19
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini memaparkan lima hal, yaitu 1 penelitian yang relevan, 2 teori tindak tutur, 3 teori kesantunan, 4 penanda lingual kesantunan, dan 5 kerangka
berpikir.
2.1 Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang tindak tutur dan kesantunan berbahasa memang telah cukup banyak dilakukan. Meskipun demikian, kajian pada penelitian-penelitian
tersebut sangat beragam sesuai dengan permasalahan dan sumber data yang dianalisis. Ada empat penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, yaitu
penelitian Asim Gunarwan 1992 dan 1994, penelitian P.Ari Subagyo 2000, penelitian Ventianus Sarwoyo 2009, dan penelitian Edy Jauhari 2009. Penelitian
mereka terkait dengan tindak tutur dan kesantunan berbahasa. Berikut ini adalah paparan ringkas penelitian-penelitian relevan tersebut.
Asim Gunarwan menulis kajian tentang kesantunan berbahasa. Dua penelitian pentingnya termuat dalam buku kajian linguistik, yaitu Pellba 5 dan Pellba
7. Penelitian Asim Gunarwan 1992 yang termuat dalam Pellba 5 berjudul “Persepsi
Kesantunan Direktif di Dalam Bahasa Indonesia di Antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta”. Penelitian ini ingin menjawab bagaimana persepsi sopan-santun bahasa
penutur-penutur bahasa Indonesia dalam penggunaan tindak ujaran direktif. Secara
khusus yang coba dijawab adalah 1 bagaimana hierarki kesantunan sejumlah bentuk-bentuk ujaran yang dapat dipakai untuk menyatakan tindak ujaran direktif
itu; 2 apakah ada korelasi di antara ketaklangsungan dan kesantunan berbahasa, seperti yang dicanangkan oleh Brown dan Levinson 1978; 3 apakah ada
perbedaan-perbedaan persepsi sopan santun penggunaan direktif di antara beberapa suku bangsa di Indonesia; dan 4 apakah ada perbedaan persepsi sopan-santun
penggunaan direktif itu di antara tiga kelompok usia -25, 25-50, dan 50+. Dari penelitian ini, Gunarwan berkesimpulan bahwa
a Secara umum, bagi semua responden, hierarki kesantunan bentuk-bentuk
ujaran yang dipakai untuk menyatakan direktif tidak sama dengan hierarki kesantunan yang dipositkan atau dipakai di dalam proyek penelitian Cross-
Cultural Speech Act Realization Patterns. Yang dipakai di dalam proyek itu mempunyai hierarki menurut derajat ketaklangsungan: MI-Pf-PB-PKh-PKi-
FS-Pt-IK-IH. Yang ditemukan di dalam penelitian ini adalah: MI-PKh-IH-IK- PKi-Pf-PB-Pt-FS.
b Hasil penelitian ini mengisyaratkan bahwa memang ada kesejajaran di antara
ketaklangsungan tindak ujaran direktif dan kesantunan pemakaiannya. Hanya saja, kesejajaran itu tidak selamanya berlaku.
c Hierarki kesantunan direktif bagi para responden mempunyai varian-varian di
antara kelompok-kelompok sosial yang dibedakan satu dari yang lain menurut kesukuan, kenis kelamin, dan kelompok usia.
d Perbedaan persepsi kesantunan direktif di antara kelompok-kelompok etnik
Jawa, Sunda , Minang, dan Batak di Jakarta kecil saja. Perbedaan “yang kecil”
ini mengisyaratkan adanya kecenderungan penyatuan norma-norma kebudayaan Jawa, Sunda, Minang, dan Batak di daerah Jakarta.
Penelitian yang kedua dari Asim Gunarwan 1994 termuat dalam Pellba 7 berjudul
“Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik
”.Dari penelitian ini, Gunarwan memberikan kesimpulan: a
Hierarki kesantunan direktif bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ternyata pada dasarnya sama. Hal ini mengisyaratkan bahwa para subjek penelitian ini
menggunakan satu norma kebudayaan di dalam menilai kesantunan bentuk- bentuk ujaran direktif di dalam kedua bahasa tersebut. Para dwibahasawan
bahasa Indonesia-bahasa Jawa itu adalah dwibahasawan yang monokultural, atau situasi kedwibahasaan di kalangan masyarakat tutur Jawa di Jakarta itu
dapat dikatakan sebagai bilingualisme tanpa bikulturalisme. b
Tidak ada perbedaan penilaian kesantunan direktif bahasa Jawa menurut variabel kelompok umur. Dari temuan ini diperoleh dua hal, pertama, derajat
kesamaan kedua hierarki kesantunan bahasa Jawa menurut kelompok umur ternyata lebih kecil daripada derajat kesamaan yang bahasa Indonesia; dan
kedua, kesamaan kedua hierarki kesantunan direktif bahasa Jawa itu mengandung paradoks.
c Ketaklangsungan tindak ujaran tidak sejajar dengan kesantunan, seperti yang
terlihat dari adanya perbedaan di antara hierarki penelitian dan hierarkis teoretis.
