santun  yang  mengandung  fungsi  kompetitif,  selanjutnya  tingkat  kesantunan  santun yang  mengandung  fungsi  konvivial,  dan  terakhir  tingkat  kesantunan  lebih  tidak
santun yang mengandung fungsi konfliktif.
4.2.3 Penanda Lingual Kesantunan Tuturan
Penanda  lingual  kesantunan  adalah  segala  hal  atau  unsur  yang  berkaitan dengan masalah bahasa  yang dapat memengaruhi  pemakaian bahasa menjadi santun
atau  tidak  santun.  Santun  tidaknya  bahasa  tidak  terlepas  dari  konteks  pemakaian bahasa  dan  terikat  pada  aspek  linguistik  dan  pragmatik  dari  tuturan  Pranowo,
2009:90;  Rahardi,  2005:118.  Selain  penanda  lingual  kesantunan,  ada  juga  penanda nonlingual atau penanda nonkebahasaan, yaitu faktor-faktor ekstralingual atau hal-hal
di luar kebahasaan yang turut menentukan santun tidaknya suatu tuturan yang terikat pada  konteks  tuturan  tersebut  Pranowo,  2009:95.  Dalam  praktik  berkomunikasi,
penanda  lingual  dan  nonlingual  kesantunan  berbahasa  memang  tidak  dapat dipisahkan.  Ketika  berkomunikasi  atau  bertutur,  penanda  lingual  dan  nonlingual  itu
serentak ada dan menjadi  bagian penting untuk menentukan santun  tidaknya tuturan secara  pragmatik.  Sesuai  dengan  batasan  penelitian  ini,  penanda  lingual  kesantunan
saja yang akan dicermati dari data tuturan yang ada. Penanda-penanda lingual kesantunan yang ditemukan dari data tuturan calon
gubernur,  calon  wakil  gubernur,  dan  pendukung  dan  diuraikan  secara  khusus  dalam penelitian ini, yaitu 1 diksi atau pilihan kosa kata, 2 penggunaan gaya bahasa, 3
pemakaian pronomina, dan 4 penggunaan modalitas. Penggunaan penanda-penanda
lingual  ini  diuraikan  juga  sesuai  dengan  konteks  fungsi  dan  jenis  tindak  tutur sehingga aspek kesantunan tindak tutur tersebut dapat diperjelas.
4.2.3.1 Diksi
Diksi  atau  pilihan  kata  mencakup  pengertian  kata-kata  mana  yang  dipakai untuk  menyampaikan  suatu  gagasan  dan  bagaimana  kata-kata  itu  secara  tepat  dan
cocok  mengungkapkan  nuansa  makna  gagasan  secara  keseluruhan  sesuai  dengan situasi dan konteks antara penutur dan mitra tutur. Berdasarkan data tuturan yang ada,
diksi  seringkali  dipakai  untuk  mempertegas  apakah  maksud  tuturan  itu  santun  atau tidak  santun  sesuai  jenis  tindak  tutur  yang  dipakai  dan  mengandung  fungsi  atau
tujuan tertentu di dalam bertutur. Meskipun demikian, sangat mungkin terjadi bahwa pilihan  kata  santun  dipakai  juga  pada  jenis  tindak  tutur  yang  mengandung  fungsi
kompetitif dan konfliktif, atau sebaliknya pilihan kata yang tidak atau kurang santun dipakai pada jenis tindak tutur yang mengandung fungsi konvivial dan netral.
Diksi  atau  pilihan  kata  yang  dipakai  di  dalam  jenis  tindak  tutur  konvivial yang  mengandung  tingkat  kesantunan  santun  dan  jenis  tindak  tutur  kolaboratif
dengan tingkat kesantunan netral dapat dicermati pada contoh tuturan 139 s.d. 144 berikut.
139 “Sugeng rawuh Mas Jokowi, terima kasih.” Hidayat Nur Wahid. [V2.18.a.A]
Konteks: Hidayat Nur Wahid menyambut silaturahim Jokowi di markasnya Jawa Pos, 12 Juli 2012, hlm. 11.
140 “Dengan doa kiai, semoga Allah memberikan kemudahan, saat pemilukada berlangsung
hingga terpilih dan menjalankan tugas sehari- hari.” Nono Sampono. [III1.60.a.A]
Konteks:  Nono  Sampono  berkunjung  ke  Kiai  Alawy  Muhammad  di  pondok  pesantren  At- Thoroqi, Karongan, Sampang. Republika, 23 Juni 2012, hlm. 2.
141 “Ini  silaturahmi  dengan  Ustad  Dayat,  kita  sama-sama  dari  Solo.”  Jokowi
[V2.17.b.A] Konteks: Joko Widodo menerangkan kunjungannya ke markas pemenangan tim Hidayat-Didik
Jawa Pos, 12 Juli 2012, hlm. 1. 142
“Pak  Wali  pancen  oke,  top  markotop.  Tetapi  kalau  menang,  jangan  melupakan  Pasar Gede, ya.” Surati, pedangan ayam di Pasar Gede, Solo [V2.37.a.A]
Konteks:  Surati,  warga  Solo,  menanggapi  kemenangan  pasangan  Jokowi-Ahok  pada penghitungan cepat. Jawa Pos, 12 Juli 2012, hlm. 11  .
143 “Pentingnya  menjaga  stabilitas  Jakarta   adalah  karena  kita  harus  menjaga  kepercayaan
pihak penanam modal yang menanamkan modalnya di Jakarta.” Fauzi Bowo [IV1.5.b.A] Konteks: Fauzi Bowo memberikan pendapat tentang keamanan Jakarta dalam debat para calon
gubernur yang disiarkan Metro TV. Media Indonesia, 3 Juni 2012, hlm. 5. 144
“Kaum  Tionghoa  adalah  bagian  dari  kami  karena  kami  lahir  dan  besar  di  Jakarta.” Nachrowi Ramli [IV1.12.a.A]
Konteks:  Nachrowi  Ramli  menyambut  dukungan  dari  Yayasan  Lestari  Kebudayaan  Tionghoa Indonesia. Media Indonesia, 7 Juni 2012, hlm. 9.
Tuturan  139  termasuk  tindak  tutur  konvivial  dengan  ilokusi  ekspresif mengucapkan salam dan terima kasih. Pilihan kata pada tuturan 139 sangat santun,
yaitu Sugeng rawuh, Mas, dan terima kasih. Ungkapan sugeng rawuh bahasa Jawa, artinya selamat datang dan Mas bahasa Jawa, artinya kakak atau saudara laki-laki
dipakai oleh penutur untuk menerima mitra tutur. Tuturan dengan pilihan kata seperti ini  hanya  dipakai  oleh  orang  yang  saling  mengenal  dan  akrab.  Jokowi  dan  Hidayat
Nur Wahid sama-sama orang Jawa dan berasal dari Solo serta memiliki pengalaman politik yang sama ketika berada di kota Solo. Demikian pun pilihan kata terima kasih,
biasanya dalam tata krama berbahasa Jawa merupakan kelanjutan dari ucapan selamat datang. Ekspresi selamat datang dan terima kasih serta sapaan kakak dalam budaya
Jawa mengandung kesopanan yang tinggi. Dengan tuturan ini, penutur menempatkan dirinya sederajat atau sama dengan mitra tuturnya mengandung skala kesekawanan.
