Penanda Lingual Kesantunan Tuturan

santun yang mengandung fungsi kompetitif, selanjutnya tingkat kesantunan santun yang mengandung fungsi konvivial, dan terakhir tingkat kesantunan lebih tidak santun yang mengandung fungsi konfliktif.

4.2.3 Penanda Lingual Kesantunan Tuturan

Penanda lingual kesantunan adalah segala hal atau unsur yang berkaitan dengan masalah bahasa yang dapat memengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Santun tidaknya bahasa tidak terlepas dari konteks pemakaian bahasa dan terikat pada aspek linguistik dan pragmatik dari tuturan Pranowo, 2009:90; Rahardi, 2005:118. Selain penanda lingual kesantunan, ada juga penanda nonlingual atau penanda nonkebahasaan, yaitu faktor-faktor ekstralingual atau hal-hal di luar kebahasaan yang turut menentukan santun tidaknya suatu tuturan yang terikat pada konteks tuturan tersebut Pranowo, 2009:95. Dalam praktik berkomunikasi, penanda lingual dan nonlingual kesantunan berbahasa memang tidak dapat dipisahkan. Ketika berkomunikasi atau bertutur, penanda lingual dan nonlingual itu serentak ada dan menjadi bagian penting untuk menentukan santun tidaknya tuturan secara pragmatik. Sesuai dengan batasan penelitian ini, penanda lingual kesantunan saja yang akan dicermati dari data tuturan yang ada. Penanda-penanda lingual kesantunan yang ditemukan dari data tuturan calon gubernur, calon wakil gubernur, dan pendukung dan diuraikan secara khusus dalam penelitian ini, yaitu 1 diksi atau pilihan kosa kata, 2 penggunaan gaya bahasa, 3 pemakaian pronomina, dan 4 penggunaan modalitas. Penggunaan penanda-penanda lingual ini diuraikan juga sesuai dengan konteks fungsi dan jenis tindak tutur sehingga aspek kesantunan tindak tutur tersebut dapat diperjelas. 4.2.3.1 Diksi Diksi atau pilihan kata mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan dan bagaimana kata-kata itu secara tepat dan cocok mengungkapkan nuansa makna gagasan secara keseluruhan sesuai dengan situasi dan konteks antara penutur dan mitra tutur. Berdasarkan data tuturan yang ada, diksi seringkali dipakai untuk mempertegas apakah maksud tuturan itu santun atau tidak santun sesuai jenis tindak tutur yang dipakai dan mengandung fungsi atau tujuan tertentu di dalam bertutur. Meskipun demikian, sangat mungkin terjadi bahwa pilihan kata santun dipakai juga pada jenis tindak tutur yang mengandung fungsi kompetitif dan konfliktif, atau sebaliknya pilihan kata yang tidak atau kurang santun dipakai pada jenis tindak tutur yang mengandung fungsi konvivial dan netral. Diksi atau pilihan kata yang dipakai di dalam jenis tindak tutur konvivial yang mengandung tingkat kesantunan santun dan jenis tindak tutur kolaboratif dengan tingkat kesantunan netral dapat dicermati pada contoh tuturan 139 s.d. 144 berikut. 139 “Sugeng rawuh Mas Jokowi, terima kasih.” Hidayat Nur Wahid. [V2.18.a.A] Konteks: Hidayat Nur Wahid menyambut silaturahim Jokowi di markasnya Jawa Pos, 12 Juli 2012, hlm. 11. 140 “Dengan doa kiai, semoga Allah memberikan kemudahan, saat pemilukada berlangsung hingga terpilih dan menjalankan tugas sehari- hari.” Nono Sampono. [III1.60.a.A] Konteks: Nono Sampono berkunjung ke Kiai Alawy Muhammad di pondok pesantren At- Thoroqi, Karongan, Sampang. Republika, 23 Juni 2012, hlm. 2. 141 “Ini silaturahmi dengan Ustad Dayat, kita sama-sama dari Solo.” Jokowi [V2.17.b.A] Konteks: Joko Widodo menerangkan kunjungannya ke markas pemenangan tim Hidayat-Didik Jawa Pos, 12 Juli 2012, hlm. 1. 142 “Pak Wali pancen oke, top markotop. Tetapi kalau menang, jangan melupakan Pasar Gede, ya.” Surati, pedangan ayam di Pasar Gede, Solo [V2.37.a.A] Konteks: Surati, warga Solo, menanggapi kemenangan pasangan Jokowi-Ahok pada penghitungan cepat. Jawa Pos, 12 Juli 2012, hlm. 11 . 143 “Pentingnya menjaga stabilitas Jakarta adalah karena kita harus menjaga kepercayaan pihak penanam modal yang menanamkan modalnya di Jakarta.” Fauzi Bowo [IV1.5.b.A] Konteks: Fauzi Bowo memberikan pendapat tentang keamanan Jakarta dalam debat para calon gubernur yang disiarkan Metro TV. Media Indonesia, 3 Juni 2012, hlm. 5. 144 “Kaum Tionghoa adalah bagian dari kami karena kami lahir dan besar di Jakarta.” Nachrowi Ramli [IV1.12.a.A] Konteks: Nachrowi Ramli menyambut dukungan dari Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia. Media Indonesia, 7 Juni 2012, hlm. 9. Tuturan 139 termasuk tindak tutur konvivial dengan ilokusi ekspresif mengucapkan salam dan terima kasih. Pilihan kata pada tuturan 139 sangat santun, yaitu Sugeng rawuh, Mas, dan terima kasih. Ungkapan sugeng rawuh bahasa Jawa, artinya selamat datang dan Mas bahasa Jawa, artinya kakak atau saudara laki-laki dipakai oleh penutur untuk menerima mitra tutur. Tuturan dengan pilihan kata seperti ini hanya dipakai oleh orang yang saling mengenal dan akrab. Jokowi dan Hidayat Nur Wahid sama-sama orang Jawa dan berasal dari Solo serta memiliki pengalaman politik yang sama ketika berada di kota Solo. Demikian pun pilihan kata terima kasih, biasanya dalam tata krama berbahasa Jawa merupakan kelanjutan dari ucapan selamat datang. Ekspresi selamat datang dan terima kasih serta sapaan kakak dalam budaya Jawa mengandung kesopanan yang tinggi. Dengan tuturan ini, penutur menempatkan dirinya sederajat atau sama dengan mitra tuturnya mengandung