wilhelmina
menulis, jika gadis K’tut Tantri dari Amerika sampai diusir dari Bali, kami akan
mengundang K’tut ke Belanda dimana K’tut akan mendapatkan kesempatan untuk
membuka mulut. Sementara surat-surat itu terus berdatangan, hotel K’tut dikosongkan. Pihak Belanda tidak mengizinkan seorang pun tinggal di hotel.
Di sisi lain, pengacara yang membela K’tut dalam kasus ini menasehati.
Pihak Belanda tidak akan menemukan kata sepakat untuk mengusir K’tut. Bergaul
akrab dengan penduduk pribumi dan memakai pakaian adat bukan suatu tindakan
kejahatan. Bahkan tinggal di tengah keluarga pribumi bukan sebagai kejahatan.
Pengacara berusaha menenangkan K’tut seperti yang tergambar berikut:
(22) Mereka tidak bisa menemukan kata sepakat untuk mengusir Anda. Kata pengacara menenangkan diriku. Bergaul akrab dengan penduduk pribumi, mengenakan pakaian seperti penduduk setempat, tidak merupakan kejahatan. Bahkan tinggal di tengah keluarga pribumi pun tidak! Justru memburu-buru orang, sikap picik, dan prasangka rasiallah yang merupakan kejahatan (hlm. 108).
(42)
27
Suatu pagi, Agung Nura menemui K’tut. Nura menemui K’tut bermaksud
untuk melamar K’tut agar menjadi istrinya yang kedua. Nura mengatakan kalau K’tut mau menjadi istrinya, ia akan selamat dan tenang tidak diganggu oleh pihak
Belanda lagi. K’tut pun terkejut saat mendengarnya.
Dengan alasan keselamatan dan tidak diganggu oleh pihak Belanda, K’tut tidak bisa menerima alasan itu. Walau Nura benar-benar sayang kepada K’tut. Banyak pertimbangan dan berbagai hal mengapa K’tut tidak mau menerima lamaran Nura.
(23) Tidak, Nura. Itu tidak mungkin. Aku tidak bisa menerima pengorbanan yang sebegitu besar darimu. Belanda pasti takkan memaafkan dirimu. Kau akan terpaksa melepaskan segala cita-cita demi bangsamu. Tidak, perjuanganku harus kuselesaikan sendiri. Sekarang pu keadaanmu sudah lebih berbahaya daripada aku, apa pun yang terjadi nanti. Kau sahabat baikku. Saudaraku! Aku tidak bisa menyebabkan dirimu terancam. Aku ini datang ke Bali karena ingin mendapat kebebasan untuk diriku sendiri. Bukan untuk merebut kebebasan orang-orang yang kusayangi (hlm. 109).
Dengan alasan apa pun dan bagaimana pun, K’tut tidak bisa menerima apa yang diutarakan oleh Anak Agung Nura. Percakapan terhenti karena datang kabar
yang menyatakan bahwa Gubernur Jendral Hindia Belanda memerintahkan
pembatalan perintah pengusiran terhadap K’tut.
K’tut menang, tidak jadi diusir. Namun, K’tut tetap merasa tidak tenang. Ia merasa tertekan, kejadian yang baru saja dialami oleh K’tut tidak bisa dilupakan begitu saja. K’tut seperti mendapat firasat bahwa akan ada kejadian yang lebih besar lagi.
(43)
28
Hotel yang dimiliki K’tut mulai dibuka kembali. Namun, keadaan sudah
berubah. Saat itu musim hujan dan angin bertiup kencang. Saat itu bukan saat
tamu berdatangan, hotel mulai sepi karena musim hujan dan angin kencang.
Untuk mengisi waktu luang, K’tut mencoba membaca buku-buku dan
mempelajari ilmu politik ekonomi. Ia membaca buku-buku tentang sistem
kolonial, K’tut tidak menyukainya berdasarkan pengalamannya sendiri dengan sistem seperti itu.
Beberapa saat kemudian perang pecah di Eropa. Balatentara Hitler
menyerang Polandia. Kabar itu terdengar sampai Bali. Namun, kejadian itu sangat
jauh dari Bali. Orang Bali merasa aman. Tetapi, orang Inggris yang ada di Bali
dan di Jawa pulang ke negara asalnya. Orang Belanda yang ada di Indonesia
seolah-olah sama sekali tak mengacuhkan kejadian itu, walau Belanda bersekutu
dengan Inggris. Kemudian angkatan perang Hitler menyerbu negara Belanda.
Rotterdam dihujani bom. Ratu Wilhelmina menyingkir ke Inggris bersama para
anggota pemerintahan Belanda.
