berbahasa, yaitu Poedjosudarmo 1979 dan Pranowo 2009. Pemikiran para ahli tersebut tidak semuanya akan dicantum di dalam pembahasan landasan teori untuk
penelitian ini. Yang dibahas secara singkatdalam penelitian ini adalah pemikiran Geoffrey Leech dan Pranowo.
2.3.1.1 Teori Kesantunan Berbahasa Menurut Geoffrey Leech
Teori kesantunan berbahasa menurut Leech mencakup tiga hal, yaitu jenis tindak tutur yang mengandung sopan santun kesantunan, skala kesopanan tuturan,
dan prinsip kesopanan Baryadi, 2005:72-75; Subagyo, 2000:172-175; Pranowo, 2009:145-147. Teori kesantunan berbahasa ini dijelaskan Leech dalam bukunya
berjudul Principles of Pragmatics 1983, dan diterjemahkan oleh M.M.D. Oka ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Prinsip-prinsip Pragmatik 1993. Teori Leech
tentang prinsip-prinsip pragmatik berangkat dari kelemahan Prinsip Kerja Sama yang dikemukakan Gric
e 1975. Menurut Grice, ada empat maksim yang harus „dipatuhi‟ penutur dan mitra tutur ketika berkomunikasi, yaitu 1 maksim kuantitas, 2 maksim
kualitas, 3 maksim relevansi, dan 4 maksim pelaksanaan. Inilah yang disebut prinsip kerja sama. Namun, dalam kenyataannya, prinsip kerja sama seperti yang
dilontarkan Grice tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan, bahkan mungkin tidak dipatuhi atau harus dilanggar.
Dalam kajian Asim Gunarwan 1992:184, seandainya di dalam berkomunikasi tujuan kita adalah menyampaikan informasi semata-mata, strategi
yang paling baik untuk diambil adalah yang menjamin “kejelasan pragmatik”
pragmatic clarity. Maksim-maksim Grice harus dipatuhi, yakni menyangkut bentuk ujaran kita disusun sedemikian rupa sehingga benar-benar informatif, betul, relevan,
singkat, tidak samar-samar, dan tidak ambigu. Namun, pada kenyataannya bentuk ujaran seperti itu tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Selain menyampaikan amanat
informasi, kebutuhan dan tugas penutur adalah menjaga atau memelihara hubungan sosial penutur-pendengar. Bagian inilah, menurut Leech, yang menuntut
adanya prinsip kesantunan dalam komunikasi. Secara garis besar, teori kesantunan berbahasa menurut Leech mencakup
tiga hal, yaitu 1 jenis tindak tutur yang mengandung kesantunan, 2 skala kesantunan, dan 3 prinsip kesantunan Baryadi, 2000:72-75. Istilah kesantunan
berbahasa di sini dapat disejajarkan dengan pengeritan “sopan santun berbahasa” dalam uraian Baryadi, yaitu tata krama berbahasa politeness atau etiket berbahasa
language etiquette. Sopan santun berbahasa merupakan sikap hormat penutur kepada mitra tutur yang diwujudkan dalam tuturan yang sopan dan tuturan yang
sopan dilahirkan dari sikap yang hormat pula. a.
Jenis Tindak Tutur yang Mengandung Sopan Santun Dalam uraian terdahulu tentang tindak tutur, telah dijelaskan bahwa Leech
memaparkan empat jenis tindak tutur atau ilokusi. Pertama, tindak tutur kompetitif adalah tindak tutur yang bersaing dengan tujuan sosial, misalnya
memerintah, meminta, menuntut, dan mengemis. Kedua, tindak tutur konvival adalah tindak tutur yang sejalan dengan tujuan sosial, misalnya menawarkan,
mengajak atau mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, dan
mengucapkan selamat. Ketiga, tindak tutur kolaboratif adalah tindak tutur yang tidak menghiraukan tujuan sosial, misalnya menyatakan, melaporkan,
mengumumkan, dan mengajarkan. Keempat, tindak tutur konfliktif adalah tindak tutur yang bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya mengancam,
menuduh, menyumpahi, memarahi. Menurut Leech, jenis tindak tutur yang melibatkan sopan santun adalah
tindak tutur kompetitif dan tindak tutur konvivial. Pada tindak tutur kompetitif, sopan santun mempunyai sifat negatif dan tujuannya adalah
mengurangi ketidakharmonisan yang tersirat dalam kompetisi antara apa yang dicapai oleh penutur dengan apa yang dituntut oleh sopan santun. Pada tindak
tutur konvivial, sopan santun lebih positif bentuknya dan bertujuan mencari kesempatan untuk beramah tamah. Tindak tutur kolaboratif tidak melibatkan
sopan santun karena tindak tutur tersebut bertujuan untuk menyampaikan sesuatu secara objektif. Tindak tutur konfliktif sama sekali tidak melibatkan
sopan santun. Tindak tutur konfliktif bersifat marginal dan tidak memegang peranan penting dalam komunikasi.