skala kesekawanan. Tuturan 140 disampaikan penutur yang bermaksud mengucapkan terima kasih. Tindakan berterima kasih diutarakan secara tidak langsung karena alasan penghormatan dan keharmonisan penutur dan mitra tutur. Dalam skala ketaklangsungan tuturan, tuturan dikategorikan santun atau lebih santun bila maksud tuturan disampaikan secara tak langsung. Pada tuturan 140, penutur tidak memakai penanda lingual kata atau frasa yang merujuk pada makna „terima kasih‟, tetapi proposisi Dengan doa kiai , semoga Allah… tanpa disertai nama pribadi yang merujuk pada pribadi Kiai Alawy Muhammad. Pilihan kata semoga merupakan bentuk imperatif harapan sebagai tanda kerendahan hati penutur di hadapan mitra tuturnya. Pada tuturan 141 terdapat diksi silaturahmi yang mengandung arti kunjung-mengunjungi dalam konteks persaudaraan atau kekeluargaan. Kata sapaan Ustad Dayat oleh penutur juga mengindikasikan diksi santun untuk menyapa dengan hormat pribadi yang kompeten di bidang keagamaan Islam guru agama Islam. Hidayat Nur Wahid memang tergolong Kiyai dan guru agama sehingga harus disapa demikian dengan penuh kehormatan. Pada tuturan 142, penutur menggunakan tuturan bahasa iklan pancen oye, top markotop, yang dalam bahasa keseharian diksi tersebut mengekspresikan pujian dan hormat terhadap pribadi yang memang memiliki kemampuan khusus bagi orang lain. Dengan tuturan 143, khususnya diksi menjaga stabilitas, penutur bermaksud menyatakan pendapatnya tentang bagaimana membangun kota Jakarta. Diksi menjaga stabilitas merupakan penghalusan eufemisme dari kata “menjaga keamanan” atau “menjaga ketertiban”. Pilihan kata kaum Tionghoa dan bagian dari kami di dalam tuturan 144 sudah cukup jelas mengindikasikan bahwa diksi tersebut sangat santun untuk konteks tuturan fungsi konvivial dengan ilokusi meneguhkan tersebut. Selain diksi atau pilihan kata yang santun, terdapat juga diksi yang tidak santun, atau bahkan lebih tidak santun. Pilihan kata seperti ini sering muncul di dalam jenis tindak tutur kompetitif dan konfliktif. Contoh-contoh diksi yang tidak santun dapat dicermati pada tuturan 145 s.d. 149 berikut. 145 “Kalau begini caranya, tim sukses dan pasangan calon akan menyetop semua tahapan Pemilukada DKI.” M. Taufik, juru bicara tim sukses Jokowi-Basuki. [III1.1.d.A] Konteks: M.Taufik menganggap penetapan DPT oleh KPU masih bermasalah. Tim suksesnya mengancam akan mundur dalam pilkada DKI Republika, 4 Juni 2012, hlm. 9. 146 “Kalau tidak bersih, lima pasangan calon akan boikot.” M. Taufik, juru bicara tim Jokowi-Basuki. [ III1.21.d.B] Konteks: M.Taufik meminta KPU meyelesaikan masalah DPT. Republika, 6 Juni 2012, hlm. 9 . 147 “Menurut saya, keputusan DKPP itu banci.” Hendardji Soepandji [V2.10.c.A] Konteks: Hendardji Soepandji mengomentari DPT yang masih menjadi masalah serius dalam pilkada DKI Jakarta meskipun KPUD akhirnya merevisi DPT. Jawa Pos, 10 Juli 2012, hlm. 11. 148 “Sekarang lu nyolok siapa? Kalo nyolok Jokowi, mending mah bangun di Solo aja.” Fauzi Bowo [IV3.19.c.A] Konteks: Fauzi Bowo memberi komentar di hadapan korban kebakaran beberapa ibu di Tengsin, Jakarta Utara. Pernyataan ini disiarkan di situs Youtube. Media Indonesia, 10 Agustus 2012, hlm. 6. 149 “Tidak diduga ya. Foke bisa dibikin keok Pak Jokowi. Pak Jokowi memang jago dan sangat didukung media yang selama ini setia membesarkan kepemimpinannya atas Solo.” seorang warga Surakarta di salah satu warung [IV2.32.d.A] Konteks: Seorang warga Surakarta menanggapi keunggulan sementara pasangan Jokowi-Ahok. Media Indonesia, 12 Juli 2012, hlm. 7. Tuturan 145 s.d 147 memiliki konteks yang sama, yaitu terkait dengan masalah penetapan DPT oleh KPUD. Di dalam tuturan tersebut, terdapat diksi yang tidak santun. Tuturan 145 dan 146 adalah tindak tutur konfliktif dengan ilokusi ekspresif mengancam, dan tuturan 147 adalah tindak tutur kompetitif dengan ilokusi mengkritik. Tindakan mengancam jelas terlihat pada pilihan kata disertai modalitas, yakni akan menyetop dan akan boikot. Kata menyetop pada tuturan 145 memiliki arti menyuruh berhenti atau menghentikan. Kata boikot pada tuturan 146 memiliki arti menolak untuk bekerja sama. Pemakaian kata menyetop dan boikot disertai modalitas akan pada kedua fungsi tuturan tersebut secara langsung mengandung daya pengaruh pada isi tuturannya, yakni mengancam kelangsungan sesuatu sehingga pilihan kata tersebut dipersepsi tidak santun. Pilihan kata banci pada tuturan 147 sangat kasar. Kata banci dipakai sebagai lawan dari makna tegas, berani, dan jantan. Tuturan 148 adalah tindak tutur kompetitif dengan ilokusi direktif menyindir. Penutur menyampaikan maksud sindirannya dalam konteks peristiwa kebakaran di Tengsin. Alih-alih bersimpati kepada korban kebakaran, penutur Fauzi Bowo justru mengeluarkan tuturan menyindir dengan diksi yang bernuansa kasar, yakni lu nyolok siapa. Diksi lu Betawi: Anda, Saudara untuk menyebut mitra tutur mengindikasikan dominasi penutur atas mitra tutur sehingga dipersepsi merendahkan atau melecehkan mitra tutur. Jadi, tidak ada penghormatan terhadap mitra tutur dalam konteks situasi komunikasi tersebut. Pada tuturan 149, penutur bermaksud meremehkan. Diksi keok bermakna kalah. Tuturan tersebut disampaikan seorang warga kota Surakarta, pendukung Jokowi. Seharusnya, seseorang berstatus sosial lebih rendah bertutur lebih santun di dalam tuturannya atau terhadap mitra tutur. Dengan demikian, tuturan 149 dipersepsi sangat tidak santun karena mengandung fungsi bertentangan dengan tujuan sosial atau konfliktif. 