Seketika saat itu, seorang jendral Inggris yang sudah tua datang ke hotel
K’tut. Ia orang Skot, berasal dari pulau Skye. Kerjanya hanya duduk di teras yang
menghadap ke laut sambil merajut. K’tut heran, ia baru pertama melihat laki-laki merajut. Lelaki tua itu berpendapat:
(24) “Kesibukan ini menenangkan saraf dan membantu pemusatan pikiran.” Katanya pendapatku keliru, mengira kejadian di Eropa takkan ada pengaruhnya terhadap Indonesia. Kurasa lebih banyak yang kupelajari dari dia, dibandingkan dengan apa yang bisa kuperoleh dari buku-buku yang kubaca selama itu (hlm. 111).
(44)
29
Setelah negara Belanda diduduki, orang Belanda di Indonesia tidak bisa
lagi tak bersikap netral terhadap peperangan. Tetapi mereka tetap kelihatan serba
santai. Orang Indonesia tampak jauh lebih prihatin. Pimpinan politik
terang-terangan bersikap pro-sekutu. Mereka meminta pada Belanda agar sebagian rakyat
dipersenjatai dan dilatih. Namun, itu dianggap sepi oleh Belanda. Di kalangan
Belanda ada suatu kelompok yang pro-Nazi. Mereka aktif di pulau Jawa, sedang
di Bali masih tetap seperti biasa.
Tamu-tamu mulai berdatangan lagi ke hotel K’tut. Saat itu musim mulai kembali normal. Kebanyakan tamu di hotel berasal dari pulau-pulau yang lain,
atau dari Singapura. Begitu pula dengan seorang perwira Angkatan Laut Amerika
yang sudah pensuin, Captain Kilkeny yang juga mendatangi hotel K’tut Tantri.
Hotel K’tut semakin sering mendapat tamu militer.
Keadaan keuangan mulai pulih kembali dan semakin bertambah. Beberapa
waktu berlalu, K’tut menerima telegram dari Lord Norwich. Negarawan dari
Inggris yang lebih terkenal dengan julukan Duff Cooper memberitahukan
perjalanan menuju Australia bersama istrinya. Duff Cooper ingin singgah
beberapa hari di hotel milik K’tut. Namun, lagi-lagi K’tut mengalami kesulitan dengan pihak kolonial Belanda. Pihak resmi Belanda memberitahu K’tut bahwa tamu yang kedudukannya tinggi wakil Mahkota Inggris, tidak bisa menginap di
hotel milik K’tut. Duff Cooper dan istrinya harus menginap di Residen Bali dan di jemput perutusan resmi di pelabuhan udara.
(45)
30
K’tut mengabaikan peringatan dari pihak kolonial Belanda dan tetap
mempersiapkan untuk mmenyambut dan menjemput kedatangan Duff Cooper
dengan istrinya, Lady Diana Manners. Nyoman dan Made menghias mobil untuk
menjemput mereka, bendera Inggris dipasang di depan mobil.
Persiapan sudah selesai. K’tut bersama kedua temannya, Wayan dan
Nyoman berangkat ke pelabuhan udara. Di pelabuhan udara, para pejabat Belanda
datang semuanya. Mereka datang dengan menggunakan mobil limusin hitam yang
mengkilat. Orang-oarang Belanda yang ada di pelabuhan udara melongo melihat
gaya jemputan K’tut. Sepuluh menit berlalu, pesawat akhirnya mendarat dan orang Belanda langsung mengerubungi menyambut. Salah seorang Belanda
mengatakan bahwa Duff Cooper dan istri akan diantar ke Istana Gubernur.
Namun, Doff Cooper menolak karena tidak sedang bertugas.
(25) Terimakasih atas segala kehormatan ini, katanya, tetapi saat ini saya sedang cuti, dan saya telah mengatur rencana sendiri. Saya dan Lady Diana akan menjadi
tamu Miss K’tut Tantri di Pantai Kuta. Harap tunjukkan orangnya pada saya.
Yang Mulia, hotel itu hotel rakyat. Yang Mulia takkan merasa senang di situ. Seorang belanda menyela. Dari apayang saya dengar tentang hotelnya, saya tentu akan merasa nyaman dan senang di situ. Duff Cooper tersenyum. Disamping itu, saya memang ingin merasakan hidup seperti pribumi (hlm. 113).
Akhirnya seorang wakil perusahaan penerbangan mengamati agar K’tut mendekat. Duff Cooper serta istrinya ramah sekali pada K’tut. Wayan dan Nyoman membukakan pintu mempersilahkan mereka masuk mobil. Mereka
(46)
31
Setelah sampai di hotel, mereka berbincang asik. Perbincangan itu terputus
karena ada pemuda dari kampung tempat para penari datang memberi kabar
buruk. Para penari diancam oleh manajer Bali Hotel dan wakil perusahaan
perkapalan Belanda. Para penari diancam kalau mereka menari di tempat K’tut, mereka tidak akan pernah dipanggil menari di Denpasar.