Bagan fungsi tindak tutur, tujuan tindak tutur, dan contoh tindak tutur yang terjadi dalam komunikasi berdasarkan pendapat Leech dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 5. Fungsi, Tujuan, dan Jenis Tindak Tutur
No Fungsi
Tindak Tutur
Tujuan Tindak Tutur Aspek Tata Krama
Jenis Tindak Tutur Aspek Kesantunan
1 Kompetitif
bersaing Bersaing
dengan tujuan
sosial memerintah, meminta, menuntut,
mengemis 2
Konvivial menyenangkan
Sejalan dengan tujuan sosial menawarkan bantuan, mengajak,
mengundang, menyapa,
mengucapkan terima
kasih, mengucapkan selamat
3 Kolaboratif bekerja
sama Tidak menghiraukan tujuan
sosial menyatakan,
melapor, mengumumkan, mengajarkan
4 Konfliktif
bertentangan Bertentangan dengan tujuan
sosial mengancam,
menuduh, menyumpahi, memarahi
Berdasarkan penjelasan Leech ini, Subagyo 2000: loc.cit. mengurutkan skala tingkat kesopanan keempat ilokusi tersebut sebagai berikut.
Jenis tindak tutur Tingkat kesopanan
konvivial sopan
kolaboratif netral
kompetitif tidak sopan
konfliktif lebih tidak sopan.
Dari perspektif lain, Baryadi 2012:31-34 menjelaskan bahwa tindak tutur dapat merepresentasikan kekuasaan, khususnya praktik dominasi. Bertolak dari
pemikiran Leech tentang fungsi-fungsi tindak tutur di atas, Baryadi menerangkan bahwa keempat jenis tindak tutur tersebut terdapat kadar kekuatan dominasi yang
berbeda. Dimulai dari tindak tutur konfliktif yang paling kuat kadar dominasinya, kemudian tindak tutur kompetitif, tindak tutur kolaboratif, dan tindak tutur konvivial
yang paling lemah kadar dominasinya. Berikut gambaran tingkat kekuatan dominasi sebagari praktik dominasi dari keempat tuturan tersebut.
Jenis tindak tutur Kadar kekuatan dominasi
tindak tutur konvivial dominasi kuat
tindak tutur kolaboratif tindak tutur kompetitif
tindak tutur konfliktif dominasi lemah.
Dengan pemikiran ini, Baryadi 2012, seperti halnya hasil penelitian Subagyo 2000 di atas, memberikan gambaran tentang tingkat kesopanan dari tuturan-tuturan
tersebut.
Jenis tindak tutur Tingkat kesopanan
tindak tutur konvivial kesopanan tinggi
tindak tutur kolaboratif tindak tutur kompetitif
tindak tutur konfliktif kesopanan rendah
Gambar di atas menjelaskan bahwa kadar kekuatan dominasi suatu tindak tutur berbanding terbalik dengan tingkat kesopanan suatu tindak tutur. Semakin tinggi
kekuatan dominasi suatu tindak tutur semakin rendah tingkat kesopanannya, semakin rendah kekuatan dominasi suatu tindak tutur semakin tinggi tingkat kesopanannya.
Dengan demikian, tindak tutur konvivial tingkat kesopanannya paling tinggi, kemudian tindak tutur kolaboratif, tindak tutut kompetitif, dan tindak tutur konfliktif
kesopanannya paling rendah. b.