Temuan-temuan Asim Gunarwan melalui dua penelitiannya ini berguna sebagai panduan memahami dan menganalisis jenis tindak tutur, tingkat kesantunan
tuturan, dan penanda lingual kesantunan sesuai topik penelitian ini. Gunarwan memberikan gambaran dasar tentang beberapa teori tindak tutur dan teori kesantunan
berbahasa dengan merujuk pada pemikiran ahli pragmatik, seperti Brown dan Levinson 1978 dan Geoffrey Leech 1983.
Penelitian P.Ari Subagyo 2000 terfokus pada masalah wacana surat kabar, khususnya wacana pojok yang terdapat dalam berbagai surat kabar di Indonesia.
Penelitiannya berjudul Wacana Pojok: Cara Mengkritik Khas Surat Kabar Indonesia dimuat dalam buku Sejarah dan Bahasa dalam Membangun Integrasi Bangsa
Menuju Milenium Ketiga. Penelitian ini menganalisis sejauh mana wacana pojok dalam beberapa surat kabar di Indonesia memberikan kritik berupa sentilan sambil
lalu. Subagyo menemukan bahwa betapapun tidak terlalu diacuhkan, pojok tetap memerankan diri sebagai jendela yang menyalurkan hasrat mengkritik lewat surat
kabar. Ada dua pertanyaan pokok dalam penelitian ini, yaitu 1 apakah kolomwacana pojok itu dan 2 mengapa kritik yang dilontarkan lewat
kolomwacana pojok tidak mengganggu “keselamatan” surat kabar pemuatnya? Wacana pojok yang diteliti terdapat dalam beberapa Surat Kabar Harian
SKH di Indonesia. Wacana pojok tersebut merupakan gejala kebahasaan yang
terdiri atas dua subbagian ISI, yakni KUTIPAN BERITA dan SENTILAN. Kutipan berita dan sentilan ini membentuk wacana yang mirip dengan sebuah dialog
sederhana. Kolom pojok atau wacana pojok merupakan rubrik khas pada surat-surat kabar di Indonesia, made in
Indonesia, “buatan asli Indonesia” Assegaff, 1991:134 dan Naomi, 1996:288 dalam Subagyo, 2000:168-169. Dengan berdasar pada kaca
mata pragmatik, khususnya teori tindak tutur Searle dan Leech, Subagyo menegaskan bahwa menyentil atau mengkritik dalam wacana pojok merupakan tindak ilokusi.
Temuan Subagyo menggambarkan bahwa wacana pojok selama bulan Agustus 1997 dalam sebelas surat kabar harian SKH berupa data 728 pasang kutipan berita-
sentilan menunjukkan fakta berikut.
Tabel 1. Jenis Ilokusi dalam11 SKH bulan Agustus 1997
Jenis Ilokusi Jumlah
Persentase
Konfliktif 476
65,39 Kompetitif
167 22,94
Konvivial 71
9,75 Konvivial-Kompetitif
11 1,51
Konvivial-Konfliktif 3
0,41
Temuan tersebut menunjukkan bahwa kolomwacana pojok pada masa Orde Baru sebenarnya memang kritis. Sekalipun demikian, ada pula yang cenderung
mencari aman sehingga sama sekali tidak kritis. Ketidakkritisan itu menjadi pertanyaan peneliti dan ditemukan tiga jawaban, yaitu pertama, ketidakkritisan itu
karena wacana pokok tersebut terkesan tidak serius; kedua, wacana pojok tidak berterus terang; dan ketiga, wacana pojok bernuansa humor.
