Modalitas Penanda Lingual Kesantunan

Dalam praktik berkomunikasi sehari-hari, situasi dan suasana juga memengaruhi penggunaan pronomina sebagai kata sapaan kepada orang lain. Pada konteks situasi dan suasana resmi, kata-kata sapaan hormat selalu dipakai, seperti Anda, Saudara, Bapak, dan Ibu, sedangkan dalam konteks situasi dan suasana santai dan akrab, kata kamu, kalian, kau, lebih sering dipakai. Jason Jones dan Shan Wareing dalam Syukur Ibrahim, 2007:75 menjelaskan bahwa pronomina atau kata ganti yang digunakan untuk menyebut pembicara, menyebut haluan politik dan menyebut pendengar, bisa digunakan untuk mengedepankan atau menyembunyikan agen yaitu orang atau partai yang melakukan tindak tertentu dan pertanggungjawaban atas tindakan itu. Perubahan dari “saya” menjadi “kami” atau sebaliknya dari tuturan tokoh politik akan memberikan nuansa maksud tuturannya.

2.4.4 Modalitas

Modalitas terkait dengan faktor pragmatik yang menunjukkan gerak dalam batin seseorang atau anggapan ketika menghadapi sesuatu baik di dalam maupun di luar dirinya. Mungkin orang merasa yakin dan mengiyakan; mungkin pula orang merasa sangsi dan memustahilkan, atau merasa berharap atau mengimbau. Cara-cara anggapan seperti inilah yang dapat disebut sebagai modalitas Sudiati, 1996:53. Dalam penelitian Widharyanto 2000, modalitas sering dipakai penulis wartawan dalam rangka membangun perspektif pemberitaan. Modalitas dimengerti sebagai komentar atau sikap, yang berasal dari teks, baik secara eksplisit atau implisit, diberikan penulis terhadap hal yang dilaporkan, yakni keadaan, peristiwa, dan tindakan Fowler, 1986; 1991 dalam Widharyanto, 2000. Dalam konteks tuturan pelaku politik yang diberitakan media surat kabar, modalitas dapat dilihat pada komentar atau sikap penutur yang terwujud dalam proposisi-proposisi pernyataannya secara langsung. Modalitas ini dapat dibagi mejadi empat jenis, yakni 1 kebenaran, 2 keharusan, 3 izin, dan 4 keinginan Widharyanto, 2000. Pertama, dengan modalitas kebenaran penulis penutur mengindikasikan atau menyatakan secara tidak langsung suatu komitmen pada kebenaran dari suatu proposisimakna yang diutarakannya, atau pada suatu prediksi tingkat kemungkinan dari deskripsi suatu kejadian yang terjadi. Macam-macam modalitas kebenaran terentang sepanjang skala dari sangat pasti, sampai tidak pasti. Kedua, dengan modalitas keharusan, penulis penutur menetapkan bahwa partisipan dalam suatu proposisi seharusnya atau tidak seharusnya melakukan tindakan khusus dalam proposisi itu. Ketiga, dengan modalitas izin, penulis penutur mengindikasikan suatu persetujuan izin atau sebaliknya pada partisipan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kata-kata yang dapat dipakai adalah boleh, dapat, dan bisa. Keempat, dengan modalitas keinginan, penulis penutur menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuannya tentang keadaan atau peristiwa yang dikomunikasikan dalam proposisi. Modalitas keinginan implisit terdapat dalam modalitas keharusan dan izin, dan eksplisit ada dalam suatu rentangan adjektif dan adverb evaluatif. Penggunaan dan wujud modalitas telah ditunjukkan dalam uraian Fowler dalam Widharyanto, 2000 di atas. Poerwadarminta dalam Sudati, 1996:55 juga merincikan cara-cara untuk menyatakan modalitas sebagai berikut. a Lagu kalimat intonasi. Intonasi menjadi alat terpenting untuk mengetahui kepastian atau kesangsian; pertanyaan ataukah pernyataan; perintah atau anjuran, dan lain sebagainya dalam sebuah tuturan. b Kata tambahan modalitas, seperti mudah-mudahan, sudilah kiranya, rupanya, sama sekali tidak, sekali-kali jangan, seyogianya, dan sebagainya. c Kata penghubung modalitas, seperti jikalau, seandainya, sekalipun, seolah- olah, supaya, dan sebagainya. d Kata-kata yang menurut artinya sudah menyatakan modalitas, seperti wajib, mungkin, mustahil, dan sebagainya. e Bentuk kata kerja, yaitu bentuk kata kerja yang berkenaan dengan pernyataan perintah, termasuk harapan dan permintaan. f Ungkapan dan suasana kalimat yang menyatakan modalitas seperti: mana ada, boleh jadi, kecil kemungkinannya, tipis harapannya, boleh saja, dan sebagainya.

2.5 Kerangka Berpikir