Skala Kesopanan Tuturan Kesopanan memiliki rentangan skala yang menunjukkan sopan atau tidak
sopannya santun atau tidak santunnya tuturan. Leech dalam Oka, 1993:194-
200 menyebut rentangan skala ini sebagai skala pragmatik. Ada lima skala kesopanan yang dikemukakan Leech, yaitu
a Skala untung rugi the cost-benefit scale
Skala untung rugi berkenaan dengan besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada penutur dan
mitra tutur. Apabila sebuah tuturan semakin merugikan penutur dan semakin menguntungkan mitra tutur, tuturan tersebut semakin tinggi
derajat kesopanannya. Sebaliknya, apabila sebuah tuturan semakin menguntungkan penutur dan semakin merugikan mitra tutur, tuturan
tersebut semakin rendah derajat kesopanannya. b
Skala pilihan the optionality scale Skala pilihan berkenaan dengan banyak sedikitnya pilihan yang
disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Apabila sebuah tuturan semakin banyak memberikan pilihan kepada mitra
tutur, tuturan itu memiliki derajat kesopanan yang tinggi. Sebaliknya, apabila sebuah tuturan semakin kecil memberikan pilihan kepada mitra
tutur, tuturan tersebut memiliki derajat kesopanan yang rendah. c
Skala ketaklangsungan indirectness scale Skala
ketaklangsungan berkenaan
dengan langsung
tidaknya pengungkapan maksud dalam tuturan. Skala ini berkaitan dengan panjang
pendeknya jalan yang menghubungkan tindak ilokusi dengan tujuan ilokusi. Apabila sebuah tuturan semakin tak langsung mengungkapkan
maksud penutur kepada mitra tutur, semakin tinggilah derajat kesopanan tuturan itu. Apabila sebuah tuturan semakin langsung mengungkapkan
maksud penutur kepada mitra tutur, semakin rendahlah derajat kesopanan tuturan itu.
d Skala keotoritasan authority scale
Skala keotoritasan berkenaan dengan derajat otoritas penutur kepada mitra tutur. Semakin rendah otoritas penutur terhadap mitra tutur, semakin
tinggilah derajat kesopanan tuturan. Sebaliknya, semakin tinggi otoritas penutur terhadap mitra tutur, semakin rendahlah derajat kesopanan
tuturannya. e
Skala jarak sosial social distance scale Skala jarak sosial berkenan dengan jauh dekatnya hubungan sosial antara
penutur dengan mitra tutur. Semakin jauh jarak sosial antara penutur dengan mitra tutur, semakin tinggilah derajat kesopanan tuturannya.
Semakin dekat jarak sosial antara penutur dengan mitra tutur, semakin rendahlah derajat kesopanan tuturannya.
Selain Leech, ada ahli lain yang memberikan gambaran tentang skala kesantunan, yaitu Brown dan Levinson 1987 dan Robin Lakoff 1973.
Brown dan Levinson menyebutkan tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala itu ditentukan secara
kontekstual, sosial, dan kultural yang selengkapnya mencakup skala-skala berikut: 1 skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, 2
skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur, dan 3 skala peringkat tindak tutur. Robin Lakoff memaparkan tiga ketentuan untuk dapat
dipenuhinya kesantunan di dalam kegiatan bertutur, yaitu 1 skala formalitas, 2 skala ketidaktegasan, dan 3 skala kesamaan atau kesekawanan.
c. Prinsip Kesopanan
Kesopanan atau kesantunan tuturan menjadi prinsip hubungan komunikasi antarpribadi. Leech telah menjelaskan mengapa tuturan berbentuk tak
langsung bersifat sopan atau santun daripada tuturan yang berbentuk langsung. Di sini, penutur biasanya menggunakan implikatur, yaitu apa yang
tersirat dalam suatu ujaran, atau apa yang dikomunikasikan penutur kepada mitra tutur Pranowo, 2009:102. Oleh karena itu, Leech memberikan enam
prinsip kesantunan tuturan yang disebutnya sebagai maxim yang di dalamnya mengandung dua kaidah berpasanganGunarwan, 1992:187; Bariyadi,
2000:74-75; Pranowo, 2009:103. Prinsip kesantunan Leech ini dianggap dapat menerangkan kesantunan berbahasa dalam situasi yang lain, bukan
berbahasa dalam interaksi bersemuka saja. Pemahaman tentang maksim- maksim kesantunan Leech didasarkan pada pengertiannya tentang diri dan
pihak lain yang berada dalam situasi tutur. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Maksim timbang rasa
a Minimalkan biaya kepada pihak lain
b Maksimalkan keuntungan kepada pihak lain
2. Maksim kemurahan hati
a Minimalkan keuntungan pada diri
b Maksimalkan keuntungan pada pihak lain
3. Maksim pujian
a Minimalkan penjelekan terhadap pihak lain
b Maksimalkan pujian kepada pihak lain
4. Maksim kerendahan hati
a Minimalkan pujian kepada diri
b Maksimalkan penjelekan terhada diri
5. Maksim kesetujuan
a Minimalkan ketidaksetujuan antara diri dan pihak lain
b Maksimalkan kesetujuan antara diri dan pihak lain
6. Maksim simpati
a Minimalkan antipati antara diri dan pihak lain
b Maksimalkan simpati antara diri dan pihak lain
2.3.1.2 Teori Kesantunan Berbahasa Menurut Pranowo