4.2.3.2 Gaya Bahasa Gaya bahasa sering dipakai penutur dengan maksud tertentu ketika berkomunikasi. Ada gaya bahasa yang dipakai dengan tujuan agar apa yang disampaikannya itu tidak membuat lawan bicaranya malu atau kehilangan muka dan tersinggung, tetapi ada pula pemakaian gaya bahasa dengan tujuan agar apa yang dituturkannya membuat mitra tuturnya malu atau kehilangan muka. Gaya bahasa akan secara jelas terwujud dalam bentuk majas-majas, seperti perbandingan, pertentangan, dan pertautan dengan pelbagai ragamnya. Gaya bahasa dapat muncul pada berbagai jenis tindak tutur, seperti tingak tutur konvivial, kolaboratif, kompetitif, dan konfliktif. Dalam pembahasan ini, diberikan contoh-contoh gaya bahasa dalam dua kategori jenis tindak tutur, yaitu pada jenis tindak tutur konvivial dan kolaboratif dengan tingkat kesantunan santun dan netral dan pada jenis tindak tutur kompetitif dan konfliktif dengan tingkat kesantunan tidak santun dan lebih tidak santun. Gaya bahasa yang dipakai di dalam jenis tindak tutur konvivial dan kolaboratif yang mengandung tingkat kesantunan santun dan netral dapat dicermati pada contoh-contoh 150 s.d. 156 berikut. 150 “Apabila Foke-Nara terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI, PPP akan mengawal mereka dalam melaksanakan pembangunan agar komitmennya dalam membangun Jakarta dapat lebih dirasakan masyarakat.” Suryadharma Ali, Ketua Umum PPP. [IV3.2.a.A] Konteks: Suryadharma Ali menyatakan secara resmi bahwa PPP mendukung pasangan Foke- Nara untuk pilkada pada putaran kedua. Media Indonesia, 3 Agustus 2012, hlm. 7. 151 “Bagi PPP, sosok Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli memiliki kapasitas untuk membangun Jakarta menjadi lebih baik lagi.” Suryadharma Ali, Ketua Umum DPP PPP [I2.65.a.B] Konteks: Suryadharma Ali menyatakan dukungannya kepada pasangan Foke-Nara Kompas, 21 Juli 2012, hlm. 26. 152 “Jakarta merupakan pintu gerbang dan simbol Indonesia bagi dunia internasional.” Firman Jaya Daeli, Ketua DPP PDI-P, pendukung pasangan Jokowi-Basuki [I2.16.b.B] Konteks: Firman Jaya menyatakan kesiapan PDI-P mendukung Jokowi-Basuki Kompas, 6 Juli 2012, hlm. 1. 153 “Suara rakyat adalah suara Golkar. Karena itu, kami akan mengikuti suara rakyat Jakarta dan suara rakyat Jakarta mengarah kepada pasangan Jokowi dan Ahok.” Zaenuddin, Sekjen DPD Partai Golkar Jakarta [V2.56.b.B] Konteks: Zaenuddin menanggapi kemenangan pasangan Jokowi-Ahok berdasarkan penghitungan cepat dan menjelaskan posisi Golkar untuk sementara. Jawa Pos, 13 Juli 2012, hlm. 11. 154 “Bahkan, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang sedang kuat-kuatnya, Golkar kalah di Jakarta.” Hajriyanto Thohari, Ketua DPP Partai Golkar [V2.59.b.B] Konteks: Ferdi Semaun menerangkan perjuangan relawan Jokowi-Ahok menargetkan raih 80 suara pada putaran kedua. Media Indonesia, 22 Juli 2012, hlm. 4. 155 “Ini bukan sekadar basa-basi, melainkan ini upaya setulus hati untuk memperbaiki lingkungan di Jakarta, khususnya Ciliwung menjadi lebih bersih, hija u, dan tertata.” Hidayat Nur Wahid [ III1.24.b.B] Konteks: Hidayat Nur Wahid mengomentari kondisi kawasan Sungai Ciliwung dan menemukan timbunan sampah. Republika, 6 Juni 2012, hlm. 9. 156 “Tidak benar tudingan bahwa PKS mendukung Foke karena akan mendapatkan beberapa kursi kepala dinas.” Mahfudz Siddiq, Wakil Sekjen DPP PKS [ III3.32.b.B ] Konteks: Mahfudz Siddiq menjelaskan alasan PKS mendukung pasangan Foke-Nara daripada pasangan Jokowi. Republika, 30 Agustus 2012, hlm. 3. Pada tuturan 150 dan 151 terdapat gaya bahasa sinekdoke pars pro toto, yaitu penggunaan kata PPP sebagai lembaga partai yang menggantikan keseluruhan anggotanya. Dalam tuturan tersebut, penutur mempertegas peran lembaga yang menghimpun banyak orang sebagai satu kesatuan. Dengan menyebut PPP, penutur, dalam hal ini Suryadharma Ali – Ketua Umum PPP, tidak terbebani tanggung jawab sebagai pendapat pribadi, tetapi mewakili suara atau komitmen keseluruhan partai sebab PPP mengacu kepada lembaga partai yang merepresentasi semua pengurus, anggota, simpatisan, dan pendukung. Kedua tuturan ini dipersepsi santun karena bermaksud meneguhkan dan tergolong jenis tindak tutur konvivial yang mengandung fungsi menyenangkan secara sosial. Gaya bahasa metafora terdapat pada tuturan 152 dan 153. Metafora adalah gaya bahasa perbandingan langsung. Hal ini dapat dicermati pada bagian tuturan Jakarta merupakan pintu gerbang dan Suara rakyat adalah suara Golkar. Keseluruhan tuturan 154 mengandung gaya bahasa paradoks, dan juga ironi. Dikatakan bergaya bahasa paradoks, karena mengandung pertentangan yang nyata di dalam proposisi tuturan kalimat tuturan, yakni Bahkan, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang sedang kuat-kuatnya, Golkar kalah di Jakarta; disebut bergaya bahasa ironi karena konteks tuturannya adalah tanggapan atas kemenangan pasangan yang didukung PDI Perjuangan di satu pihak, sementara pasangan Golkar kalah telak. Dalam kesantunan berbahasa, prinsip ironi bertujuan merugikan atau menyudutkan orang