Sesaat setelah laporan pemuda itu, K’tut langsung pergi mendatangi
Asisten Residen yang kedudukannya di atas kontrolir. K’tutu mengancam jika
ancamam kepada para penari tidak dicabut, ia akan membeberkan kejadian itu
pada para pers di Inggris. Belanda pasti akan merasakan pembalasan yang datang
dari pemerintah Inggris. K’tut juga mengancam akan mengirim surat pada Gubernur Jendral Belanda di Batavia.
Siang harinya, saat K’tut duduk-duduk di bar bersama suami-istri Pol,
seorang pejabat Belanda masuk dan mengajak K’tut berbicara. Ia menjelaskan bahwa penari akan datang. Residen tidak tahu mengenai ancaman dari pihak Bali
Hotel dan perwakilan perusahaan perkapalan. Setelah kabar itu, pesta berlangsung
malam harinya tanpa kendala.
Suatu hari K’tut terbangun pagi-pagi karena ada yang menggedor-gedor pintu. Seorang penerbang membawa kabar bahwa Armada Amerika di Pearl
Harbor ditenggelamkan Jepang. Jika Meneer Daan dan Captai Kilkenny ada,
sebaiknya K’tut juga menyampaikan kabar ini pada mereka.
Malam harinya Daan kembali ke Jawa, ia harus melapor. Ia seorang
(47)
32
harinya. Saat itu K’tut ditawari untuk pulang, namun Ktut tidak bisa menerima
ajakan itu. K’tut tidak bisa membayangkan jika ajakan itu diterimanya, bagaimana Captain Kilkenny akan mengusahakannya. Salah seorang penerbang kenalan K’tut
yang biasa terbang bolak-balik ke Jawa datang membawa surat. Surat itu dari
Anak Agung Nura yang berisi, K’tut harus segera menutup hotel dan capat-cepat pergi ke puri ayahnya. Nura mengkawatirkan jika Jepang akan segera sampai di
Bali.
K’tut dinasehati semua kenalannya. Namun, K’tut tetap tidak mau pergi dari Bali. K’tut berpendapat, Belanda saja tidak bisa mengusir. Jepang juga tidak akan bisa seperti yang tergambar berikut:
(26) Semua menasehati aku agar dengan segera pergi meninggalkan bali, walau bermacam-macam yang ada mengenai kapan Jepang akan sampai di Jawa. Teteapi aku sudah bertahun-tahun tinggal di Bali. Pulau itu sudah menjadi tanah airku yang kedua. Jika Belanda tidak berhasil memaksaku pergi, masa Jepang akan bisa? Aku datang ke Bali, karena memdambakan kedamaian dan kebebasan. Mingkin kebebasan yang sebenarnya akan kucapai dengan jalan menempatkan diri di garis depan perjuangan (hlm. 116).
Pelabuhan udara sangat dekat dengan hotel K’tut. Setiap minggu ada satu skuadron penerbang yang datang ke Jawa. Sebelumnya, hotel K’tut sangat terbuka untuk mereka. Sekarang K’tut membukanya lebar-lebar, k’tut tahu para penerbang
nantinya akan memikul tanggungjawab yang sangat besar. K’tut juga tahu bahwa
Swara Segara terancam bahaya, karena di seluruh Bali hanya pelabuhan udara itu
saja yang menarik bagi Jepang untuk diserang dan dibom.
K’tut membuatkan bendera khusus untuk para penerbang. Bendera itu
(48)
33
berwarna hitam. Huruf itu singkatan dari Darling, Daring Devils, yang berarti
“Setan-setan tersayang yang pemberani”. Bendera ciptaan K’tut terkenal di Bali dan Jawa, para penerbang muda itu gembira memakai bendera itu. Bahkan ada
juga yang memadang pada mobilnya.
Pejabat kolonial Belanda kemudian menyebarkan desas-desua bahwa K’tut mungkin mata-mata musuh. Sebagai akibatnya, para penerbang dilarang mampir
ke hotel milik K’tut. Para penerbang muda memprotes keras larangan itu.
Kalangan tinggi Angkatan Udara kerajaan Belanda datang ke hotel K’tut untuk
pemeriksaan. K’tut menyelenggarakan pesta untuk menyambut kedatangan
mereka. Para perwira tinggi sangat menikmatinya, sedang K’tut sibuk menjelaskan.