Tuturan  140  disampaikan  penutur  yang  bermaksud  mengucapkan  terima kasih.  Tindakan  berterima  kasih  diutarakan  secara  tidak  langsung  karena  alasan
penghormatan  dan  keharmonisan  penutur  dan  mitra  tutur.  Dalam  skala ketaklangsungan  tuturan,  tuturan  dikategorikan  santun  atau  lebih  santun  bila
maksud tuturan disampaikan secara tak langsung. Pada tuturan 140,  penutur tidak memakai penanda lingual
kata atau frasa yang merujuk pada makna „terima kasih‟, tetapi  proposisi  Dengan  doa  kiai
, semoga Allah… tanpa disertai nama pribadi  yang merujuk  pada  pribadi  Kiai  Alawy  Muhammad.  Pilihan  kata  semoga  merupakan
bentuk  imperatif  harapan  sebagai  tanda  kerendahan  hati  penutur  di  hadapan  mitra tuturnya.
Pada  tuturan  141  terdapat  diksi  silaturahmi  yang  mengandung  arti kunjung-mengunjungi  dalam  konteks  persaudaraan  atau  kekeluargaan.  Kata  sapaan
Ustad Dayat oleh penutur juga mengindikasikan diksi santun untuk menyapa dengan hormat  pribadi  yang  kompeten  di  bidang  keagamaan  Islam  guru  agama  Islam.
Hidayat Nur Wahid memang tergolong Kiyai dan guru agama sehingga harus disapa demikian dengan penuh kehormatan.
Pada tuturan 142, penutur menggunakan tuturan bahasa iklan  pancen oye, top  markotop,  yang  dalam  bahasa  keseharian  diksi  tersebut  mengekspresikan  pujian
dan hormat terhadap pribadi  yang memang memiliki kemampuan khusus bagi orang lain.  Dengan  tuturan  143,  khususnya  diksi  menjaga  stabilitas,  penutur  bermaksud
menyatakan  pendapatnya  tentang  bagaimana  membangun  kota  Jakarta.  Diksi menjaga  stabilitas
merupakan  penghalusan  eufemisme  dari  kata  “menjaga keamanan” atau “menjaga ketertiban”. Pilihan kata kaum Tionghoa dan bagian dari
kami di dalam tuturan 144 sudah cukup jelas mengindikasikan bahwa diksi tersebut
sangat  santun  untuk  konteks  tuturan  fungsi  konvivial  dengan  ilokusi  meneguhkan tersebut.
Selain  diksi  atau  pilihan  kata  yang  santun,  terdapat  juga  diksi  yang  tidak santun, atau bahkan lebih tidak santun. Pilihan kata seperti ini sering muncul di dalam
jenis  tindak  tutur  kompetitif  dan  konfliktif.  Contoh-contoh  diksi  yang  tidak  santun dapat dicermati pada tuturan 145 s.d. 149 berikut.
145 “Kalau  begini  caranya,  tim  sukses  dan  pasangan  calon  akan  menyetop  semua  tahapan
Pemilukada DKI.” M. Taufik, juru bicara tim sukses Jokowi-Basuki. [III1.1.d.A] Konteks: M.Taufik menganggap penetapan DPT oleh KPU masih  bermasalah. Tim suksesnya
mengancam akan mundur dalam pilkada DKI Republika, 4 Juni 2012, hlm. 9. 146
“Kalau  tidak  bersih,  lima  pasangan  calon  akan  boikot.”  M.  Taufik,  juru  bicara  tim Jokowi-Basuki. [
III1.21.d.B] Konteks:  M.Taufik  meminta  KPU  meyelesaikan  masalah  DPT.  Republika,  6  Juni  2012,  hlm.
9
.
147 “Menurut saya, keputusan DKPP itu banci.” Hendardji Soepandji [V2.10.c.A]
Konteks:  Hendardji  Soepandji  mengomentari  DPT  yang  masih  menjadi  masalah  serius  dalam pilkada  DKI  Jakarta  meskipun  KPUD  akhirnya  merevisi  DPT.  Jawa  Pos,  10  Juli  2012,  hlm.
11. 148
“Sekarang  lu  nyolok  siapa?  Kalo  nyolok  Jokowi,  mending  mah  bangun  di  Solo  aja.” Fauzi Bowo [IV3.19.c.A]
Konteks:  Fauzi  Bowo  memberi  komentar  di  hadapan  korban  kebakaran  beberapa  ibu  di Tengsin,  Jakarta  Utara.  Pernyataan  ini  disiarkan  di  situs    Youtube.  Media  Indonesia,  10
Agustus 2012, hlm. 6. 149
“Tidak  diduga  ya.  Foke  bisa  dibikin  keok  Pak  Jokowi.  Pak  Jokowi  memang  jago  dan sangat  didukung  media  yang  selama  ini  setia  membesarkan  kepemimpinannya  atas  Solo.”
seorang warga Surakarta di salah satu warung [IV2.32.d.A] Konteks: Seorang warga Surakarta menanggapi keunggulan sementara pasangan Jokowi-Ahok.
Media Indonesia, 12 Juli 2012, hlm. 7.
Tuturan  145  s.d  147  memiliki  konteks  yang  sama,  yaitu  terkait  dengan masalah penetapan DPT oleh KPUD. Di dalam tuturan tersebut,  terdapat  diksi  yang
tidak  santun.  Tuturan  145  dan  146  adalah  tindak  tutur  konfliktif  dengan  ilokusi ekspresif mengancam, dan tuturan 147 adalah tindak tutur kompetitif dengan ilokusi
mengkritik.  Tindakan  mengancam  jelas  terlihat  pada  pilihan  kata  disertai  modalitas, yakni  akan  menyetop  dan  akan  boikot.  Kata  menyetop  pada  tuturan  145  memiliki
arti menyuruh berhenti atau menghentikan. Kata  boikot pada tuturan 146 memiliki arti  menolak  untuk  bekerja  sama.  Pemakaian  kata  menyetop  dan  boikot  disertai
modalitas akan pada kedua fungsi tuturan tersebut secara langsung mengandung daya pengaruh  pada  isi  tuturannya,  yakni  mengancam  kelangsungan  sesuatu  sehingga
pilihan  kata  tersebut  dipersepsi  tidak  santun.  Pilihan  kata  banci  pada  tuturan  147 sangat kasar. Kata banci dipakai sebagai lawan dari makna tegas, berani, dan jantan.
Tuturan  148  adalah  tindak  tutur  kompetitif  dengan  ilokusi  direktif menyindir.  Penutur  menyampaikan  maksud  sindirannya  dalam  konteks  peristiwa
kebakaran di Tengsin. Alih-alih bersimpati kepada korban kebakaran, penutur Fauzi Bowo  justru  mengeluarkan  tuturan  menyindir  dengan  diksi  yang  bernuansa  kasar,
yakni lu nyolok siapa. Diksi lu Betawi: Anda, Saudara untuk menyebut mitra tutur mengindikasikan dominasi penutur atas mitra tutur sehingga dipersepsi merendahkan
atau melecehkan mitra tutur. Jadi, tidak ada penghormatan terhadap mitra tutur dalam konteks situasi komunikasi tersebut.
Pada  tuturan  149,  penutur  bermaksud  meremehkan.  Diksi  keok  bermakna kalah.  Tuturan  tersebut  disampaikan  seorang  warga  kota  Surakarta,  pendukung
Jokowi. Seharusnya, seseorang berstatus  sosial  lebih  rendah bertutur lebih santun  di dalam  tuturannya  atau  terhadap  mitra  tutur.  Dengan  demikian,  tuturan  149
dipersepsi sangat tidak santun karena mengandung fungsi bertentangan dengan tujuan sosial atau konfliktif.
