Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

Bab pendahuluan ini berisi tujuh hal, yaitu: 1 latar belakang masalah, 2 rumusan masalah, 3 tujuan penelitian, 4 manfaat penelitian, 5 definisi istilah, 6 ruang lingkup penelitian, dan 7 sistematika penyajian.

1.1 Latar Belakang Masalah

Media massa saat ini telah menjadi salah satu kekuatan yang menopang demokrasi suatu bangsa. Hal itu tercermin melalui perannya dalam komunikasi antara berbagai elemen masyarakat. Pemberitaan media massa merupakan bentuk komunikasi yang paling efektif untuk memengaruhi publik pembaca atau masyarakat. Salah satu topik utama pemberitaan media massa, misalnya media cetak, adalah peristiwa politik. Aktivitas media massa cetak dalam pemberitaan peristiwa politik turut memberi andil pada perkembangan politik secara signifikan. Media massa menjadi sumber informasi politik sekaligus menjadi faktor pendorong terjadinya perubahan politik. Peristiwa politik yang cukup populer pada kurun waktu bulan Juni sampai dengan Agustus 2012 adalah Pemilihan Umum Kepala Daerah Pemilukada Provinsi Daerah Khusus Ibukota DKI Jakarta. Ada enam pasangan calon yang maju dan hendak dipilih oleh warga Provinsi DKI Jakarta, yaitu sesuai nomor urut 1 Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli, 2 Hendradji Sepandji-Ahmad Riza Patria, 3 Joko Widodo- Basuki Tjahaja Purnama, 4 Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini, 5 Faisal Batubara-Biem Benjamin, dan 6 Alex Noerdin-Nono Sampono Republika, Senin, 25 Juni 2011:21. Pasangan calon ini diusung baik oleh partai-partai politik maupun jalur independen. Selama masa persiapan pemilihan kampanye sampai dengan pemilihan putaran pertama dan penghitungan suara, setiap pasangan calon mengkomunikasikan visi dan misi pembangunannya kepada warga pemilih di daerah Provinsi DKI Jakarta. Bentuk komunikasi itu terjadi secara verbal langsung oleh tiap pasangan calon dan tidak langsung, misalnya melalui spanduk, iklan, baliho, dan siaran media massa. Dari berbagai bentuk komunikasi itu, melalui bahasalah tiap pasangan calon menyampaikan visi dan misinya. Dari berita media massa, bentuk tuturan langsung banyak dijumpai. Hal ini dapat kita lihat pada contoh berikut. 1 “Dana besar ini harusnya dikelola dengan baik. APBD yang besar seharusnya pembangunan fisik dan nonfisik bisa terlihat .” Joko Widodo, dalam Republika, Senin, 25 Juni 2012, hlm. 21. Konteks tuturan: Tuturan ini disampaikan oleh salah satu calon gubernur DKI, Joko Widodo, yang diusung oleh PDI-P dalam pemaparan visi-misinya membangun Jakarta pada kampanye hari pertama. 2 “Ke depan, faktor komunikasi dengan rakyat ini akan menjadi salah satu perhatian utama kami untuk makin diperbaiki.” Fauzi Bowo, dalam Republika, Senin, 25 Juni 2012, hlm. 21. Konteks tuturan: Tuturan ini disampaikan oleh salah satu calon gubernur DKI, Fauzi Bowo, yang diusung oleh Partai Demokrat, dalam pemaparan visi-misinya membangun Jakarta pada kampanye hari pertama. Fauzi Bowo adalah calon petahana incumbent. 3 “Kepemimpinan Foke lemah karena tidak bisa mengordinasikan wakilnya Prajanto sehingga ingin mengundurkan diri.” Nono Sampono, Republika, 20 Juni 2012, hlm. 21. Konteks tuturan: Tuturan ini disampaikan salah seorang calon wakil guburnur, Nono Sampono, yang berpasangan dengan Alex Noerdin terkait kinerja kerja gubernur Fauzi Bowo bersama wakilnya, Prijanto. 