(27) Saya menjadi mata-mata itu untuk siapa? Tanyaku. Dan apalah yang bisa saya selidiki. Semuanyakan sudah menjadi rahasia umum. Para penerbang itu terbang ke Darwin di Australia, lalu kembali membawa oleh-oleh untuk istri mereka dengan nama took tempat mereka brebelanja masih tertempel, begitu pula kotak-kotak korek api dengan nama hotel di mana mereka menginap. Betapa dirahasiakan sekalipun kepergian mereka, tetapi masih kelihatan. Saya sama sekali tidak punya kenalan orang Jepang. Saya warga Negara Amerika kelahiran Inggris. Sudah bertahun-tahun saya tinggal di Bali. Saya mempunyai simpanan sekadarnya, dari hasil usaha hotel. Saya ingin mempergunakan untuk menghibur anak buah Anda, sebagai tanda terimakasih pada mereka yang mungkin nanti akan mengorbankan jiwa dalam mempertahankan Pulau Bali. Janganlag sumbangan saya yang sedikit itu dilarang (hlm. 117).
Sebagai hasilnya, larangan dicabut. Para perwira yang mampir malam itu
di hotel milik K’tut, mengirim buah arbei dari Bandung. Sementara itu, bala tentara Jepang semakin dekat ke Jawa. Para penerbang masih sering datang ke
(49)
34
dari mereka yang masih hidup. Namun, K’tut tak pernah menyesal bahwa sebelum
tirai turun K’tut masih sempat membuat mereka merasa bahagia.
Jepang semakin dekat, kini Jepang menduduki Singapura. Belanda kaget
mendengar Singapura telah diduduki Jepang. Daerah jajahan Belanda kini
terancam. Di pantai Sanur dan Kuta dipasang pagar kawat berduri sampai tiga
lapis. Di mana-mana bermunculan kubu-kubu pertahanan dan meriam-meriam.
Hotel milik K’tut dipasang juga pagar kawat berduri dan di belakang hotel dibuat lubang perlindungan. Namun, pekerjaan membuat lubang perlindungan dihentikan
karena dirasa kurang aman. Hanya sebuah lubang pasir dan berdinding papan.
Seorang perwira Belanda meminta dengan sangat agar K’tut mau pergi dari hotel. Namun, saat itu K’tut merasa bahwa ia sudah benar-benar menjadi orang Bali. Masyarakat tidak pergi meninggalkan pulau. Mereka tidak bisa pergi,
lagi pula, tidak ada yang tahu apakah Jepang datang sebagai penyelamat atau
penindas baru. Lagi-lagi K’tut mendapat surat dari Anak Agung Nura. Surat itu
masih sama isinya dengan isi surat sebelumnya, Nura ingin K’tut pergi ke Puri
ayahnya untuk menyelamatkan diri. Namun, K’tut tetap ingin tinggal di hotel miliknya. Ia bahkan menambah paviliun lagi. K’tut beranggapan bahwa hotel miliknya merupakan tempat perlindungan yang aman. Ia tidak mau melepasnya.
Suatu hari Wayan datang membawa kabar bahwa Jepang sudah di pantai
Sanur. Wayang menyarankan agar K’tut cepat pergi berlindung. Orang Belanda sudah berlarian dan mengganti pakaian mereka dengan pakaian pribumi. Kulit
(50)
35
Akhirnya K’tut menyadari bahwa ia harus pergi. K’tut pergi ke puri Raja. Namun, ia ke puri bukan untuk berlindung. K’tut hanya berpamitan ingin pergi.
Ternyata Nura sudah menitipkan surat untuk K’tut yang dialamatkan di puri. Nura
ingin K’tut pergi ke Jawa melalui Gilimanuk. K’tut pergi diantar oleh pelayan puri
menuju hotel. Di hotel K’tut menemui hotelnya masih utuh. Di hotel, ia hanya berpesan pada Wayan agar menjaga hotelnya. Jika nanti Jepang sampai di Kuta,
pasti hotel dipakai untuk beristirahat oleh pasukan perang Jepang. Layanilah
mereka dengan baik, pesan K’tut terhadap Wayan.
Awalnya, K’tut ingin pergi ke Gilimanuk sendiri dengan menaiki mobil.
Namun, Wayan memaksa untuk mengantar K’tut. Sesampainya mereka di Gilimanuk, Wayan menagis tersedu melepas K’tut. K’tut menyebrang dengan menumpang nelayan ikan. Di kapal, K’tut disembunyikan di bawah jala. Selama perjalanan menuju Jawa, banyak pesawat perang Jepang melintas di atas kapal
nelayan.
Sesampainya di pulau Jawa, K’tut masih harus menunggu kedatangan
Nura. Tidak lama kemudian, Nura datang. Mereka hanya duduk menghadap ke
pantai dan memandangi asap yang memerah dari seberang pantai, itu Bali. Nura
mengatakan bahwa tidak ada yang menyangka kalau Jepang akan mendarat di
Bali bukan di Jawa.