4.2.3.2 Gaya Bahasa
Gaya  bahasa  sering  dipakai  penutur  dengan  maksud  tertentu  ketika berkomunikasi.  Ada  gaya  bahasa  yang  dipakai  dengan  tujuan  agar  apa  yang
disampaikannya itu tidak membuat lawan bicaranya malu atau kehilangan muka dan tersinggung,  tetapi  ada  pula  pemakaian  gaya  bahasa  dengan  tujuan  agar  apa  yang
dituturkannya membuat mitra tuturnya malu atau kehilangan muka. Gaya bahasa akan secara jelas terwujud dalam bentuk majas-majas, seperti perbandingan, pertentangan,
dan  pertautan  dengan  pelbagai  ragamnya.  Gaya  bahasa  dapat  muncul  pada  berbagai jenis  tindak  tutur,  seperti  tingak  tutur  konvivial,  kolaboratif,  kompetitif,  dan
konfliktif.  Dalam  pembahasan  ini,  diberikan  contoh-contoh  gaya  bahasa  dalam  dua kategori  jenis  tindak  tutur,  yaitu  pada  jenis  tindak  tutur  konvivial  dan  kolaboratif
dengan  tingkat  kesantunan  santun  dan  netral  dan  pada  jenis  tindak  tutur  kompetitif dan konfliktif dengan tingkat kesantunan tidak santun dan lebih tidak santun.
Gaya  bahasa  yang  dipakai  di  dalam  jenis  tindak  tutur  konvivial  dan kolaboratif  yang  mengandung  tingkat  kesantunan  santun  dan  netral  dapat  dicermati
pada contoh-contoh 150 s.d. 156 berikut.
150 “Apabila  Foke-Nara  terpilih  menjadi  gubernur  dan  wakil  gubernur  DKI,  PPP  akan
mengawal  mereka  dalam  melaksanakan  pembangunan  agar  komitmennya  dalam  membangun Jakarta  dapat  lebih  dirasakan  masyarakat.”  Suryadharma  Ali,  Ketua  Umum  PPP.
[IV3.2.a.A] Konteks:  Suryadharma  Ali  menyatakan  secara  resmi  bahwa  PPP  mendukung  pasangan  Foke-
Nara untuk pilkada pada putaran kedua. Media Indonesia, 3 Agustus 2012, hlm. 7. 151
“Bagi  PPP,  sosok  Fauzi  Bowo  dan  Nachrowi  Ramli  memiliki  kapasitas  untuk membangun  Jakarta  menjadi  lebih  baik  lagi.”  Suryadharma  Ali,  Ketua  Umum  DPP  PPP
[I2.65.a.B] Konteks: Suryadharma Ali menyatakan dukungannya kepada pasangan Foke-Nara Kompas, 21
Juli 2012, hlm. 26. 152
“Jakarta  merupakan  pintu  gerbang  dan  simbol  Indonesia  bagi  dunia  internasional.” Firman Jaya Daeli, Ketua DPP PDI-P, pendukung pasangan Jokowi-Basuki [I2.16.b.B]
Konteks: Firman Jaya menyatakan kesiapan PDI-P mendukung Jokowi-Basuki Kompas, 6 Juli 2012, hlm. 1.
153 “Suara rakyat adalah suara Golkar. Karena itu, kami akan mengikuti suara rakyat Jakarta
dan  suara  rakyat Jakarta  mengarah  kepada  pasangan  Jokowi  dan  Ahok.”  Zaenuddin,  Sekjen
DPD Partai Golkar Jakarta [V2.56.b.B] Konteks:  Zaenuddin  menanggapi  kemenangan  pasangan  Jokowi-Ahok  berdasarkan
penghitungan cepat dan menjelaskan posisi Golkar untuk sementara. Jawa Pos, 13 Juli 2012, hlm. 11.
154
“Bahkan, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang sedang kuat-kuatnya, Golkar kalah di Jakarta.” Hajriyanto Thohari, Ketua DPP Partai Golkar [V2.59.b.B]
Konteks: Ferdi Semaun menerangkan perjuangan relawan Jokowi-Ahok menargetkan raih 80 suara pada putaran kedua. Media Indonesia, 22 Juli 2012, hlm. 4.
155 “Ini  bukan  sekadar  basa-basi,  melainkan  ini  upaya  setulus  hati  untuk  memperbaiki
lingkungan  di  Jakarta,  khususnya  Ciliwung  menjadi  lebih  bersih,  hija u, dan tertata.” Hidayat
Nur Wahid [ III1.24.b.B]
Konteks: Hidayat Nur Wahid mengomentari kondisi kawasan Sungai Ciliwung dan menemukan timbunan sampah. Republika, 6 Juni 2012, hlm. 9.
156 “Tidak benar tudingan bahwa PKS mendukung Foke karena akan mendapatkan beberapa
kursi kepala dinas.” Mahfudz Siddiq, Wakil Sekjen DPP PKS [
III3.32.b.B
] Konteks:  Mahfudz  Siddiq  menjelaskan  alasan  PKS  mendukung  pasangan  Foke-Nara  daripada
pasangan Jokowi. Republika, 30 Agustus 2012, hlm. 3.
Pada tuturan 150 dan 151 terdapat gaya bahasa sinekdoke pars pro toto, yaitu penggunaan kata  PPP sebagai  lembaga partai  yang menggantikan keseluruhan
anggotanya.  Dalam  tuturan  tersebut,  penutur  mempertegas  peran  lembaga  yang menghimpun  banyak  orang  sebagai  satu  kesatuan.  Dengan  menyebut  PPP,  penutur,
dalam hal ini Suryadharma Ali – Ketua Umum PPP, tidak terbebani tanggung jawab
sebagai  pendapat  pribadi,  tetapi  mewakili  suara  atau  komitmen  keseluruhan  partai sebab  PPP  mengacu  kepada  lembaga  partai  yang  merepresentasi  semua  pengurus,
anggota,  simpatisan,  dan  pendukung.  Kedua  tuturan  ini  dipersepsi  santun  karena bermaksud meneguhkan dan tergolong jenis tindak tutur konvivial yang mengandung
fungsi menyenangkan secara sosial.
Gaya  bahasa  metafora  terdapat  pada  tuturan  152  dan  153.  Metafora adalah  gaya  bahasa  perbandingan  langsung.  Hal  ini  dapat  dicermati  pada  bagian
tuturan Jakarta merupakan pintu gerbang dan Suara rakyat adalah suara Golkar. Keseluruhan  tuturan  154  mengandung  gaya  bahasa  paradoks,  dan  juga
ironi.  Dikatakan  bergaya  bahasa  paradoks,  karena  mengandung  pertentangan  yang nyata  di  dalam  proposisi  tuturan  kalimat  tuturan,  yakni  Bahkan,  pada  masa
pemerintahan Presiden Soeharto yang sedang kuat-kuatnya, Golkar kalah di Jakarta; disebut  bergaya  bahasa  ironi  karena  konteks  tuturannya  adalah  tanggapan  atas
kemenangan  pasangan  yang  didukung  PDI  Perjuangan  di  satu  pihak,  sementara pasangan  Golkar  kalah  telak.  Dalam  kesantunan  berbahasa,  prinsip  ironi  bertujuan
merugikan atau menyudutkan orang lain. Di dalam ironi terdapat sopan santun  yang tidak  tulus  sebagai  pengganti  sikap  tidak  sopan.  Hal  ini  semakin  jelas  dari  tuturan
154, sebab penutur adalah tokoh Golkar. Tuturan  155  mengandung  gaya  bahasa  hiperbola,  terutama  bagian
proposisi  tuturan  Ini  bukan  sekadar  basa-basi
…  .