4 “Kami hanya meminta KPU mempertanggungjawabkan kejanggalan yang muncul dalam DPT.” Tosca Santosa, manajer kampanye Faisal-Biem, Koran Tempo, 6 Juni 2012, hlm. A4 Konteks tuturannya: Tuturan ini disampaikan terkait dengan daftar pemilih tetap DPT yang masih dianggap bermasalah. Karena itu masalah DPT ini dibawa ke ranah hukum oleh beberapa tim sukses pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Tuturan 1 dan 2 adalah contoh tuturan dua calon gubernur DKI Jakarta, yaitu Joko Widodo dan Fauzi Bowo pada saat kampanye hari pertama pemilukada, Minggu, 24 Juni 2012 Republika, Senin, 25 Juni 2012:21. Tuturan 1 dan 2 adalah paparan rencana para kandidat membangun DKI Jakarta. Tuturan Joko Widodo bermaksud menyampaikan informasi bahwa dana APBD besar, tetapi tidak dikelola dengan baik oleh gubernur Fauzi Bowo APBD. Tuturan 1 dalam kategori Searle dalam Leech 1983:106; Oka, 1993:164-165 adalah jenis ilokusi ekspresif karena fungsi tuturan ini mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan tersirat dalam ilokusi. Tuturan ini dapat dikategorikan jenis „menuduh‟ secara halus yang secara intrinsik kurang santun. Fungsi atau tujuan tuturan yang demikian menurut Leech bersifat konfliktif atau bertentangan dengan tujuan sosial. Dengan demikian, tuturan 1 memiliki tujuan konfliktif, disampaikan dalam ilokusi ekspresif, dan bermaksud menuduh. Tuturan seperti ini dapat dipersepsi tidak santun lebih tidak sopan. Penggunaan modalitas harusnya dan seharusnya dalam kalimat tuturan tersebut juga dipersepsi tidak santun. Tuturan 2 disampaikan Fauzi Bowo adalah tuturan menyatakan janji sebagai bentuk tanggung jawabnya selaku gubernur yang masih memimpin dan berharap akan dipilih lagi oleh warga DKI Jakarta. Tuturan yang bermaksud „berjanji‟ secara pragmatik adalah tindak tutur ilokusioner, yaitu tuturan komisif karena penutur sedikit banyak terikat pada suatu tindakan di masa depan, yaitu „menjanjikan‟. Hal ini dapat dilihat pada penanda keterangan waktu ke depan dan akan yang disertai frasa tindakan makin diperbaiki. Tujuan tuturan demikian menurut Leech menyenangkan konvivial sehingga dapat dipersepsi sebagai tuturan yang santun sopan. Tuturan 3 bersifat menuduh langsung pada pribadi tertentu. Tuturan ini memiliki tujuan konfliktif, disampaikan dalam ilokusi ekspresif, dan bermaksud menuduh. Tuturan seperti ini dapat dipersepsi lebih tidak santun lebih tidak sopan. Denominalisasi kata kerja memimpin menjadi kata benda kepemimpinan pada struktur kalimat Kepemimpinan Foke yang lemah …menunjukkan tekanan informasi yang disampaikan penutur difokuskan pada kualitas kepemimpinan pribadi Foke. Tuturan 4 menggunakan rumusan kalimat deklaratif permintaan demi menghindari tuturan yang bersifat perintah imperatif. Hal ini ditandai dengan kalimat Kami meminta KPU…. Tuturan ini memiliki tujuan kompetitif atau bersaing secara sosial dan disampaikan dalam bentuk tuturan direktif, yaitu meminta. Jenis ilokusi seperti ini dipersepsi tidak sopan, yaitu kesopanan negatif karena tujuan- tujuan kompetitif pada dasarnya memang tidak bertatakrama. Contoh-contoh tersebut di atas menunjukkan bahwa setiap bentuk pemakaian bahasa menggambarkan maksud atau tujuan tertentu dari pemakai bahasa yang terikat konteks. Pemakaian bahasa yang terikat konteks inilah yang disebut tuturan atau tindak tutur atau tindak ujar. Dalam bidang ilmu bahasa masalah tindak tutur ini dikaji oleh pragmatik Gunarwan, 1994:81-84. Bahasa atau tuturan yang disampaikan para tokoh politik itu, yang diberitakan