K’tut dan Nura menunggu mobil milik K’tut yang disusulkan
menggunakan perahu dari Gilimanuk. Setelah mobil datang mereka langsung
(51)
36
lintas utama. Setibanya di Surabaya, semua sudah kacau-balau. Jalanan ramai,
kereta yang biasa melintas penuh dengan orang-orang Belanda yang hendak
mengungsi. Begitu pula dengan penduduk lokal, mereka bergegas pergi
mengungsi ke kampung-kampung. Ternyata, Surabaya telah beberapa kali dibom
oleh pesawat tempur Jepang. Kata orang, Sumatera dan Borneo sudah dikuasai
Jepang. Tidak lama lagi pasti Jepang akan mendarat di Jawa.
Anak Agung Nura merasa cemas akan K’tut Tantri, K’tut pasti akan menjadi bulan-bulanan Jepang. Oleh karena itu, Nura pergi ke Solo untuk melihat
kemungkinan K’tut tinggal di Keraton Solo. Sementara itu, K’tut ditinggal di Surabaya. Ia tinggal di hotel Oranje, salah satu hotel yang terkemuka di Surabaya.
Untuk sementara, keadaan K’tut nyaman, namun tidak tenang. Orang-orang yang
sehotel dengan K’tut kebanyakan orang Jerman dan orang Belanda.
Konsulat Amerika sudah ditutup, para personelnya sudah diungsikan.
Namun suatu komisi militer Amerika masih ditempatkan di Surabaya. Sambil
menunggu Nura datang dari Solo, K’tut menawarkan diri untuk membantu di
komisi militer Amerika. Ia dijadikan sopir oleh kolonel yang bernama Yankee
Cekakakan. Nama Cekakakan diambil dari kebiasaan kolonel itu yang selalu
tertawa terbahak-bahak.
Kolonel Yankee berhasil membesarkan hati penduduk yang ketakutan,
dengan cara tidak ikut bersembunyi dalam lubang perlindungan apabila ada
(52)
37
(28) “Bidikan setan-setan kuning itu payah. Bahkan sisi lumbung Ratu Wilhelmina pun takkan bisa mereka kenai,” serunya mencemooh. Rakyat mengagumi semangatnya. Ke mana pun ia pergi, selalu ada yang mengikuti (hlm. 128).
Dari ketabahan hati kolonel Amerika itu, K’tut belajar untuk bersikap ulet, tawakal menghadapi bahaya yang mengancam. Kolonel itu menasehati K’tut untuk tidak takut. Kemana pun perginya bersembunyi menghindari serangan bom,
jika sudah ditakdirkan mati, pasti akan mati juga kena bom. Beberapa hari
kemudian setelah nasehat itu, sebuah lubang persembunyian terkena bom. Semua
yang ada di dalam lubang persembunyian itu mati. Sejak itu, K’tut tidak mau repot-repot memikirkan keselamatan dirinya.
Tugas-tugas kolonel itu berkaitan dengan dua kapal yang berlabuh did ok
Surabaya. Kapal-kapal itu berisi makanan, mesiu, dan obat kina. Suatu hari,
pesawat tempur Jepang menjatuhkan bom di dekat kapal-kapal itu berlabuh.
Untung saja tidak tepat pada sasaran. Kolonel berpikiran bahwa kapal-kapal itu
harus segera diberangkatkan sebelum Jepang benar-benar menjatuhkan bom tepat
di kapal-kapal itu.
Kolonel mengambil sebuah peta, ditunjukannya sebuah teluk kecil dekat
Pasuruhan pada K’tut. Ia mengatakan bahwa malam ini kapal-kapal itu akan berangkat menuju teluk kecil itu. Sebelum fajar seharusnya kapal sudah sampai di
teluk kecil itu. Ia meminta agar K’tut berangkat menjemput dengan menggunakan mobil.
(53)
38
Rencana itu berjalan lancar. Tidak lama setelah pindahnya kapal-kapal itu
ke teluk kecil dekat Pasuruhan. Pesawat tempur Jepang menjatuhkan bom tepat di
setiap dermaga Surabaya. Dalam hitungan menit, dermaga-dermaga itu telah
hancur.
Tanggal satu Maret 1942, Jepang akhirnya mendarat di Jawa. Semua
anggota militer Belanda, Amerika, Australia, maupun Inggris diperintahkan
dengan segera meninggalkan kota. Kebanyakan dari mereka diinstruksikan untuk
menuju Australia. K’tut didesak Kolonel agar ikut dengannya terbang ke Sydney.
(29) “Di pesawat masih ada tempat untuk Anda,” katanya. “Keselamatan Anda akan sangat terancam jika tetap tinggal di sini, mengingat Anda warga Negara Amerika. Anda kan sudah mendengar di radio, apa yang mereka lakukan dengan tawanan mereka, terutama orang-orang Amerika. Jepang berperang tanpa mengenal tata aturan sama sekali” (hlm. 129).