Gaya  bahasa  hiperbola mengandung  suatu  pernyataan  yang  berlebihan.  Tuturan  dengan  gaya  bahasa
hiperbola  sesuai  dengan  konteks  tersebut  mengandung  sopan  santun  karena  penutur bertanggung  jawab  terhadap  kebenaran  isi  tuturannya.  Pada  tuturan  156  terdapat
gaya bahasa metonomia, yaitu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Kata kursi
pada tuturan 156 dan sesuai dengan konteks tuturan tersebut merupakan metonomia untuk kedudukan, jabatan, atau kekuasaan.
Penggunaan  gaya  bahasa  di  dalam  jenis  tindak  tutur  kompetitif  dan konfliktif  yang  mengandung  tingkat  kesantunan  tidak  santun  dan  lebih  tidak  santun
dapat dicermati pada contoh-contoh 157 s.d. 164 berikut.
157 “KPUD  tampaknya  menjerat  dirinya  sendiri  dengan  lingkaran  masalah  DPT.  Entah  ini
di sengaja atau tidak, namun kenyataannya demikian.” Hidayat Nur Wahid. [V2.8.c.B]
Konteks:  Hidayat  Nur  Wahid  mengomentari  DPT  yang  masih  menjadi  masalah  serius  dalam pilkada  DKI  Jakarta  meskipun  KPUD  akhirnya  merevisi  DPT.  Jawa  Pos,  10  Juli  2012,  hlm.
11. 158
“Kita  tidak  mau  pemilukada  ini  berjalan  dengan  cacat.”  Prya  Ramadhani,  Ketua  Tim Sukses Alex-Nono. [
III1.5.b.B] Konteks:  Prya  Ramadhani  menganggap  penetapan  DPT  oleh  KPU  masih    bermasalah.  Tim
suksesnya mengancam akan mundur dalam pilkada DKI Republika, 4 Juni 2012, hlm. 9. 159
“Ini tamparan buat Golkar.” Yorrys Raweyai, Ketua DPP Partai Golkar [II2.46.c.B] Konteks:  Yorrys  Raweyai  mengakui  kubu  Partai  Golkar  tak  solid  mendukung  Alex-Nono.
Koran Tempo, 13 Juli 2012, hlm. A3. 160
“Jangan  libatkan  kami  dalam  keputusan  karena  mencederai  demokrasi  yang  sedang dibangun.” Fatahillah Ramli, anggota tim sukses Alex-Nono. [II2.16.c.B]
Konteks:  Fatahillah  Ramli  menolak  rapat  pleno  KPU  DKI  Jakarta  yang  memutuskan penghapusan 21.344 dari total 6.983.692 daftar pemilih tetap. Koran Tempo, 10 Juli 2012, hlm.
A4. 161
“Kasihan  warga  Jakarta,  kasihan  gubernur  yang  akan  dipilih,  kasihan  demokrasi  di Indonesia.” Hidayat Nur Wahid [III1.9.c.B]
Konteks:  Hidayat  Nur  Wahid  mengomentari  sikap  KPU  yang  bersikukuh  terhadap  DPT, meskipun  lima  pasangan  calon  lainnya  mempersoalkan  DPT.  Pasangan  Fauzi  Bowo
menandantangani DPT tersebut. Republika, 5 Juni 2012, hlm. 9. 162
“Kalau  kawasan  sekitar sungai tidak dikelola dengan baik,  kekumuhan juga akan  terus berkembang.  Itu  paralel  dengan  kemiskinan  yang  juga  terus  berkembang.”  Hendradji
Soepandji [ III1.31.c.B]
Konteks:  Hendardji  Soepandji  memaparkan  program  terkait  pembangungan  atau  normalisasi kawansan di sekitar bantaran sungai Republika, 7 Juni 2012, hlm. 9.
163 “Kalau  tidak  bersih,  lima  pasangan  calon  akan  boikot.”  M.  Taufik,  juru  bicara  tim
Jokowi-Basuki [ III1.21.d.B]
Konteks:  M.Taufik  meminta  KPU  meyelesaikan  masalah  DPT.  Republika,  6  Juni  2012,  hlm. 9.
164 “Ini bukti permasalahan Jakarta yang tidak pernah terselesaikan.” Hidayat Nur Wahid
[ III1.22.d.B]
Konteks: Hidayat Nur Wahid mengomentari kondisi kawasan Sungai Ciliwung dan menemukan timbunan sampah. Republika, 6 Juni 2012, hlm. 9.
Tuturan 157, mengandung majas perbandingan, khususnya personifikasi. Sifat-sifat insani dilekatkan pada barang yang tak bernyawa dan ide abstrak  disebut
personifikasi.  KPUD  sebagai  lembaga  atau  institusi  dibandingkan  sebagai  manusia
yang melakukan tindakan  menjerat.  Keseluruhan proposisi  tuturan 157  merupakan gaya  bahasa  majas  pertentangan  ironi  karena  bermaksud  mengkritik  dan  menyindir.
Tuturan  158  juga  menggunakan  gaya  bahasa  perbandingan  personifikasi,  tetapi dalam nada tuturan  yang tidak santun karena jenis tindak tutur itu adalah kompetitif
dengan ilokusi mengkritik. Pemilukada dibandingkan dengan manusia yang berjalan dengan cacat.
Tuturan  159  mengandung  gaya  bahasa  hiperbola.  Penutur  bermaksud menyindir dengan kasar terkait dengan kekalahan pasangan Golkar dalam pemilukada
DKI  Jakarta.  Dengan  tuturan  160,  penutur  menghaluskan  maksud  tuturannya dengan  pilihan  kata  mencederai.  Bentuk  penghalusan  demikian  disebut  gaya  bahasa
eufemisme.  Penutur  menghindari  pemakaian  kata  kasar  karena  secara  intrinsik  jenis fungsi  tuturan  itu  adalah  kompetitif  dengan  ilokusi  melarang.  Pada  tuturan  161
terdapat  gaya  bahasa  perulangan  atau  repitisi.  Dengan  perulangan  kata kasihan … ,
penutur mempertegas maksud sindiran di dalam tuturannya tersebut. Dengan tuturan 162,  penutur  bermaksud  mempertegas  isi  kritik  dengan  gaya  bahasa  hiperbola,
yakni  kekumuhan  juga  akan  terus  berkembang.  Tuturan  162  sebenarnya  juga mengandung  gaya  bahasa  sinsime  yang  secara  intrinsik  mengandung  tingkat
kesantunan yang tidak santun. Pada  tuturan  163,  penutur  menggunakan  gaya  bahasa  eufemisme,  yakni
tidak  bersih.  Pilihan  kata  atau  frasa  tidak  bersih  mengacu  pada  pengertian:  tidak jujur, tidak cermat, tidak teliti, tidak transparan terkait dengan konteks tuturan, yaitu
mengenai  masalah  DPT.  Penggunaan  gaya  bahasa  eufemisme  juga  terdapat  pada
tuturan  164,  yakni  permasalahan.  Dengan  gaya  bahasa  eufemisme,  penutur berusaha  menggunakan  ungkapan  kata-kata  yang  bermakna  baik  positif  agar
menjamin sopan santun negatif sehingga mitra tutur tidak menjadi malu.