lain. Di dalam ironi terdapat sopan santun yang tidak tulus sebagai pengganti sikap tidak sopan. Hal ini semakin jelas dari tuturan 154, sebab penutur adalah tokoh Golkar. Tuturan 155 mengandung gaya bahasa hiperbola, terutama bagian proposisi tuturan Ini bukan sekadar basa-basi … . Gaya bahasa hiperbola mengandung suatu pernyataan yang berlebihan. Tuturan dengan gaya bahasa hiperbola sesuai dengan konteks tersebut mengandung sopan santun karena penutur bertanggung jawab terhadap kebenaran isi tuturannya. Pada tuturan 156 terdapat gaya bahasa metonomia, yaitu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Kata kursi pada tuturan 156 dan sesuai dengan konteks tuturan tersebut merupakan metonomia untuk kedudukan, jabatan, atau kekuasaan. Penggunaan gaya bahasa di dalam jenis tindak tutur kompetitif dan konfliktif yang mengandung tingkat kesantunan tidak santun dan lebih tidak santun dapat dicermati pada contoh-contoh 157 s.d. 164 berikut. 157 “KPUD tampaknya menjerat dirinya sendiri dengan lingkaran masalah DPT. Entah ini di sengaja atau tidak, namun kenyataannya demikian.” Hidayat Nur Wahid. [V2.8.c.B] Konteks: Hidayat Nur Wahid mengomentari DPT yang masih menjadi masalah serius dalam pilkada DKI Jakarta meskipun KPUD akhirnya merevisi DPT. Jawa Pos, 10 Juli 2012, hlm. 11. 158 “Kita tidak mau pemilukada ini berjalan dengan cacat.” Prya Ramadhani, Ketua Tim Sukses Alex-Nono. [ III1.5.b.B] Konteks: Prya Ramadhani menganggap penetapan DPT oleh KPU masih bermasalah. Tim suksesnya mengancam akan mundur dalam pilkada DKI Republika, 4 Juni 2012, hlm. 9. 159 “Ini tamparan buat Golkar.” Yorrys Raweyai, Ketua DPP Partai Golkar [II2.46.c.B] Konteks: Yorrys Raweyai mengakui kubu Partai Golkar tak solid mendukung Alex-Nono. Koran Tempo, 13 Juli 2012, hlm. A3. 160 “Jangan libatkan kami dalam keputusan karena mencederai demokrasi yang sedang dibangun.” Fatahillah Ramli, anggota tim sukses Alex-Nono. [II2.16.c.B] Konteks: Fatahillah Ramli menolak rapat pleno KPU DKI Jakarta yang memutuskan penghapusan 21.344 dari total 6.983.692 daftar pemilih tetap. Koran Tempo, 10 Juli 2012, hlm. A4. 161 “Kasihan warga Jakarta, kasihan gubernur yang akan dipilih, kasihan demokrasi di Indonesia.” Hidayat Nur Wahid [III1.9.c.B] Konteks: Hidayat Nur Wahid mengomentari sikap KPU yang bersikukuh terhadap DPT, meskipun lima pasangan calon lainnya mempersoalkan DPT. Pasangan Fauzi Bowo menandantangani DPT tersebut. Republika, 5 Juni 2012, hlm. 9. 162 “Kalau kawasan sekitar sungai tidak dikelola dengan baik, kekumuhan juga akan terus berkembang. Itu paralel dengan kemiskinan yang juga terus berkembang.” Hendradji Soepandji [ III1.31.c.B] Konteks: Hendardji Soepandji memaparkan program terkait pembangungan atau normalisasi kawansan di sekitar bantaran sungai Republika, 7 Juni 2012, hlm. 9. 163 “Kalau tidak bersih, lima pasangan calon akan boikot.” M. Taufik, juru bicara tim Jokowi-Basuki [ III1.21.d.B] Konteks: M.Taufik meminta KPU meyelesaikan masalah DPT. Republika, 6 Juni 2012, hlm. 9. 164 “Ini bukti permasalahan Jakarta yang tidak pernah terselesaikan.” Hidayat Nur Wahid [ III1.22.d.B] Konteks: Hidayat Nur Wahid mengomentari kondisi kawasan Sungai Ciliwung dan menemukan timbunan sampah. Republika, 6 Juni 2012, hlm. 9. Tuturan 157, mengandung majas perbandingan, khususnya personifikasi. Sifat-sifat insani dilekatkan pada barang yang tak bernyawa dan ide abstrak disebut personifikasi. KPUD sebagai lembaga atau institusi dibandingkan sebagai manusia yang melakukan tindakan menjerat. Keseluruhan proposisi tuturan 157 merupakan gaya bahasa majas pertentangan ironi karena bermaksud mengkritik dan menyindir. Tuturan 158 juga menggunakan gaya bahasa perbandingan personifikasi, tetapi dalam nada tuturan yang tidak santun karena jenis tindak tutur itu adalah kompetitif dengan ilokusi mengkritik. Pemilukada dibandingkan dengan manusia yang berjalan dengan cacat. Tuturan 159 mengandung gaya bahasa hiperbola. Penutur bermaksud menyindir dengan kasar terkait dengan kekalahan pasangan Golkar dalam pemilukada DKI Jakarta. Dengan tuturan 160, penutur menghaluskan maksud tuturannya dengan pilihan kata mencederai. Bentuk penghalusan demikian disebut gaya bahasa eufemisme. Penutur menghindari pemakaian kata kasar karena secara intrinsik jenis fungsi tuturan itu adalah kompetitif dengan ilokusi melarang. Pada tuturan 161 terdapat gaya bahasa perulangan atau repitisi. Dengan perulangan kata kasihan … , penutur mempertegas maksud sindiran di dalam tuturannya tersebut. Dengan tuturan 162, penutur bermaksud mempertegas isi kritik dengan gaya bahasa hiperbola, yakni kekumuhan juga akan terus berkembang. Tuturan 162 sebenarnya juga mengandung gaya bahasa sinsime yang secara intrinsik mengandung tingkat kesantunan yang tidak santun. Pada tuturan 163, penutur menggunakan gaya bahasa eufemisme, yakni tidak bersih. Pilihan kata atau frasa tidak bersih mengacu pada pengertian: tidak jujur, tidak cermat, tidak teliti, tidak transparan terkait dengan konteks tuturan, yaitu mengenai masalah DPT. Penggunaan gaya bahasa eufemisme juga terdapat pada tuturan 164, yakni permasalahan. Dengan gaya bahasa eufemisme, penutur berusaha menggunakan ungkapan kata-kata yang bermakna baik positif agar menjamin sopan santun negatif sehingga mitra