melalui media massa, menjadi salah satu contoh objek kajian bidang pragmatik. Oleh karena itu, pelbagai jenis tuturan langsung yang terdapat di dalam wacana berita surat kabar dapat dijadikan objek kajian pragmatik danatau sosiopragmatik. Setiap tuturan tidak semata-mata mengandung maksud, tetapi terutama tujuan atau fungsi tertentu. Pragmatik dapat dikatakan menunjuk pada aktivitas- aktivitas kebahasaan yang berorientasi pada tujuan, bukan maksud. Pragmatik itu merupakan tindakan-tindakan yang beroritensi pada tujuan Rahardi, 2011:163. Terkait dengan kajian pragmatik dalam bidang tindak tutur, Leech 1983:104; Oka, 1993:161-166; Subagyo dalam Suwarno, 2000:171 –174 menyebutkan empat fungsi tuturan ilokusi, yaitu berupa ilokusi kompetitif, ilokusi konvival, ilokusi kolaboratif, dan ilokusi konfliktif. Lebih lanjut, Leech juga membandingkan fungsi ilokusi ini sesuai dengan kategori tindak tutur Searle. Kelima kategori tindak tutur Searle, yaitu representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi, mengandung di dalamnya fungsi-fungsi ilokutif tersebut. Selain jenis-jenis tindak tutur, hal yang penting untuk dikaji dari tuturan para calon gubernur dan wakil gubernur serta para pendukung adalah kesantunan berbahasa atau kesantunan tuturan. Tingkat kesantunan tuturan semakin jelas ditunjukkan dalam penggunaan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan Rahardi, 2005:125; penggunaan kosakatadiksi dan tata bahasa Fairlclough dalam Eriyanto, 2006:285; Fairclough dalam Widharyanto, 2000; Fowler, dkk. dalam Eriyanto, 2006:133-134; penggunaan gaya bahasa, seperti metafora, hiperbola, litotes, eufemisme, ironi Leech, 1983 dalam Oka, 1993, penggunaan modalitas Fowler, 1986; 1991 dalam Widharyanto, 2000; Sudiati, 1996:53, dan penggunaan analogi dan pronomina Pranowo, 2009. Contoh-contoh tuturan berikut menunjukkan penggunaan penanda lingual kesantunan. 5 “PNS jangan coba-coba mencari muka di pemilukada ini dengan mendukung salah satu calon.” Nono Sampono, Republika, 14 Juni 2012, hlm. 18 Konteks tuturannya: Tuturan ini disampaikan Nono Sampono terkait dengan masalah ketidaknetralan PNS dalam mendukung pasangan calon. Ketidaknetralan ini dianggap mencederai demokrasi. 6 “Hindari cara memilih kucing di dalam karung , pilih calon gubernur yang punya kumis seperti saya, karena yang berkumis punya nyali untuk memimpin.” Ongen Sangaji, Ketua DPD Partai Hanura DKI Jakarta, Media Indonesia, 28 Juni 2012, hlm. 7. Konteks tuturannya: Tuturan ini disampaikan Ongen Sengaji, Ketua DPD Partai Hanura yang mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur 7 “Semoga hubungan ini terus membawa hoki.” Hidayat Nur Wahid, Republika, 11 Juni 2012, hlm. 21 Konteks tuturannya: Tuturan ini disampaikan Hidayat Nur Wahid dalam kesempatan sosialisasinya di komunitas Tionghoa. Pada tuturan 5 tampak penggunaan imperatif larangan secara eksplisit yang ditandai dengan penggunaan kata jangan. Penggunaan kata jangan berarti melarang seseorang melakukan sesuatu, atau meminta memerintah seseorang tidak melakukan sesuatu. Dengan melarang atau memerintah, penutur sesungguhnya tidak memberikan peluang kepada mitra tutur untuk memilih alternatif yang lain, karena itu tuturan tersebut potensial mengakibatkan penutur kehilangan muka. Tuturan 5 dipersepsi tidak santun dengan penanda lingual kesantunan pada diksi jangan sebagai bentuk imperatif larangan. Tindak tutur demikian berujuan kompetitif atau