4.2.3.3 Pronomina
Pronomina  adalah  kata  yang  dipakai  untuk  mengacu  kepada  nomina  lain Alwi,  2003:249.  Pemakaian  pronomina  dalam  berkomunikasi  atau  bertutur  erat
hubungannya  dengan  aspek  budaya,  terutama  mengenai  hubungan  sosial antarmanusia.  Usia,  status  sosial,  dan  keakraban  menjadi  ukuran  dalam  penggunaan
kata  pronomina  berupa  sapaan  untuk  menghormati  orang  lain  mitra  tutur.  Oleh karena itu, dalam konteks tuturan tertentu, ada pronomina yang mengandung nuansa
santun,  tetapi  pada  konteks  tuturan  lain  mungkin  kurang  santun  atau  lebih  tidak santun. Hal ini dapat dicermati pada jenis fungsi tuturan dan ilokusi tuturan tersebut.
Pemakaian  pronomina  dalam  tindak  tutur  konvivial  dan  tindak  tutur kolaboratif mengandung kesantunan yang santun dan netral, sedangkan dalam tindak
tutur kompetitif dan tindak tutur konfliktif mengandung kesantunan yang tidak santun dan  lebih  tidak  santun.  Dalam  jenis  tindak  tutur  konvivial  dan  kolaboratif,
penggunaan pronomina dapat dicermati pada contoh tuturan 165 s.d. 171 berikut.
165 “Karena  itulah,  saya  percayakan  anak  muda  Ahmad  Reza  Patria  mendampingi  saya
guna  memberikan  semangat  baru  untuk  perubahan  Jakarta  yang  lebih  baik.”  Hendardji Soepandji [
III1.27.a.C] Konteks:  Hendardji  Soepandji  berdiskusi  dengan  para  mahasiswa  di  Universitas  Al-Ahzar,
dengan tema “Siapa Pemimpin yang Layak bagi Jakarta 1 ke Depan” Republika, 7 Juni 2012, hlm. 9.
166 “Saya dulu pernah mendukung beliau saat menjadi korwil Jateng-DIY.” Agus Purnomo,
Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik DPP PKS [V2.66.b.C]
Konteks
:
Agus  Purnomo  mengomentari  kemenangan  pasangan  Jokowi-Ahok  berdasarkan penghitungan cepat. Jawa Pos, 13 Juli 2012, hlm. 11.
167 “Ini  lho,  saya  menelepon  Pak  Faisal  Basri,  delapan  kali.  Pak  Fauzi  juga,  tapi  gak
nyambung.” Jokowi [V2.53.b.C] Konteks:  Jokowi  memberitahukan  bahwa  ia  menjalin  hubungan  dengan  kandidat  lain.  Jawa
Pos, 13 Juli 2012, hlm. 11. 168
“Bukan  kami  punya  prasangka.  Tapi,  kami  memantau  supaya  pelaksanaan  pilkada  ini terjamin  sesuai  dengan  aturan  yang  ada  dan  apa  yang  telah  kita  sepakati.”  Megawati
Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP [V2.3.b.C] Konteks: Megawati mengomentari DPT yang masih menjadi masalah serius dan banyak warga
yang belum terdata dengan baik. Jawa Pos, 10 Juli 2012, hlm. 11. 169
“Saat ini kami masih melakukan evaluasi terhadap rendahnya raihan suara Alex-Nono.” Lulung Lunggana, Ketua DPW PPP [V2.62.b.C]
Konteks:  Lulung  Lunggana  menjelaskan  sikap  kubu  PPP  menanggapi  kemenangan  pasangan Jokowi-Ahok. Jawa Pos, 13 Juli 2012, hlm. 11.
170 “Mari kita bantu Panwaslu, mari kita bantu PPS untuk mengamankan suara warga, yang
juga akan mengamankan kepentingan warga.” Faisal Basri [III2.27.a.C] Konteks:  Faisal  Basri  mengomentari  Pilkada  DKI  yang  segera  memasuki  masa  tenang.
Republika, 9 Juli 2012, hlm. 9. 171
“Tentu,  kita  akan  dukung  pasangan  yang  paling  mirip  agenda  perjuangannya  dengan PKS.” Triwisaksana, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PKS Jakarta [
III3.12.b.C
] Konteks:  Triwisaksana  memberi  keterangan  perihal  kunjungan  Jokowi  ke  markas  DPP  PKS.
Republika, 6 Agustus 2012, hlm.3.
Penggunaan pronomina saya mengacu pada si penutur sendiri. Pada tuturan 165  s.d.  167,  pronomina  jelas  merujuk  pada  diri  penutur  sehingga  penutur
bertanggung  jawab  atas  kebenaran  isi  tuturannya  tersebut.  Hal  ini  dipertegas  oleh jenis  tindak  tutur  dari  tuturan-tuturan  tersebut  yakni  tindak  tutur  kolaboratif  dengan
ilokusi representatif,
yaitu tindakan
mempersilahkan 165,
tindakan menginformasikan 166, dan tindakan menginformasikan 167.
Pada  tuturan  168  dan  169  digunakan  pronomina  kami.  Penutur bermaksud  bahwa  tuturannya  itu  merepresentasi  semua  pihak  yang  mendukungnya.
Karena jenis tindak tuturnya adalah kolaboratif, kedua tuturan itu dengan pronomina kami dipersepsi  mengandung tingkat  kesantunan  yang netral.  Jadi,  tidak ada potensi
mitra  tutur  kehilangan  muka  karena  tuturan  itu,  demikian  pun  penutur  sekadar bertanggung jawab sesuai dengan isi tuturannya tersebut.
Pada  tuturan  170  dan  171,  terdapat  pronomina  kita.  Pronomina  kita mengacu  kepada  pronomina  pertama  jamak,  yang  berbicara  bersama  orang  lain,
termasuk  yang  diajak  bicara.  Dengan  menggunakan  pronomina  kita,  sesuai  dengan konteks  tuturannya,  penutur  jelas  menghargai  mitra  tutur,  bahkan  menanggap  mitra
tutur  sebagai  yang  sederajat.  Hal  ini  cukup  jelas  bila  ditinjau  dari  jenis  tindak  tutur dan  fungsi  tuturan,  yakni  tuturan  170  adalah  tindak  tutur  konvivial  dengan  ilokusi
ekspresif  mengajak  yang  berfungsi  menyenangkan  secara  sosial,  dan  tuturan  171 adalah  tindak  tutur  kolaboratif  dengan  ilokusi  representatif  menginformasikan  yang
berfungsi bekerja sama secara sosial. Pada  contoh-contoh  berikut  172  s.d.  174,  penggunaan  pronomina  justru
tidak santun karena terikat pada jenis tindak tuturnya, yakni kompetitif dan konfliktif yang berfungsi bersaing dan bertentangan dengan tujuan sosial.
172 “Dia tahu apa tidak nomor telepon saya berapa? Jangan-jangan dinas pemadam kebakaran
yang ditelepon.” Fauzi Bowo [IV2.43.c.C] Konteks:  Fauzi  Bowo  menanggapi  media  tentang  pernyataan  Jokowi  yang  telah
menghubunginya. Media Indonesia, 14 Juli 2012, hlm. 1. 173
“Kalau saya jadi Fauzi Bowo, maka saya akan menegur, bahkan memecat PNS yang tidak netral itu.” Muhammad Taufiq, tim sukses Jokowi-Ahok [III2.10.c.C]
Konteks: Muhammad  Taufik  mengomentari  tema  netralistas  PNS  dalam  diskusi  “Menuju
Pilkada DKI Jakarta yang Aman dan Demokratis” di Universitas Paramadina. Republika, 6 Juli 2012, hlm. 9.