tutur tidak menjadi malu. 4.2.3.3 Pronomina Pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu kepada nomina lain Alwi, 2003:249. Pemakaian pronomina dalam berkomunikasi atau bertutur erat hubungannya dengan aspek budaya, terutama mengenai hubungan sosial antarmanusia. Usia, status sosial, dan keakraban menjadi ukuran dalam penggunaan kata pronomina berupa sapaan untuk menghormati orang lain mitra tutur. Oleh karena itu, dalam konteks tuturan tertentu, ada pronomina yang mengandung nuansa santun, tetapi pada konteks tuturan lain mungkin kurang santun atau lebih tidak santun. Hal ini dapat dicermati pada jenis fungsi tuturan dan ilokusi tuturan tersebut. Pemakaian pronomina dalam tindak tutur konvivial dan tindak tutur kolaboratif mengandung kesantunan yang santun dan netral, sedangkan dalam tindak tutur kompetitif dan tindak tutur konfliktif mengandung kesantunan yang tidak santun dan lebih tidak santun. Dalam jenis tindak tutur konvivial dan kolaboratif, penggunaan pronomina dapat dicermati pada contoh tuturan 165 s.d. 171 berikut. 165 “Karena itulah, saya percayakan anak muda Ahmad Reza Patria mendampingi saya guna memberikan semangat baru untuk perubahan Jakarta yang lebih baik.” Hendardji Soepandji [ III1.27.a.C] Konteks: Hendardji Soepandji berdiskusi dengan para mahasiswa di Universitas Al-Ahzar, dengan tema “Siapa Pemimpin yang Layak bagi Jakarta 1 ke Depan” Republika, 7 Juni 2012, hlm. 9. 166 “Saya dulu pernah mendukung beliau saat menjadi korwil Jateng-DIY.” Agus Purnomo, Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik DPP PKS [V2.66.b.C] Konteks : Agus Purnomo mengomentari kemenangan pasangan Jokowi-Ahok berdasarkan penghitungan cepat. Jawa Pos, 13 Juli 2012, hlm. 11. 167 “Ini lho, saya menelepon Pak Faisal Basri, delapan kali. Pak Fauzi juga, tapi gak nyambung.” Jokowi [V2.53.b.C] Konteks: Jokowi memberitahukan bahwa ia menjalin hubungan dengan kandidat lain. Jawa Pos, 13 Juli 2012, hlm. 11. 168 “Bukan kami punya prasangka. Tapi, kami memantau supaya pelaksanaan pilkada ini terjamin sesuai dengan aturan yang ada dan apa yang telah kita sepakati.” Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP [V2.3.b.C] Konteks: Megawati mengomentari DPT yang masih menjadi masalah serius dan banyak warga yang belum terdata dengan baik. Jawa Pos, 10 Juli 2012, hlm. 11. 169 “Saat ini kami masih melakukan evaluasi terhadap rendahnya raihan suara Alex-Nono.” Lulung Lunggana, Ketua DPW PPP [V2.62.b.C] Konteks: Lulung Lunggana menjelaskan sikap kubu PPP menanggapi kemenangan pasangan Jokowi-Ahok. Jawa Pos, 13 Juli 2012, hlm. 11. 170 “Mari kita bantu Panwaslu, mari kita bantu PPS untuk mengamankan suara warga, yang juga akan mengamankan kepentingan warga.” Faisal Basri [III2.27.a.C] Konteks: Faisal Basri mengomentari Pilkada DKI yang segera memasuki masa tenang. Republika, 9 Juli 2012, hlm. 9. 171 “Tentu, kita akan dukung pasangan yang paling mirip agenda perjuangannya dengan PKS.” Triwisaksana, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PKS Jakarta [ III3.12.b.C ] Konteks: Triwisaksana memberi keterangan perihal kunjungan Jokowi ke markas DPP PKS. Republika, 6 Agustus 2012, hlm.3. Penggunaan pronomina saya mengacu pada si penutur sendiri. Pada tuturan 165 s.d. 167, pronomina jelas merujuk pada diri penutur sehingga penutur bertanggung jawab atas kebenaran isi tuturannya tersebut. Hal ini dipertegas oleh jenis tindak tutur dari tuturan-tuturan tersebut yakni tindak tutur kolaboratif dengan ilokusi representatif, yaitu tindakan mempersilahkan 165, tindakan menginformasikan 166, dan tindakan menginformasikan 167. Pada tuturan 168 dan 169 digunakan pronomina kami. Penutur bermaksud bahwa tuturannya itu merepresentasi semua pihak yang mendukungnya. Karena jenis tindak tuturnya adalah kolaboratif, kedua tuturan itu dengan pronomina kami dipersepsi mengandung tingkat kesantunan yang netral. Jadi, tidak ada potensi mitra tutur kehilangan muka karena tuturan itu, demikian pun penutur sekadar bertanggung jawab sesuai dengan isi tuturannya tersebut. Pada tuturan 170 dan 171, terdapat pronomina kita. Pronomina kita mengacu kepada pronomina pertama jamak, yang berbicara bersama orang lain, termasuk yang diajak bicara. Dengan menggunakan pronomina kita, sesuai dengan konteks tuturannya, penutur jelas menghargai mitra tutur, bahkan menanggap mitra tutur sebagai yang sederajat. Hal ini cukup jelas bila ditinjau dari jenis tindak tutur dan fungsi tuturan, yakni tuturan 170 adalah tindak tutur konvivial dengan ilokusi ekspresif mengajak yang berfungsi menyenangkan secara sosial, dan tuturan 171 adalah tindak tutur kolaboratif dengan ilokusi representatif menginformasikan yang berfungsi bekerja sama secara sosial. Pada contoh-contoh berikut 172 s.d. 174, penggunaan pronomina justru tidak santun karena terikat pada jenis tindak tuturnya, yakni kompetitif dan konfliktif yang berfungsi bersaing dan bertentangan dengan tujuan sosial. 172 “Dia tahu apa tidak nomor telepon saya berapa? Jangan-jangan dinas pemadam kebakaran yang ditelepon.” Fauzi Bowo [IV2.43.c.C] Konteks: Fauzi Bowo menanggapi media tentang pernyataan Jokowi yang telah menghubunginya. Media Indonesia, 14 Juli 2012, hlm. 1. 