Namun, K’tut tidak ingin meninggalkan tanah airnya yang kedua itu. K’tut
bersikeras untuk tetap tinggal di Indonesia. Ia sadar akan bahaya yang akan
datang, namun K’tut telah mempertimbangkan baik-baik keputusannya itu.
Banyak hal yang tidak bisa ditinggalkan oleh K’tut. K’tut mengucapkan selamat tinggal pada kolonel yang terbang ke Australia bersama beberapa orang.
Setelah itu, K’tut tinggal di sebuah bungalo yang tidak jauh dati hotel Oranje. Ia menunggu kedatangan Nura dari Solo sambil memperhatikan tentara
Jepang masuk ke kota Surabaya. Tentara Jepang masuk dengan tertib dan rapi,
mereka langsung menempati gedung-gedung kosong yang dulunya ditempati oleh
(54)
39
K’tut sama sekali tidak mendengar tentang kekerasan yang dilakukan oleh
tentara Jepang. Kalau ada perampokan, pemerkosaan, dan tindak kekerasan,
jumlahnya pasti sedikit. Mendengar kabar yang seperti itu, orang Indonesia
gembira menyambutnya. Bendera merah putih yang dulu dilarang Belanda, kini
berdampingan dengan bendera Jepang.
Orang Indonesia beranggapan bahwa Jepang datang bukan sebagai
penjajah baru, melainkan penyelamat dari jajahan Belanda. Banyak orang yang
beranggapan bahwa penyerangan itu sebagai kenyataan ramalan Jayabaya.
Jayabaya mengatakan bahwa pulau Jawa akan dijadikan merdeka oleh bangsa kate
berkulit kuning yang dating dari utara.
Anak Agung Nura datang dari Solo, ia membawa kabar bahwa Jawa
bagian barat sangat kacau. Seminggu setelah Surabaya jatuh tanpa pertumpahan
darah, lewat radio K’tut mendengar kabar bahwa peperangan di Jawa diakhiri.
Panglima pasuka Sekutu, Letnan Jenderal Ter Poorten, dan Angkatan Bersenjata
Kerajaan Belanda menyatakan diri takluk. Ternyata tindakan itu diambil tanpa
berunding dengan petinggi yang lain. Bangsa Indonesia kaget dan tidak
menyangka Belanda akan cepat menyerah.
Komandan bala tentara Jepang di Surabaya memerintahkan agar orang
Eropa datang mendaftarkan diri mereka ke markas besar. Nura menemani K’tut
menghadap komandan itu. Nura meminta agar K’tut diberikan ijin khusus yang
membebaskan dari interniran (orang yang diasingkan). Nura juga menjelaskan
(55)
40
Nura. Ditambahkannya penjelasan bahwa K’tut tidak ada sangkut pautnya dengan peperangan, K’tut hanya seorang seniman. Komandan itu terkesima dengan cara
berpakaian K’tut yang seperti penduduk setempat, begitu pula dengan kakinya yang hanya menggunakan sandal, rambut yang dicat hitam. Apalagi dengan
kemampuan K’tut berbahasa Bali dan Melayu. Dengan baik hati dituliskannya perintah pembebasan dari interniran (orang yang diasingkan) serta surat jalan.
“Nippon tidak berperang melawan seniman,”kata komandan itu. “Kapan
-kapan kau harus memperlihatkan hasil lukisanmu padaku. Nanti kuperlihatkan
koleksiku, lukisan-lukisan Nippon.” Komandan itu ternyata baik hati dan tidak bersikap angkuh serta kasar. Komandan itu peramah dan simpatik (hlm. 132).
Hubungan normal Bali dengan Surabaya terputus saat itu. Bali diduduki
pasukan Angkatan Laut Jepang, sedangkan Surabaya diduduki pasukan Angkatan
Darat Jepang. Keduanya memiliki sikap yang berbeda, dengan segera tampak
jelas bahwa keduanya saling cemburu-mencemburui. Agung Nura memutuskan
untuk pergi ke Bali sendirian untuk melihat keadaan ayahnya. Sekaligus untuk
melihat keadaan apakah mungkin K’tut berada di Bali tinggal di puri ayahnya.
K’tut disuruh tetap tinggal di Surabaya, menunggu perkembangan
selanjutnya. Setidaknya, komandan tentara Jepang di Surabaya tidak bersikap
memusihi. Agung Nura mewanti-wanti agar tidak terlalu berani. Sedapat mungkin
(56)
41
Saat itu ada sejumlah orang Australia dan Inggris dari kalangan sipil yang
satu demi satu ditangkapi. Mereka bersembunyi di gunung-gunung, mungkin ada
yang membocorkan hal itu kepada Jepang. Jepang memberikan imbalan yang
besar pada siapa saja yang memberikan informasi tentang pelarian.