174 “Kami tidak menunjuk pribadi gubernur.” Dadiek Surarto, tim pemenangan Hendardji-
Reza [ III1.35.c.C]
Konteks:  Dadiek  Surarto  membantah  tagline “Berkumis”  mengacu  kepada  pasangan  tertentu.
Republika, 7 Juni 2012, hlm. 9.
Pronomina  dia  pada  tuturan  172  digunakan  penutur  dalam  tindak  tutur kompetitif. Sesuai dengan konteks tuturannya, penutur Fauzi Bowo menyebut Joko
Widodo  dengan  dia  sebagai  wujud tindakan menyindir. Hal  ini dipertegas  lagi pada isi  tuturan  pada  kalimat  Jangan-jangan  dinas  pemadam  kebakaran  yang  ditelepon.
Tuturan demikan tergolong tindak tutur kompetitif dengan ilokusi direktif menyindir. Pada tuturan 173, penggunaan pronomina saya juga dipersepsi tidak santun. Dengan
pernyataan kategoris Kalau saya…, penutur bermaksud menyindir Fauzi Bowo yang
dinilai kurang menjaga netralitas terkait dengan sikap politik para PNS. Pada tuturan 174 terdapat pronomina kami  yang mengacu kepada persona
jamak  meskipun  dituturkan  secara  personal  tunggal.  Penggunaan  pronomina  kami sering dipakai untuk menghindari penutur dari tanggung jawab atas tuturannya. Jenis
tindak  tuturnya  adalah  kompetitif  dengan  ilokusi  direktif  menyangkal.  Oleh  karena itu,  tuturan  174  dengan  pronomina  kami  dipersepsi  tidak  santun  berdasarkan  jenis
tindak tutur dan tujuan tuturan serta konteks tuturannya tersebut.
4.2.3.4 Modalitas
Modalitas  terkait  dengan  faktor  pragmatik  yang  menunjukkan  gerak  dalam batin  seseorang  atau  anggapan  ketika  menghadapi  sesuatu  baik  di  dalam maupun  di
luar  dirinya.  Mungkin  orang  merasa  yakin  dan  mengiyakan;  mungkin  pula  orang merasa sangsi dan memustahilkan, atau merasa berharap atau mengimbau. Cara-cara
anggapan seperti inilah yang dapat disebut sebagai modalitas Sudiati, 1996:53. Jenis  modalitas  yang  dapat  muncul  di  dalam  tuturan,  yakni  1  kebenaran;
2 keharusan; 3 izin; dan 4 keinginan. Sesuai dengan temuan data, jenis modalitas
yang diuraikan dalam penelitian ini hanya modalitas kebenaran, keharusan, dan izin. Modalitas keinginan secara implisit terdapat di dalam modalitas keharusan dan izin.
1 Modalitas Kebenaran
Modalitas kebenaran atau kepastian menandakan sesuatu yang dibicarakan itu  sudah  jelas  terjadi  dan  tidak  boleh  tidak;  atau  mengindikasikan  dan  menyatakan
secara  tidak  langsung  suatu  komitmen  pada  kebenaran  suatu  proposisimakna  yang diutarakan penutur, atau pada suatu prediksi tingkat kemungkinan dari deskripsi suatu
kejadian  yang  terjadi.  Penanda  lingual  modalitas  kepastian  misalnya  adalah  masih, pasti,  mungkin,  dan  lain  sebagainya.  Tuturan  199  s.d.  208  adalah  contoh
penggunaan berbagai jenis modalitas kebenaran atau kepastian.
175 “Kami  juga  meyakini,  pendukung  atau  tim  relawan  Jokowi-Basuki  juga  tidak  pernah
mengeluarkan  hal  demikian.”  Boy  Sadikin,  ketua  tim  kampanye  Jokowi-Basuki. [I3.9.a.D]
Konteks:  Boy  Sadikin  menanggapi  adanya  spanduk  dukungan  bertuliskan  Jokowi  Menang, Mega Presiden. Hal ini dibantahnya Kompas, 24 Agustus 2012, hlm. 15.
176
“Temuan  itu  membuat  kami  yakin  ada  pelanggaran  hukum  dalam  penyusunan  DPT.” Rois Handayani, Kordinator Advokasi  Tim Kampanye Hidayat-Didik. [I1.2.d.D]
Konteks: Rois Handayani bersama  5 tim pasangan calon lain menolak DPT yang dikeluarkan KPU  yang  terkesan  amburadul.  Timnya  menemukan  data    44.696  pemilih  yang  di  antaranya
bernama, bertanggal lahir, dan beralamat sama, tetapi berbeda NIK Kompas, 5 Juni 2012, hlm. 25.
177
“Saya  yakin  pendukung  kami  tidak  mengharapkan  politik  uang.”  Nachrowi  Ramli [
III2.31.a.D] Konteks:  Nachorwi  Ramli  mengharapkan  pilkada  DKI  Jakarta  berlangsung  damai,  dan  warga
memilih dengan hati nurani. Republika, 11 Juli 2012, hlm. 1. 178
“Kami  masih  percaya  kepada  keprofesionalan  Panwaslu  DKI  dalam  mengurus  semua pelanggaran, termasuk kampanye hitam.” Marihot Napitupulu, juru bicara tim sukses Jokowi-
Basuki [
III1.38.a.D]
Konteks:  Marihot  Napitupulu  mengomentari  adanya  kampanye  hitam  dan  selebaran  yang mendiskreditkan salah satu pasangan calon gubernur DKI Jakarta Republika, 9 Juni 2012.
179 “Yang pasti saya tidak punya pengalaman wakil saya minta cerai dan kemudian putus di
tengah jalan. Saya juga tidak punya pengalaman dilaporkan  ke KPK.” Hidayat Nur Wahid. [
III1.56.c.D] Konteks:  Hidayat  Nur  Wahid  mengomentari  kepemimpinan  Fauzi  Bowo.  Republika,  20  Juni
2012, hlm. 21.
180 “Salah  satu  anak  saya,  Selasa  117,  masih  belum  menerima  undangan  dan  baru
menerima setelah ditanyakan. Yang jadi cermin persiapan pemilukada kali ini adalah di rumah saya sendiri masih ada
masalah. Silakan dinilai sendiri.” Nono Sampono [III2.41.b.D] Konteks:  Nono  Sampono  merasa  tidak  puas  terhadap  kinerja  KPU  DKI  Jakarta  perihal  daftar
pemilih  tetap  DPT  dan  adanya  laporan  27  kasus  pelanggaran  oleh  Indonesian  Corruption Watch ICW. Republika, 12 Juli 2012, hlm. 9.
181 “Dana  untuk  itu  semua  sebenarnya  sudah  ada  di  anggaran  pemerintah,  yakni  Rp  800
miliar  untuk  kesehatan  dan  Rp  1,4  triliun  untuk  pendidikan.  Tapi  masyarakat  tidak merasakannya.” Jokowi. [I1.49.c.D]
Konteks:  Pernyataan  Jokowi  terkait  dengan  sosialisasi  Kartu  Jakarta  Sehat  dan  Kartu  Jakarta Pintar Kompas, 29 Juni 2012, hlm. 26.