tidak menyenangkan, dan dikategorikan dalam ilokusi direktif, yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan mitra tutur. Selain penggunaan diksi jangan, dalam tuturan 5 terdapat pemakaian gaya bahasa eufemisme pada frasa mencari muka. Eufemisme adalah gaya bahasa berupa ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan langsung yang mungkin dirasakan menghina. Mencari muka berarti ingin mendapatkan perhatian lebih dari orang lain yang memiliki pengaruh. Tuturan 6 secara sturktural disampaikan dalam bentuk imperatif pasif. Jenis tuturan ini banyak digunakan dalam bahasa komunikasi sehari-hari. Bentuk imperatif pasif mengurangi kadar suruhan di dalam tuturan tersebut. Pemakaian imperatif pasif bermaksud untuk penyelamatan muka yang melibatkan muka si penutur dan muka diri si mitra tutur. Struktur formal kalimat pasif imperatif pasif pada tuturan 6 merupakan contoh yang menunjukkan penada lingual kesantunan tata bahasa. Dengan bentuk Hindari….., pilih…. tuturan 6 dapat dipersepsi kurang santun karena tergolong ilokusi direktif yang bertujuan bersaing dengan tujuan sosial, atau ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan mitra tutur. Selain itu terdapat penggunaan metafora dalam tuturan 6 yaitu frasa kucing dalam karung. Frasa kucing dalam karung merujuk pada sesuatu yang belum dikenal, belum diketahui, sehingga tuturan 6 mengandung perintah dan ajakan untuk memilih yang sudah dikenal atau diketahui. Untuk itu, dalam kalimat selanjutnya, penutur menawarkan pilihan: … pilih calon gubernur yang punya kumis seperti saya, karena yang berkumis punya nyali untuk memimpin. Demikian pun pilihan kosakata diksi kumis dan yang berkumis merujuk pada pribadi Fauzi Bowo yang telah dikenal untuk dipilih. Fauzi Bowo adalah calon gubernur yang didukung Partai Hanura dan dikenal karena memiliki kumis, atau lebih dikenal karena kumisnya. Tuturan 7 mengandung makna pragmatik imperatif harapan. Penanda lingual kesantunannya terdapat pada semoga. Penanda kesantunan lain yang terdapat pada tuturan tersebut adalah pilihan kata hoki yang merupakan kosakata yang merujuk pada identitas budaya orang Tionghoa. Tuturan itu disampaikan oleh Hidayat Nur Wahid ketika berkunjung ke komunitas Tionghoa. Jenis ilokusi tuturan 7 adalah ilokusi komisif yang menyatakan harapan untuk sesuatu yang akan datang dan bertujuan menyenangkan baik penutur maupun mitra tutur. Persepesi kesantunannya adalah tindak tutur yang sopan. Studi tentang tindak tutur telah cukup banyak dilakukan. Beberapa studi itu di antaranya menganalisis tindak tutur ilokusi di dalam surat kabar Sarwoyo, 2009, implikatur iklan layanan masyarakat Yuliani, 2009, tindak tutur dalam iklan kosmetik Sumasari, 2010, bentuk-bentuk tindak tutur imperatif Rahardi, 2010, dan tindak tutur dalam wacana kampanye pilpres 2009 Jauhari, 2009. Sejauh pengamatan penulis, penelitian-penelitian ini belum banyak mengkaji jenis tindak tutur dari sudut pandang fungsi tindak tutur ilokusi yang merujuk pada pemikiran Geoffrey Leech 1983, bdk. terjemahan Oka, 1993, kecuali P.Ari Subagyo 2000 yang meneliti tentang wacana pojok dalam surat kabar di Indonesia dan menemukan empat fungsi tuturan ilokusi di dalam wacana pojok, yaitu berupa ilokusi kompetitif, ilokusi konvival, ilokusi kolaboratif, dan ilokusi konfliktif. Oleh karena itu, penelitian ini mendalami tindak tutur ilokusi dari sudut pandang fungsi atau tujuan tuturan. Tuturan yang diteliti