Suatu hari, ada yang mengetuk pintu tempat tingggal K’tut. Sorang inggris kenalan lama K’tut datang meminta bantuan. Ia mendengar bahwa K’tut memiliki izin untuk bepergian. Kenalan lama K’tut menjelaskan bahwa ia mewakili perusahaan Inggris menitipkan sejumlah mobil dan dokumen penting.
Kenalan lama K’tut Tantri meminta agar ia membantu membawa
barang-barang seludupan ke Bali. Dengan surat izin, proses pembawaan barang-barang-barang-barang
seludupan dipastikan aman. Namun, K’tut menjelaskan bahwa surat izin yang dimilikinya bukan untuk melintas pulau dengan membawa mobil, itu akan
menjadi masalah nantinya. Tetapi, teman lama K’tut memiliki taktik untuk
mengelabuhi jika ada pemerikaan di jalan. Ia akan membuatkan surat izin palsu
lengkap dengan tanda tangan komandan.
K’tut menerima tawaran itu. Ia bermaksud untuk menjenguk Raja dan Agung Nura nantinya di Bali. Selain itu, K’tut juga tidak akan terkungkung di
Surabaya. Perjalanan itu sama sekali tidak dianggap bahaya. Kemungkinan hanya
akan ada pemeriksaan prajurit Jepang sepanjang perjalanan. Itu benar terjadi
ketika K’tut berangkat menuju Bali dengan membawa mobil. Selama perjalanan, K’tut dihentikan prajurt Jepang. Namun, dengan surat jalan palsu itu K’tut bisa
(57)
42
K’tut menyeberangi selat Bali dengan cara biasa. Sesampainya di Bali,
K’tut langsung menuju ke tempat kenalan baiknya, saudara Raja yang menikah
dengan wanita Prancis. Ia menitipkan barang bawaannya di situ. Setelah itu, K’tut nenyusuri bukit untuk menuju kediaman raja dan Nura. Sesampainya di puri, Raja
dan Nura kaget melihat kedatangannya. Raja meminta agar K’tut menghentikan tindakan yang menantang nasib. Namun, K’tut harus kembali lagi ke Jawa. Ada janji yang harus ditepati.
K’tut merasa bahwa keberaniannya bertambah ketika tiba di Surabaya. Kepercayaan diri dan keberaniannya sangat besar. K’tut merencanakan untuk
melakukan perjalanan yang kedua. Ia merasa bahwa akan gampang untuk
melakukannya. Orang Inggris yang kawan lama K’tut menyetujui untuk melakukan perjalanan yang kedua itu. Namun, ia juga memperingatkan jangan
sampai tiga kali, itu namanya nekat.
K’tut akhirnya melakukan perjalanan menuju Bali yang kedua. Namun, perjalanan yang kedua itu agak lebih berbahaya dari yang pertama. Setibanya di
Bali dan telah menyembunyikan barang-barang bawaanya, K’tut pergi ke puri.
Raja dan Nura sangat lega ketika melihat K’tut selamat sampai di Bali. Saat itu juga, K’tut berjanji tidak akan lagi berbuat yang akan mengakibatkan keresahan dan kekawatiran Raja dan Nura. Dalam perjalanan, K’tut juga mendengar kabar bahwa hotel miliknya telah hancur. Pelayannya juga telah mengungsi ke kampung
(1)
besar terhadap segala sesuatu yang bersangkutan dengan Bali. K’tut Tantri selalu yakin dengan segala sesuatu yang dilakukannya dan memiliki prinsip hidup yang selalu dipegang teguh dalam menjalali kehidupannya di Pulau Bali. Hal seperti ini yang mengakibatkan K’tut Tantri dapat bertahan di Pulau Bali walau mendapatkan tekanan dan mendapat masalah dari pihak penjajah Belanda dan Jepang.
K’tut Tantri mulai mencintai pulau Bali dan terlena dengan gaya hidup raja Bali, serta keinginannya untuk menjadi wanita Bali seutuhnya sangat kuat. K’tut Tantri memiliki keberanian dalam menghadapi setiap masalah. Ia juga memiliki sikap tidak ingin melibatkan orang lain dalam masalahnya. Karena kecintaan K’tut Tantri terhadap Bali dan Indonesia, ia memutuskan untuk bergabung dengan perjuangan Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari penjajahan Belanda dan Jepang.
K’tut Tantri merupakan wanita asing yang sangat bertanggung jawab, hati-hati, dan selalu waspada, serta tegar. Selain itu, ia juga selalu tidak ingin mengecewakan orang lain, peduli dengan sesama, melindungi orang yang disayanginya, selalu berpikir positif, tidak mudah tergoda, dan memiliki semangat. Selain itu, K’tut Tantri sangat benci terhadap penjajahan yang dilakukan Belanda dan Jepang terhadap Indonesia. Ia memiliki kegelisahan dan ketakutan dalam menghadapi setiap masalah, kegelisahan dan ketekutan akan hilang ketika semangatnya mulai muncul.