173 “Kalau saya jadi Fauzi Bowo, maka saya akan menegur, bahkan memecat PNS yang tidak netral itu.” Muhammad Taufiq, tim sukses Jokowi-Ahok [III2.10.c.C] Konteks: Muhammad Taufik mengomentari tema netralistas PNS dalam diskusi “Menuju Pilkada DKI Jakarta yang Aman dan Demokratis” di Universitas Paramadina. Republika, 6 Juli 2012, hlm. 9. 174 “Kami tidak menunjuk pribadi gubernur.” Dadiek Surarto, tim pemenangan Hendardji- Reza [ III1.35.c.C] Konteks: Dadiek Surarto membantah tagline “Berkumis” mengacu kepada pasangan tertentu. Republika, 7 Juni 2012, hlm. 9. Pronomina dia pada tuturan 172 digunakan penutur dalam tindak tutur kompetitif. Sesuai dengan konteks tuturannya, penutur Fauzi Bowo menyebut Joko Widodo dengan dia sebagai wujud tindakan menyindir. Hal ini dipertegas lagi pada isi tuturan pada kalimat Jangan-jangan dinas pemadam kebakaran yang ditelepon. Tuturan demikan tergolong tindak tutur kompetitif dengan ilokusi direktif menyindir. Pada tuturan 173, penggunaan pronomina saya juga dipersepsi tidak santun. Dengan pernyataan kategoris Kalau saya…, penutur bermaksud menyindir Fauzi Bowo yang dinilai kurang menjaga netralitas terkait dengan sikap politik para PNS. Pada tuturan 174 terdapat pronomina kami yang mengacu kepada persona jamak meskipun dituturkan secara personal tunggal. Penggunaan pronomina kami sering dipakai untuk menghindari penutur dari tanggung jawab atas tuturannya. Jenis tindak tuturnya adalah kompetitif dengan ilokusi direktif menyangkal. Oleh karena itu, tuturan 174 dengan pronomina kami dipersepsi tidak santun berdasarkan jenis tindak tutur dan tujuan tuturan serta konteks tuturannya tersebut. 4.2.3.4 Modalitas Modalitas terkait dengan faktor pragmatik yang menunjukkan gerak dalam batin seseorang atau anggapan ketika menghadapi sesuatu baik di dalam maupun di luar dirinya. Mungkin orang merasa yakin dan mengiyakan; mungkin pula orang merasa sangsi dan memustahilkan, atau merasa berharap atau mengimbau. Cara-cara anggapan seperti inilah yang dapat disebut sebagai modalitas Sudiati, 1996:53. Jenis modalitas yang dapat muncul di dalam tuturan, yakni 1 kebenaran; 2 keharusan; 3 izin; dan 4 keinginan. Sesuai dengan temuan data, jenis modalitas yang diuraikan dalam penelitian ini hanya modalitas kebenaran, keharusan, dan izin. Modalitas keinginan secara implisit terdapat di dalam modalitas keharusan dan izin. 1 Modalitas Kebenaran Modalitas kebenaran atau kepastian menandakan sesuatu yang dibicarakan itu sudah jelas terjadi dan tidak boleh tidak; atau mengindikasikan dan menyatakan secara tidak langsung suatu komitmen pada kebenaran suatu proposisimakna yang diutarakan penutur, atau pada suatu prediksi tingkat kemungkinan dari deskripsi suatu kejadian yang terjadi. Penanda lingual modalitas kepastian misalnya adalah masih, pasti, mungkin, dan lain sebagainya. Tuturan 199 s.d. 208 adalah contoh penggunaan berbagai jenis modalitas kebenaran atau kepastian. 175 “Kami juga meyakini, pendukung atau tim relawan Jokowi-Basuki juga tidak pernah mengeluarkan hal demikian.” Boy Sadikin, ketua tim kampanye Jokowi-Basuki. [I3.9.a.D] Konteks: Boy Sadikin menanggapi adanya spanduk dukungan bertuliskan Jokowi Menang, Mega Presiden. Hal ini dibantahnya Kompas, 24 Agustus 2012, hlm. 15. 176 “Temuan itu membuat kami yakin ada pelanggaran hukum dalam penyusunan DPT.” Rois Handayani, Kordinator Advokasi Tim Kampanye Hidayat-Didik. [I1.2.d.D] Konteks: Rois Handayani bersama 5 tim pasangan calon lain menolak DPT yang dikeluarkan KPU yang terkesan amburadul. Timnya menemukan data 44.696 pemilih yang di antaranya bernama, bertanggal lahir, dan beralamat sama, tetapi berbeda NIK Kompas, 5 Juni 2012, hlm. 25. 177 “Saya yakin pendukung kami tidak mengharapkan politik uang.” Nachrowi Ramli [ III2.31.a.D] Konteks: Nachorwi Ramli mengharapkan pilkada DKI Jakarta berlangsung damai, dan warga memilih dengan hati nurani. Republika, 11 Juli 2012, hlm. 1. 178 “Kami masih percaya kepada keprofesionalan Panwaslu DKI dalam mengurus semua pelanggaran, termasuk kampanye hitam.” Marihot Napitupulu, juru bicara tim sukses Jokowi- Basuki [ III1.38.a.D] Konteks: Marihot Napitupulu mengomentari adanya kampanye hitam dan selebaran yang mendiskreditkan salah satu pasangan calon gubernur DKI Jakarta Republika, 9 Juni 2012. 179 “Yang pasti saya tidak punya pengalaman wakil saya minta cerai dan kemudian putus di tengah jalan. Saya juga tidak punya pengalaman dilaporkan ke KPK.” Hidayat Nur Wahid. [ III1.56.c.D] Konteks: Hidayat Nur Wahid mengomentari kepemimpinan Fauzi Bowo. Republika, 20 Juni 2012, hlm. 21. 180 “Salah satu anak saya, Selasa 117, masih belum menerima undangan dan baru menerima setelah ditanyakan. Yang jadi cermin persiapan pemilukada kali ini adalah di rumah saya sendiri masih ada masalah. Silakan dinilai sendiri.” Nono Sampono [III2.41.b.D] Konteks: Nono Sampono merasa tidak puas terhadap kinerja KPU DKI Jakarta perihal daftar pemilih tetap DPT dan adanya laporan 27 kasus pelanggaran oleh Indonesian Corruption Watch ICW. Republika, 12 Juli 2012, hlm. 9. 181 “Dana untuk itu semua sebenarnya sudah ada di anggaran pemerintah, yakni Rp 800 miliar untuk kesehatan dan Rp 1,4 triliun untuk pendidikan. Tapi masyarakat tidak merasakannya.” Jokowi. [I1.49.c.D] Konteks: Pernyataan Jokowi terkait dengan sosialisasi Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar Kompas, 29 Juni 2012, hlm. 26. 