adalah tuturan langsung para kandidat gubernur dan wakil gubernur Provinsi DKI Jakarta dan para pendukung tim sukses, tokoh partai politik pendukung, tokoh organisasi massa, dan simpatisan. Tuturan-tuturan itu terdapat di dalam berita beberapa surat kabar nasional, khususnya dalam pemberitaan peristiwa pemilukada Provinsi DKI Jakarta tahun 2012 pada bulan Juni sampai dengan Agustus. Asumsi dasar dari penelitian ini adalah bahwa tuturan para kandidat dan pendukung itu memiliki fungsi dan tujuan tertentu dalam berkomunikasi tentang suatu hal, misalnya tentang visi dan misi, strategi, dan rencana membangun DKI Jakarta. Pada gilirannya, tuturan-tuturan para pelaku politik dalam kaitannya dengan peristiwa politik tersebut setidak-tidaknya membawa efek tertentu dalam masa kampanye dan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi DKI Jakarta 2012. Hal ini dapat dirujuk pada pendapat Campbell, bersama-sama dengan Gurin dan Miller pada tahun 1945 Suwardi, 1993:25. Penelitian mereka mempersoalkan apakah suatu kampanye politik dapat memengaruhi seseorang memberikan suara pada saat mereka pergi ke kotak-kotak suara. Surat kabar menjadi salah satu saluran kampanye politik yang efektif. Kesimpulan mereka adalah media massa tidak saja mampu membentuk pendapat, akan tetapi juga mengubah sikap seseorang pada saat mereka mau memberikan keputusan kepada siapa suara mereka diberikan. Pemberitaan surat kabar nasional tentang pemilukada Provinsi DKI Jakarta menarik untuk diteliti karena beberapa alasan. Pertama, setiap surat kabar nasional memberikan porsinya tersendiri untuk pemberitaan pemilukada Provinsi DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta dan pemimpinnya merupakan daerah sentral ibu kota sekaligus pusat negara sehingga berita seputar pemilukada Provinsi DKI Jakarta sekaligus berskala nasional dan internasional. Kedua, setiap pasangan calon menggunakan segala daya kemampuannya untuk menang dalam pemilukada, termasuk melalui publikasi pemberitaan oleh media surat kabar nasional. Tuturan-tuturan langsung yang diungkapkan dalam pemberitaan media surat kabar menunjukkan tujuan sosial yang ingin dicapai oleh setiap kandidat dan pendukung. Selain memberikan informasi dan maksud tertentu, tuturan yang disampaikan selalu bertujuan sosial. Ketiga, di dalam tuturan-tuturan tersebut terdapat tingkat kesantunan dan penanda lingual kesantunan yang menggambarkan bagaimana fungsi tindak tutur itu diwujudkan. Dengan demikian, tuturan-tuturan langsung para tokoh politik tersebut mengandung fakta kesantunan baik dari segi fungsi atau tujuan tuturan dan tingkat kesantunan tuturan maupun penanda lingual yang dipakai dalam tuturan-tuturan tersebut. Berdasarkan pembahasan di atas, penulis tertarik meneliti tuturan para calon gubernur, calon wakil gubernur, dan para pendukung dalam peristiwa politik pemilukada Provinsi DKI Jakarta tahun 2012. Studi tentang tuturan para calon gubernur, calon wakil gubernur, dan para pendukung itu dalam penelitian ini terfokus pada jenis-jenis tindak tutur – dari sudut pandang fungsi atau tujuan tuturan menurut Leech –, tingkat kesantunan tuturan, dan penanda lingual kesantunan tuturan. Untuk itu, penelitian ini diberi judul “Jenis Tindak Tutur, Tingkat Kesantunan Tuturan, dan Penanda Lingual Kesantunan Tuturan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta dan Para Pendukung dalam Berita Beberapa Surat Kabar Nasional Tahun 2012”.

1.2 Rumusan Masalah