182 “Tidak  ada  korelasi.”  Budi  Siswanto,  Sekretaris  tim  sukses  Fauzi-Nachrowi
[II2.71.b.D] Konteks:  Budi  Siswanto  mengomentari  kegagalan  pasangan  Fauzi-Nachrowi  yang  dinilai
karena turunnya elektabilitas Partai Demokrat. Koran Tempo, 19 Juli 2012, hlm. A5. 183
“Jadi, kalau bicara soal keamanan, sudah tidak diragukan lagi, Pak Nono mencerminkan orang yang dapat diandalkan dalam memberikan keamanan.” Alex Noerdin [III2.20.a.D]
Konteks:  Alex  Noerdin  berkampanye  tentang  keamanan  Jakarta  di  hadapan  pendukungnya. Republika, 5 Juli 2012, hlm. 9.
184 “Tidak mungkin kita bisa berkumpul di Kelapa Gading ini jika tidak ada kedamaian dan
ketenteraman batin.” Fauzi Bowo [IV3.18.a.D] Konteks: Fauzi Bowo bersilaturahim dengan para pendeta dari beberapa gereja di Gereja Bethel
Indonesia  Mawar  Sharon,  Kelapa  Gading,  Jakarta  Utara.  Media  Indonesia,  9  Agustus  2012, hlm. 7.
Tuturan 175 s.d. 184 memakai modalitas kebenaran, seperti tidak pernah, yakin, yakin ada, masih, masih belum, pasti, sudah ada, tidak ada, sudah tidak,  dan
tidak  mungkin.  Dengan  pilihan  modalitas  kebenaran  penutur  mengindikasikan    atau menyatakan  secara  tidak  langsung  suatu  komitmen  pada  kebenaran  dari  suatu
proposisi  dan  makna  yang  diutarakannya,  atau  pada  suatu  prediksi  tingkat kemungkinan  dari  deskripsi  suatu  kejadian  yang  terjadi.  Skala  kebenaran  dari
modalitas  pada  tuturan-tuturan  tersebut  disertai  predikasi  ada  dan  kata  ingkar  tidak yang secara gramatikal mempertegas isi kebenaran tuturan.
Tingkat  kepastian  modalitas  di  dalam  setiap  tuturan  juga  semakin  jelas terlihat dalam keseluruhan proposisi kalimat tuturan sesuai dengan jenis tindak tutur
dan  konteks  tuturannya.  Kehadiran  modalitas  kepastian  atau  kebenaran  di  dalam
setiap tuturan mempertegas tingkat kesantunan tuturan sesuai jenis tindak tutur yang diwujudkan.  Pada  jenis  tindak  tutur  konvivial  dan  kolaboratif,  modalitas  kepastian
mempertegas  persepsi  santun  dan  netral  dari  tuturan,  sedangkan  pada  jenis    tindak tutur  kompetitif  dan  konfliktif,  modalitas  kepastian  mempertegas  persepsi  tidak
santun dan lebih tidak santun dari tuturan.
2 Modalitas Keharusan
Modalitas  keharusan  atau  kewajiban  biasanya  ditandai  dengan  penggunaan kata-kata  seperti:  harus,  wajib,  seharusnya,  atau  bentuk  negasi  tidak  harus,  tidak
wajib,  tidak  seharusnya.  Dengan  modalitas  keharusan,  penutur  menetapkan  bahwa sesuatu  yang  diutarakan  atau  maksud  tuturannya  seharusnya  atau  tidak  seharusnya
terjadi atau dilakukan oleh mitra tutur. Hal ini dapat dicermati melalui contoh-contoh tuturan 185 s.d. 193 berikut.
185 “Harus  tenang  dan  sabar.”  Taufiq  Kiemas,  Ketua  Dewan  Pertimbangan  Pusat  PDI
Perjuangan [ III2.48.a.D]
Konteks:  Taufik  Kiemas  mengomentari  keunggulan  Jokowi-Ahok  dalam  hasil  hitung  cepat. Republika, 12 Juli 2012, hlm. 9.
186 “Kita  harus  bersikap  bijaksana  dan  tenang  karena  sejarah  membuktikan  bahwa  pada
saatnya orang yang benar yang akan menang.” Boy Sadikin, ketua tim sukses Jokowi-Ahok [IV2.51.a.D]
Konteks:  Boy  Sadikin  menanggapi  tuduhan  kubu  Jokowi-Ahok  menjalankan  politik  uang. Media Indonesia, 16 Juli 2012, hlm. 7.
187
“Persoalan  macam  ini  sebaiknya  diselesaikan  musyawarah  saja  sebab  tidak  ada peraturannya.” Jali Simbolon, Tim sukses Faisal-Biem [IV1.3.b.D]
Konteks: Jali Simbolon menanggapi persoalan tagline iklan „berkumis‟ anatara kubu Foke-Nara
dan Hendardji-Riza Media Indonesia, 1 Juni 2012, hlm. 7. 188
“Untuk mengatasinya harus diperiksa secara bersama-sama, bukan diributkan teknisnya.” Basuki Cahaya Purnama. [IV1.11.c.D]
Konteks:  Basuki  Cahaya  Purnama  menanggapi  kisruh  DPT.  Media  Indonesia,  7  Juni  2012, hlm. 9.
189 “Setiap  calon  kan  harus  membuat  program  kerja  yang  operasional.  Bagaimana  bisa
membuat  program  kalau  untuk  masuk  ke  dalam  saja  tidak  boleh.  Hidayat  Nurwahid [IV2.21.c.D]
Konteks:  Hidayat  Nur  Wahid  mengomentari  tindakan  Panwaslu  yang  menghalau  mereka  dari Kecamatan Kembangan di hutan kota Srengseng. Media Indonesia, 6 Juli 2012, hlm. 6.
190 “Harus  ada  sosialisasi  pentingnya  pilkada.  Ini  untuk  menentukan  DKI  lima  tahun  ke
depan. Golput harus sadar bahwa mereka akan rugi.” Jokowi [II2.73.c.D] Konteks:  Jokowi  meminta  KPU  melakukan  sosialisasi  secara  intensif  demi  mengurangi  angka
golput. Koran Tempo, 22 Juli 2012, hlm. A3. 191
“Pemanfaatan APBD yang ada harus semaksimal mungkin dan harus untuk hal-hal yang berguna buat rakyat kebanyakan.” Alex Noerdin [IV1.4.c.D]
Konteks: Alex Noerdin memberikan pendapat tentang APBD dalam debat para calon gubernur yang disiarkan Metro TV. Media Indonesia, 3 Juni 2012, hlm. 5.
192 “Saya  dan  tim  kampanye,  bersama  tim  calon  pasangan  gubernur  dan  wakil  gubernur
lainnya,  masih  melakukan penyisiran data. Sebagai pihak  yang paling bertanggung jawab atas database  penduduk  DKI  Jakarta,  sudah  seharusnya  Dinas  Kependudukan  dan  Catatan  Sipil
D KI Jakarta bertanggung jawab.” Didik J Rachbini [IV1.9.c.D]
Konteks: Didik Rachbini mempersalahkan pemerintah terkait kisruh DPT. Media Indonesia, 7 Juni 2012, hlm. 9.
193 “Semestinya  pemprov  merangkul  wong  cilik.  Penundaan  pemberlakukan  perda  pajak
warteg  tidak  menyelesaikan  masalah.  Kalau  saya  jadi  gubernur,  akan  saya  cabut  perda  itu.” Hidayat Nurwahid [IV2.18.c.D]
Konteks: Hidayat Nur Wahid berkampanye dengan mendatangi warung tegal warteg di Jalan Bangka Raya, Mampang, Jakarta Selatan. Media Indonesia, 4 Juli 2012, hlm. 7.