182 “Tidak ada korelasi.” Budi Siswanto, Sekretaris tim sukses Fauzi-Nachrowi [II2.71.b.D] Konteks: Budi Siswanto mengomentari kegagalan pasangan Fauzi-Nachrowi yang dinilai karena turunnya elektabilitas Partai Demokrat. Koran Tempo, 19 Juli 2012, hlm. A5. 183 “Jadi, kalau bicara soal keamanan, sudah tidak diragukan lagi, Pak Nono mencerminkan orang yang dapat diandalkan dalam memberikan keamanan.” Alex Noerdin [III2.20.a.D] Konteks: Alex Noerdin berkampanye tentang keamanan Jakarta di hadapan pendukungnya. Republika, 5 Juli 2012, hlm. 9. 184 “Tidak mungkin kita bisa berkumpul di Kelapa Gading ini jika tidak ada kedamaian dan ketenteraman batin.” Fauzi Bowo [IV3.18.a.D] Konteks: Fauzi Bowo bersilaturahim dengan para pendeta dari beberapa gereja di Gereja Bethel Indonesia Mawar Sharon, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Media Indonesia, 9 Agustus 2012, hlm. 7. Tuturan 175 s.d. 184 memakai modalitas kebenaran, seperti tidak pernah, yakin, yakin ada, masih, masih belum, pasti, sudah ada, tidak ada, sudah tidak, dan tidak mungkin. Dengan pilihan modalitas kebenaran penutur mengindikasikan atau menyatakan secara tidak langsung suatu komitmen pada kebenaran dari suatu proposisi dan makna yang diutarakannya, atau pada suatu prediksi tingkat kemungkinan dari deskripsi suatu kejadian yang terjadi. Skala kebenaran dari modalitas pada tuturan-tuturan tersebut disertai predikasi ada dan kata ingkar tidak yang secara gramatikal mempertegas isi kebenaran tuturan. Tingkat kepastian modalitas di dalam setiap tuturan juga semakin jelas terlihat dalam keseluruhan proposisi kalimat tuturan sesuai dengan jenis tindak tutur dan konteks tuturannya. Kehadiran modalitas kepastian atau kebenaran di dalam setiap tuturan mempertegas tingkat kesantunan tuturan sesuai jenis tindak tutur yang diwujudkan. Pada jenis tindak tutur konvivial dan kolaboratif, modalitas kepastian mempertegas persepsi santun dan netral dari tuturan, sedangkan pada jenis tindak tutur kompetitif dan konfliktif, modalitas kepastian mempertegas persepsi tidak santun dan lebih tidak santun dari tuturan. 2 Modalitas Keharusan Modalitas keharusan atau kewajiban biasanya ditandai dengan penggunaan kata-kata seperti: harus, wajib, seharusnya, atau bentuk negasi tidak harus, tidak wajib, tidak seharusnya. Dengan modalitas keharusan, penutur menetapkan bahwa sesuatu yang diutarakan atau maksud tuturannya seharusnya atau tidak seharusnya terjadi atau dilakukan oleh mitra tutur. Hal ini dapat dicermati melalui contoh-contoh tuturan 185 s.d. 193 berikut. 185 “Harus tenang dan sabar.” Taufiq Kiemas, Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan [ III2.48.a.D] Konteks: Taufik Kiemas mengomentari keunggulan Jokowi-Ahok dalam hasil hitung cepat. Republika, 12 Juli 2012, hlm. 9. 186 “Kita harus bersikap bijaksana dan tenang karena sejarah membuktikan bahwa pada saatnya orang yang benar yang akan menang.” Boy Sadikin, ketua tim sukses Jokowi-Ahok [IV2.51.a.D] Konteks: Boy Sadikin menanggapi tuduhan kubu Jokowi-Ahok menjalankan politik uang. Media Indonesia, 16 Juli 2012, hlm. 7. 187 “Persoalan macam ini sebaiknya diselesaikan musyawarah saja sebab tidak ada peraturannya.” Jali Simbolon, Tim sukses Faisal-Biem [IV1.3.b.D] Konteks: Jali Simbolon menanggapi persoalan tagline iklan „berkumis‟ anatara kubu Foke-Nara dan Hendardji-Riza Media Indonesia, 1 Juni 2012, hlm. 7. 188 “Untuk mengatasinya harus diperiksa secara bersama-sama, bukan diributkan teknisnya.” Basuki Cahaya Purnama. [IV1.11.c.D] Konteks: Basuki Cahaya Purnama menanggapi kisruh DPT. Media Indonesia, 7 Juni 2012, hlm. 9. 189 “Setiap calon kan harus membuat program kerja yang operasional. Bagaimana bisa membuat program kalau untuk masuk ke dalam saja tidak boleh. Hidayat Nurwahid [IV2.21.c.D] Konteks: Hidayat Nur Wahid mengomentari tindakan Panwaslu yang menghalau mereka dari Kecamatan Kembangan di hutan kota Srengseng. Media Indonesia, 6 Juli 2012, hlm. 6. 190 “Harus ada sosialisasi pentingnya pilkada. Ini untuk menentukan DKI lima tahun ke depan. Golput harus sadar bahwa mereka akan rugi.” Jokowi [II2.73.c.D] Konteks: Jokowi meminta KPU melakukan sosialisasi secara intensif demi mengurangi angka golput. Koran Tempo, 22 Juli 2012, hlm. A3. 191 “Pemanfaatan APBD yang ada harus semaksimal mungkin dan harus untuk hal-hal yang berguna buat rakyat kebanyakan.” Alex Noerdin [IV1.4.c.D] Konteks: Alex Noerdin memberikan pendapat tentang APBD dalam debat para calon gubernur yang disiarkan Metro TV. Media Indonesia, 3 Juni 2012, hlm. 5. 192 “Saya dan tim kampanye, bersama tim calon pasangan gubernur dan wakil gubernur lainnya, masih melakukan penyisiran data. Sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas database penduduk DKI Jakarta, sudah seharusnya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil D KI Jakarta bertanggung jawab.” Didik J Rachbini [IV1.9.c.D] Konteks: Didik Rachbini mempersalahkan pemerintah terkait kisruh DPT. Media Indonesia, 7 Juni 2012, hlm. 9. 