(2)
4.2 Saran
Penulis menyadari bahwa masih banyak hal yang dapat dipelajari dan dianalisis dari novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri. Tokoh utama dalam novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri, yaitu K’tut Tantri. Novel ini masih dapat dianalisis menggunakan citra diri wanita dalam aspek sosial atau menganalisis aspek historis dari novel Revolusi di Nusa Damai dengan menggunakan pendekatan historis.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Anton, dkk. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ariani, Ratna. 2008. K’tut Tantri: Perempuan Indonesia Yang Bukan Indonesia. Stable URL: http://tulisanperempuan.wordpress.com/2008/08/17/ktut-tantri-perempuan-pejuang-indonesia-yang-bukan-indonesia/#more-213. Diunduh: 01/11/2012, 23:05.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Faruk. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Penerbit Gama Media.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugihastuti. 2000. Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty.
Bandung: Penerbit Nuansa.
Sumarjo, Yakob. 1979. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: C.V. Nur Cahaya.
Tantri, K’tut. 2006. Revolusi di Nusa Damai. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
(4)
BIODATA PENULIS
Pipit Priya Atmaja lahir tanggal 13 Desember 1987 di Gunungkidul. Mengawali pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Legundi 1 Gunungkidul pada tahun 1993-2000 dan dilanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Kanisius Wonosari pada tahun 2000-2003. Penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Playen pada tahun 2003-2006. Pendidikan terakhir yang ditempuh penulis pada tahun 2006 hingga sekarang di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
(5)
xiii
ABSTRAK
Atmaja, Pipit Priya. 2012. Citra Diri Wanita Tokoh Utama dalam Novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri. (Kajian Sosiologi Sastra). Skripsi S-1. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji citra diri wanita dalam novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan unsur alur yang terdapat dalam novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri dan menganalisis citra diri wanita yang terdapat di dalamnya.
Penelitian ini menggunakan kajian sosiologi sastra yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi dan metode analisis isi. Tahap awal penelitian ini adalah melakukan analisis unsur alur dan hasilnya digunakan untuk menganalisis citra diri wanita dalam novel Revolusi di Nusa Damai.
Hasil dalam penelitian ini adalah analisis alur dalam bab II dan citra diri wanita dalam bab III. Alur dalam novel Revolusi di Nusa Damai adalah alur lurus atau maju. Peristiwa-peristiwa penting yang menyusun pergerakan alur dalam novel ini berjalan secara kronologis.
Dalam bab III, dianalisis citra diri wanita dalam aspek fisik dan aspek psikis. Citra diri wanita tokoh K’tut Tantri dalam aspek fisik terdeskripsi sebagai wanita bersuku Man (Amerika), berambut pirang, dan berkulit putih, mengecat rambur menjadi hitam karena tuntutan rakyat Bali. Citra diri wanita tokoh K’tut Tantri dalam aspek psikis terdeskripsi sebagai wanita yang merindukan kedamaian, percaya diri karena memiliki prinsip dan semangat yang besar, memiliki sikap sopan-santun, berfikir positif, mengalami kegelisahan dan ketakutan, cinta terhadap Bali dan Indonesia, peduli sesama, memegang janji, waspada, haru dan tabah, dan pandai mensiasati situasi.
(6)
xiv
ABSTRACT
Atmaja, Pipit Priya. 2012. Women’s Portrait in the Novel Entitled Revolusi di Nusa Damai by K’tut Tantri. (The Research of Literature Sociology). Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Indonesian Literature Department, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.
The study carried out women’s portrait in the novel entitled Revolusi di Nusa Damai by K’tut Tantri. It aimed to analyze and to describe the plot in Revolusi di Nusa Damai by K’tut Tantri and to analyze women’s portrait in the novel.
The research employed the research of literature sociology focusing on literature text. Data analysis method used in the study was descriptive and analysis method. The first step in the research was analyzing the plot and the result was used to analyze women’s portrait in Revolusi di Nusa Damai by K’tut Tantri.
The result of the research was the plot analysis in chapter II and women’s portrait in chapter III. The plot in the novel was progressive plot. The crucial events which arranged the movement of novel’s plot ran chronologically.
In chapter III, women’s portrait was analyzed in physics and psychic aspects. K’tut Tantri as a main character in physics aspect was figured out as a blond and fair -skinned Man lady. Her portrait in psychic was figured out as a lady who yearned a peace, had self-confidence as she had the rules and enormous spirit, behaved well, taught positively, experienced discomfort and fear, loved Bali and Indonesia, cared about others, kept promises, was wary, touched and patient, and planned investigation well.