Dalam  konteks  pertuturan,  pemakaian  modalitas  keharusan  berkaitan dengan  jenis  tindak  tutur  dengan  tingkat  kesantunan  tidak  santun  dan  lebih  tidak
santun. Artinya, pendengar atau mitra tutur menilai tuturan dengan penanda modalitas keharusan  kurang  atau  tidak  santun  sebab  mitra  tutur  tidak  memiliki  peluang  untuk
memilih  alternatif  lain.  Dengan  itu,  mitra  tutur  berpotensi  kehilangan  muka  di hadapan  penutur,  atau  mitra  tutur  malu.  Namun,  ada  juga  penggunaan  modalitas
keharusan  yang  mendukung  aspek  santun,  yaitu  pada  tindak  tutur  konvivial  dengan ilokusi  ekspresif  mengajak  dan  tindak  tutur  kolaboratif  dengan  ilokusi  representatif
menyatakan, menyatakan pendapat, menjelaskan, dan sebagainya. Contoh  tuturan  185  s.d.  187  tergolong  tindak  tutur  konvivial  dan
kolaboratif,  karena  itu  pemakaian  modalitas  keharusan  di  dalam  tuturan  itu mendukung  tingkat  kesantunan  santun  dan  netral  dari  tuturan.  Tuturan  188  s.d.
193,  tergolong  tindak  tutur  kompetitif,  karena  itu  pemakaian  modalitas  keharusan mendukung tingkat kesantunan tidak santun tuturan.
3 Modalitas Izin
Dengan  modalitas  izin,  penutur  mengindikasikan  suatu  persetujuan  izin atau  sebaliknya  sesuai  dengan  maksud  dan  isi  tuturannya  terhadap  mitra  tutur.
Penanda  modalitas  izin  yaitu  boleh,  dapat,  dan  bisa.  Tuturan  194  s.d.  201  perlu dicermati sebagai contoh penggunaan modalitas izin.
194 “Kami  memberikan  ini  agar  ICW  bisa  berani  mengawasi  korupsi  pemilu  kada,  bisa
menolak godaan, dan punya nyali. Supaya ICW jangan jadi „Indonesian Commentator Watch‟.” Hendardji Soepandji [IV1.20.c.D]
Konteks: Hendardji Soepandji bertemu  dengan  ICW  dan memberikan  tiga  cendera  mata:  „pil
berani‟, „jamu tolak angin‟, dan „suntikan tambah nyali‟. Media Indonesia, 13  Juni 2012, hlm. 7.
195 “Kami menunggu upaya KPU membereskan DKPP. Tapi, apabila DPT tidak bisa clear,
apa  boleh  buat  kalau  memang  ditunda.”  Marihot  Napitupulu,  tim  sukses  pasangan  Jokowi- Basuki [
III2.30.b.D] Konteks: Marihot Napitupulu menilai DPT masih bermasalah meskipun KPU DKI Jakarta telah
melakukan  sosialisasi  dan  rapat  pleno  perubahan  DPT  bersama  dengan  tim  sukses  keenam pasangan. Republika, 10 Juli 2012, hlm. 9.
196 “Saya tidak bisa memastikan itu benar dari Fauzi Bowo atau tidak. Tapi, kalau ada orang
yang meng-SMS atau orang minta ketemu, itu biasa. Saya tak bisa memastikan apakah mereka benar diutus atau tidak.” Hidayat Nur Wahid [III2.49.b.D]
Konteks:  Hidayat  Nur  Wahid  mengaku  ada  yang  menghubunginya  pascapengumuman  hasil penghitungan cepat berbagai lembaga. Republika, 14 Juli 2012, hlm.1.
197 “Pemerintah  harus  bisa  menjawab  tuntutan  itu  secara  konkret,  bukan  dengan  janji.  Itu
yang kami lakukan.” Fauzi Bowo  [II2.87.b.D] Konteks: Fauzi Bowo berpidato di Masjid Jami Baitussalam, Kramat Jati, Jakarta Timur dalam
safari Ramadan Koran Tempo, 27 Juli 2012, hlm. A3. 198
“Sudah diputuskan bahwa baju kotak-kotak maupun batik itu bukan alat peraga dan boleh dipakai,  tapi  kenyataannya  masih  banyak  yang  melarang.”  Hidayat  Nur  Wahid
[V2.23.b.D] Konteks:  Hidayat  menjelaskan  masalah  pelarangan  pemakaian  baju  kotak-kotak  dan  batik
Jawa Pos, 12 Juli 2012, hlm. 11. 199
“Program  pertama  kami  adalah  menyejahterakan  warga,  juga  terkait  dengan  pasar. Selama ini ada masalah sewa kios yang mahal. Ke depan, masalah ini  tidak boleh terjadi lagi.
Tidak  boleh pedagang  lama  dipinggirkan.  Pedagang  harus  dinomorsatukan.”  Hidayat
Nurwahid [I1.38.a.D] Konteks:  Hidayat  Nurwahid  memaparkan  rencana  pembangunan  pasar  dan  kesejahteraan
pedagang Kompas, 27 Juni 2012, hlm. 26.
200 “Kami  memang  tidak  boleh  kalah  cepat.”  Kahfi  Siregar,  Ketua  Media  Center  Fauzi-
Nachrowi [II2.56.b.D] Konteks:  Kahfi  Siregar  meminta  dukungan  dari  partai  lain  dalam  menghadapi  putaran  kedua
Koran Tempo, 14 Juli 2012, hlm. A2. 201
“Gubernur itu tidak boleh angkat staf ahli untuk menjadi juru bicara, misalnya. Bisa kena periksa Konteks:
BPK karena uang APBD tidak boleh untuk itu.” Fauzi Bowo [
III3.3.b.D
] Konteks:  Fauzi  Bowo  berkomitmen  menjalankan  tugasnya  sebagai  Gubernur  DKI  Jakarta.
Republika, 4 Agustus 2012, hlm. 3.
Berdasarkan data tuturan yang ada, tuturan dengan penanda modalitas izin umumnya berisi pernyataan berupa pendapat sehingga seringkali dikategorikan netral
dari  segi  sopan  santun,  seperti  data  tuturan  194  s.d.  201.  Jenis  tindak  tutur  dari contoh-contoh  tersebut  adalah  kolaboratif  dengan  bermacam-macam  ilokusi
representatif.  Kecuali  itu,  di  dalam  jenis  tindak  tutur  kompetitif  dan  konfliktif, penggunaan  modalitas  izin  justru  mempertegas  tingkat  ketidaksantunan  tuturan,
seperti  contoh  tuturan  218  yang  tergolong  tindak  tutur  kompetitif  dengan  ilokusi direktif mengkritik.
4.3 Pembahasan Temuan
4.3.1 Jenis Tindak Tutur
Jenis  tindak  tutur  dalam  kategori  Leech  terkait  erat  dengan  empat  fungsi, yaitu    fungsi  kompetitif,  fungsi  konvival,  fungsi  kolaboratif,  dan  fungsi  konfliktif
1983:104;  Oka,  1993:161-166;  Subagyo  dalam  Suwarno,  2000:171 –174. Keempat
fungsi  tindak  tutur  ini  selanjutnya  dikaitkan  dengan  lima  kategori  ilokusi  menurut Searle  1985  di  mana  Leech  menegaskan  bahwa  di  dalam  kelima  jenis  ilokusi
tersebut  terkandung  fungsi  atau  tujuan  tertentu.  Dengan  kata  lain,  fungsi  dan  tujuan