193 “Semestinya pemprov merangkul wong cilik. Penundaan pemberlakukan perda pajak warteg tidak menyelesaikan masalah. Kalau saya jadi gubernur, akan saya cabut perda itu.” Hidayat Nurwahid [IV2.18.c.D] Konteks: Hidayat Nur Wahid berkampanye dengan mendatangi warung tegal warteg di Jalan Bangka Raya, Mampang, Jakarta Selatan. Media Indonesia, 4 Juli 2012, hlm. 7. Dalam konteks pertuturan, pemakaian modalitas keharusan berkaitan dengan jenis tindak tutur dengan tingkat kesantunan tidak santun dan lebih tidak santun. Artinya, pendengar atau mitra tutur menilai tuturan dengan penanda modalitas keharusan kurang atau tidak santun sebab mitra tutur tidak memiliki peluang untuk memilih alternatif lain. Dengan itu, mitra tutur berpotensi kehilangan muka di hadapan penutur, atau mitra tutur malu. Namun, ada juga penggunaan modalitas keharusan yang mendukung aspek santun, yaitu pada tindak tutur konvivial dengan ilokusi ekspresif mengajak dan tindak tutur kolaboratif dengan ilokusi representatif menyatakan, menyatakan pendapat, menjelaskan, dan sebagainya. Contoh tuturan 185 s.d. 187 tergolong tindak tutur konvivial dan kolaboratif, karena itu pemakaian modalitas keharusan di dalam tuturan itu mendukung tingkat kesantunan santun dan netral dari tuturan. Tuturan 188 s.d. 193, tergolong tindak tutur kompetitif, karena itu pemakaian modalitas keharusan mendukung tingkat kesantunan tidak santun tuturan. 3 Modalitas Izin Dengan modalitas izin, penutur mengindikasikan suatu persetujuan izin atau sebaliknya sesuai dengan maksud dan isi tuturannya terhadap mitra tutur. Penanda modalitas izin yaitu boleh, dapat, dan bisa. Tuturan 194 s.d. 201 perlu dicermati sebagai contoh penggunaan modalitas izin. 194 “Kami memberikan ini agar ICW bisa berani mengawasi korupsi pemilu kada, bisa menolak godaan, dan punya nyali. Supaya ICW jangan jadi „Indonesian Commentator Watch‟.” Hendardji Soepandji [IV1.20.c.D] Konteks: Hendardji Soepandji bertemu dengan ICW dan memberikan tiga cendera mata: „pil berani‟, „jamu tolak angin‟, dan „suntikan tambah nyali‟. Media Indonesia, 13 Juni 2012, hlm. 7. 195 “Kami menunggu upaya KPU membereskan DKPP. Tapi, apabila DPT tidak bisa clear, apa boleh buat kalau memang ditunda.” Marihot Napitupulu, tim sukses pasangan Jokowi- Basuki [ III2.30.b.D] Konteks: Marihot Napitupulu menilai DPT masih bermasalah meskipun KPU DKI Jakarta telah melakukan sosialisasi dan rapat pleno perubahan DPT bersama dengan tim sukses keenam pasangan. Republika, 10 Juli 2012, hlm. 9. 196 “Saya tidak bisa memastikan itu benar dari Fauzi Bowo atau tidak. Tapi, kalau ada orang yang meng-SMS atau orang minta ketemu, itu biasa. Saya tak bisa memastikan apakah mereka benar diutus atau tidak.” Hidayat Nur Wahid [III2.49.b.D] Konteks: Hidayat Nur Wahid mengaku ada yang menghubunginya pascapengumuman hasil penghitungan cepat berbagai lembaga. Republika, 14 Juli 2012, hlm.1. 197 “Pemerintah harus bisa menjawab tuntutan itu secara konkret, bukan dengan janji. Itu yang kami lakukan.” Fauzi Bowo [II2.87.b.D] Konteks: Fauzi Bowo berpidato di Masjid Jami Baitussalam, Kramat Jati, Jakarta Timur dalam safari Ramadan Koran Tempo, 27 Juli 2012, hlm. A3. 198 “Sudah diputuskan bahwa baju kotak-kotak maupun batik itu bukan alat peraga dan boleh dipakai, tapi kenyataannya masih banyak yang melarang.” Hidayat Nur Wahid [V2.23.b.D] Konteks: Hidayat menjelaskan masalah pelarangan pemakaian baju kotak-kotak dan batik Jawa Pos, 12 Juli 2012, hlm. 11. 199 “Program pertama kami adalah menyejahterakan warga, juga terkait dengan pasar. Selama ini ada masalah sewa kios yang mahal. Ke depan, masalah ini tidak boleh terjadi lagi. Tidak boleh pedagang lama dipinggirkan. Pedagang harus dinomorsatukan.” Hidayat Nurwahid [I1.38.a.D] Konteks: Hidayat Nurwahid memaparkan rencana pembangunan pasar dan kesejahteraan pedagang Kompas, 27 Juni 2012, hlm. 26. 200 “Kami memang tidak boleh kalah cepat.” Kahfi Siregar, Ketua Media Center Fauzi- Nachrowi [II2.56.b.D] Konteks: Kahfi Siregar meminta dukungan dari partai lain dalam menghadapi putaran kedua Koran Tempo, 14 Juli 2012, hlm. A2. 201 “Gubernur itu tidak boleh angkat staf ahli untuk menjadi juru bicara, misalnya. Bisa kena periksa Konteks: BPK karena uang APBD tidak boleh untuk itu.” Fauzi Bowo [ III3.3.b.D ] Konteks: Fauzi Bowo berkomitmen menjalankan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Republika, 4 Agustus 2012, hlm. 3. Berdasarkan data tuturan yang ada, tuturan dengan penanda modalitas izin umumnya berisi pernyataan berupa pendapat sehingga seringkali dikategorikan netral dari segi sopan santun, seperti data tuturan 194 s.d. 201. Jenis tindak tutur dari contoh-contoh tersebut adalah kolaboratif dengan bermacam-macam ilokusi representatif. Kecuali itu, di dalam jenis tindak tutur kompetitif dan konfliktif, penggunaan modalitas izin justru mempertegas tingkat ketidaksantunan tuturan, seperti contoh tuturan 218 yang tergolong tindak tutur kompetitif dengan ilokusi direktif mengkritik.

4.3 Pembahasan Temuan

4.3.1 Jenis Tindak Tutur

Jenis tindak tutur dalam kategori Leech terkait erat dengan empat fungsi, yaitu fungsi kompetitif, fungsi konvival, fungsi kolaboratif, dan fungsi konfliktif 1983:104; Oka, 1993:161-166; Subagyo dalam Suwarno, 2000:171 –174. Keempat fungsi tindak tutur ini selanjutnya dikaitkan dengan lima kategori ilokusi menurut Searle 1985 di mana Leech menegaskan bahwa di dalam kelima jenis ilokusi tersebut terkandung fungsi atau tujuan tertentu. Dengan kata lain, fungsi dan tujuan