Hubungan antara penelitian Subagyo dan penelitian ini ialah bahwa jika Subagyo menggunakan teori fungsi tindak tutur Leech untuk membahas wacana
pojok pada surat kabar harian di Indonesia periode Agustus 1997, penelitian ini akan menggunakan teori fungsi tindak tutur Leech untuk menganalisis jenis-jenis tindak
tutur dari tuturan calon gubernur, calon wakil gubernur, dan para pendukung dalam berita pemilukada Provinsi DKI Jakarta di dalam beberapa surat kabar nasional
periode Juni sampai Agustus 2012. Penelitian ini akan terfokus pada wacana berita yang memuat lebih banyak tuturan langsung daripada wacana pojok yang berisi
sentilan berupa dialog sederhana. Penelitian tentang tindak tutur ilokusi dan penanda kesantunan dibuat oleh
Ventianus Sarwoyo 2009 dalam skripsinya berjudul Tindak Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan di Dalam Surat Kabar. Dengan data dari berita surat
kabar nasional, Sarwoyo menemukan: 1 ada empat jenis tindak ilokusi tuturan dalam surat kabar, yaitu tindak ilokusi direktif, komisif, representatif, dan ekspresif.
Pengungkapan keempat tindak ilokusi tersebut terwujud dalam tiga bentuk tuturan, yaitu tuturan imperatif, deklaratif, dan interogatif; dan 2 ada enam penanda tingkat
kesantunan di dalam surat kabar, yaitu analogi, diksi atau pilihan kata, gaya bahasa, penggunaan keterangan atau kata modalitas, penyebutan subjek yang menjadi tujuan
tuturan, dan bentuk tuturan. Penelitian Sarwoyo ini memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu
dalam hal sumber data yaitu tindak tutur dalam surat kabar. Sarwoyo memfokuskan pada tindak tutur yang terdapat dalam surat kabar secara umum, sedangkan penelitian
ini berkaitan dengan topik khusus, yaitu jenis-jenis tindak tutur dari tuturan calon gubernur dan wakil gubernur dan para pendukung dalam berita pemilihan umum
kepala daerah Provinsi DKI Jakarta tahun 2012. Dalam kaitannya dengan penanda tingkat kesantunan, penelitian Sarwoyo dan penelitian ini memiliki kesamaan yaitu
mendeskripsikan jenis-jenis penanda lingual kesantunaan yang terdapat dalam setiap tuturan langsung sebagai datanya.
Penelitian Edy Jauhari tentang tindak tutur dalam kampanye pemilihan presiden tahun 2009 menggunakan pendekatan tindak tutur. Penelitiannya berjudul
“Wacana Politik dalam Kampanye Pilpres 2009: Kajian Tindak Tutur”. Di dalam penelitiannya ini, berbagai statemen dan slogan politik dianalisis untuk memperoleh
gambaran tentang: a tindak tutur yang terdapat dalam statemen-statemen politik dari kubu JK-Wiranto, baik dalam bentuk iklan, slogan, maupun statemen politik yang
lain, baik yang diungkapkan oleh capres-cawapres JK-Wiranto sendiri maupun oleh tim sukses dan pendukung-pendukung; b strategi-strategi atau modus-modus yang
digunakan untuk mengekspresikan tindak tutur-tindak tutur tersebut; dan c implikatur daya pragmatik dari statemen-statemen politik atau slogan-slogan politik
yang dikemukakan kubu JK-Wiranto kepada publik atau masyarakat luas. Jauhari menemukan bahwa 1 di dalam masa kampanye, kubu pasangan JK-Wiranto juga
pasangan yang lain melakukan berbagai aktivitas bertutur yang berupa statemen, jargon, ataupun slogan politik untuk merebut hati rakyat dan 2 tindakan bertutur
yang menonjol yang dikembangkan kubu JK-Wiranto dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu a komisif, b direktif, dan c ekspresif.
Penelitian Jauhari dan penelitian ini menggunakan pendekatan teori tindak tutur. Jauhari menggunakan teori tindak tutur Searle 1975 yang mengklasifikasikan
tindak ilokusi menjadi lima macam, yaitu representatif, direktif, komisif, deklarasi, dan ekspresif untuk menganalisis statemen dan slogan politik selama masa pilpres
2009, sedangkan penelitian ini memakai teori tindak tutur Leech, khususnya tentang fungsi tindak tutur, untuk menjelaskan berbagai jenis tindak tutur, tingkat kesantunan
tuturan, dan penanda lingual kesantunan tuturan para calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2012dan para pendukungyang terdapat di dalam berita
beberapa surat kabar nasional.
2.2 Teori Tindak Tutur